Tidak sekali dua kali Rengganis melirik arloji di tangannya. Pukul tujuh. Raut wajahnya cemas, setiap beberapa saat mengecek pintu pasien di hadapannya, harap-harap seseorang akan keluar dari sana.
"Ya Allah Mbak Trisna, semoga kamu ndak kenapa-napa." Bu Tejo tak pernah lepas dari doa-doa yang ia rapalkan dari mulutnya. Wanita itu sama sepertinya, hanya bisa berharap Mbak Trisna akan baik-baik saja.Begitupun dengan dua pria di ujung koridor, mondar mandir dengan raut gelisah, tak peduli dengan tatapan orang-orang kepadanya."Bu, saya masih ndak ngerti, kenapa bisa ada pisau lipat di kamar Mbak Trisna," tukas Rengganis.Pikiran gadis itu berkecamuk setelah kembali dibayang-bayangi oleh benda tajam tersebut."Yang pasti itu bukan barang milik Mbak Trisna, Nis," sahut Bu Tejo penuh yakin. "Saya tahu betul seluruh isi kamar di dalam kos, dan Mbak Trisna ndak pernah nyimpen barang kayak gitu."Rengganis terdiam sesaat."Terus punya siapa, Bu? Ndak mungkin pisau lipat itu tiba-tiba ada di kamar Mbak Trisna," imbuh Rengganis."Hanya Mbak Trisna yang bisa jelasin hal itu," jawab Bu Tejo sekenanya.Beberapa saat kemudian, seorang wanita keluar dari kamar pasien. Hal itu menarik atensi Joko dan Wisnu diseberang koridor, keduanya lekas ikut bergabung bersama Rengganis dan Bu Tejo."Gimana, Dok?" tanya Wisnu membuka suara. Terlihat jelas mimik wajah khawatir yang diperlihatkan oleh empat orang di tempat itu."Pasien positif keracunan makanan. Syukur keracunannya tidak dalam kondisi yang parah. Pasien diperkirakan mengonsumsi makanan beracun sekitar dua atau tiga jam yang lalu," terangnya."Alhamdulillah." Terdengar ucapan penuh lega menghiasi koridor ujung tersebut.Sepintas Rengganis memiringkan sedikit kepala, mencoba mengingat sesuatu."Tapi, Mbak Trisna udah dikamar sejak tadi siang 'kan, Bu?" tanya Rengganis melirik Bu Tejo.Sontak hal itu mengundang perhatian Joko dan Wisnu."Yo iya, tapi anehnya di dalam kamar Mbak Trisna ndak ada bungkus makanan apapun, bersih," jawab Bu Tejo baru menyadari fakta tersebut."Mbak Trisna terakhir kulihat itu sekitar jam satu, setelah itu ndak kelihatan lagi. Kalo kita asumsikan dia di kamar sejak jam segitu dan udah makan, kira-kira gimana kondisi Mbak Trisna sekarang, Dok?" tanya Wisnu."Kemungkinan yang paling besar pasien akan meninggal dunia," beber dokter.Napas Rengganis tiba-tiba berderuh, oksigen yang masuk ke dalam hidungnya seakan terbatas."Daya tayan tubuh pasien terbilang lemah, jika bakteri dibiarkan terus berada di dalam tubuh dengan waktu yang lama, maka bakteri akan masuk ke dalam darah dan menuju ke organ vital. Bisa terjadi keracunan darah yang bisa mematikan semua sistem tubuh pasien," terangnya."Itu artinya Mbak Trisna makan sekitar jam empat," tukas Joko. Mengingat wanita itu ditemukan pukul lima kemudian dirawat hingga pukul tujuh."Anehnya, jam segitu masih dalam keadaan terkunci di dalam kamar, ndak ada bungkus makanan, tapi tiba-tiba keracunan. Gimana bisa?" Rengganis mengernyit dahi, lirikan mata mengarah pada tubuh Mbak Trisna yang tergeletak di atas ranjang pasien."Untuk saat ini pasien dalam proses pemulihan. Bisa kalian tanyakan langsung jika pasien sudah sadar." Wanita berjas putih itu melenggang meninggalkan empat orang dalam keheningan."Duh mbak, sebenarnya apa yang terjadi sama kamu," gumam Bu Tejo dengan nada yang terdengar pasrah.Rengganis kembali mendaratkan diri di atas kursi tunggu. Otaknya berputar memikirkan rentetan kejadian yang menyambarnya hari ini.Gadis itu meraup wajahnya kasar, napasnya memburu, meringis kembali merasakan kepalanya sakit bukan kepalang.***"Bu, saya pamit masuk duluan ke kamar," cetus Rengganis tak dapat menghalau raut penat di wajahnya."Langsung istirahat, Nduk," ucap Bu Tejo sebelum kemudian mempersilakan gadis itu berehat.Rengganis menghela napas berat. Satu tangannya terangkat memijat pelan pangkal hidungnya yang berkedut.Ia bersama dengan Bu Tejo memutuskan untuk pulang duluan. Selepas melihat keadaan Mbak Trisna yang sudah baikan meski harus rawat inap hingga besok hari.Sementara Joko dan Wisnu, keduanya sepakat untuk menjaga Mbak Trisna di rumah sakit."Ya Allah, kok hari ini berasa berat sekali." Rengganis segera mengunci pintu dan merebahkan diri di atas kasur.Tatapan matanya tertuju pada langit-langit kamar, seberkas ingatan kembali membawanya pada peristiwa hari ini.Rengganis bangkit dan memungut pisau lipat di atas nakas. Diamatinya benda itu dengan tanda tanya besar dibenak."Aku penasaran dengan pisau ini. Kenapa bisa benda ini ada di kamar Mbak Trisna. Apa ada hubungannya dengan keracunan makanan?" tanyanya dalam sunyi.Ujung pisaunya seolah habis diasah. Mengkilap dan tajam. Sekali saja menggores tangan, Rengganis yakin darah akan mengucur deras dari balik kulit.Kala jarum pendek jam berhenti tepat di angka sepuluh, Rengganis masih belum juga terlelap. Matanya seolah tak ingin tertutup, gadis itu sedikit kesal karena harus dibuat terjaga.“Sssrrrr.”Hawa dingin tiba-tiba menyelusupi tengkuknya.Samar terdengar bunyi dari kamar sebelah. Rengganis sangat mengenal irama itu, suara keyboard dari komputer milik Mbak Trisna yang hobby sekali menulis.“Ah, ndak mungkin," pikirnya.Jantungnya mendadak berdetak lebih kencang.Mbak Trisna kan belum pulang, beliau masih harus dirawat hingga besok. Tapi, suara itu tetap terdengar."Ada yang ndak beres," celetuk Rengganis sesaat keringat dingin mengucur deras dari keningnya.Kali ini suara itu berhenti. Memberi jeda beberapa lama. Sialnya, sedetik kemudian terdengar bunyi ketukan yang berasal dari pintu kamarnya."Bu? Bu Tejo, bukan?" seru Rengganis mencoba memastikan.Bersamaan suara itu ikut berhenti. Namun, tak ada sahutan dari Bu Tejo.Dor... dor... dor...ketukan pintu mulai terdengar cukup keras. Rengganis ragu untuk membuka pintu, dia mencoba kembali memanggil Bu Tejo, tetapi masih tak ada jawaban."Ya Allah, siapa sih?" kesalnya. Jantung Rengganis seperti ingin meloncat keluar.Tiba-tiba pintu kaca jendela kamarnya diketuk, membuatnya terkejut dan melangkah mundur. Meski berat, rasa penasaran membuatnya memberanikan diri untuk melangkah mendekati jendela.Sejurus kemudian ketukan berhenti tatkala Rengganis membuka gorden, dan tak menemukan seorang pun di sana."Siapa ya? Tolong jangan usil malam-malam!" rutuknya dengan perasaan resah.Ia menghela napas, tangannya kembali menarik gagang jendela.Ketika hendak menutup gorden, mendadak sesosok bayangan melintas, mata Rengganis sontak membelalak, mulutnya terbuka lebar menangkap hal itu dengan jelas."I-itu apa?" Bibir Rengganis bergetar hebat.Sekitar tubuhnya semakin terasa dingin, dengan keheningan yang semakin mencekam. Ditambah lagi, dengan suara-suara yang terasa semakin jelas memanggil nama.“Rengganis ... tolong.”“Tolong ... tolong saya ….”Tubuh Rengganis semakin bergetar, dengan perasaan campur aduk.“B-bu T-tejo, to-tolong …,” panggilnya pelan dengan suara bergetar dan terbata-bata.Rasanya ia tidak berdaya, bahkan hanya untuk sekedar berteriak minta tolong pada pemilik indekos. Ia terus berusaha mundur ke belakang, berharap bisa lari dari semua ini. Tapi …Grep!“Tolong!"Bersambung..."Sadar rengganis!" Suara Bu Tejo sontak menyadarkan gadis itu dengan cepat. Napasnya memburu, ia memegang dadanya yang naik turun. "Bu, di situ ... aku ndak bohong sumpah ada bayangan lewat dari jendela!" tunjuk Rengganis tepat ke arah objek di depannya. Bu Tejo berjalan memeriksa jendela, lirikan matanya mengamati kanan kiri, namun anehnya tak ada apapun. "Rengganis, ndak ada apa-apa di sini," sahut Bu Tejo. Rengganis menggeleng kuat, kejadian tadi kembali mengorek ingatannya. Jelas sekali bayangan itu melintas cepat dari hadapannya. "Itu bukan setan, itu jelas manusia!" kata Rengganis kembali meyakinkan Bu Tejo. Bu Tejo bersimpuh, satu tangan ia kerahkan mengelus punggung Rengganis, sekadar memberikan ketenangan. "Sudah jangan pikirkan apapun dulu, Nduk," ucapnya. Perlahan napas Rengganis terdengar mulai kembali normal. Gadis itu menghirup udara rakus lalu mengembuskannya pelan. "Apa ibu ndak dengar suara aneh dari kamar Mbak Trisna?" tanya Rengganis serius. Bu Tejo bungk
Perasaan cemas terus merundung jiwa Rengganis. Pikirannya tak tenang memikirkan segala hal buruk yang bersarang di otak. Semenjak penemuan bercak tangan berlumuran darah di sebelah kamarnya, Rengganis menjadi sering melamun. Tidak jarang kulit bibirnya luka akibat sering menggigitnya. "Sudahlah, Nduk. Jangan terus memikirkan soal bercak tangan itu." Terlihat Bu Tejo menegurnya. Wanita itu menaruh sepiring nasi berisikan lauk ikan di depan meja Rengganis. "Makanlah, sejak pagi kamu belum sarapan, 'kan?" cetus Bu Tejo. Rengganis hanya menatap piring itu dalam bisu. Selera makannya hilang, bahkan sekadar untuk menyentuh air putih rasanya sukar bagi ia lakukan. Tangannya terangkat meraba leher, merasakan tenggorokannya yang mendadak kering. "Bu, kayaknya aku ndak enak badan. Akhir-akhir ini kepalaku jadi sering pusing," katanya mencoba untuk terbuka dengan Bu Tejo. Ia yang sedang mengunyah makanan perlahan memandang Rengganis dengan raut khawatir. Tangan Bu Tejo terulur menyentuh
"Loh, Nduk? Ada apa dengan lehermu, kok memar begini?" tanya Bu Tejo ketika berpapasan dengan Rengganis yang baru keluar kamar.Rengganis tak berkutik. Ia meraba pelan lehernya, sedikit meringis merasakan perih yang berasal dari lebam merah tersebut."Ndak tau, Bu. Pagi-pagi tadi aku juga kaget bangun langsung dapat luka ini di leherku," terangnya.Guratan tipis tergambar jelas dari wajah Bu Tejo. Ia kemudian mengamati memar itu lebih dekat. Rengganis semakin resah ketika menyadari ekspresi Bu Tejo berubah aneh."Kenapa ya, Bu?" tanyanya penasaran."Ini bekas cupang, Nduk," beber Bu Tejo dengan wajah syok.Rengganis tersentak. Berulang kali matanya mengerjap masih berusaha mencerna perkataan Bu Tejo."Cu-cupang?" Rengganis masih tak percaya, untuk memastikan ia kembali masuk ke dalam kamar dan mengamati ulang memar tersebut."Nggak mungkin, Bu. Gimana bisa tiba-tiba ada cupang di leher aku? Sementara semalam aja aku hanya tidur sendiri." Rengganis menggeleng kecil dengan sebelah alis t
"Gimana bisa ada dalam pria di dalam kamar Mbak Trisna?" tanya Rengganis dengan wajah penuh heran. Joko maupun Wisnu bungkam. Tak satu pun dari mereka yang bisa menjelaskan keanehan akibat dari penemuan benda tersebut. "Kalian nemu sesuatu?" Ketiganya sontak menoleh ke arah Bu Tejo yang baru datang. Netra wanita itu langsung fokus menatap dalaman pria di tangan Wisnu. "Ini ... di mana kalian nemuin?" tanyanya kemudian dengan wajah serius. "Di tempat pakaian kotor," sahut Wisnu. Dia lalu menunjuk ke arah rak di sebelahnya. "Dalaman ini tepat berada di atas tumpukan baju Mbak Trisna." Kening Rengganis mengernyit ketika melihat Bu Tejo yang bergegas membuka pintu kamar mandi di dalam Kamar Mbak Trisna. Sontak saja penciuman Rengganis dihantam oleh aroma yang familiar. Matanya melebar saat mengingat di mana ia bertemu dengan bau itu pertama kali. "Aroma ini ... aroma yang sama di kamar mandiku beberapa hari yang lalu," bebernya. "Kamu yakin?" sahut Joko memastikan. Rengganis men
"Wajahmu kok kulihat akhir-akhir sering kosong gitu?" Rengganis langsung mengalihkan fokus ketika Riko melayangkan pertanyaan kepadanya. Beberapa saat dia mengerjap pelan, selanjutnya menghembuskan napas berat, lalu menggeleng lemah. "Aku juga ngga ngerti sama diriku sendiri, Rik," jawab Rengganis. Riko mengernyitkan dahi. Lelaki itu menyorot netra Rengganis lurus. "Baru kali ini aku liatin kamu kesiangan." Ia lalu mengarahkan layar ponselnya ke wajah Rengganis. "Bahkan ponsel kamu dihubungin ngga aktif." Rengganis menatap cemas pada benda pipih miliknya di atas meja. Ia baru ingat bahwa akhir-akhir ini benda itu selalu cepat kehabisan baterai. Padahal baru beberapa jam setelah ponselnya dicas. "Kehabisan baterai, Rik. Ini ponselku kayaknya rusak deh. Cepat banget lowbat, mungkin karena ponsel tua," terangnya menerka. "Mau aku perbaikin? Kebetulan aku tau dikit otak-atik gitu," tawar Riko terdengar tulus. "Emang ngga apa nih?" tanyanya merasa tak enak. Riko menggeleng pelan.
"Saya mau ngasih tau ke kalian bertiga, jangan pernah nyoba buat bertanya ke Mbak Trisna mengenai sosok yang dia lihat saat peristiwa keracunan makanan di kamarnya," peringat Bu Tejo menatap penuh serius kepada para penghuni kosnya. Joko berdehem sejenak meredam keheningan yang terjadi. "Kami mengerti, Bu. Melihat kondisi Mbak Trisna yang lemah seperti itu, rasanya sangat tidak pantas buat kami untuk bertanya yang mana akan makin membuat kondisi Mbak Trisna bertambah buruk," jelasnya. Rengganis mengangguk membenarkan ucapan Joko. "Betul, Bu. Untuk saat ini, kami ndak akan melibatkan Mbak Trisna dalam segala keanehan yang terjadi di dalam kos," timpalnya. "Baik, saya percayakan ke kalian bertiga. Kita semua ndak bakal tahu teror apa lagi yang akan kita dapatkan ke depannya. Saya juga udah minta tolong ke tukang service buat coba benerin CCTV yang rusak, ya meskipun waktu pengerjaannya memakan waktu agak lama," terang Bu Tejo menghela napas berat. Dari wajah wanita itu, terbaca je
Bu Tejo, Joko dan Wisnu terlihat menatap benda penemuan di kamar mandi Rengganis dengan tatapan syok dan bertanya-tanya. Sementara Rengganis yang tidak kuasa menahan rasa kepeningan di kepalanya memilih mengembuskan napas berat. Meski pagi hari menyapa, nyatanya pikiran mereka masih tak juga menemukan titik terang dari mana dan kenapa bisa benda itu berada di kamar Rengganis. "Ibu udah cek, dalaman yang kemarin Wisnu ketemu di kamar, emang ndak ada lagi," beber Bu Tejo. Wisnu kemudian berdecak. Ia memijat pangkal hidungnya. "Udah pasti dalamannya pindah ke sini. Tapi pertanyaannya gimana bisa? Tidak ada yang pindahin tapi mendadak pindah begitu aja." Wisnu menghela napas gusar. Nyatanya, bukan hanya dia sendiri saja yang merasakan kejanggalan tersebut. Melainkan seluruh penghuni indekos pun sama. Tidak ada yang bisa menjelaskan dengan akal sehat dalaman itu berpindah ke lain tempat secara tiba-tiba. "Lihat deh merek sama warnanya, sama persis yang Wisnu temuin di kamar Ibu kemar
"Le-lepasin aku!" Rengganis meronta berusaha melepaskan diri dari kungkungan seseorang yang menyergapnya. Sekeras apa pun ia berjerit, mulutnya tak mampu berbuat banyak akibat tangan orang tersebut. Ia memejam mata kuat, dapat Rengganis rasakan embusan napas mengenai pipinya. Napasnya makin tercekat saar mengetahui si pelaku sengaja mendekatkan wajah. "Ssst diam, jangan berisik," bisik orang itu yang dapat Rengganis pastikan adalah suara seorang lelaki. Rengganis tak berkutik, tubuhnya bergetar hebat menahan rasa takut. Sementara si pelaku masih belum juga menjauh dari tubuhnya. "Lihatlah, salah seorang dari rombongan itu mengikutimu dari belakang," bisiknya lagi. Netra Rengganis sesaat membelalak melihat jelas pria tinggi melintas di depannya. Beruntung situasi di tempatnya gelap gulita, tubuh Rengganis ditutupi oleh kegelapan sehingga orang tadi tak dapat menemukannya. "Jika aku tidak menarikmu, entah apa yang akan orang itu perbuat ke kamu." Tubuh Rengganis menegang. Sejenak
"Eh, coba kamu lihat deh Nu, Joko punya kunci gerbang Banu?" tanya Rengganis setelah mengamati gelagat aneh Joko di seberang jalan. Wisnu mengernyir dahi. Seumur mengenal Joko, baru kali ini ia dapati sikap lelaki itu yang aneh dan janggal. "Iya ... dia punya kuncinya," celetuk Wisnu setelah Joko berhasil membuka gerbang rumah Banu. Sementara Rengganis sudah kehabisan kata-kata. Ponselnya lantas terangkat untuk memotret aksi Joko di sana. "Nis dia udah masuk, sebenarnya tuh orang bikin apa sih? Kenapa kuncinya bisa ada sama dia?" heran Wisnu. Tanpa memberi jawaban, Rengganis buru-buru melenggang ke arah rumah Banu, membuat Wisnu berdecak dan merutuki gadis itu. "Tungguin aku, Nis!" pekik Joko dengan perasaan resah. Rengganis berjalan jinjit di depan gerbang Banu. Matanya mengintip dan menerobos masuk ke dalam pekarangan rumah milik almarhum. Di sana cukup lenggang, Rengganis tak mendapati keberadaan Joko. Lalu, ke mana dia? "Dia ndak ada, Nu," adu Rengganis dengan netra melir
Malam hari, seperti biasa Bu Tejo serta penghuni kos mengadakan kumpul bersama di ruang tengah rumah Mbak Arini. Mereka berbincang satu sama lain dan membagikan pengalaman selama seharian ini. "Tadi ibu dikabarin pihak kepolisian, katanya besok atau lusa kita udah bisa kembali ke kos, berhubung tempat itu udah disterilkan," info Bu Tejo kepada anak kosnya. Rengganis menghela napas lega. Ia mengelus dadanya pelan sebab merasakan titik ketenangan di dalam jiwanya. Selama seminggu ini hatinya masih bergejolak, ia tak bisa melupakan insiden terbunuhnya Banu begitu saja. "Syukurlah, Buk. Tapi tetap aja kita semua ndak bisa lengah gitu aja. Pembunuh korban sampai detik ini belum kunjung juga ditemukan," sahut Mbak Trisna. "Bener, saya juga was-was kalau ibu dan yang lain harus kembali ke kos lagi. Takut terjadi sesuatu lagi yang tak bisa kita bayangkan," timpal Mbak Arini. Bu Tejo mengelus pelan punggung tangan anaknya, bermaksud menenangkan kegelisahan yang menyerang di dalam jiwanya
Keadaan mendadak hening sesaat Riko membeberkan peristiwa di apartemennya. Begitu pun dengan Rengganis yang membisu dan tak mampu berucap. Rengganis merasa semua kejadian yang terjadi di sekitarnya makin tak bisa diterima oleh akal sehatnya. Belum saja kasus Banu selesai, kasus Riko malah ikut muncul ke permukaan dan sukses membuatnya pusing. "Apa yang bakal kamu lakuin sekarang? Ngelaporin kejadian ini ke kepolisian? Saranku kayaknya itu udah cara yang paling aman deh, Ko," ujar Rengganis. Riko ikut mengangguk menyetujui saran Rengganis. Ia juga dari awal sudah memikirkan akan melaporkan tindakan orang yang menerornya kepada polisi. "Aku ada kenalan polisi dan udah cerita-cerita juga ke dia soal ini. Doain aja ya Nis, semoga kasus dan pelaku ditangkap tuntas," cetus Riko penuh harapan besar. Rengganis turut mengangguk, ia menepuk pundak Riko pelan bermaksud memberinya kekuatan dan tetap tegar. "Kamu gimana?" tanya Riko setelah beberapa saat hening. Rengganis mengernyit dahi, i
Dua minggu lamanya Rengganis dan penghuni kos menetap di rumah Mbak Arini, besok hari mereka semua dipastikan untuk kembali menetap di kos Bu Tejo. Namun yang membuat terkejut ialah kasus Banu terpaksa harus ditutup karena sampai detik ini belum juga ditemukan dalang pasti pembunuh korban. Dan mengenai bukti besar di rumah Banu, Rengganis mendapati kabar dari pihak kepolisian barang-barang tersebut telah diamankan. "Huft," helah Rengganis membuang napas pelan. Ia meraih ranselnya dan beranjak keluar pintu. Di saat itu ia berpapasan dengan Bu Tejo yang sedang menggenggam kantung plastik berisi sayur di tangannya. "Eh, Nduk? Udah mau ke kampus?" tanya Bu Tejo menghentikan langkah Rengganis. Gadis itu mengangguk membenarkan. "Itu temenmu di depan kayaknya udah dari tadi nungguin kamu," cetus Bu Tejo. Sebelah alis Rengganis tertaut menampilkan raut wajah heran. Ia menerka siapa gerangan orang yang sedang menunggunya, mengingat ia tak membuat janji dengan siapa pun pagi ini. "Siap
Rengganis melenguh pelan. Tidurnya terganggu tatkala mendengar suara pintu diketuk seseorang dari luar. Ia lalu melirik jam dindingnya sebentar, kemudian menyadari bahwa pagi telah menyapa. "Tunggu, bentar aku bukain," cetusnya segera bangkit dari atas kasur. Rengganis meraih gagang pintu dan mendapati sosok Wisnu dan Joko yang sedang menunggu di luar kamar. Sebelah alis Rengganis tertaut heran menatap kedua lelaki dengan raut wajah tegang di depannya. "Ada apa?" tanya Rengganis heran. Sejanak suasana mendadak hening. Rengganis termangu memandang kedua sosok itu hanya membisu dan saling melempar tatapan. "Ada apa sih?" tanyanya lagi masih tidak mengerti dengan situasi saat itu. "Gagang pintu depan rumah Mbak Arini patah, Nis," beber Joko kemudian. Kening Rengganis semakin berkerut mendapati informasi barusan. "Patah? Kok bisa?" tanyanya balik. "Gagang pintu luar doang yang patah, semalam padahal sebelum aku kunci pintunya masih normal," cetus Wisnu. "Semalam kamu ada tamu n
Rengganis sampai di rumah anak Bu Tejo sekitar pukul tujuh malam. Setelah mata kuliahnya selesai jam lima sore, ia langsung ke rumah temannya untuk kerja kelompok. Gadis itu menghela napas berat ketika berhasil menginjaki kaki di teras sebuah rumah sederhana. Dari tempatnya, ia bisa melihat anak Bu Tejo—Arini sedang berkutat dengan laptop miliknya di ruang tamu. "Assalamualaikum," ucap Rengganis mengulas senyum tipis ketika tatapannya bertemu dengan wanita tersebut. "Waalaikumsalam, Nis. Kok kamu baru balik?" tanya Mbak Arini seraya melepas kacamatanya. Rengganis beranjak duduk di sofa sebelah Mbak Arini. Ia melepas ranselnya dan membalasi pertanyaan Mbak Arini. "Abis kerja kelompok nih." Pandangan gadis itu lalu melirik ke sekitar. "Ini yang lain pada ke mana, Mbak? Ndak biasa sepi kayak gini," herannya mengerutkan dahi. "Oh, kalau Ibu lagi ada kajian di rumah Bu RT, kalau Joko belum balik, Wisnu tadi baru pulang dan mungkin lagi di kamarnya," jawab Mbak Arini. Rengganis nampa
Rengganis sampai di kampus dengan helaan napas berat. Semalam tidurnya tidak banyak karena harus membantu investigasi pihak kepolisian. Berakhir gadis itu datang kuliah sembari menguap napas kurang tidur. Ia menoleh saat menyadari seseorang datang dan menepuk pundaknya pelan. Rengganis terparanjat kaget dan refleks berbalik melihat gerangan. "Kok lesu gitu sih?" tegur Rico menyapa. Rengganis spontan meninju perut Riko pelan seraya mendengus pelan. "Ngagetin ih, aku ini kurang tidur makanya modelnya kayak gini," curhatnya. "Kenapa ndak izin aja dulu? Hati-hati loh kalau kurang istirahat, bisa sakit ntar lama-lama," respons Riko. Rengganis berdecak. "Ndak parah kok. Ya meskipun tidur cuman dua jam doang, yang penting tidur sih," celetuknya. Riko hanya menggeleng pelan melihat gadis itu. Ia kemudian mengarahkan Rengganis untuk duduk sebentar di salah satu kursi tunggu. "Jadi gimana? Udah ada titik terang belum soal kasus kematian di indekosmu?" tanya Riko memulai topik pembicaraa
"Rengganis, satu kamar ini full dengan foto wajahmu," tutur Joko yang ikut terkejut menatap mahakarya itu di samping Rengganis. Rengganis bungkam, mulutnya keluh dan suaranya hanya tertahan di kerongkongan. Tiba-tiba jantungnya berpacu cepat bersamaan dengan dadanya yang ikut sesak. "Kenapa bisa ... foto-fotoku semua terpampang di seluruh dinding kamar ini?" herannya masih tak mengerti. Rasanya Rengganis ingin menangis sejadi-jadinya. Ia takut dan cemas di saat yang bersamaan. Sementara foto-foto tersebut di jepret ketika Rengganis sedang melakukan sesuatu akhir-akhir ini. Yang berarti si pelaku sering mengikutinya diam-diam dan mengambil gambar dengan sembunyi-sembunyi. Joko beranjak mengamati satu foto yang sukses mencuri perhatiannya. Berlatar tidak asing dengan Rengganis yang sedang duduk di meja belajar. Gambar tersebut diambil dari sisi belakang gadis itu, sehingga hanya memperlihatkan punggung Rengganis saja. "Nis, coba perhatiin foto ini. Bukannya ini di kamarmu?" tanya
Rengganis terdiam dengan dahi mengernyit. Banu suatu waktu pernah menyinggung sedikit tentang rumahnya. Tepatnya ketika pertemuan di gang malam itu. Ia berkata bahwa tempat tinggalnya tidak jauh dari sekitaran gang. Tetapi Rengganis tidak yakin di mana letaknya. "Waktu itu dia pernah bilang kalau tinggal di sekitaran jalan raya depan dan tidak jauh dari gang ini, Pak," cetus Rengganis. "Letaknya? Tidak tahu pastinya di mana?" tanya Gerald. "Sama sekali tidak tahu, Pak. Dia cuman ngomong tinggal di dekat gang ini aja," imbuhnya. Sejenak suasana kembali hening ketika kedua polisi itu sibuk berbisik satu sama lain. Sementara Rengganis dan lelaki di sebelahnya hanya bisa menatap gamang. Lalu menit setelahnya, atensi Rengganis teralih ketika salah seorang polisi lainnya datang dan mengabarkan sesuatu. "Rumahnya udah ketemu, Pak!" serunya kepada Gerald dan Bima. Langsung saja para polisi itu lekas beranjak dari tempatnya. Bima memberi isyarat agar ketiganya juga ikut bersama mereka.