Rengganis tidak pernah membayangkan akan tidur senyanyak semalam. Jika biasanya ketika ia bangun pagi kepalanya akan pening dan sakit, maka tidak dengan pagi yang cerah itu. Rengganis mengulas senyum tipis menatap matahari yang menembus celah jendela. Hari libur yang sungguh menenangkan. Ia lantas bangkit dan membereskan kamar. "Syukurlah, semoga seterusnya ndak ada kejadian aneh lagi. Tuhan, lindungilah kami," batin Rengganis berbisik. Setelah beberes, ia beranjak membersihkan diri di kamar mandi. Namun seperti biasa, satu hal yang Rengganis tak dapat mengerti hingga detik ini. "Lagi-lagi aroma ini, kok ndak pernah hilang ya? Perasaan aku ndak ada pake bebauan kayak gini. Mana aromanya laki banget lagi," keluhnya. Tak mempedulikan hal itu, Rengganis melanjutkan kegiatannya hingga aksi kemas-kemasnya beres. Ketika keluar kamar, hal pertama yang Rengganis dapatkan adalah Bu Tejo beserta seluruh penghuni indekos yang sedang berkumpul di ruang tengah. Entah apa yang sedang mereka
Rengganis bungkam dengan segala pertanyaan yang terjebak di dalam pikirannya. Sementara Wisnu sudah meraih sebuah kertas dengan dengan pena. Ia menuliskan sebuah kalimat di atas benda itu. Beberapa aaat kemudian, dia mengangkat selembaran kertas di tangannya lalu memperlihatkan ke arah Rengganis. "Jika memang dia pelaku peneror itu, dan dia pula yang sengaja meretas ponselmu, maka artinya pembicaraan kita sekarang sedang didengar olehnya," tulis Wisnu. Mata Rengganis melotot lebar, ia semakin gemetar ketakutan di tempatnya. Joko lalu mengambil alih kertas tersebut, dia juga ikut menuliskan sesuatu di sana. "Matikan perangkatnya sekarang, dengan begitu sistem peretas yang sedang bekerja di dalamnya juga akan berhenti, meskipun resiko peretasannya cenderung kecil," tulis Joko. Rengganis mengangguk mengerti. Tangannya yang masih bergetar hebat lantas merogoh benda itu dari dalam saku celananya, dan selanjutnya benar-benar mematikan sistem perangkatnya. "Saranku, jangan gunaian pon
Situasi di dalam indekos Bu Tejo tampak marak. Banyak pihak kepolisian datang mengerubungi tempat perkara kejadian. Terlihat jelas kamar Rengganis dibatasi oleh garis kuning polisi, yang artinya tidak siapa pun orang diperkenankan masuk ke lokasi perkara. Sementara Rengganis dan penghuni kos yang lain sudah diamankan pihak berwajib. Sebentar lagi semua dari mereka akan mendapatkan sesi interogasi. "Nduk, kamu udah baikan?" tanya Bu Tejo mengusap punggung gadis itu pelan. Yang ditanya hanya mengangguk lemah. Jujur saja, tenaga Rengganis terkuras hanya karena menangis. Ia masih belum menyangka Banu akan ditemukan dalam kondisi gantung diri di dalam kamarnya. Ekor matanya mendapati Joko dan Wisnu yang baru datang dari arah pintu. Bu Tejo menghubungi mereka berdua untuk segera pulang. Dan untuk peristiwa yang terjadi di dalam kos, mereka sudah diberitahu lebih dulu. "Bu, gimana kondisi kalian semua?" tanya Joko tergesa menampilkan raut khawatir. "Nis, kamu ndak kenapa-napa, 'kan?"
Genap satu hari semenjak penemuan jasad Banu di dalam kamar kos Rengganis. Pihak investigasi pun bergerak cepat menguak kasus yang masih menjadi misteri tersebut. Begitu pun dengan penghuni kos yang terpaksa harus pindah menetap di rumah anak Bu Tejo yang letaknya tidak jauh dari pemilik indekos tersebut. Dan sampai detik ini, pihak investigasi pun masih mendalami kasus beserta para saksi yang melihat jasad korban. "Jadi gimana, Pak? Apakah sudah ada sedikit titik terang dari kasus korban?" tanya Bu Tejo ketika seorang polisi yang menginterogasi mereka kemarin kembali datang melakukan tugasnya. Bima, nama polisi tersebut menggeleng pelan sebagai tanggapan. "Untuk sekarang masih belum ada cukup bukti untuk menguatkan penyebab bunuh diri korban. Namun, kami lagi mendalami posisi gantung diri korban apakah betul mengindikasikan bunuh diri atau bukan," cetusnya. "Tapi, mohon maaf saya menyela, Pak. Apakah ada bukti di tempat kejadian perkara?" sahut Joko menengahi. Bima mengangguk
Di sinilah Rengganis dan Joko, mereka dibawa ke puskemas di ujung jang sesuai dengan arahan Rengganis kepada Pak Polisi tadi. Sebelum diizinkan memakai ruangan pemantau CCTV, Bima sudah lebih dulu bernegosiasi dengan pihak puskesmas. Dan jawaban mereka memperbolehkan. Selain demi barang bukti juga mempermudah penyelidikan kepolisian menguak teka-teki kejadian. Rengganis melihat ruangan sekitarnya. Dipenuhi oleh beberapa komputer memperlihatkan kamera CCTV yang tepasang di beberapa tempat dalam puskesmas. "Saya akan ngecek CCTV bagian sisi kanan sebelah depan puskesmas," cetus Bima kepada rekannya. Sesaat Rengganis mengamati Bima yang sudah duduk mengotak-atik komputer di depannya. Rengganis maupun Joko hanya diam dan menunggu arahan selanjutnya. "Coba mundurin waktunya jadi kemarin, diperkirakan korban memasuki area gang sekitar pukul dua siang," titah seorang polisi kepada Bima. Bima dengan cekatan menyetel ulang tanggal beserta waktu pada pemantau CCTV tersebut. Sesaat rekaman
Keesokan harinya, tepat di saat Rengganis usai dengan mata kuliahnya, gadis itu mendapati kabar dari pihak kepolisian untuk datang di tempat kejadian perkara. Ia sampai di kos Bu Tejo dengan ojek online yang dipesannya. Setibanya Rengganis, ia juga mendapati keberadaan Joko dan Wisnu. "Baik, maksud kami menghubungi kalian karena ingin memintai keterangan lebih lanjut sekaligus memberitahu hasil investigasi dari pihak penyidik di TKP," cetus Bima. Rengganis mengangguk mengerti. Dia sempat melirik Joko dan Wisnu sejenak yang sedang melemparkan senyuman tipis ke arahnya. Detik berikutnya, seorang polisi lainnya datang membawa beberapa berkas di tangannya. "Baik, betul ini saksi yang dihubungi untuk dimintai keterangan?" tanya polisi itu memastikan. "Betul, saya orangnya, Pak," jawab Rengganis. "Perkenalkan nama saya Gerald, salah satu orang yang terlibat dalam proses penyidikan," imbuh polisi itu lagi. "Berhubung kalian ikut andil bekerja sama bersama pihak kepolisian, rasanya pe
Rengganis terdiam dengan dahi mengernyit. Banu suatu waktu pernah menyinggung sedikit tentang rumahnya. Tepatnya ketika pertemuan di gang malam itu. Ia berkata bahwa tempat tinggalnya tidak jauh dari sekitaran gang. Tetapi Rengganis tidak yakin di mana letaknya. "Waktu itu dia pernah bilang kalau tinggal di sekitaran jalan raya depan dan tidak jauh dari gang ini, Pak," cetus Rengganis. "Letaknya? Tidak tahu pastinya di mana?" tanya Gerald. "Sama sekali tidak tahu, Pak. Dia cuman ngomong tinggal di dekat gang ini aja," imbuhnya. Sejenak suasana kembali hening ketika kedua polisi itu sibuk berbisik satu sama lain. Sementara Rengganis dan lelaki di sebelahnya hanya bisa menatap gamang. Lalu menit setelahnya, atensi Rengganis teralih ketika salah seorang polisi lainnya datang dan mengabarkan sesuatu. "Rumahnya udah ketemu, Pak!" serunya kepada Gerald dan Bima. Langsung saja para polisi itu lekas beranjak dari tempatnya. Bima memberi isyarat agar ketiganya juga ikut bersama mereka.
"Rengganis, satu kamar ini full dengan foto wajahmu," tutur Joko yang ikut terkejut menatap mahakarya itu di samping Rengganis. Rengganis bungkam, mulutnya keluh dan suaranya hanya tertahan di kerongkongan. Tiba-tiba jantungnya berpacu cepat bersamaan dengan dadanya yang ikut sesak. "Kenapa bisa ... foto-fotoku semua terpampang di seluruh dinding kamar ini?" herannya masih tak mengerti. Rasanya Rengganis ingin menangis sejadi-jadinya. Ia takut dan cemas di saat yang bersamaan. Sementara foto-foto tersebut di jepret ketika Rengganis sedang melakukan sesuatu akhir-akhir ini. Yang berarti si pelaku sering mengikutinya diam-diam dan mengambil gambar dengan sembunyi-sembunyi. Joko beranjak mengamati satu foto yang sukses mencuri perhatiannya. Berlatar tidak asing dengan Rengganis yang sedang duduk di meja belajar. Gambar tersebut diambil dari sisi belakang gadis itu, sehingga hanya memperlihatkan punggung Rengganis saja. "Nis, coba perhatiin foto ini. Bukannya ini di kamarmu?" tanya