Genap satu hari semenjak penemuan jasad Banu di dalam kamar kos Rengganis. Pihak investigasi pun bergerak cepat menguak kasus yang masih menjadi misteri tersebut. Begitu pun dengan penghuni kos yang terpaksa harus pindah menetap di rumah anak Bu Tejo yang letaknya tidak jauh dari pemilik indekos tersebut. Dan sampai detik ini, pihak investigasi pun masih mendalami kasus beserta para saksi yang melihat jasad korban. "Jadi gimana, Pak? Apakah sudah ada sedikit titik terang dari kasus korban?" tanya Bu Tejo ketika seorang polisi yang menginterogasi mereka kemarin kembali datang melakukan tugasnya. Bima, nama polisi tersebut menggeleng pelan sebagai tanggapan. "Untuk sekarang masih belum ada cukup bukti untuk menguatkan penyebab bunuh diri korban. Namun, kami lagi mendalami posisi gantung diri korban apakah betul mengindikasikan bunuh diri atau bukan," cetusnya. "Tapi, mohon maaf saya menyela, Pak. Apakah ada bukti di tempat kejadian perkara?" sahut Joko menengahi. Bima mengangguk
Di sinilah Rengganis dan Joko, mereka dibawa ke puskemas di ujung jang sesuai dengan arahan Rengganis kepada Pak Polisi tadi. Sebelum diizinkan memakai ruangan pemantau CCTV, Bima sudah lebih dulu bernegosiasi dengan pihak puskesmas. Dan jawaban mereka memperbolehkan. Selain demi barang bukti juga mempermudah penyelidikan kepolisian menguak teka-teki kejadian. Rengganis melihat ruangan sekitarnya. Dipenuhi oleh beberapa komputer memperlihatkan kamera CCTV yang tepasang di beberapa tempat dalam puskesmas. "Saya akan ngecek CCTV bagian sisi kanan sebelah depan puskesmas," cetus Bima kepada rekannya. Sesaat Rengganis mengamati Bima yang sudah duduk mengotak-atik komputer di depannya. Rengganis maupun Joko hanya diam dan menunggu arahan selanjutnya. "Coba mundurin waktunya jadi kemarin, diperkirakan korban memasuki area gang sekitar pukul dua siang," titah seorang polisi kepada Bima. Bima dengan cekatan menyetel ulang tanggal beserta waktu pada pemantau CCTV tersebut. Sesaat rekaman
Keesokan harinya, tepat di saat Rengganis usai dengan mata kuliahnya, gadis itu mendapati kabar dari pihak kepolisian untuk datang di tempat kejadian perkara. Ia sampai di kos Bu Tejo dengan ojek online yang dipesannya. Setibanya Rengganis, ia juga mendapati keberadaan Joko dan Wisnu. "Baik, maksud kami menghubungi kalian karena ingin memintai keterangan lebih lanjut sekaligus memberitahu hasil investigasi dari pihak penyidik di TKP," cetus Bima. Rengganis mengangguk mengerti. Dia sempat melirik Joko dan Wisnu sejenak yang sedang melemparkan senyuman tipis ke arahnya. Detik berikutnya, seorang polisi lainnya datang membawa beberapa berkas di tangannya. "Baik, betul ini saksi yang dihubungi untuk dimintai keterangan?" tanya polisi itu memastikan. "Betul, saya orangnya, Pak," jawab Rengganis. "Perkenalkan nama saya Gerald, salah satu orang yang terlibat dalam proses penyidikan," imbuh polisi itu lagi. "Berhubung kalian ikut andil bekerja sama bersama pihak kepolisian, rasanya pe
Rengganis terdiam dengan dahi mengernyit. Banu suatu waktu pernah menyinggung sedikit tentang rumahnya. Tepatnya ketika pertemuan di gang malam itu. Ia berkata bahwa tempat tinggalnya tidak jauh dari sekitaran gang. Tetapi Rengganis tidak yakin di mana letaknya. "Waktu itu dia pernah bilang kalau tinggal di sekitaran jalan raya depan dan tidak jauh dari gang ini, Pak," cetus Rengganis. "Letaknya? Tidak tahu pastinya di mana?" tanya Gerald. "Sama sekali tidak tahu, Pak. Dia cuman ngomong tinggal di dekat gang ini aja," imbuhnya. Sejenak suasana kembali hening ketika kedua polisi itu sibuk berbisik satu sama lain. Sementara Rengganis dan lelaki di sebelahnya hanya bisa menatap gamang. Lalu menit setelahnya, atensi Rengganis teralih ketika salah seorang polisi lainnya datang dan mengabarkan sesuatu. "Rumahnya udah ketemu, Pak!" serunya kepada Gerald dan Bima. Langsung saja para polisi itu lekas beranjak dari tempatnya. Bima memberi isyarat agar ketiganya juga ikut bersama mereka.
"Rengganis, satu kamar ini full dengan foto wajahmu," tutur Joko yang ikut terkejut menatap mahakarya itu di samping Rengganis. Rengganis bungkam, mulutnya keluh dan suaranya hanya tertahan di kerongkongan. Tiba-tiba jantungnya berpacu cepat bersamaan dengan dadanya yang ikut sesak. "Kenapa bisa ... foto-fotoku semua terpampang di seluruh dinding kamar ini?" herannya masih tak mengerti. Rasanya Rengganis ingin menangis sejadi-jadinya. Ia takut dan cemas di saat yang bersamaan. Sementara foto-foto tersebut di jepret ketika Rengganis sedang melakukan sesuatu akhir-akhir ini. Yang berarti si pelaku sering mengikutinya diam-diam dan mengambil gambar dengan sembunyi-sembunyi. Joko beranjak mengamati satu foto yang sukses mencuri perhatiannya. Berlatar tidak asing dengan Rengganis yang sedang duduk di meja belajar. Gambar tersebut diambil dari sisi belakang gadis itu, sehingga hanya memperlihatkan punggung Rengganis saja. "Nis, coba perhatiin foto ini. Bukannya ini di kamarmu?" tanya
Rengganis sampai di kampus dengan helaan napas berat. Semalam tidurnya tidak banyak karena harus membantu investigasi pihak kepolisian. Berakhir gadis itu datang kuliah sembari menguap napas kurang tidur. Ia menoleh saat menyadari seseorang datang dan menepuk pundaknya pelan. Rengganis terparanjat kaget dan refleks berbalik melihat gerangan. "Kok lesu gitu sih?" tegur Rico menyapa. Rengganis spontan meninju perut Riko pelan seraya mendengus pelan. "Ngagetin ih, aku ini kurang tidur makanya modelnya kayak gini," curhatnya. "Kenapa ndak izin aja dulu? Hati-hati loh kalau kurang istirahat, bisa sakit ntar lama-lama," respons Riko. Rengganis berdecak. "Ndak parah kok. Ya meskipun tidur cuman dua jam doang, yang penting tidur sih," celetuknya. Riko hanya menggeleng pelan melihat gadis itu. Ia kemudian mengarahkan Rengganis untuk duduk sebentar di salah satu kursi tunggu. "Jadi gimana? Udah ada titik terang belum soal kasus kematian di indekosmu?" tanya Riko memulai topik pembicaraa
Rengganis sampai di rumah anak Bu Tejo sekitar pukul tujuh malam. Setelah mata kuliahnya selesai jam lima sore, ia langsung ke rumah temannya untuk kerja kelompok. Gadis itu menghela napas berat ketika berhasil menginjaki kaki di teras sebuah rumah sederhana. Dari tempatnya, ia bisa melihat anak Bu Tejo—Arini sedang berkutat dengan laptop miliknya di ruang tamu. "Assalamualaikum," ucap Rengganis mengulas senyum tipis ketika tatapannya bertemu dengan wanita tersebut. "Waalaikumsalam, Nis. Kok kamu baru balik?" tanya Mbak Arini seraya melepas kacamatanya. Rengganis beranjak duduk di sofa sebelah Mbak Arini. Ia melepas ranselnya dan membalasi pertanyaan Mbak Arini. "Abis kerja kelompok nih." Pandangan gadis itu lalu melirik ke sekitar. "Ini yang lain pada ke mana, Mbak? Ndak biasa sepi kayak gini," herannya mengerutkan dahi. "Oh, kalau Ibu lagi ada kajian di rumah Bu RT, kalau Joko belum balik, Wisnu tadi baru pulang dan mungkin lagi di kamarnya," jawab Mbak Arini. Rengganis nampa
Rengganis melenguh pelan. Tidurnya terganggu tatkala mendengar suara pintu diketuk seseorang dari luar. Ia lalu melirik jam dindingnya sebentar, kemudian menyadari bahwa pagi telah menyapa. "Tunggu, bentar aku bukain," cetusnya segera bangkit dari atas kasur. Rengganis meraih gagang pintu dan mendapati sosok Wisnu dan Joko yang sedang menunggu di luar kamar. Sebelah alis Rengganis tertaut heran menatap kedua lelaki dengan raut wajah tegang di depannya. "Ada apa?" tanya Rengganis heran. Sejanak suasana mendadak hening. Rengganis termangu memandang kedua sosok itu hanya membisu dan saling melempar tatapan. "Ada apa sih?" tanyanya lagi masih tidak mengerti dengan situasi saat itu. "Gagang pintu depan rumah Mbak Arini patah, Nis," beber Joko kemudian. Kening Rengganis semakin berkerut mendapati informasi barusan. "Patah? Kok bisa?" tanyanya balik. "Gagang pintu luar doang yang patah, semalam padahal sebelum aku kunci pintunya masih normal," cetus Wisnu. "Semalam kamu ada tamu n