"Ya ampun, aku udah telat banget ini," keluh Rengganis keluar dari kamar dengan terburu-buru. Sesampainya di depan teras, Rengganis segera mengikat tali sepatunya. Tanpa sadar Bu Tejo melihat semua gerak-gerik gadis itu. "Nduk, ada kelas pagi ya?" tanya Bu Tejo kini menghampiri Rengganis. Ia yang baru selesai mengenakan sepatu lantas menatap ke arah Bu Tejo. Rengganis mengangguk dan membenarkan ranselnya. "Iya, Bu. Rengganis kesiangan, mana ada kelas tiga puluh menit lagi," jawabnya dengan wajah panik. "Temenmu yang biasa jemput mana? Biasa udah siap di seberang kos," tanya Bu Tejo. "Kelasnya pagi banget, Bu. Jadi Rengganis ndak sama dia. Rencananya aku mau pesen ojol aja nanti keluar gang," terangnya. Bu Tejo mengangguk paham. Wanita itu lalu menepuk pundak Rengganis pelan. "Hati-hati ya, Nduk. Inget terus kata Ibu, di mana pun selalu waspada. Jangan mau gampang percaya sama orang," nasihat Bu Tejo. Rengganis mengulas senyum tipis dan mengangguk pelan sebagai tanggapan. "Iy
"Sama pacar ya?" goda Riko ketika menghampiri Rengganis yang baru keluar kelas. Gadis itu mendengus malas dan mendaratkan diri di sebuah kursi panjang. Riko ikut duduk di sebelah Rengganis yang sedang memasang wajah kesal. "Jujur aja, pacar kamu, 'kan? Sok-sokan ndak masang wajah bete," sambar Riko lagi terkekeh geli. Rengganis menyiku lelaki di sebelahnya dengan dengusan malas. "Apaan sih, Ko. Itu tadi kenalan doang, orang yang pernah nyenggol ponselku sampe di bawa ke tukang service waktu itu. Kebetulan tadi ndak sengaja ketemu di jalan, terus dia nawarin buat nganter aku," jelasnya panjang lebar. Sementara Riko hanya membalas dengan wajah menyebalkan seolah tidak peduli. Sehingga Rengganis ingin rasanta menonjok muka lelaki itu. "Yaudah deh, percaya-percaya aja aku mah," balas Riko pada akhirnya. "Oh iya, semalam aku ada hubungin kamu tapi ndak kamu angkat," cetus Rengganis. "Ketiduran pasti ya?" tebaknya. Rengganis mengamati wajah Riko yang tiba-tiba berubah masam. Keningn
Rengganis menguap lebar, suara jangkrik jauh di sana menemani kesibukannya yang tengah bertaut dengan keyboard laptop. Ia sesekali melirik ke arah jam dinding. Sudah memasuki tengah malam dan tugas kuliahnya masih belum juga usai. "Duh, mataku udah berat banget ini," keluh gadis itu seraya merentangkan kedua tangannya sekadar melepas lelah. Di tengah jeda istirahatnya, sayup-sayup Rengganis mendengar suara ketukan dari arah pintu utama. Sebelah alisnya tertaut, mengeryit heran dengan benak tanda tanya. "Bu? Ibu masih bangun? Kayaknya ada tamu deh," teriak Rengganis sedikit mengeraskan suaranya. Namun sorakannya tak mendapati balasan. Rengganis lantas bangkit dan beranjak keluar kamar. "Udah pada tidur kali ya?" gumamnya melirik kedua kamar di depannya yang sudah tertutup rapat. Rengganis menghela napas gusar. Dan untuk kedua kalinya ia kembali mendengar suara ketukan itu. Sangat jelas dan terkesan mendesak untuk minta dibukakan pintu. "Siapa sih yang tamu tengah malam gini?" b
Rengganis tidak pernah membayangkan akan tidur senyanyak semalam. Jika biasanya ketika ia bangun pagi kepalanya akan pening dan sakit, maka tidak dengan pagi yang cerah itu. Rengganis mengulas senyum tipis menatap matahari yang menembus celah jendela. Hari libur yang sungguh menenangkan. Ia lantas bangkit dan membereskan kamar. "Syukurlah, semoga seterusnya ndak ada kejadian aneh lagi. Tuhan, lindungilah kami," batin Rengganis berbisik. Setelah beberes, ia beranjak membersihkan diri di kamar mandi. Namun seperti biasa, satu hal yang Rengganis tak dapat mengerti hingga detik ini. "Lagi-lagi aroma ini, kok ndak pernah hilang ya? Perasaan aku ndak ada pake bebauan kayak gini. Mana aromanya laki banget lagi," keluhnya. Tak mempedulikan hal itu, Rengganis melanjutkan kegiatannya hingga aksi kemas-kemasnya beres. Ketika keluar kamar, hal pertama yang Rengganis dapatkan adalah Bu Tejo beserta seluruh penghuni indekos yang sedang berkumpul di ruang tengah. Entah apa yang sedang mereka
Rengganis bungkam dengan segala pertanyaan yang terjebak di dalam pikirannya. Sementara Wisnu sudah meraih sebuah kertas dengan dengan pena. Ia menuliskan sebuah kalimat di atas benda itu. Beberapa aaat kemudian, dia mengangkat selembaran kertas di tangannya lalu memperlihatkan ke arah Rengganis. "Jika memang dia pelaku peneror itu, dan dia pula yang sengaja meretas ponselmu, maka artinya pembicaraan kita sekarang sedang didengar olehnya," tulis Wisnu. Mata Rengganis melotot lebar, ia semakin gemetar ketakutan di tempatnya. Joko lalu mengambil alih kertas tersebut, dia juga ikut menuliskan sesuatu di sana. "Matikan perangkatnya sekarang, dengan begitu sistem peretas yang sedang bekerja di dalamnya juga akan berhenti, meskipun resiko peretasannya cenderung kecil," tulis Joko. Rengganis mengangguk mengerti. Tangannya yang masih bergetar hebat lantas merogoh benda itu dari dalam saku celananya, dan selanjutnya benar-benar mematikan sistem perangkatnya. "Saranku, jangan gunaian pon
Situasi di dalam indekos Bu Tejo tampak marak. Banyak pihak kepolisian datang mengerubungi tempat perkara kejadian. Terlihat jelas kamar Rengganis dibatasi oleh garis kuning polisi, yang artinya tidak siapa pun orang diperkenankan masuk ke lokasi perkara. Sementara Rengganis dan penghuni kos yang lain sudah diamankan pihak berwajib. Sebentar lagi semua dari mereka akan mendapatkan sesi interogasi. "Nduk, kamu udah baikan?" tanya Bu Tejo mengusap punggung gadis itu pelan. Yang ditanya hanya mengangguk lemah. Jujur saja, tenaga Rengganis terkuras hanya karena menangis. Ia masih belum menyangka Banu akan ditemukan dalam kondisi gantung diri di dalam kamarnya. Ekor matanya mendapati Joko dan Wisnu yang baru datang dari arah pintu. Bu Tejo menghubungi mereka berdua untuk segera pulang. Dan untuk peristiwa yang terjadi di dalam kos, mereka sudah diberitahu lebih dulu. "Bu, gimana kondisi kalian semua?" tanya Joko tergesa menampilkan raut khawatir. "Nis, kamu ndak kenapa-napa, 'kan?"
Genap satu hari semenjak penemuan jasad Banu di dalam kamar kos Rengganis. Pihak investigasi pun bergerak cepat menguak kasus yang masih menjadi misteri tersebut. Begitu pun dengan penghuni kos yang terpaksa harus pindah menetap di rumah anak Bu Tejo yang letaknya tidak jauh dari pemilik indekos tersebut. Dan sampai detik ini, pihak investigasi pun masih mendalami kasus beserta para saksi yang melihat jasad korban. "Jadi gimana, Pak? Apakah sudah ada sedikit titik terang dari kasus korban?" tanya Bu Tejo ketika seorang polisi yang menginterogasi mereka kemarin kembali datang melakukan tugasnya. Bima, nama polisi tersebut menggeleng pelan sebagai tanggapan. "Untuk sekarang masih belum ada cukup bukti untuk menguatkan penyebab bunuh diri korban. Namun, kami lagi mendalami posisi gantung diri korban apakah betul mengindikasikan bunuh diri atau bukan," cetusnya. "Tapi, mohon maaf saya menyela, Pak. Apakah ada bukti di tempat kejadian perkara?" sahut Joko menengahi. Bima mengangguk
Di sinilah Rengganis dan Joko, mereka dibawa ke puskemas di ujung jang sesuai dengan arahan Rengganis kepada Pak Polisi tadi. Sebelum diizinkan memakai ruangan pemantau CCTV, Bima sudah lebih dulu bernegosiasi dengan pihak puskesmas. Dan jawaban mereka memperbolehkan. Selain demi barang bukti juga mempermudah penyelidikan kepolisian menguak teka-teki kejadian. Rengganis melihat ruangan sekitarnya. Dipenuhi oleh beberapa komputer memperlihatkan kamera CCTV yang tepasang di beberapa tempat dalam puskesmas. "Saya akan ngecek CCTV bagian sisi kanan sebelah depan puskesmas," cetus Bima kepada rekannya. Sesaat Rengganis mengamati Bima yang sudah duduk mengotak-atik komputer di depannya. Rengganis maupun Joko hanya diam dan menunggu arahan selanjutnya. "Coba mundurin waktunya jadi kemarin, diperkirakan korban memasuki area gang sekitar pukul dua siang," titah seorang polisi kepada Bima. Bima dengan cekatan menyetel ulang tanggal beserta waktu pada pemantau CCTV tersebut. Sesaat rekaman