Rengganis terperanjat bangun dari tidur saat seseorang menggedor paksa pintu kamarnya. Lem yang merekat kedua matanya sontak luntur mendapati sosok Bu Tejo.
"Saya tahu kamu baru sehari di sini, tapi bisa ndak pake air nggak usah heboh, gebyar-gebyur berisik didengar tetangga kos," ucap Bu Tejo.Berulang kali Rengganis mengerjap mencerna ucapan Bu Tejo, berujung keningnya memahat kerutan tipis."Loh, Bu? Siapa yang pake air, orang saya tadi lagi tidur," elak Rengganis menepis tuduhan tersebut."Orang suara airnya jelas banget loh, itu Mbak Trisna di kamar sebelah ngeluh nggak bisa tidur. Lain kali lebih diperhatiin lagi.""Sumpah demi Allah saya nggak pake air, Bu!""Jadi kalau bukan kamu itu ulah setan? Iya?" sambar wanita tersebut seraya menggeleng ringan.Sekejap Rengganis tertegun. Ekor matanya menangkap sosok Bu Tejo yang menghilang dari pandang. Ia mulai menggigit kulit bibirnya, badannya ikut menggigil, segera Rengganis berjalan kembali ke kasurnya."Aneh banget, jelas-jelas aku rebahan di sini dari tadi," gumamnya menarik selimut hingga menutupi setengah tubuhnya.Suasana kos kala itu terbilang sepi. Maklum tetangga kamar di sebelahnya dominan sudah pada bekerja. Bu Tejo berkata dua dari tiga kamar tersebut biasa lembur dan pulang dini hari. Bisa di bilang Rengganis adalah satu-satunya mahasiswi di kosan itu."Aku jadi ndak bisa tidur," bisik Rengganis pelan.Kali ini ia mulai merubah posisi tidurnya ke sisi kiri, di mana jendela menjadi objek matanya bertemu pandang. Suara jam yang berdetak, menghiasi kesunyian di balik kamar miliknya.Ketika mata gadis itu hendak terpejam, tiba-tiba suara ketukan dari pintu depan kembali menyapa telinga Rengganis."Loh, Bu Tejo lagi?" pikirnya sesaat.Gadis itu berjalan untuk meraih gagang pintu, namun ketika netranya melirik ke arah jendela, tidak ada siapa-siapa di sana."Ada yang ngetuk lagi," cetus Rengganis spontan mundur selangkah.Namun suara kali ini dari pintu belakang, pintu yang menghadap langsung dengan kebun Bu Tejo."Kok aneh ya? Kok ada orang yang bertemu lewat pintu belakang?" Sebelah alis Rengganis tertaut memikirkan keanehan tersebut.Ia memacu kakinya berlari ke pintu belakang, ada keraguan, pikiran Rengganis bertarung, bimbang memilih membiarkan atau justru membukanya.Bermodalkan nekat, gadis itu memilih untuk menebas rasa penasarannya."Sial," decak Rengganis kemudian.Kosong. Tidak ada siapa-siapa di luar.Pikiran Rengganis langsung berkecamuk. Kembali menggigiti bibirnya yang tipis. Badannya sedikit maju untuk kembali memeriksa keadaan sekitar."Apa jangan-jangan maling?" Refleks Rengganis banting pintu dan menguncinya.Tidak sampai di situ, sekujur tubuh Rengganis menegang tatkala samar-samar mendengar suara pintu depan dibuka.Degup jantung Rengganis berpacu cepat, tangannya terkepal seolah menyalurkan keberanian dalam dirinya.Ketika ia menengok ke belakang, ada sosok perempuan berambut panjang menutupi muka."Haaaaahh!"Spontan Rengganis berteriak menghalang pandang dengan kedua tangannya. Mulutnya terbuka lebar.Sesosok perempuan berdiri membawa sekop. Air mata mengalir di wajahnya. Isak tangisnya tertahan, keluar dari mulutnya dengan berat dan parau. Ia mengangkat sekop itu tinggi-tinggi, lalu menghujamkannya ke lantai. Mata sekop itu menghancurkan lantai seakan-akan lantai itu adalah daging segar.Sedetik kemudian tubuh Rengganis terbangun dari tidur lelap. Peluh keringat terukir jelas di wajahnya. Terperangah sebab menyadari itu hanya mimpi belaka.***Cuaca pagi itu lumayan cerah, Rengganis memutuskan untuk berangkat kuliah lebih awal."Loh, Dek Ganis mau berangkat lagi toh?" sahut Mbak Trisna yang kebetulan lewat.Raut wajah Rengganis berubah heran. Sesaat ia mulai mengernyit dahi."Saya baru mau berangkat, Mbak," balasnya dengan senyuman kikuk."Oh ya? Subuh tadi saya dengar pintumu kebuka. Saya pikir kamunya udah berangkat." Mbak Trisna menambahi seiring ekspresi Rengganis bertambah bingung."Saya duluan ya, Mbak!" Tanpa menyahuti ucapan wanita itu, Rengganis memilih pergi.Padahal masih pagi, namun Rengganis malah dibuat resah. Bayang-bayang mengenai pencuri kembali bersarang di kepalanya.Apa mungkin yang didengar Mbak Trisna benar-benar perampok?"Eh, Bu! Berhenti bentar!" cetus Rengganis menunda jalan Bu Tejo yang sedang tergesa."Aduh! Apaan toh?" tanyanya dengan alis terangkat heran.Ada perasaan tak nyaman untuk mengatakannya. Namun rasa penasaran menguasai benak gadis itu."Saya boleh ngecek CCTV nggak, Bu? Mbak Trisna ngomong ada orang yang ngebuka pintu kamar saya subuh tadi," kata Rengganis.Sesaat Bu Tejo berdecak. Sebercak kegelisahan juga ikut tergambar di wajah wanita itu."Kamu tahu ndak? Semua CCTV pagi ini tiba-tiba rusak," beber Bu Tejo sekilas membuang napas."Kok bisa, Bu? Semalam perasaan masih nyala saya liatin," celetuk Rengganis mengingat betul terakhir kali mendapati lampu merah masih berkedip pada benda tersebut."Saya pun ndak paham. Malah biaya buat benerinnya nggak murah, saya juga jadi ikutan pusing.""Ada kemungkinan buat dibenerin ndak, Bu?" tanyanya dengan secuil harapan."Saat ini belum, soalnya saya lagi banyak kebutuhan."Rengganis menghela napasnya sesaat. Bu Tejo melenggang dari pandang. Sementara gadis itu berdecak merutuki kebodohannya.Pertanyaan mengenai perampok masih berputar-putar di kepalanya. Rengganis sedikit parno jika itu benar adanya.Suara klakson motor membuat Rengganis sedikit tersentak. Riko, kakak tingkatnya kini memandangnya dengan tatapan penuh heran."Ngapain bengong di pinggir jalan?" tanyanya.Rengganis hanya bisa menggeleng seraya naik ke atas motor."Nomormu kenapa dari kemarin dihubungi ndak aktif-aktif?" Riko menyerahkan sebuah helm ke gadis itu, Rengganis langsung memakainya."Kemarin disenggol orang, terus jatuh. Untung dia mau bayarin biaya kerusakannya. Nanti singgah di tukang service ya, Ko," pintanya sebelum motor itu benar-benar melesat jauh."Bener di sini tempatnya?" sahut Riko tak yakin sesaat menginjakan kaki di sebuah tempat yang sudah terbilang kumuh.Rengganis berulang kali mengecek kertas kecil yang diberikan oleh orang kemarin kepadanya."Iya udah bener kok ini. Ruko nomor 14 lantai 2," jawabnya."Rengganis ya?"Gadis itu terlonjak sesaat mendengar seseorang menyebut namanya. Ia sontak memegangi dadanya yang berdegup kencang."I-iya," sahutnya kikuk."Ada klien kemarin nitip pesan suruh buat benerin ponsel mbaknya, biaya udah ditanggung ama beliau," ujar pria tersebut.Rengganis hanya mengangguk dan langsung menyerahkan ponsel miliknya. Sekejab Rengganis maupun Riko hanya bisa terdiam di ruangan yang tidak seberapa besar tersebut. Menunggu hingga ponsel itu benar-benar selesai diperbaiki."Ini ya mbak, ponselnya udah normal dan udah bisa digunakan," ucap tukang service menyerahkan ponsel kepada si pemilik."Makasih ya, Mas," lontar Rengganis sebelum kemudian meninggalkan tempat tersebut.Gadis itu mengernyit mendapati raut wajah Riko yang berubah. Dia jadi lebih diam dari biasanya."Rik? Mukamu kenapa?" tanyanya."Kamu ndak rasa aneh, Nis?" Riko malah bertanya balik. Kepalanya menoleh ke belakang seakan memastikan sesuatu."Aneh kenapa?" Ia menatap dengan guratan tak mengerti."Kok bisa ya ada toko service di tempat ini." Riko berucap dengan suara kecil namun Rengganis dengan jelas masih bisa mendengarnya"Memangnya ndak bisa?" Rengganis menyahuti."Kamu ndak tau dulunya ini tempat apa?" serobot Riko tiba-tiba.Rengganis menggeleng dengan sepasang alis tertaut."Pembuangan mayat, Nis. Dulu banyak manusia dibunuh di sini," terang Riko dengan wajah penuh keseriusan.Mendadak tubuh Rengganis berubah kaku. Matanya membelalak bersamaan mulutnya yang terbuka lebar."Apa? Ma-mayat?"Bersambung...Matanya perlahan terbuka. Rasa sakit di kepala membuat Rengganis melenguh pelan. Meringis seraya memegang kepala, denyutan itu seolah menari-nari di dalam kepalanya. "Aku kenapa ya? Kok kepalaku tiba-tiba nyut-nyutan gini?" Rengganis semakin bingung ketika pandangannya malah ikutan memburam. Tangan gadis itu terulur meraih ponsel di atas nakas. Satu pesan masuk dari Riko. Sekelebat pertanyaan dilayangkan Riko kepada Rengganis mengapa ia terus-terusan menolak panggilannya. Aneh. Detik itu juga Rengganis menelepon balik si empu. Namun yang ada panggilannya sama sekali tak dijawab. "Mana mungkin aku nolak panggilan dia, kalaupun dia nelpon, aku pasti jawab." Rengganis turun dari ranjang, dengan langkah tergopoh-gopoh ia masuk ke dalam kamar mandi. Tampangnya sebelas dua belas seperti gembel, gadis itu mengernyit heran terhadap dirinya sendiri. "Mukaku kok kayak orang sakit ya?" ganjilnya seraya memejam mata menetralisir rasa pusing. Sejenak Rengganis memilih untuk menggosok gigi
Tidak sekali dua kali Rengganis melirik arloji di tangannya. Pukul tujuh. Raut wajahnya cemas, setiap beberapa saat mengecek pintu pasien di hadapannya, harap-harap seseorang akan keluar dari sana. "Ya Allah Mbak Trisna, semoga kamu ndak kenapa-napa." Bu Tejo tak pernah lepas dari doa-doa yang ia rapalkan dari mulutnya. Wanita itu sama sepertinya, hanya bisa berharap Mbak Trisna akan baik-baik saja. Begitupun dengan dua pria di ujung koridor, mondar mandir dengan raut gelisah, tak peduli dengan tatapan orang-orang kepadanya. "Bu, saya masih ndak ngerti, kenapa bisa ada pisau lipat di kamar Mbak Trisna," tukas Rengganis. Pikiran gadis itu berkecamuk setelah kembali dibayang-bayangi oleh benda tajam tersebut. "Yang pasti itu bukan barang milik Mbak Trisna, Nis," sahut Bu Tejo penuh yakin. "Saya tahu betul seluruh isi kamar di dalam kos, dan Mbak Trisna ndak pernah nyimpen barang kayak gitu." Rengganis terdiam sesaat. "Terus punya siapa, Bu? Ndak mungkin pisau lipat itu tiba-tiba
"Sadar rengganis!" Suara Bu Tejo sontak menyadarkan gadis itu dengan cepat. Napasnya memburu, ia memegang dadanya yang naik turun. "Bu, di situ ... aku ndak bohong sumpah ada bayangan lewat dari jendela!" tunjuk Rengganis tepat ke arah objek di depannya. Bu Tejo berjalan memeriksa jendela, lirikan matanya mengamati kanan kiri, namun anehnya tak ada apapun. "Rengganis, ndak ada apa-apa di sini," sahut Bu Tejo. Rengganis menggeleng kuat, kejadian tadi kembali mengorek ingatannya. Jelas sekali bayangan itu melintas cepat dari hadapannya. "Itu bukan setan, itu jelas manusia!" kata Rengganis kembali meyakinkan Bu Tejo. Bu Tejo bersimpuh, satu tangan ia kerahkan mengelus punggung Rengganis, sekadar memberikan ketenangan. "Sudah jangan pikirkan apapun dulu, Nduk," ucapnya. Perlahan napas Rengganis terdengar mulai kembali normal. Gadis itu menghirup udara rakus lalu mengembuskannya pelan. "Apa ibu ndak dengar suara aneh dari kamar Mbak Trisna?" tanya Rengganis serius. Bu Tejo bungk
Perasaan cemas terus merundung jiwa Rengganis. Pikirannya tak tenang memikirkan segala hal buruk yang bersarang di otak. Semenjak penemuan bercak tangan berlumuran darah di sebelah kamarnya, Rengganis menjadi sering melamun. Tidak jarang kulit bibirnya luka akibat sering menggigitnya. "Sudahlah, Nduk. Jangan terus memikirkan soal bercak tangan itu." Terlihat Bu Tejo menegurnya. Wanita itu menaruh sepiring nasi berisikan lauk ikan di depan meja Rengganis. "Makanlah, sejak pagi kamu belum sarapan, 'kan?" cetus Bu Tejo. Rengganis hanya menatap piring itu dalam bisu. Selera makannya hilang, bahkan sekadar untuk menyentuh air putih rasanya sukar bagi ia lakukan. Tangannya terangkat meraba leher, merasakan tenggorokannya yang mendadak kering. "Bu, kayaknya aku ndak enak badan. Akhir-akhir ini kepalaku jadi sering pusing," katanya mencoba untuk terbuka dengan Bu Tejo. Ia yang sedang mengunyah makanan perlahan memandang Rengganis dengan raut khawatir. Tangan Bu Tejo terulur menyentuh
"Loh, Nduk? Ada apa dengan lehermu, kok memar begini?" tanya Bu Tejo ketika berpapasan dengan Rengganis yang baru keluar kamar.Rengganis tak berkutik. Ia meraba pelan lehernya, sedikit meringis merasakan perih yang berasal dari lebam merah tersebut."Ndak tau, Bu. Pagi-pagi tadi aku juga kaget bangun langsung dapat luka ini di leherku," terangnya.Guratan tipis tergambar jelas dari wajah Bu Tejo. Ia kemudian mengamati memar itu lebih dekat. Rengganis semakin resah ketika menyadari ekspresi Bu Tejo berubah aneh."Kenapa ya, Bu?" tanyanya penasaran."Ini bekas cupang, Nduk," beber Bu Tejo dengan wajah syok.Rengganis tersentak. Berulang kali matanya mengerjap masih berusaha mencerna perkataan Bu Tejo."Cu-cupang?" Rengganis masih tak percaya, untuk memastikan ia kembali masuk ke dalam kamar dan mengamati ulang memar tersebut."Nggak mungkin, Bu. Gimana bisa tiba-tiba ada cupang di leher aku? Sementara semalam aja aku hanya tidur sendiri." Rengganis menggeleng kecil dengan sebelah alis t
"Gimana bisa ada dalam pria di dalam kamar Mbak Trisna?" tanya Rengganis dengan wajah penuh heran. Joko maupun Wisnu bungkam. Tak satu pun dari mereka yang bisa menjelaskan keanehan akibat dari penemuan benda tersebut. "Kalian nemu sesuatu?" Ketiganya sontak menoleh ke arah Bu Tejo yang baru datang. Netra wanita itu langsung fokus menatap dalaman pria di tangan Wisnu. "Ini ... di mana kalian nemuin?" tanyanya kemudian dengan wajah serius. "Di tempat pakaian kotor," sahut Wisnu. Dia lalu menunjuk ke arah rak di sebelahnya. "Dalaman ini tepat berada di atas tumpukan baju Mbak Trisna." Kening Rengganis mengernyit ketika melihat Bu Tejo yang bergegas membuka pintu kamar mandi di dalam Kamar Mbak Trisna. Sontak saja penciuman Rengganis dihantam oleh aroma yang familiar. Matanya melebar saat mengingat di mana ia bertemu dengan bau itu pertama kali. "Aroma ini ... aroma yang sama di kamar mandiku beberapa hari yang lalu," bebernya. "Kamu yakin?" sahut Joko memastikan. Rengganis men
"Wajahmu kok kulihat akhir-akhir sering kosong gitu?" Rengganis langsung mengalihkan fokus ketika Riko melayangkan pertanyaan kepadanya. Beberapa saat dia mengerjap pelan, selanjutnya menghembuskan napas berat, lalu menggeleng lemah. "Aku juga ngga ngerti sama diriku sendiri, Rik," jawab Rengganis. Riko mengernyitkan dahi. Lelaki itu menyorot netra Rengganis lurus. "Baru kali ini aku liatin kamu kesiangan." Ia lalu mengarahkan layar ponselnya ke wajah Rengganis. "Bahkan ponsel kamu dihubungin ngga aktif." Rengganis menatap cemas pada benda pipih miliknya di atas meja. Ia baru ingat bahwa akhir-akhir ini benda itu selalu cepat kehabisan baterai. Padahal baru beberapa jam setelah ponselnya dicas. "Kehabisan baterai, Rik. Ini ponselku kayaknya rusak deh. Cepat banget lowbat, mungkin karena ponsel tua," terangnya menerka. "Mau aku perbaikin? Kebetulan aku tau dikit otak-atik gitu," tawar Riko terdengar tulus. "Emang ngga apa nih?" tanyanya merasa tak enak. Riko menggeleng pelan.
"Saya mau ngasih tau ke kalian bertiga, jangan pernah nyoba buat bertanya ke Mbak Trisna mengenai sosok yang dia lihat saat peristiwa keracunan makanan di kamarnya," peringat Bu Tejo menatap penuh serius kepada para penghuni kosnya. Joko berdehem sejenak meredam keheningan yang terjadi. "Kami mengerti, Bu. Melihat kondisi Mbak Trisna yang lemah seperti itu, rasanya sangat tidak pantas buat kami untuk bertanya yang mana akan makin membuat kondisi Mbak Trisna bertambah buruk," jelasnya. Rengganis mengangguk membenarkan ucapan Joko. "Betul, Bu. Untuk saat ini, kami ndak akan melibatkan Mbak Trisna dalam segala keanehan yang terjadi di dalam kos," timpalnya. "Baik, saya percayakan ke kalian bertiga. Kita semua ndak bakal tahu teror apa lagi yang akan kita dapatkan ke depannya. Saya juga udah minta tolong ke tukang service buat coba benerin CCTV yang rusak, ya meskipun waktu pengerjaannya memakan waktu agak lama," terang Bu Tejo menghela napas berat. Dari wajah wanita itu, terbaca je