“Masalahnya, aku nggak tau kata hatiku sendiri. Gimana mau dengerin kata hati?” Ariana mengganjur napas, setengah putus asa.Prisha kehabisan kata-kata. Ingin tertawa, tapi khawatir Ariana tersinggung. Ingin terharu dan iba, tapi tingkah sepupu Gavin itu lucu sekali. Apakah Ariana betul-betul sepolos ini? Prisha sebenarnya tak punya pengalaman banyak soal cinta atau dunia pria, tapi ia suka membaca rubrik psikologi yang mengulas masalah cinta serta rumah tangga. Sejak di pondok dulu pun hingga sekarang, ia kerap menerima curhatan kawan-kawannya. Rata-rata kawan-kawannya, sering terjerumus gara-gara mendengarkan kata hati yang sejalan dengan hawa nafsu saja. Meskipun demikian, mereka paham kata hati sendiri. Sementara Ariana, bahkan kata hatinya sendiri pun tidak paham. Sungguh menyedihkan. Prisha tidak tahu, Ariana dulunya adalah seorang kutu buku yang jarang bergaul. Ayahnya seorang ahli farmasi yang hanya menghargai prestasi akademik. Ibunya seorang bidan yang menyukai anak-anak,
Prisha mengabaikan telepon suaminya. Ia memutuskan menuntaskan pembicaraan dengan ibu mertuanya yang tak tahu diri itu.“Saya adalah menantu yang dipilih sendiri oleh Kakek Zed dan Nenek Diana.” Prisha menahan emosinya. “Anda mempersoalkan hal yang sudah basi,” lanjutnya, agak kasar.“Aku ibunya Gavin. Dia sangat mematuhiku. Dulu dia menikahimu atas permintaanku. Aku juga bisa menyuruhnya menceraikanmu. Jangan arogan hanya karena kamu pemilik saham terbesar. Gavinku sanggup menstabilkan perusahaan tanpa sahammu!”“Bu, selama ini saya selalu berusaha sabar menghadapi Anda. Tapi Anda terus merongrong saya! Ketahuilah, bukti pembunuhan akan segera saya dapatkan. Anda siap-siap saja berjumpa saya di pengadilan!” ancam Prisha.“Jaksa dan pengacara terkenal negeri ini bekerja untuk keluarga Devandra. Jangan mimpi bisa menyeretku ke pengadilan! Ibumu pantas mati!”“Astaghfirullah ....” Prisha mengelus dada. “Cukup, Bu! Kita lihat saja nanti!” Gadis itu memutuskan sambungan telepon secara sep
Suara piring pecah akibat beradu dengan lantai, terdengar nyaring memecah keheningan pagi. Bunyi pecah berkecai-kecai itu adalah musik harian yang mesti ditelan Tibra setiap hari.Karina, seperti biasa, membuang sarapan paginya dengan kekesalan memuncak. Untuk ke sekian kalinya, ia disuguhi makanan gosong oleh Tibra. Nasi goreng, roti bakar, ikan, atau telur mata sapi yang gosong. Karina sendiri sama sekali tidak bisa memasak. Selama menikah ke keluarga Devandra, ia selalu mengandalkan koki atau asisten rumah tangga.Semenjak saham Tibra dibekukan dan Tibra dipecat dari jabatan tingginya di Healthy Light, mereka kehilangan penghasilan. Sejumlah uang yang ditransfer Gavin saban bulan, sebenarnya lebih dari cukup untuk menggaji seorang pembantu atau memesan makanan di katering. Sayangnya, Karina tak mampu mengelola keuangan, padahal dulu terbiasa membantu Tibra mengurus proyek bisnis. Karena itulah mereka sama sekali tak sanggup menggaji asisten rumah tangga. Tibra dan Karina memiliki
“Sebelum saya menjawab, mari kita sepakati satu hal dulu, Kek.” Prisha menjawab santun. “Salah satu kunci rahasia kesuksesan sebuah perusahaan, adalah kerja profesional timnya. Kerja profesional menuntut kapabilitas atau kemampuan tinggi. Berdasar analisis neraca keuangan Healthy Light, penyebab penurunan laba tahun lalu adalah adanya kecurangan atau korupsi yang dilakukan orang dalam yang tidak kapabel. Kakek tentu lebih tahu dari saya, siapa yang membolongi keuangan Healthy Light. Kita tentu tidak ingin kecolongan lagi. Dalam bisnis, kita harus berkomitmen memberdayakan orang-orang yang profesional dan menjauhkan nepotisme. Selama ini, Healthy Light mencampuradukkan prinsip bisnis dan keluarga. Saya pikir, itu kurang profesional. Bisnis adalah bisnis. Keluarga, itu perkara lain. Jangan sampai karena hubungan kekeluargaan, malah mengabaikan prinsip-prinsip bisnis. Kalaupun ingin anggota keluarga jadi bagian manajemen perusahaan, kita kudu pastikan dulu kompetensinya. Nah, bagaiman
“Kandidat harus ditanyakan kesediaannya,” lanjut Prisha, tenang. “Cucuku pasti bersedia.” Kakek Zed menekankan kata “cucuku”, demi mengintimidasi semua orang. Artinya, tak seorang pun boleh mengajukan kandidat lain untuk berkompetisi dengan cucu dari founder sekaligus pemilik saham dominan. “Bukan begitu, Vin?”Gavin tak bereaksi. Ia mempertahankan sikap sepanjang rapat, yaitu diam tanpa ekspresi. Prisha memandang suaminya sambil tersenyum manis. “Hubby, jangan paksa Sha membuat keputusan yang bakal melukai harga dirimu.”Gavin merasakan tengkuknya menjadi dingin bagai dikompres es. Ada ancaman tersirat di balik senyum dan suara lemah lembut istrinya. Kakek Zed yang menyaksikan gelagat tersebut, segera berkata dengan tatapan mencemooh. “Seorang pria sejati tak akan pernah membiarkan dirinya dikendalikan istri. Istri yang baik, tak semestinya mengatur-atur suami.”“O, benarkah?” sahut Nenek Diana. Wanita tua berkerudung merah marun itu mencebik. “Begitu dari ceramah yang kudengar k
Seorang pramusaji menunjukkan meja VIP Prisha begitu ia masuk ke ruang makan eksklusif, yang dikhususkan bagi peserta rapat umum pemegang saham. Suasana ruang makan didesain mirip restoran mewah. Setiap tamu bebas memesan makanan apa saja yang ada di daftar menu. Begitu duduk bersama Gavin di tempat yang disediakan, dengan cepat, Prisha menjadi sorotan. Ia menjadi risih karena sadar dirinya dihujani tatapan. Bisik-bisik dan celetukan sindiran, lamat-lamat sampai ke telinganya."Kabarnya dia putri pe es ka. Mana mungkin ayahnya adalah putra sahabat Pak Zed? Jangan-jangan hanya ngaku-ngaku aja.""Boleh jadi. Sengaja pula menjerat Pak Gavin.""Gadis baik-baik pasti malu mengakui perasaan di tengah forum resmi. Dia sangat vulgar.""Turunan ibunya. Baidewe, kalian pernah baca berita affair Pak Tibra dengan ibunya? Psst ... sst .... tapi beritanya dibantah oleh humas keluarga Devandra.""Jangan-jangan dia sendiri ngincar posisi CEO.""Cih, nyesel dukung pemakzulan Pak Gavin."Walaupun kupi
Setelah terdiam sejenak, akhirnya Gavin berkata, "Kamu sungguh naif. Ada hal-hal yang tidak sesederhana yang terlihat.""Sha memang tak terlalu memahami keluarga Pal Dok," sahut sang istri, serius.Gavin mengganjur napas, kasar. Raut wajahnya setengah putus asa. "Karena terlalu peduli pada keluarga, Kakek membiarkan perusahaan didominasi anggota keluarga. Cita-cita awal leluhur Devandra ketika membangun usaha adalah demi kesejahteraan keluarga."Dokter spesialis bedah yang telah meraih gelar doktor itu melanjutkan kalimat dengan serius. "Kakek nenekku selalu teguh menjaga image 'keluarga'. Citra itulah yang membuat industri kesehatan kami menarik bagi investor dan konsumen. Kakek memastikan pimpinan perusahaan haruslah berdarah Devandra, tapi tidak asal pilih juga.""Dalam bisnis kapitalis, transaksi atau akad kerja sama saja bisa dipermainkan. Apalagi struktur manajemen perusahaan. Nggak peduli apakah CEO keturunan pemilik perusahaan atau bukan. Siapa pun CEO-nya, yang penting mamp
Gavin hendak membaringkan Prisha di sofa malas dalam ruang kerjanya. Namun, saat ia membungkuk, sang istri sudah meronta turun.Prisha berdiri sesaat dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Semenjak menikah dengan Gavin, baru pertama kali itu ia memasuki ruangan CEO Healthy Light.Ruang kerja CEO Healthy Light yang berukuran luas, mewah, dan elegan, membuat Prisha berdecak kagum. Ia pun merasa hangat oleh dominasi warna putih, cokelat muda, dan abu-abu. Serta siraman lembut cahaya matahari lewat dinding kaca yang sangat tebal. Pemandangan ibukota metropolis bagai miniatur artistik, terpampang dari dinding tersebut. Ada pintu tersedia di samping, menuju lobi berpagar tinggi.Di ruang kerja itu, selain meja kerja yang didesain apik, tersedia satu set sofa tamu, sofa malas, kulkas, pantry, dan dapur mini. Lantainya dilapisi beludru lembut. Udara sejuk mengalir dari AC, beserta wewangian segar dan memberi kesan mewah. Dalam sekejap, Prisha merasa nyaman berada di ruangan te