Semburat kepanikan sontak terpancar dari balik wajah Rengganis. Tubuhnya gemetar sesaat kembali menutup gorden. Tungkai gadis itu berjalan cepat menuju kamar Joko dan Wisnu. Betapa sialnya, ketika baru melewati ruang tamu, mendadak lampu padam meluluh-lantahkan akses penglihatan Rengganis. "Ya Tuhan!" batinnya berjerit. Ia tak mampu melihat apa pun di sekitarnya. Rengganis mencengkram kantung belanjaannya kuat-kuat. Bulu kuduknya meremang ketika merasakan suasana di sekelilingnya berubah mencekam. Napas Rengganis tercekat, netranya berkeliaran menatap kanan-kiri penuh waspada. "Bu? Joko? Wisnu?" soraknya memberanikan diri. Namun setelah teriakan itu dilontarkan, nyatanya tak ada salah satu dari mereka yang menyahut. Rengganis makin dibuat mati kutu di tempat. Dengan ragu ia melangkah, mengira-ngira di mana letak kamar penghuni kamar lainnya. Sementara leher Rengganis diserang udara dingin mendadak, membuatnya makin tak bisa berkata-kata. "Joko? Wisnu? Bisa denger suaraku ndak?
"Rengganis? Rengganis kamu kenapa, Nduk?" Dengan wajah panik, Bu Tejo membawa tubuh gadis itu ke dalam dekapannya. Rengganis menangis sejadi-jadinya. Tangisnya menggema ke dalam seisi ruangan. Sementara Joko, Wisnu serta Mbak Trisna hanya membisu dengan wajah penuh tanda tanya besar. "Kamu kenapa, Nduk? Kami semua kaget dari luar dengar kamu berteriak," tanya Bu Tejo mengernyit heran sesaat tangis Rengganis mulai mereda. Bukannya menjawab, ia malah menoleh kanan-kiri seolah sedang mencari sesuatu. "Bu? Tadi ada orang lain di dalam kos, Bu! Aku liat dengan mata kepalaku sendiri," bebernya menyeka sisa buliran air matanya kasar. "Serius, Nduk?" sahut Bu Tejo dengan mata melebar. Wajah wanita itu berubah tegang, begitupun dengan ketiga penghuni lainnya yang saling menatap dengan raut kaget. "Orangnya ke mana, Nis? Kamu sempat liat dia kabur ke mana?" tanya Joko kemudian. Rengganis menggeleng kuat. Bahkan tangannya masih gemetar bersama ponsel di genggamannya. "Ndak, pas lampu ny
"Sudah seminggu ini Rengganis jarang keluar kamar. Keluar pun kalau pergi kuliah dan belanja jajan. Bicara sama saya pun sekarang bisa dihitung jari," terang Bu Tejo memasang wajah resah kepada ketiga penghuni kosnya. "Memang gitu sekarang anaknya, Bu. Saya negur aja biasa cuman di senyumin balik. Abis itu udah," sahut Mbak Trisna. Joko menarik napas berat. Matanya melirik kilas ke arah pintu kamar Rengganis. Ia bahkan dari kemarin sama sekali belum berpapasan dengan gadis itu. Selain karena dia sering lembur kerja akhir-akhir ini, Rengganis juga terkesan menjauhi orang-orang di sekitarnya. "Sejak sosok yang dia lihat pas malam itu, tingkahnya jadi berubah. Itu yang saya perhatiin." Wisnu menimpali. Embusan napas gusar keluar dari mulut Bu Tejo. Sedari tadi wanita itu terus melirik kamar Rengganis. Berharap sekali ia akan keluar dan menceritakan semua masalahnya. "Bersyukur sekali seminggu ini kita ndak dapetin teror itu lagi. Saya suka takut terjadi apa-apa sama kalian semua,"
Bu Tejo dan yang lain sontak terperanjat ketika dikejutkan oleh sebuah suara. Mereka kompak menoleh ke arah sumber suara itu berasal dan mendapati keberadaan Rengganis yang baru keluar dari kamar. Sementara Mbak Trisna sudah memegangi dada merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. "Ya Tuhan, Nduk. Kamu ini ngagetin aja," decak Bu Tejo. Rengganis menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia memandang bingung ke arah penghuni kos beserta Bu Tejo yang sedang duduk melantai. "Maaf, Bu. Ini lagi bicarain apa? Kok kayak seru gitu?" sahut Rengganis sedikit cengengesan. "Seru apanya? Ini kita lagi bicarain soal ter—" Joko langsung membekap mulut Wisnu. Ia lalu tersenyum paksa ke arah Rengganis. "Ndak ada, Nis. Biasa, ngobrol ringan gitu," balasnya. Sementara Rengganis hanya mangut-mangut mengerti. Gadis itu kemudian menutup kembali pintu kamarnya dan berpamitan ke yang lain. "Bu, Mbak, Joko, Wisnu, aku mau ke depan bentar ya," izinnya. "Mau ngapain ke depan, Nduk? Beli jajan lagi?
"Ya ampun, aku udah telat banget ini," keluh Rengganis keluar dari kamar dengan terburu-buru. Sesampainya di depan teras, Rengganis segera mengikat tali sepatunya. Tanpa sadar Bu Tejo melihat semua gerak-gerik gadis itu. "Nduk, ada kelas pagi ya?" tanya Bu Tejo kini menghampiri Rengganis. Ia yang baru selesai mengenakan sepatu lantas menatap ke arah Bu Tejo. Rengganis mengangguk dan membenarkan ranselnya. "Iya, Bu. Rengganis kesiangan, mana ada kelas tiga puluh menit lagi," jawabnya dengan wajah panik. "Temenmu yang biasa jemput mana? Biasa udah siap di seberang kos," tanya Bu Tejo. "Kelasnya pagi banget, Bu. Jadi Rengganis ndak sama dia. Rencananya aku mau pesen ojol aja nanti keluar gang," terangnya. Bu Tejo mengangguk paham. Wanita itu lalu menepuk pundak Rengganis pelan. "Hati-hati ya, Nduk. Inget terus kata Ibu, di mana pun selalu waspada. Jangan mau gampang percaya sama orang," nasihat Bu Tejo. Rengganis mengulas senyum tipis dan mengangguk pelan sebagai tanggapan. "Iy
"Sama pacar ya?" goda Riko ketika menghampiri Rengganis yang baru keluar kelas. Gadis itu mendengus malas dan mendaratkan diri di sebuah kursi panjang. Riko ikut duduk di sebelah Rengganis yang sedang memasang wajah kesal. "Jujur aja, pacar kamu, 'kan? Sok-sokan ndak masang wajah bete," sambar Riko lagi terkekeh geli. Rengganis menyiku lelaki di sebelahnya dengan dengusan malas. "Apaan sih, Ko. Itu tadi kenalan doang, orang yang pernah nyenggol ponselku sampe di bawa ke tukang service waktu itu. Kebetulan tadi ndak sengaja ketemu di jalan, terus dia nawarin buat nganter aku," jelasnya panjang lebar. Sementara Riko hanya membalas dengan wajah menyebalkan seolah tidak peduli. Sehingga Rengganis ingin rasanta menonjok muka lelaki itu. "Yaudah deh, percaya-percaya aja aku mah," balas Riko pada akhirnya. "Oh iya, semalam aku ada hubungin kamu tapi ndak kamu angkat," cetus Rengganis. "Ketiduran pasti ya?" tebaknya. Rengganis mengamati wajah Riko yang tiba-tiba berubah masam. Keningn
Rengganis menguap lebar, suara jangkrik jauh di sana menemani kesibukannya yang tengah bertaut dengan keyboard laptop. Ia sesekali melirik ke arah jam dinding. Sudah memasuki tengah malam dan tugas kuliahnya masih belum juga usai. "Duh, mataku udah berat banget ini," keluh gadis itu seraya merentangkan kedua tangannya sekadar melepas lelah. Di tengah jeda istirahatnya, sayup-sayup Rengganis mendengar suara ketukan dari arah pintu utama. Sebelah alisnya tertaut, mengeryit heran dengan benak tanda tanya. "Bu? Ibu masih bangun? Kayaknya ada tamu deh," teriak Rengganis sedikit mengeraskan suaranya. Namun sorakannya tak mendapati balasan. Rengganis lantas bangkit dan beranjak keluar kamar. "Udah pada tidur kali ya?" gumamnya melirik kedua kamar di depannya yang sudah tertutup rapat. Rengganis menghela napas gusar. Dan untuk kedua kalinya ia kembali mendengar suara ketukan itu. Sangat jelas dan terkesan mendesak untuk minta dibukakan pintu. "Siapa sih yang tamu tengah malam gini?" b
Rengganis tidak pernah membayangkan akan tidur senyanyak semalam. Jika biasanya ketika ia bangun pagi kepalanya akan pening dan sakit, maka tidak dengan pagi yang cerah itu. Rengganis mengulas senyum tipis menatap matahari yang menembus celah jendela. Hari libur yang sungguh menenangkan. Ia lantas bangkit dan membereskan kamar. "Syukurlah, semoga seterusnya ndak ada kejadian aneh lagi. Tuhan, lindungilah kami," batin Rengganis berbisik. Setelah beberes, ia beranjak membersihkan diri di kamar mandi. Namun seperti biasa, satu hal yang Rengganis tak dapat mengerti hingga detik ini. "Lagi-lagi aroma ini, kok ndak pernah hilang ya? Perasaan aku ndak ada pake bebauan kayak gini. Mana aromanya laki banget lagi," keluhnya. Tak mempedulikan hal itu, Rengganis melanjutkan kegiatannya hingga aksi kemas-kemasnya beres. Ketika keluar kamar, hal pertama yang Rengganis dapatkan adalah Bu Tejo beserta seluruh penghuni indekos yang sedang berkumpul di ruang tengah. Entah apa yang sedang mereka