"Gimana bisa ada dalam pria di dalam kamar Mbak Trisna?" tanya Rengganis dengan wajah penuh heran.
Joko maupun Wisnu bungkam. Tak satu pun dari mereka yang bisa menjelaskan keanehan akibat dari penemuan benda tersebut."Kalian nemu sesuatu?"Ketiganya sontak menoleh ke arah Bu Tejo yang baru datang. Netra wanita itu langsung fokus menatap dalaman pria di tangan Wisnu."Ini ... di mana kalian nemuin?" tanyanya kemudian dengan wajah serius."Di tempat pakaian kotor," sahut Wisnu. Dia lalu menunjuk ke arah rak di sebelahnya. "Dalaman ini tepat berada di atas tumpukan baju Mbak Trisna."Kening Rengganis mengernyit ketika melihat Bu Tejo yang bergegas membuka pintu kamar mandi di dalam Kamar Mbak Trisna.Sontak saja penciuman Rengganis dihantam oleh aroma yang familiar. Matanya melebar saat mengingat di mana ia bertemu dengan bau itu pertama kali."Aroma ini ... aroma yang sama di kamar mandiku beberapa hari yang lalu," bebernya."Kamu yakin?" sahut Joko memastikan.Rengganis mengangguk membenarkan. "Seratus persen yakin.""Ini jelas aroma pria, gimana bisa aroma itu bersemayam di dalam kamar mandimu dan Mbak Trisna?" Wisnu menimpali. Ia menggeleng kecil dengan wajah penuh tanda tanya."Kamu ada pake wewangian cowok gitu, ndak?" tanya Bu Tejo melirik Rengganis."Ndak, Bu. Bahkan aku sendiri jarang banget pake parfum gitu. Aku pun sendiri heran gimana bisa aroma cowok tiba-tiba ada di kamar mandiku," terangnya."Coba tanya Mbak Trisna deh, barangkali dia memang pake wewangian cowok. Dan mungkin juga dalaman ini punya pacarnya yang pernah nginap ke sini," ujar Wisnu.Penuturan Wisnu langsung diberi gelengan oleh Bu Tejo."Setahu saya Mbak Trisna itu ndak punya pacar. Kalau pun punya, saya pasti tahu dari CCTV yang selalu saya pantau setiap hari. Dan juga, peraturan di kos saya itu melarang kalian untuk membawa pacar tinggal sekamar," katanya meluruskan.Rengganis mengamati kembali model dalaman itu. Dari mereknya bisa ia tahu bahwa dalaman tersebut memiliki harga yang cukup mahal.Sehingga Mbak Trisna tidak mungkin menggunakan dalaman itu yang mana dari bentuknya saja sudah menunjukkan identitas seorang pria."Dalaman ini ndak bakal muncul dengan sendirinya kalau ndak ada yang punya. Kalau dari sudut pandang saya sendiri ... bisa jadi ada orang lain yang memang memakai kamar mandi Mbak Trisna dan juga kamar mandi kamu, Rengganis." Joko menyahuti setelah lama merenung."Maksud kamu ... aku dan Mbak Trisna ndak tinggal di kamar sendirian?" tanya Rengganis memastikan dugaannya.Joko mengangguk membetulkan."Kemungkinan, orang yang menempati kamar kalian adalah orang yang sama," tebaknya.Rengganis mematung di tempat. Dia menggigiti bibir bagian dalamnya sesaat sugesti negatif kembali berkeliaran di dalam pikirannya."Dilihat dari aroma yang kamu klaim barusan sama dengan aroma yang pernah kamu ketemu di kamar mandi kamu, aku juga memiliki pemikiran yang sama dengan Joko," sahut Wisnu.Fokus Rengganis sesaat teralih ketika Bu Tejo terus menatap ke arah plafon."Bu ... ada apa?" tanyanya menghalau rasa penasaran."Saya jadi mikir ... apa mungkin semua kejadian aneh yang akhir-akhir ini sering terjadi di dalam kos adalah ulah dari teror seseorang?" duga Bu Tejo kini menatap ketiga penghuni indekosnya dengan tampang serius.Rengganis maupun Joko dan Wisnu tak berkutik. Mereka kalut dengan pemikiran mereka masing-masing.Apa pun itu, sampai saat ini semuanya masih sangat abu-abu.***Rengganis menatap cemas ke arah plafon kamarnya. Posisinya sekarang sedang tidur telentang. Tak akan ia biarkan matanya terpejam sebelum rencana yang telah diusung siang tadi benar-benar terjawab.Bu Tejo beserta penghuni kos lainnya memutuskan mengulik kembali teror yang sering mereka dapati setiap tengah malam.Dan salah satu rencana Rengganis adalah tidak tidur sebelum si peneror itu kembali melakukan aksinya."Sumpah, jantungku udah ndak aman," cicit Rengganis gelisah.Ia mengubah posisinya menjadi duduk. Dipandanginya terus gagang pintu kamarnya. Meski ketakukan lebih menguasai, namun rasa penasaran Rengganis tidak mau kalah.Tiba-tiba tubuh Rengganis meremang tanpa sebab. Padahal dia tidak sedang menyalakan AC. Tetapi entah mengapa rasa dingin itu menembus kulit terdalamnya.Tubuhnya semakin membeku ketika menangkap sebuah siluet dari bawah celah pintu. Ia meremas selimutnya kuat saat menyadari bayangan itu berhenti tepat di depan kamarnya."Dia ... datang lagi," gumam Rengganis kini dengan suara gemetar menahan takut.Rengganis meraih ponselnya. Ia menekan tombol perekam suara dari grup penghuni indekos, lalu mulai mengucapkan kalimat dengan nada menggelegut."D-dia ada di depan kamarku."Mata Rengganis melotot ketika gagang pintu kamarnya kembali dipaksa buka. Ponselnya lepas begitu saja dari genggamannya. Ia mati-matian menutup telinganya menghalau suara mengerikan itu."Rengganis buka! Ini kami penghuni kos!"Gadis itu terdiam dengan wajah penuh tegang. Ia beranjak dari kasur dan segera membuka pintu kamarnya.Tungkainya terasa lemas ketika mendapati Bu Tejo dan yang lain sedang berdiri di depan kamarnya dengan wajah khawatir.Rengganis sontak ambruk hingga punggungnya mengenai badan pintu. Napas gadis itu memburu masih merasakan sensasi menakutkan yang baru dia alami."Ndak apa, Nduk. Tenang, kami semua ada di sini," ucap Bu Tejo mendekap tubuh Rengganis yang saat ini bergetar hebat menumpah isak tangis."Setelah kamu ngirim rekaman suara itu, kami langsung ke sini. Dan tidak ada seorang pun di depan kamar kamu," ucap Joko sesaat melihat gadis itu mulai sedikit tenang.Rengganis menggeleng kuat. "Dia datang. Aku melihat jelas bayangannya di bawah pintu aku."Hening. Rengganis masih berusaha menenangkan dirinya. Namun ketika matanya tak sengaja menyorot arah dapur, detik itu juga napasnya kembali tercekat.Satu tangannya mendadak terangkat naik menunjuk tepat ke arah dapur."Bayangannya ... ada bayangan lewat di sana!"Bersambung..."Wajahmu kok kulihat akhir-akhir sering kosong gitu?" Rengganis langsung mengalihkan fokus ketika Riko melayangkan pertanyaan kepadanya. Beberapa saat dia mengerjap pelan, selanjutnya menghembuskan napas berat, lalu menggeleng lemah. "Aku juga ngga ngerti sama diriku sendiri, Rik," jawab Rengganis. Riko mengernyitkan dahi. Lelaki itu menyorot netra Rengganis lurus. "Baru kali ini aku liatin kamu kesiangan." Ia lalu mengarahkan layar ponselnya ke wajah Rengganis. "Bahkan ponsel kamu dihubungin ngga aktif." Rengganis menatap cemas pada benda pipih miliknya di atas meja. Ia baru ingat bahwa akhir-akhir ini benda itu selalu cepat kehabisan baterai. Padahal baru beberapa jam setelah ponselnya dicas. "Kehabisan baterai, Rik. Ini ponselku kayaknya rusak deh. Cepat banget lowbat, mungkin karena ponsel tua," terangnya menerka. "Mau aku perbaikin? Kebetulan aku tau dikit otak-atik gitu," tawar Riko terdengar tulus. "Emang ngga apa nih?" tanyanya merasa tak enak. Riko menggeleng pelan.
"Saya mau ngasih tau ke kalian bertiga, jangan pernah nyoba buat bertanya ke Mbak Trisna mengenai sosok yang dia lihat saat peristiwa keracunan makanan di kamarnya," peringat Bu Tejo menatap penuh serius kepada para penghuni kosnya. Joko berdehem sejenak meredam keheningan yang terjadi. "Kami mengerti, Bu. Melihat kondisi Mbak Trisna yang lemah seperti itu, rasanya sangat tidak pantas buat kami untuk bertanya yang mana akan makin membuat kondisi Mbak Trisna bertambah buruk," jelasnya. Rengganis mengangguk membenarkan ucapan Joko. "Betul, Bu. Untuk saat ini, kami ndak akan melibatkan Mbak Trisna dalam segala keanehan yang terjadi di dalam kos," timpalnya. "Baik, saya percayakan ke kalian bertiga. Kita semua ndak bakal tahu teror apa lagi yang akan kita dapatkan ke depannya. Saya juga udah minta tolong ke tukang service buat coba benerin CCTV yang rusak, ya meskipun waktu pengerjaannya memakan waktu agak lama," terang Bu Tejo menghela napas berat. Dari wajah wanita itu, terbaca je
Bu Tejo, Joko dan Wisnu terlihat menatap benda penemuan di kamar mandi Rengganis dengan tatapan syok dan bertanya-tanya. Sementara Rengganis yang tidak kuasa menahan rasa kepeningan di kepalanya memilih mengembuskan napas berat. Meski pagi hari menyapa, nyatanya pikiran mereka masih tak juga menemukan titik terang dari mana dan kenapa bisa benda itu berada di kamar Rengganis. "Ibu udah cek, dalaman yang kemarin Wisnu ketemu di kamar, emang ndak ada lagi," beber Bu Tejo. Wisnu kemudian berdecak. Ia memijat pangkal hidungnya. "Udah pasti dalamannya pindah ke sini. Tapi pertanyaannya gimana bisa? Tidak ada yang pindahin tapi mendadak pindah begitu aja." Wisnu menghela napas gusar. Nyatanya, bukan hanya dia sendiri saja yang merasakan kejanggalan tersebut. Melainkan seluruh penghuni indekos pun sama. Tidak ada yang bisa menjelaskan dengan akal sehat dalaman itu berpindah ke lain tempat secara tiba-tiba. "Lihat deh merek sama warnanya, sama persis yang Wisnu temuin di kamar Ibu kemar
"Le-lepasin aku!" Rengganis meronta berusaha melepaskan diri dari kungkungan seseorang yang menyergapnya. Sekeras apa pun ia berjerit, mulutnya tak mampu berbuat banyak akibat tangan orang tersebut. Ia memejam mata kuat, dapat Rengganis rasakan embusan napas mengenai pipinya. Napasnya makin tercekat saar mengetahui si pelaku sengaja mendekatkan wajah. "Ssst diam, jangan berisik," bisik orang itu yang dapat Rengganis pastikan adalah suara seorang lelaki. Rengganis tak berkutik, tubuhnya bergetar hebat menahan rasa takut. Sementara si pelaku masih belum juga menjauh dari tubuhnya. "Lihatlah, salah seorang dari rombongan itu mengikutimu dari belakang," bisiknya lagi. Netra Rengganis sesaat membelalak melihat jelas pria tinggi melintas di depannya. Beruntung situasi di tempatnya gelap gulita, tubuh Rengganis ditutupi oleh kegelapan sehingga orang tadi tak dapat menemukannya. "Jika aku tidak menarikmu, entah apa yang akan orang itu perbuat ke kamu." Tubuh Rengganis menegang. Sejenak
Semburat kepanikan sontak terpancar dari balik wajah Rengganis. Tubuhnya gemetar sesaat kembali menutup gorden. Tungkai gadis itu berjalan cepat menuju kamar Joko dan Wisnu. Betapa sialnya, ketika baru melewati ruang tamu, mendadak lampu padam meluluh-lantahkan akses penglihatan Rengganis. "Ya Tuhan!" batinnya berjerit. Ia tak mampu melihat apa pun di sekitarnya. Rengganis mencengkram kantung belanjaannya kuat-kuat. Bulu kuduknya meremang ketika merasakan suasana di sekelilingnya berubah mencekam. Napas Rengganis tercekat, netranya berkeliaran menatap kanan-kiri penuh waspada. "Bu? Joko? Wisnu?" soraknya memberanikan diri. Namun setelah teriakan itu dilontarkan, nyatanya tak ada salah satu dari mereka yang menyahut. Rengganis makin dibuat mati kutu di tempat. Dengan ragu ia melangkah, mengira-ngira di mana letak kamar penghuni kamar lainnya. Sementara leher Rengganis diserang udara dingin mendadak, membuatnya makin tak bisa berkata-kata. "Joko? Wisnu? Bisa denger suaraku ndak?
"Rengganis? Rengganis kamu kenapa, Nduk?" Dengan wajah panik, Bu Tejo membawa tubuh gadis itu ke dalam dekapannya. Rengganis menangis sejadi-jadinya. Tangisnya menggema ke dalam seisi ruangan. Sementara Joko, Wisnu serta Mbak Trisna hanya membisu dengan wajah penuh tanda tanya besar. "Kamu kenapa, Nduk? Kami semua kaget dari luar dengar kamu berteriak," tanya Bu Tejo mengernyit heran sesaat tangis Rengganis mulai mereda. Bukannya menjawab, ia malah menoleh kanan-kiri seolah sedang mencari sesuatu. "Bu? Tadi ada orang lain di dalam kos, Bu! Aku liat dengan mata kepalaku sendiri," bebernya menyeka sisa buliran air matanya kasar. "Serius, Nduk?" sahut Bu Tejo dengan mata melebar. Wajah wanita itu berubah tegang, begitupun dengan ketiga penghuni lainnya yang saling menatap dengan raut kaget. "Orangnya ke mana, Nis? Kamu sempat liat dia kabur ke mana?" tanya Joko kemudian. Rengganis menggeleng kuat. Bahkan tangannya masih gemetar bersama ponsel di genggamannya. "Ndak, pas lampu ny
"Sudah seminggu ini Rengganis jarang keluar kamar. Keluar pun kalau pergi kuliah dan belanja jajan. Bicara sama saya pun sekarang bisa dihitung jari," terang Bu Tejo memasang wajah resah kepada ketiga penghuni kosnya. "Memang gitu sekarang anaknya, Bu. Saya negur aja biasa cuman di senyumin balik. Abis itu udah," sahut Mbak Trisna. Joko menarik napas berat. Matanya melirik kilas ke arah pintu kamar Rengganis. Ia bahkan dari kemarin sama sekali belum berpapasan dengan gadis itu. Selain karena dia sering lembur kerja akhir-akhir ini, Rengganis juga terkesan menjauhi orang-orang di sekitarnya. "Sejak sosok yang dia lihat pas malam itu, tingkahnya jadi berubah. Itu yang saya perhatiin." Wisnu menimpali. Embusan napas gusar keluar dari mulut Bu Tejo. Sedari tadi wanita itu terus melirik kamar Rengganis. Berharap sekali ia akan keluar dan menceritakan semua masalahnya. "Bersyukur sekali seminggu ini kita ndak dapetin teror itu lagi. Saya suka takut terjadi apa-apa sama kalian semua,"
Bu Tejo dan yang lain sontak terperanjat ketika dikejutkan oleh sebuah suara. Mereka kompak menoleh ke arah sumber suara itu berasal dan mendapati keberadaan Rengganis yang baru keluar dari kamar. Sementara Mbak Trisna sudah memegangi dada merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. "Ya Tuhan, Nduk. Kamu ini ngagetin aja," decak Bu Tejo. Rengganis menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia memandang bingung ke arah penghuni kos beserta Bu Tejo yang sedang duduk melantai. "Maaf, Bu. Ini lagi bicarain apa? Kok kayak seru gitu?" sahut Rengganis sedikit cengengesan. "Seru apanya? Ini kita lagi bicarain soal ter—" Joko langsung membekap mulut Wisnu. Ia lalu tersenyum paksa ke arah Rengganis. "Ndak ada, Nis. Biasa, ngobrol ringan gitu," balasnya. Sementara Rengganis hanya mangut-mangut mengerti. Gadis itu kemudian menutup kembali pintu kamarnya dan berpamitan ke yang lain. "Bu, Mbak, Joko, Wisnu, aku mau ke depan bentar ya," izinnya. "Mau ngapain ke depan, Nduk? Beli jajan lagi?
"Eh, coba kamu lihat deh Nu, Joko punya kunci gerbang Banu?" tanya Rengganis setelah mengamati gelagat aneh Joko di seberang jalan. Wisnu mengernyir dahi. Seumur mengenal Joko, baru kali ini ia dapati sikap lelaki itu yang aneh dan janggal. "Iya ... dia punya kuncinya," celetuk Wisnu setelah Joko berhasil membuka gerbang rumah Banu. Sementara Rengganis sudah kehabisan kata-kata. Ponselnya lantas terangkat untuk memotret aksi Joko di sana. "Nis dia udah masuk, sebenarnya tuh orang bikin apa sih? Kenapa kuncinya bisa ada sama dia?" heran Wisnu. Tanpa memberi jawaban, Rengganis buru-buru melenggang ke arah rumah Banu, membuat Wisnu berdecak dan merutuki gadis itu. "Tungguin aku, Nis!" pekik Joko dengan perasaan resah. Rengganis berjalan jinjit di depan gerbang Banu. Matanya mengintip dan menerobos masuk ke dalam pekarangan rumah milik almarhum. Di sana cukup lenggang, Rengganis tak mendapati keberadaan Joko. Lalu, ke mana dia? "Dia ndak ada, Nu," adu Rengganis dengan netra melir
Malam hari, seperti biasa Bu Tejo serta penghuni kos mengadakan kumpul bersama di ruang tengah rumah Mbak Arini. Mereka berbincang satu sama lain dan membagikan pengalaman selama seharian ini. "Tadi ibu dikabarin pihak kepolisian, katanya besok atau lusa kita udah bisa kembali ke kos, berhubung tempat itu udah disterilkan," info Bu Tejo kepada anak kosnya. Rengganis menghela napas lega. Ia mengelus dadanya pelan sebab merasakan titik ketenangan di dalam jiwanya. Selama seminggu ini hatinya masih bergejolak, ia tak bisa melupakan insiden terbunuhnya Banu begitu saja. "Syukurlah, Buk. Tapi tetap aja kita semua ndak bisa lengah gitu aja. Pembunuh korban sampai detik ini belum kunjung juga ditemukan," sahut Mbak Trisna. "Bener, saya juga was-was kalau ibu dan yang lain harus kembali ke kos lagi. Takut terjadi sesuatu lagi yang tak bisa kita bayangkan," timpal Mbak Arini. Bu Tejo mengelus pelan punggung tangan anaknya, bermaksud menenangkan kegelisahan yang menyerang di dalam jiwanya
Keadaan mendadak hening sesaat Riko membeberkan peristiwa di apartemennya. Begitu pun dengan Rengganis yang membisu dan tak mampu berucap. Rengganis merasa semua kejadian yang terjadi di sekitarnya makin tak bisa diterima oleh akal sehatnya. Belum saja kasus Banu selesai, kasus Riko malah ikut muncul ke permukaan dan sukses membuatnya pusing. "Apa yang bakal kamu lakuin sekarang? Ngelaporin kejadian ini ke kepolisian? Saranku kayaknya itu udah cara yang paling aman deh, Ko," ujar Rengganis. Riko ikut mengangguk menyetujui saran Rengganis. Ia juga dari awal sudah memikirkan akan melaporkan tindakan orang yang menerornya kepada polisi. "Aku ada kenalan polisi dan udah cerita-cerita juga ke dia soal ini. Doain aja ya Nis, semoga kasus dan pelaku ditangkap tuntas," cetus Riko penuh harapan besar. Rengganis turut mengangguk, ia menepuk pundak Riko pelan bermaksud memberinya kekuatan dan tetap tegar. "Kamu gimana?" tanya Riko setelah beberapa saat hening. Rengganis mengernyit dahi, i
Dua minggu lamanya Rengganis dan penghuni kos menetap di rumah Mbak Arini, besok hari mereka semua dipastikan untuk kembali menetap di kos Bu Tejo. Namun yang membuat terkejut ialah kasus Banu terpaksa harus ditutup karena sampai detik ini belum juga ditemukan dalang pasti pembunuh korban. Dan mengenai bukti besar di rumah Banu, Rengganis mendapati kabar dari pihak kepolisian barang-barang tersebut telah diamankan. "Huft," helah Rengganis membuang napas pelan. Ia meraih ranselnya dan beranjak keluar pintu. Di saat itu ia berpapasan dengan Bu Tejo yang sedang menggenggam kantung plastik berisi sayur di tangannya. "Eh, Nduk? Udah mau ke kampus?" tanya Bu Tejo menghentikan langkah Rengganis. Gadis itu mengangguk membenarkan. "Itu temenmu di depan kayaknya udah dari tadi nungguin kamu," cetus Bu Tejo. Sebelah alis Rengganis tertaut menampilkan raut wajah heran. Ia menerka siapa gerangan orang yang sedang menunggunya, mengingat ia tak membuat janji dengan siapa pun pagi ini. "Siap
Rengganis melenguh pelan. Tidurnya terganggu tatkala mendengar suara pintu diketuk seseorang dari luar. Ia lalu melirik jam dindingnya sebentar, kemudian menyadari bahwa pagi telah menyapa. "Tunggu, bentar aku bukain," cetusnya segera bangkit dari atas kasur. Rengganis meraih gagang pintu dan mendapati sosok Wisnu dan Joko yang sedang menunggu di luar kamar. Sebelah alis Rengganis tertaut heran menatap kedua lelaki dengan raut wajah tegang di depannya. "Ada apa?" tanya Rengganis heran. Sejanak suasana mendadak hening. Rengganis termangu memandang kedua sosok itu hanya membisu dan saling melempar tatapan. "Ada apa sih?" tanyanya lagi masih tidak mengerti dengan situasi saat itu. "Gagang pintu depan rumah Mbak Arini patah, Nis," beber Joko kemudian. Kening Rengganis semakin berkerut mendapati informasi barusan. "Patah? Kok bisa?" tanyanya balik. "Gagang pintu luar doang yang patah, semalam padahal sebelum aku kunci pintunya masih normal," cetus Wisnu. "Semalam kamu ada tamu n
Rengganis sampai di rumah anak Bu Tejo sekitar pukul tujuh malam. Setelah mata kuliahnya selesai jam lima sore, ia langsung ke rumah temannya untuk kerja kelompok. Gadis itu menghela napas berat ketika berhasil menginjaki kaki di teras sebuah rumah sederhana. Dari tempatnya, ia bisa melihat anak Bu Tejo—Arini sedang berkutat dengan laptop miliknya di ruang tamu. "Assalamualaikum," ucap Rengganis mengulas senyum tipis ketika tatapannya bertemu dengan wanita tersebut. "Waalaikumsalam, Nis. Kok kamu baru balik?" tanya Mbak Arini seraya melepas kacamatanya. Rengganis beranjak duduk di sofa sebelah Mbak Arini. Ia melepas ranselnya dan membalasi pertanyaan Mbak Arini. "Abis kerja kelompok nih." Pandangan gadis itu lalu melirik ke sekitar. "Ini yang lain pada ke mana, Mbak? Ndak biasa sepi kayak gini," herannya mengerutkan dahi. "Oh, kalau Ibu lagi ada kajian di rumah Bu RT, kalau Joko belum balik, Wisnu tadi baru pulang dan mungkin lagi di kamarnya," jawab Mbak Arini. Rengganis nampa
Rengganis sampai di kampus dengan helaan napas berat. Semalam tidurnya tidak banyak karena harus membantu investigasi pihak kepolisian. Berakhir gadis itu datang kuliah sembari menguap napas kurang tidur. Ia menoleh saat menyadari seseorang datang dan menepuk pundaknya pelan. Rengganis terparanjat kaget dan refleks berbalik melihat gerangan. "Kok lesu gitu sih?" tegur Rico menyapa. Rengganis spontan meninju perut Riko pelan seraya mendengus pelan. "Ngagetin ih, aku ini kurang tidur makanya modelnya kayak gini," curhatnya. "Kenapa ndak izin aja dulu? Hati-hati loh kalau kurang istirahat, bisa sakit ntar lama-lama," respons Riko. Rengganis berdecak. "Ndak parah kok. Ya meskipun tidur cuman dua jam doang, yang penting tidur sih," celetuknya. Riko hanya menggeleng pelan melihat gadis itu. Ia kemudian mengarahkan Rengganis untuk duduk sebentar di salah satu kursi tunggu. "Jadi gimana? Udah ada titik terang belum soal kasus kematian di indekosmu?" tanya Riko memulai topik pembicaraa
"Rengganis, satu kamar ini full dengan foto wajahmu," tutur Joko yang ikut terkejut menatap mahakarya itu di samping Rengganis. Rengganis bungkam, mulutnya keluh dan suaranya hanya tertahan di kerongkongan. Tiba-tiba jantungnya berpacu cepat bersamaan dengan dadanya yang ikut sesak. "Kenapa bisa ... foto-fotoku semua terpampang di seluruh dinding kamar ini?" herannya masih tak mengerti. Rasanya Rengganis ingin menangis sejadi-jadinya. Ia takut dan cemas di saat yang bersamaan. Sementara foto-foto tersebut di jepret ketika Rengganis sedang melakukan sesuatu akhir-akhir ini. Yang berarti si pelaku sering mengikutinya diam-diam dan mengambil gambar dengan sembunyi-sembunyi. Joko beranjak mengamati satu foto yang sukses mencuri perhatiannya. Berlatar tidak asing dengan Rengganis yang sedang duduk di meja belajar. Gambar tersebut diambil dari sisi belakang gadis itu, sehingga hanya memperlihatkan punggung Rengganis saja. "Nis, coba perhatiin foto ini. Bukannya ini di kamarmu?" tanya
Rengganis terdiam dengan dahi mengernyit. Banu suatu waktu pernah menyinggung sedikit tentang rumahnya. Tepatnya ketika pertemuan di gang malam itu. Ia berkata bahwa tempat tinggalnya tidak jauh dari sekitaran gang. Tetapi Rengganis tidak yakin di mana letaknya. "Waktu itu dia pernah bilang kalau tinggal di sekitaran jalan raya depan dan tidak jauh dari gang ini, Pak," cetus Rengganis. "Letaknya? Tidak tahu pastinya di mana?" tanya Gerald. "Sama sekali tidak tahu, Pak. Dia cuman ngomong tinggal di dekat gang ini aja," imbuhnya. Sejenak suasana kembali hening ketika kedua polisi itu sibuk berbisik satu sama lain. Sementara Rengganis dan lelaki di sebelahnya hanya bisa menatap gamang. Lalu menit setelahnya, atensi Rengganis teralih ketika salah seorang polisi lainnya datang dan mengabarkan sesuatu. "Rumahnya udah ketemu, Pak!" serunya kepada Gerald dan Bima. Langsung saja para polisi itu lekas beranjak dari tempatnya. Bima memberi isyarat agar ketiganya juga ikut bersama mereka.