Bu Tejo, Joko dan Wisnu terlihat menatap benda penemuan di kamar mandi Rengganis dengan tatapan syok dan bertanya-tanya. Sementara Rengganis yang tidak kuasa menahan rasa kepeningan di kepalanya memilih mengembuskan napas berat. Meski pagi hari menyapa, nyatanya pikiran mereka masih tak juga menemukan titik terang dari mana dan kenapa bisa benda itu berada di kamar Rengganis. "Ibu udah cek, dalaman yang kemarin Wisnu ketemu di kamar, emang ndak ada lagi," beber Bu Tejo. Wisnu kemudian berdecak. Ia memijat pangkal hidungnya. "Udah pasti dalamannya pindah ke sini. Tapi pertanyaannya gimana bisa? Tidak ada yang pindahin tapi mendadak pindah begitu aja." Wisnu menghela napas gusar. Nyatanya, bukan hanya dia sendiri saja yang merasakan kejanggalan tersebut. Melainkan seluruh penghuni indekos pun sama. Tidak ada yang bisa menjelaskan dengan akal sehat dalaman itu berpindah ke lain tempat secara tiba-tiba. "Lihat deh merek sama warnanya, sama persis yang Wisnu temuin di kamar Ibu kemar
"Le-lepasin aku!" Rengganis meronta berusaha melepaskan diri dari kungkungan seseorang yang menyergapnya. Sekeras apa pun ia berjerit, mulutnya tak mampu berbuat banyak akibat tangan orang tersebut. Ia memejam mata kuat, dapat Rengganis rasakan embusan napas mengenai pipinya. Napasnya makin tercekat saar mengetahui si pelaku sengaja mendekatkan wajah. "Ssst diam, jangan berisik," bisik orang itu yang dapat Rengganis pastikan adalah suara seorang lelaki. Rengganis tak berkutik, tubuhnya bergetar hebat menahan rasa takut. Sementara si pelaku masih belum juga menjauh dari tubuhnya. "Lihatlah, salah seorang dari rombongan itu mengikutimu dari belakang," bisiknya lagi. Netra Rengganis sesaat membelalak melihat jelas pria tinggi melintas di depannya. Beruntung situasi di tempatnya gelap gulita, tubuh Rengganis ditutupi oleh kegelapan sehingga orang tadi tak dapat menemukannya. "Jika aku tidak menarikmu, entah apa yang akan orang itu perbuat ke kamu." Tubuh Rengganis menegang. Sejenak
Semburat kepanikan sontak terpancar dari balik wajah Rengganis. Tubuhnya gemetar sesaat kembali menutup gorden. Tungkai gadis itu berjalan cepat menuju kamar Joko dan Wisnu. Betapa sialnya, ketika baru melewati ruang tamu, mendadak lampu padam meluluh-lantahkan akses penglihatan Rengganis. "Ya Tuhan!" batinnya berjerit. Ia tak mampu melihat apa pun di sekitarnya. Rengganis mencengkram kantung belanjaannya kuat-kuat. Bulu kuduknya meremang ketika merasakan suasana di sekelilingnya berubah mencekam. Napas Rengganis tercekat, netranya berkeliaran menatap kanan-kiri penuh waspada. "Bu? Joko? Wisnu?" soraknya memberanikan diri. Namun setelah teriakan itu dilontarkan, nyatanya tak ada salah satu dari mereka yang menyahut. Rengganis makin dibuat mati kutu di tempat. Dengan ragu ia melangkah, mengira-ngira di mana letak kamar penghuni kamar lainnya. Sementara leher Rengganis diserang udara dingin mendadak, membuatnya makin tak bisa berkata-kata. "Joko? Wisnu? Bisa denger suaraku ndak?
"Rengganis? Rengganis kamu kenapa, Nduk?" Dengan wajah panik, Bu Tejo membawa tubuh gadis itu ke dalam dekapannya. Rengganis menangis sejadi-jadinya. Tangisnya menggema ke dalam seisi ruangan. Sementara Joko, Wisnu serta Mbak Trisna hanya membisu dengan wajah penuh tanda tanya besar. "Kamu kenapa, Nduk? Kami semua kaget dari luar dengar kamu berteriak," tanya Bu Tejo mengernyit heran sesaat tangis Rengganis mulai mereda. Bukannya menjawab, ia malah menoleh kanan-kiri seolah sedang mencari sesuatu. "Bu? Tadi ada orang lain di dalam kos, Bu! Aku liat dengan mata kepalaku sendiri," bebernya menyeka sisa buliran air matanya kasar. "Serius, Nduk?" sahut Bu Tejo dengan mata melebar. Wajah wanita itu berubah tegang, begitupun dengan ketiga penghuni lainnya yang saling menatap dengan raut kaget. "Orangnya ke mana, Nis? Kamu sempat liat dia kabur ke mana?" tanya Joko kemudian. Rengganis menggeleng kuat. Bahkan tangannya masih gemetar bersama ponsel di genggamannya. "Ndak, pas lampu ny
"Sudah seminggu ini Rengganis jarang keluar kamar. Keluar pun kalau pergi kuliah dan belanja jajan. Bicara sama saya pun sekarang bisa dihitung jari," terang Bu Tejo memasang wajah resah kepada ketiga penghuni kosnya. "Memang gitu sekarang anaknya, Bu. Saya negur aja biasa cuman di senyumin balik. Abis itu udah," sahut Mbak Trisna. Joko menarik napas berat. Matanya melirik kilas ke arah pintu kamar Rengganis. Ia bahkan dari kemarin sama sekali belum berpapasan dengan gadis itu. Selain karena dia sering lembur kerja akhir-akhir ini, Rengganis juga terkesan menjauhi orang-orang di sekitarnya. "Sejak sosok yang dia lihat pas malam itu, tingkahnya jadi berubah. Itu yang saya perhatiin." Wisnu menimpali. Embusan napas gusar keluar dari mulut Bu Tejo. Sedari tadi wanita itu terus melirik kamar Rengganis. Berharap sekali ia akan keluar dan menceritakan semua masalahnya. "Bersyukur sekali seminggu ini kita ndak dapetin teror itu lagi. Saya suka takut terjadi apa-apa sama kalian semua,"
Bu Tejo dan yang lain sontak terperanjat ketika dikejutkan oleh sebuah suara. Mereka kompak menoleh ke arah sumber suara itu berasal dan mendapati keberadaan Rengganis yang baru keluar dari kamar. Sementara Mbak Trisna sudah memegangi dada merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. "Ya Tuhan, Nduk. Kamu ini ngagetin aja," decak Bu Tejo. Rengganis menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia memandang bingung ke arah penghuni kos beserta Bu Tejo yang sedang duduk melantai. "Maaf, Bu. Ini lagi bicarain apa? Kok kayak seru gitu?" sahut Rengganis sedikit cengengesan. "Seru apanya? Ini kita lagi bicarain soal ter—" Joko langsung membekap mulut Wisnu. Ia lalu tersenyum paksa ke arah Rengganis. "Ndak ada, Nis. Biasa, ngobrol ringan gitu," balasnya. Sementara Rengganis hanya mangut-mangut mengerti. Gadis itu kemudian menutup kembali pintu kamarnya dan berpamitan ke yang lain. "Bu, Mbak, Joko, Wisnu, aku mau ke depan bentar ya," izinnya. "Mau ngapain ke depan, Nduk? Beli jajan lagi?
"Ya ampun, aku udah telat banget ini," keluh Rengganis keluar dari kamar dengan terburu-buru. Sesampainya di depan teras, Rengganis segera mengikat tali sepatunya. Tanpa sadar Bu Tejo melihat semua gerak-gerik gadis itu. "Nduk, ada kelas pagi ya?" tanya Bu Tejo kini menghampiri Rengganis. Ia yang baru selesai mengenakan sepatu lantas menatap ke arah Bu Tejo. Rengganis mengangguk dan membenarkan ranselnya. "Iya, Bu. Rengganis kesiangan, mana ada kelas tiga puluh menit lagi," jawabnya dengan wajah panik. "Temenmu yang biasa jemput mana? Biasa udah siap di seberang kos," tanya Bu Tejo. "Kelasnya pagi banget, Bu. Jadi Rengganis ndak sama dia. Rencananya aku mau pesen ojol aja nanti keluar gang," terangnya. Bu Tejo mengangguk paham. Wanita itu lalu menepuk pundak Rengganis pelan. "Hati-hati ya, Nduk. Inget terus kata Ibu, di mana pun selalu waspada. Jangan mau gampang percaya sama orang," nasihat Bu Tejo. Rengganis mengulas senyum tipis dan mengangguk pelan sebagai tanggapan. "Iy
"Sama pacar ya?" goda Riko ketika menghampiri Rengganis yang baru keluar kelas. Gadis itu mendengus malas dan mendaratkan diri di sebuah kursi panjang. Riko ikut duduk di sebelah Rengganis yang sedang memasang wajah kesal. "Jujur aja, pacar kamu, 'kan? Sok-sokan ndak masang wajah bete," sambar Riko lagi terkekeh geli. Rengganis menyiku lelaki di sebelahnya dengan dengusan malas. "Apaan sih, Ko. Itu tadi kenalan doang, orang yang pernah nyenggol ponselku sampe di bawa ke tukang service waktu itu. Kebetulan tadi ndak sengaja ketemu di jalan, terus dia nawarin buat nganter aku," jelasnya panjang lebar. Sementara Riko hanya membalas dengan wajah menyebalkan seolah tidak peduli. Sehingga Rengganis ingin rasanta menonjok muka lelaki itu. "Yaudah deh, percaya-percaya aja aku mah," balas Riko pada akhirnya. "Oh iya, semalam aku ada hubungin kamu tapi ndak kamu angkat," cetus Rengganis. "Ketiduran pasti ya?" tebaknya. Rengganis mengamati wajah Riko yang tiba-tiba berubah masam. Keningn