Keadaan mendadak hening sesaat Riko membeberkan peristiwa di apartemennya. Begitu pun dengan Rengganis yang membisu dan tak mampu berucap. Rengganis merasa semua kejadian yang terjadi di sekitarnya makin tak bisa diterima oleh akal sehatnya. Belum saja kasus Banu selesai, kasus Riko malah ikut muncul ke permukaan dan sukses membuatnya pusing. "Apa yang bakal kamu lakuin sekarang? Ngelaporin kejadian ini ke kepolisian? Saranku kayaknya itu udah cara yang paling aman deh, Ko," ujar Rengganis. Riko ikut mengangguk menyetujui saran Rengganis. Ia juga dari awal sudah memikirkan akan melaporkan tindakan orang yang menerornya kepada polisi. "Aku ada kenalan polisi dan udah cerita-cerita juga ke dia soal ini. Doain aja ya Nis, semoga kasus dan pelaku ditangkap tuntas," cetus Riko penuh harapan besar. Rengganis turut mengangguk, ia menepuk pundak Riko pelan bermaksud memberinya kekuatan dan tetap tegar. "Kamu gimana?" tanya Riko setelah beberapa saat hening. Rengganis mengernyit dahi, i
Malam hari, seperti biasa Bu Tejo serta penghuni kos mengadakan kumpul bersama di ruang tengah rumah Mbak Arini. Mereka berbincang satu sama lain dan membagikan pengalaman selama seharian ini. "Tadi ibu dikabarin pihak kepolisian, katanya besok atau lusa kita udah bisa kembali ke kos, berhubung tempat itu udah disterilkan," info Bu Tejo kepada anak kosnya. Rengganis menghela napas lega. Ia mengelus dadanya pelan sebab merasakan titik ketenangan di dalam jiwanya. Selama seminggu ini hatinya masih bergejolak, ia tak bisa melupakan insiden terbunuhnya Banu begitu saja. "Syukurlah, Buk. Tapi tetap aja kita semua ndak bisa lengah gitu aja. Pembunuh korban sampai detik ini belum kunjung juga ditemukan," sahut Mbak Trisna. "Bener, saya juga was-was kalau ibu dan yang lain harus kembali ke kos lagi. Takut terjadi sesuatu lagi yang tak bisa kita bayangkan," timpal Mbak Arini. Bu Tejo mengelus pelan punggung tangan anaknya, bermaksud menenangkan kegelisahan yang menyerang di dalam jiwanya
"Eh, coba kamu lihat deh Nu, Joko punya kunci gerbang Banu?" tanya Rengganis setelah mengamati gelagat aneh Joko di seberang jalan. Wisnu mengernyir dahi. Seumur mengenal Joko, baru kali ini ia dapati sikap lelaki itu yang aneh dan janggal. "Iya ... dia punya kuncinya," celetuk Wisnu setelah Joko berhasil membuka gerbang rumah Banu. Sementara Rengganis sudah kehabisan kata-kata. Ponselnya lantas terangkat untuk memotret aksi Joko di sana. "Nis dia udah masuk, sebenarnya tuh orang bikin apa sih? Kenapa kuncinya bisa ada sama dia?" heran Wisnu. Tanpa memberi jawaban, Rengganis buru-buru melenggang ke arah rumah Banu, membuat Wisnu berdecak dan merutuki gadis itu. "Tungguin aku, Nis!" pekik Joko dengan perasaan resah. Rengganis berjalan jinjit di depan gerbang Banu. Matanya mengintip dan menerobos masuk ke dalam pekarangan rumah milik almarhum. Di sana cukup lenggang, Rengganis tak mendapati keberadaan Joko. Lalu, ke mana dia? "Dia ndak ada, Nu," adu Rengganis dengan netra melir
Rengganis terperanjat bangun dari tidur saat seseorang menggedor paksa pintu kamarnya. Lem yang merekat kedua matanya sontak luntur mendapati sosok Bu Tejo. "Saya tahu kamu baru sehari di sini, tapi bisa ndak pake air nggak usah heboh, gebyar-gebyur berisik didengar tetangga kos," ucap Bu Tejo. Berulang kali Rengganis mengerjap mencerna ucapan Bu Tejo, berujung keningnya memahat kerutan tipis. "Loh, Bu? Siapa yang pake air, orang saya tadi lagi tidur," elak Rengganis menepis tuduhan tersebut. "Orang suara airnya jelas banget loh, itu Mbak Trisna di kamar sebelah ngeluh nggak bisa tidur. Lain kali lebih diperhatiin lagi." "Sumpah demi Allah saya nggak pake air, Bu!" "Jadi kalau bukan kamu itu ulah setan? Iya?" sambar wanita tersebut seraya menggeleng ringan. Sekejap Rengganis tertegun. Ekor matanya menangkap sosok Bu Tejo yang menghilang dari pandang. Ia mulai menggigit kulit bibirnya, badannya ikut menggigil, segera Rengganis berjalan kembali ke kasurnya. "Aneh banget, jelas-j
Matanya perlahan terbuka. Rasa sakit di kepala membuat Rengganis melenguh pelan. Meringis seraya memegang kepala, denyutan itu seolah menari-nari di dalam kepalanya. "Aku kenapa ya? Kok kepalaku tiba-tiba nyut-nyutan gini?" Rengganis semakin bingung ketika pandangannya malah ikutan memburam. Tangan gadis itu terulur meraih ponsel di atas nakas. Satu pesan masuk dari Riko. Sekelebat pertanyaan dilayangkan Riko kepada Rengganis mengapa ia terus-terusan menolak panggilannya. Aneh. Detik itu juga Rengganis menelepon balik si empu. Namun yang ada panggilannya sama sekali tak dijawab. "Mana mungkin aku nolak panggilan dia, kalaupun dia nelpon, aku pasti jawab." Rengganis turun dari ranjang, dengan langkah tergopoh-gopoh ia masuk ke dalam kamar mandi. Tampangnya sebelas dua belas seperti gembel, gadis itu mengernyit heran terhadap dirinya sendiri. "Mukaku kok kayak orang sakit ya?" ganjilnya seraya memejam mata menetralisir rasa pusing. Sejenak Rengganis memilih untuk menggosok gigi
Tidak sekali dua kali Rengganis melirik arloji di tangannya. Pukul tujuh. Raut wajahnya cemas, setiap beberapa saat mengecek pintu pasien di hadapannya, harap-harap seseorang akan keluar dari sana. "Ya Allah Mbak Trisna, semoga kamu ndak kenapa-napa." Bu Tejo tak pernah lepas dari doa-doa yang ia rapalkan dari mulutnya. Wanita itu sama sepertinya, hanya bisa berharap Mbak Trisna akan baik-baik saja. Begitupun dengan dua pria di ujung koridor, mondar mandir dengan raut gelisah, tak peduli dengan tatapan orang-orang kepadanya. "Bu, saya masih ndak ngerti, kenapa bisa ada pisau lipat di kamar Mbak Trisna," tukas Rengganis. Pikiran gadis itu berkecamuk setelah kembali dibayang-bayangi oleh benda tajam tersebut. "Yang pasti itu bukan barang milik Mbak Trisna, Nis," sahut Bu Tejo penuh yakin. "Saya tahu betul seluruh isi kamar di dalam kos, dan Mbak Trisna ndak pernah nyimpen barang kayak gitu." Rengganis terdiam sesaat. "Terus punya siapa, Bu? Ndak mungkin pisau lipat itu tiba-tiba
"Sadar rengganis!" Suara Bu Tejo sontak menyadarkan gadis itu dengan cepat. Napasnya memburu, ia memegang dadanya yang naik turun. "Bu, di situ ... aku ndak bohong sumpah ada bayangan lewat dari jendela!" tunjuk Rengganis tepat ke arah objek di depannya. Bu Tejo berjalan memeriksa jendela, lirikan matanya mengamati kanan kiri, namun anehnya tak ada apapun. "Rengganis, ndak ada apa-apa di sini," sahut Bu Tejo. Rengganis menggeleng kuat, kejadian tadi kembali mengorek ingatannya. Jelas sekali bayangan itu melintas cepat dari hadapannya. "Itu bukan setan, itu jelas manusia!" kata Rengganis kembali meyakinkan Bu Tejo. Bu Tejo bersimpuh, satu tangan ia kerahkan mengelus punggung Rengganis, sekadar memberikan ketenangan. "Sudah jangan pikirkan apapun dulu, Nduk," ucapnya. Perlahan napas Rengganis terdengar mulai kembali normal. Gadis itu menghirup udara rakus lalu mengembuskannya pelan. "Apa ibu ndak dengar suara aneh dari kamar Mbak Trisna?" tanya Rengganis serius. Bu Tejo bungk
Perasaan cemas terus merundung jiwa Rengganis. Pikirannya tak tenang memikirkan segala hal buruk yang bersarang di otak. Semenjak penemuan bercak tangan berlumuran darah di sebelah kamarnya, Rengganis menjadi sering melamun. Tidak jarang kulit bibirnya luka akibat sering menggigitnya. "Sudahlah, Nduk. Jangan terus memikirkan soal bercak tangan itu." Terlihat Bu Tejo menegurnya. Wanita itu menaruh sepiring nasi berisikan lauk ikan di depan meja Rengganis. "Makanlah, sejak pagi kamu belum sarapan, 'kan?" cetus Bu Tejo. Rengganis hanya menatap piring itu dalam bisu. Selera makannya hilang, bahkan sekadar untuk menyentuh air putih rasanya sukar bagi ia lakukan. Tangannya terangkat meraba leher, merasakan tenggorokannya yang mendadak kering. "Bu, kayaknya aku ndak enak badan. Akhir-akhir ini kepalaku jadi sering pusing," katanya mencoba untuk terbuka dengan Bu Tejo. Ia yang sedang mengunyah makanan perlahan memandang Rengganis dengan raut khawatir. Tangan Bu Tejo terulur menyentuh