"Sudah seminggu ini Rengganis jarang keluar kamar. Keluar pun kalau pergi kuliah dan belanja jajan. Bicara sama saya pun sekarang bisa dihitung jari," terang Bu Tejo memasang wajah resah kepada ketiga penghuni kosnya. "Memang gitu sekarang anaknya, Bu. Saya negur aja biasa cuman di senyumin balik. Abis itu udah," sahut Mbak Trisna. Joko menarik napas berat. Matanya melirik kilas ke arah pintu kamar Rengganis. Ia bahkan dari kemarin sama sekali belum berpapasan dengan gadis itu. Selain karena dia sering lembur kerja akhir-akhir ini, Rengganis juga terkesan menjauhi orang-orang di sekitarnya. "Sejak sosok yang dia lihat pas malam itu, tingkahnya jadi berubah. Itu yang saya perhatiin." Wisnu menimpali. Embusan napas gusar keluar dari mulut Bu Tejo. Sedari tadi wanita itu terus melirik kamar Rengganis. Berharap sekali ia akan keluar dan menceritakan semua masalahnya. "Bersyukur sekali seminggu ini kita ndak dapetin teror itu lagi. Saya suka takut terjadi apa-apa sama kalian semua,"
Bu Tejo dan yang lain sontak terperanjat ketika dikejutkan oleh sebuah suara. Mereka kompak menoleh ke arah sumber suara itu berasal dan mendapati keberadaan Rengganis yang baru keluar dari kamar. Sementara Mbak Trisna sudah memegangi dada merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. "Ya Tuhan, Nduk. Kamu ini ngagetin aja," decak Bu Tejo. Rengganis menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia memandang bingung ke arah penghuni kos beserta Bu Tejo yang sedang duduk melantai. "Maaf, Bu. Ini lagi bicarain apa? Kok kayak seru gitu?" sahut Rengganis sedikit cengengesan. "Seru apanya? Ini kita lagi bicarain soal ter—" Joko langsung membekap mulut Wisnu. Ia lalu tersenyum paksa ke arah Rengganis. "Ndak ada, Nis. Biasa, ngobrol ringan gitu," balasnya. Sementara Rengganis hanya mangut-mangut mengerti. Gadis itu kemudian menutup kembali pintu kamarnya dan berpamitan ke yang lain. "Bu, Mbak, Joko, Wisnu, aku mau ke depan bentar ya," izinnya. "Mau ngapain ke depan, Nduk? Beli jajan lagi?
"Ya ampun, aku udah telat banget ini," keluh Rengganis keluar dari kamar dengan terburu-buru. Sesampainya di depan teras, Rengganis segera mengikat tali sepatunya. Tanpa sadar Bu Tejo melihat semua gerak-gerik gadis itu. "Nduk, ada kelas pagi ya?" tanya Bu Tejo kini menghampiri Rengganis. Ia yang baru selesai mengenakan sepatu lantas menatap ke arah Bu Tejo. Rengganis mengangguk dan membenarkan ranselnya. "Iya, Bu. Rengganis kesiangan, mana ada kelas tiga puluh menit lagi," jawabnya dengan wajah panik. "Temenmu yang biasa jemput mana? Biasa udah siap di seberang kos," tanya Bu Tejo. "Kelasnya pagi banget, Bu. Jadi Rengganis ndak sama dia. Rencananya aku mau pesen ojol aja nanti keluar gang," terangnya. Bu Tejo mengangguk paham. Wanita itu lalu menepuk pundak Rengganis pelan. "Hati-hati ya, Nduk. Inget terus kata Ibu, di mana pun selalu waspada. Jangan mau gampang percaya sama orang," nasihat Bu Tejo. Rengganis mengulas senyum tipis dan mengangguk pelan sebagai tanggapan. "Iy
"Sama pacar ya?" goda Riko ketika menghampiri Rengganis yang baru keluar kelas. Gadis itu mendengus malas dan mendaratkan diri di sebuah kursi panjang. Riko ikut duduk di sebelah Rengganis yang sedang memasang wajah kesal. "Jujur aja, pacar kamu, 'kan? Sok-sokan ndak masang wajah bete," sambar Riko lagi terkekeh geli. Rengganis menyiku lelaki di sebelahnya dengan dengusan malas. "Apaan sih, Ko. Itu tadi kenalan doang, orang yang pernah nyenggol ponselku sampe di bawa ke tukang service waktu itu. Kebetulan tadi ndak sengaja ketemu di jalan, terus dia nawarin buat nganter aku," jelasnya panjang lebar. Sementara Riko hanya membalas dengan wajah menyebalkan seolah tidak peduli. Sehingga Rengganis ingin rasanta menonjok muka lelaki itu. "Yaudah deh, percaya-percaya aja aku mah," balas Riko pada akhirnya. "Oh iya, semalam aku ada hubungin kamu tapi ndak kamu angkat," cetus Rengganis. "Ketiduran pasti ya?" tebaknya. Rengganis mengamati wajah Riko yang tiba-tiba berubah masam. Keningn
Rengganis menguap lebar, suara jangkrik jauh di sana menemani kesibukannya yang tengah bertaut dengan keyboard laptop. Ia sesekali melirik ke arah jam dinding. Sudah memasuki tengah malam dan tugas kuliahnya masih belum juga usai. "Duh, mataku udah berat banget ini," keluh gadis itu seraya merentangkan kedua tangannya sekadar melepas lelah. Di tengah jeda istirahatnya, sayup-sayup Rengganis mendengar suara ketukan dari arah pintu utama. Sebelah alisnya tertaut, mengeryit heran dengan benak tanda tanya. "Bu? Ibu masih bangun? Kayaknya ada tamu deh," teriak Rengganis sedikit mengeraskan suaranya. Namun sorakannya tak mendapati balasan. Rengganis lantas bangkit dan beranjak keluar kamar. "Udah pada tidur kali ya?" gumamnya melirik kedua kamar di depannya yang sudah tertutup rapat. Rengganis menghela napas gusar. Dan untuk kedua kalinya ia kembali mendengar suara ketukan itu. Sangat jelas dan terkesan mendesak untuk minta dibukakan pintu. "Siapa sih yang tamu tengah malam gini?" b
Rengganis tidak pernah membayangkan akan tidur senyanyak semalam. Jika biasanya ketika ia bangun pagi kepalanya akan pening dan sakit, maka tidak dengan pagi yang cerah itu. Rengganis mengulas senyum tipis menatap matahari yang menembus celah jendela. Hari libur yang sungguh menenangkan. Ia lantas bangkit dan membereskan kamar. "Syukurlah, semoga seterusnya ndak ada kejadian aneh lagi. Tuhan, lindungilah kami," batin Rengganis berbisik. Setelah beberes, ia beranjak membersihkan diri di kamar mandi. Namun seperti biasa, satu hal yang Rengganis tak dapat mengerti hingga detik ini. "Lagi-lagi aroma ini, kok ndak pernah hilang ya? Perasaan aku ndak ada pake bebauan kayak gini. Mana aromanya laki banget lagi," keluhnya. Tak mempedulikan hal itu, Rengganis melanjutkan kegiatannya hingga aksi kemas-kemasnya beres. Ketika keluar kamar, hal pertama yang Rengganis dapatkan adalah Bu Tejo beserta seluruh penghuni indekos yang sedang berkumpul di ruang tengah. Entah apa yang sedang mereka
Rengganis bungkam dengan segala pertanyaan yang terjebak di dalam pikirannya. Sementara Wisnu sudah meraih sebuah kertas dengan dengan pena. Ia menuliskan sebuah kalimat di atas benda itu. Beberapa aaat kemudian, dia mengangkat selembaran kertas di tangannya lalu memperlihatkan ke arah Rengganis. "Jika memang dia pelaku peneror itu, dan dia pula yang sengaja meretas ponselmu, maka artinya pembicaraan kita sekarang sedang didengar olehnya," tulis Wisnu. Mata Rengganis melotot lebar, ia semakin gemetar ketakutan di tempatnya. Joko lalu mengambil alih kertas tersebut, dia juga ikut menuliskan sesuatu di sana. "Matikan perangkatnya sekarang, dengan begitu sistem peretas yang sedang bekerja di dalamnya juga akan berhenti, meskipun resiko peretasannya cenderung kecil," tulis Joko. Rengganis mengangguk mengerti. Tangannya yang masih bergetar hebat lantas merogoh benda itu dari dalam saku celananya, dan selanjutnya benar-benar mematikan sistem perangkatnya. "Saranku, jangan gunaian pon
Situasi di dalam indekos Bu Tejo tampak marak. Banyak pihak kepolisian datang mengerubungi tempat perkara kejadian. Terlihat jelas kamar Rengganis dibatasi oleh garis kuning polisi, yang artinya tidak siapa pun orang diperkenankan masuk ke lokasi perkara. Sementara Rengganis dan penghuni kos yang lain sudah diamankan pihak berwajib. Sebentar lagi semua dari mereka akan mendapatkan sesi interogasi. "Nduk, kamu udah baikan?" tanya Bu Tejo mengusap punggung gadis itu pelan. Yang ditanya hanya mengangguk lemah. Jujur saja, tenaga Rengganis terkuras hanya karena menangis. Ia masih belum menyangka Banu akan ditemukan dalam kondisi gantung diri di dalam kamarnya. Ekor matanya mendapati Joko dan Wisnu yang baru datang dari arah pintu. Bu Tejo menghubungi mereka berdua untuk segera pulang. Dan untuk peristiwa yang terjadi di dalam kos, mereka sudah diberitahu lebih dulu. "Bu, gimana kondisi kalian semua?" tanya Joko tergesa menampilkan raut khawatir. "Nis, kamu ndak kenapa-napa, 'kan?"
"Eh, coba kamu lihat deh Nu, Joko punya kunci gerbang Banu?" tanya Rengganis setelah mengamati gelagat aneh Joko di seberang jalan. Wisnu mengernyir dahi. Seumur mengenal Joko, baru kali ini ia dapati sikap lelaki itu yang aneh dan janggal. "Iya ... dia punya kuncinya," celetuk Wisnu setelah Joko berhasil membuka gerbang rumah Banu. Sementara Rengganis sudah kehabisan kata-kata. Ponselnya lantas terangkat untuk memotret aksi Joko di sana. "Nis dia udah masuk, sebenarnya tuh orang bikin apa sih? Kenapa kuncinya bisa ada sama dia?" heran Wisnu. Tanpa memberi jawaban, Rengganis buru-buru melenggang ke arah rumah Banu, membuat Wisnu berdecak dan merutuki gadis itu. "Tungguin aku, Nis!" pekik Joko dengan perasaan resah. Rengganis berjalan jinjit di depan gerbang Banu. Matanya mengintip dan menerobos masuk ke dalam pekarangan rumah milik almarhum. Di sana cukup lenggang, Rengganis tak mendapati keberadaan Joko. Lalu, ke mana dia? "Dia ndak ada, Nu," adu Rengganis dengan netra melir
Malam hari, seperti biasa Bu Tejo serta penghuni kos mengadakan kumpul bersama di ruang tengah rumah Mbak Arini. Mereka berbincang satu sama lain dan membagikan pengalaman selama seharian ini. "Tadi ibu dikabarin pihak kepolisian, katanya besok atau lusa kita udah bisa kembali ke kos, berhubung tempat itu udah disterilkan," info Bu Tejo kepada anak kosnya. Rengganis menghela napas lega. Ia mengelus dadanya pelan sebab merasakan titik ketenangan di dalam jiwanya. Selama seminggu ini hatinya masih bergejolak, ia tak bisa melupakan insiden terbunuhnya Banu begitu saja. "Syukurlah, Buk. Tapi tetap aja kita semua ndak bisa lengah gitu aja. Pembunuh korban sampai detik ini belum kunjung juga ditemukan," sahut Mbak Trisna. "Bener, saya juga was-was kalau ibu dan yang lain harus kembali ke kos lagi. Takut terjadi sesuatu lagi yang tak bisa kita bayangkan," timpal Mbak Arini. Bu Tejo mengelus pelan punggung tangan anaknya, bermaksud menenangkan kegelisahan yang menyerang di dalam jiwanya
Keadaan mendadak hening sesaat Riko membeberkan peristiwa di apartemennya. Begitu pun dengan Rengganis yang membisu dan tak mampu berucap. Rengganis merasa semua kejadian yang terjadi di sekitarnya makin tak bisa diterima oleh akal sehatnya. Belum saja kasus Banu selesai, kasus Riko malah ikut muncul ke permukaan dan sukses membuatnya pusing. "Apa yang bakal kamu lakuin sekarang? Ngelaporin kejadian ini ke kepolisian? Saranku kayaknya itu udah cara yang paling aman deh, Ko," ujar Rengganis. Riko ikut mengangguk menyetujui saran Rengganis. Ia juga dari awal sudah memikirkan akan melaporkan tindakan orang yang menerornya kepada polisi. "Aku ada kenalan polisi dan udah cerita-cerita juga ke dia soal ini. Doain aja ya Nis, semoga kasus dan pelaku ditangkap tuntas," cetus Riko penuh harapan besar. Rengganis turut mengangguk, ia menepuk pundak Riko pelan bermaksud memberinya kekuatan dan tetap tegar. "Kamu gimana?" tanya Riko setelah beberapa saat hening. Rengganis mengernyit dahi, i
Dua minggu lamanya Rengganis dan penghuni kos menetap di rumah Mbak Arini, besok hari mereka semua dipastikan untuk kembali menetap di kos Bu Tejo. Namun yang membuat terkejut ialah kasus Banu terpaksa harus ditutup karena sampai detik ini belum juga ditemukan dalang pasti pembunuh korban. Dan mengenai bukti besar di rumah Banu, Rengganis mendapati kabar dari pihak kepolisian barang-barang tersebut telah diamankan. "Huft," helah Rengganis membuang napas pelan. Ia meraih ranselnya dan beranjak keluar pintu. Di saat itu ia berpapasan dengan Bu Tejo yang sedang menggenggam kantung plastik berisi sayur di tangannya. "Eh, Nduk? Udah mau ke kampus?" tanya Bu Tejo menghentikan langkah Rengganis. Gadis itu mengangguk membenarkan. "Itu temenmu di depan kayaknya udah dari tadi nungguin kamu," cetus Bu Tejo. Sebelah alis Rengganis tertaut menampilkan raut wajah heran. Ia menerka siapa gerangan orang yang sedang menunggunya, mengingat ia tak membuat janji dengan siapa pun pagi ini. "Siap
Rengganis melenguh pelan. Tidurnya terganggu tatkala mendengar suara pintu diketuk seseorang dari luar. Ia lalu melirik jam dindingnya sebentar, kemudian menyadari bahwa pagi telah menyapa. "Tunggu, bentar aku bukain," cetusnya segera bangkit dari atas kasur. Rengganis meraih gagang pintu dan mendapati sosok Wisnu dan Joko yang sedang menunggu di luar kamar. Sebelah alis Rengganis tertaut heran menatap kedua lelaki dengan raut wajah tegang di depannya. "Ada apa?" tanya Rengganis heran. Sejanak suasana mendadak hening. Rengganis termangu memandang kedua sosok itu hanya membisu dan saling melempar tatapan. "Ada apa sih?" tanyanya lagi masih tidak mengerti dengan situasi saat itu. "Gagang pintu depan rumah Mbak Arini patah, Nis," beber Joko kemudian. Kening Rengganis semakin berkerut mendapati informasi barusan. "Patah? Kok bisa?" tanyanya balik. "Gagang pintu luar doang yang patah, semalam padahal sebelum aku kunci pintunya masih normal," cetus Wisnu. "Semalam kamu ada tamu n
Rengganis sampai di rumah anak Bu Tejo sekitar pukul tujuh malam. Setelah mata kuliahnya selesai jam lima sore, ia langsung ke rumah temannya untuk kerja kelompok. Gadis itu menghela napas berat ketika berhasil menginjaki kaki di teras sebuah rumah sederhana. Dari tempatnya, ia bisa melihat anak Bu Tejo—Arini sedang berkutat dengan laptop miliknya di ruang tamu. "Assalamualaikum," ucap Rengganis mengulas senyum tipis ketika tatapannya bertemu dengan wanita tersebut. "Waalaikumsalam, Nis. Kok kamu baru balik?" tanya Mbak Arini seraya melepas kacamatanya. Rengganis beranjak duduk di sofa sebelah Mbak Arini. Ia melepas ranselnya dan membalasi pertanyaan Mbak Arini. "Abis kerja kelompok nih." Pandangan gadis itu lalu melirik ke sekitar. "Ini yang lain pada ke mana, Mbak? Ndak biasa sepi kayak gini," herannya mengerutkan dahi. "Oh, kalau Ibu lagi ada kajian di rumah Bu RT, kalau Joko belum balik, Wisnu tadi baru pulang dan mungkin lagi di kamarnya," jawab Mbak Arini. Rengganis nampa
Rengganis sampai di kampus dengan helaan napas berat. Semalam tidurnya tidak banyak karena harus membantu investigasi pihak kepolisian. Berakhir gadis itu datang kuliah sembari menguap napas kurang tidur. Ia menoleh saat menyadari seseorang datang dan menepuk pundaknya pelan. Rengganis terparanjat kaget dan refleks berbalik melihat gerangan. "Kok lesu gitu sih?" tegur Rico menyapa. Rengganis spontan meninju perut Riko pelan seraya mendengus pelan. "Ngagetin ih, aku ini kurang tidur makanya modelnya kayak gini," curhatnya. "Kenapa ndak izin aja dulu? Hati-hati loh kalau kurang istirahat, bisa sakit ntar lama-lama," respons Riko. Rengganis berdecak. "Ndak parah kok. Ya meskipun tidur cuman dua jam doang, yang penting tidur sih," celetuknya. Riko hanya menggeleng pelan melihat gadis itu. Ia kemudian mengarahkan Rengganis untuk duduk sebentar di salah satu kursi tunggu. "Jadi gimana? Udah ada titik terang belum soal kasus kematian di indekosmu?" tanya Riko memulai topik pembicaraa
"Rengganis, satu kamar ini full dengan foto wajahmu," tutur Joko yang ikut terkejut menatap mahakarya itu di samping Rengganis. Rengganis bungkam, mulutnya keluh dan suaranya hanya tertahan di kerongkongan. Tiba-tiba jantungnya berpacu cepat bersamaan dengan dadanya yang ikut sesak. "Kenapa bisa ... foto-fotoku semua terpampang di seluruh dinding kamar ini?" herannya masih tak mengerti. Rasanya Rengganis ingin menangis sejadi-jadinya. Ia takut dan cemas di saat yang bersamaan. Sementara foto-foto tersebut di jepret ketika Rengganis sedang melakukan sesuatu akhir-akhir ini. Yang berarti si pelaku sering mengikutinya diam-diam dan mengambil gambar dengan sembunyi-sembunyi. Joko beranjak mengamati satu foto yang sukses mencuri perhatiannya. Berlatar tidak asing dengan Rengganis yang sedang duduk di meja belajar. Gambar tersebut diambil dari sisi belakang gadis itu, sehingga hanya memperlihatkan punggung Rengganis saja. "Nis, coba perhatiin foto ini. Bukannya ini di kamarmu?" tanya
Rengganis terdiam dengan dahi mengernyit. Banu suatu waktu pernah menyinggung sedikit tentang rumahnya. Tepatnya ketika pertemuan di gang malam itu. Ia berkata bahwa tempat tinggalnya tidak jauh dari sekitaran gang. Tetapi Rengganis tidak yakin di mana letaknya. "Waktu itu dia pernah bilang kalau tinggal di sekitaran jalan raya depan dan tidak jauh dari gang ini, Pak," cetus Rengganis. "Letaknya? Tidak tahu pastinya di mana?" tanya Gerald. "Sama sekali tidak tahu, Pak. Dia cuman ngomong tinggal di dekat gang ini aja," imbuhnya. Sejenak suasana kembali hening ketika kedua polisi itu sibuk berbisik satu sama lain. Sementara Rengganis dan lelaki di sebelahnya hanya bisa menatap gamang. Lalu menit setelahnya, atensi Rengganis teralih ketika salah seorang polisi lainnya datang dan mengabarkan sesuatu. "Rumahnya udah ketemu, Pak!" serunya kepada Gerald dan Bima. Langsung saja para polisi itu lekas beranjak dari tempatnya. Bima memberi isyarat agar ketiganya juga ikut bersama mereka.