***"Mas Haikal ...." Haikal menoleh dan mendapati Delia sudah berdiri di belakangnya, sementara Pak Handoko dan Kenan ternyata sudah masuk ke dalam rumah karena mendengar tangis Allyna yang tak kunjung berhenti. "Loh, mana Bapak sama Kenan?" Haikal celingukan, "Tadi ngopi disitu bareng sama aku, Dek, apa sudah masuk ke dalam?" tanya Haikal.Delia mengangguk lemah. Sorot matanya menyelami wajah Haikal yang terlihat sendu malam ini. Benar apa kata Pak Handoko kepadanya barusan, "Temui suamimu di halaman, sepertinya ada telepon penting yang mengusik hatinya, Nduk." Seketika Delia keluar dari dalam rumah setelah memberikan Azka pada Emak."Kenapa?" Delia bertanya sembari mengusap rahang suaminya yang mengeras. "Ada masalah apa, Mas?" cecarnya lirih. "Hah, ada apa memangnya, Dek?" Haikal balik bertanya dan berpura-pura kebingungan mendengar pertanyaan Delia. "Mas tadi dapat telepon dari Kang Dirman, eh tau-tau pas selesai telepon kok Bapak sama Kenan udah gak ada.""Kang Dirman bilang
***"Kamu gila, Mas!?" pekik Safina dengan wajah memerah. "Kamu sadar kan lagi minta apa sama aku?"Pria berkemeja hitam yang sedang duduk di samping Safina itu melengos. "Fin, kita sudah lama menjalin hubungan, kamu mau kan menikah denganku?" ucapnya sambil menggenggam jemari Safina yang berkeringat. "Tidak ada yang salah dengan permintaanku, Safina, itu hal biasa ....""Ternyata aku belum benar-benar mengenalmu, Mas," sela Safina. Suaranya bergetar mendengar pria yang begitu dia cintai menganggap hubungan badan sebelum pernikahan adalah hal yang sudah biasa. "Apa sebelum menjalin hubungan denganku, kamu sudah biasa melakukan hal seperti ini? Maksudku ... kamu terbiasa ... astaga, aku bahkan tidak sanggup mengatakannya," imbuh Safina lirih."Aku tidak bisa, Mas, dan sepertinya lebih baik kita akhiri hubungan kita malam ini. Aku tidak akan pernah memberikan sesuatu yang paling berharga sebelum terikat pernikahan. Maaf ....""Fin ...." Lengan Safina ditarik dengan kasar. "Apa-apaan ka
***"Mas, mau kemana?"Azka menoleh dan mendapati Hafsah sudah berdiri di depan pintu. Di belakangnya, kedua orang tua Hafsah nampak tersenyum menatap Azka yang justru bergeming tanpa suara. "Mas Azka," panggil Hafsah mengulang. "Mau kemana?" tanya wanita berambut sebahu yang malam ini terlihat begitu cantik dengan balutan kaftan berwarna peach."Pak, Bu ...." Setelah mengumpulkan kesadaran, Azka bergerak mendekat dan mencium punggung tangan dua pasangan paruh baya yang sejak tadi memperhatikannya. "Monggo, silahkan masuk!"Pintu yang semula terbuka setengah kini telah dibuka penuh oleh Azka. Tidak butuh waktu lama, Delia dan Haikal keluar disusul dengan Bu Sarah dan Pak Handoko yang sudah menginap sejak kemarin malam. "Waalaikumsalam, Masya Allah ... tamu yang kita tunggu-tunggu akhirnya datang juga," ucap Delia ramah. "Mari silahkan duduk, Pak Denis, Bu Rania. Mari ....""Kamu cantik sekali, Nak," puji Delia ketika Hafsah mencium punggung tangannya takzim."Bunda bisa saja," sahut
***"Kamu salah paham, Haf ....""Bagian mana yang salah, Mas?" sahut Hafsah cepat. "Bagian karena aku bertanya apakah kamu mencintai Safina, iya?" Azka membuang muka, berdebat dengan Hafsah tidak pernah bisa membuatnya menjadi pemenang. Sejak duduk di bangku Kuliah, Hafsah terkenal dengan kecerdasannya. Bukan hal yang sulit bagi wanita berambut sebahu itu untuk menebak apa yang bergemuruh di hati calon suaminya."Kamu meninggalkan aku dan kedua orang tuaku ....""Safina dalam bahaya, Hafsah," sela Azka lirih. "Itu sebabnya kamu mengabaikan Ayah dan Bunda? Jika saja hanya aku yang datang, aku mungkin bisa menelan rasa kecewa sekalipun teramat pahit. Tapi kedua orang tuaku ... kamu sadar, Mas, mereka kecewa karena kamu memilih pergi di hari penentuan tanggal pernikahan kita," sahut Hafsah dengan suara bergetar. "Mereka mengira urusanmu begitu mendesak sampai-sampai harus pergi tanpa bisa ditunda. Tapi ternyata ... kamu pergi hanya demi Safina.""Haf, tolong mengertilah ... Safina itu
***Azka seketika menoleh ...."Haruskah kita membicarakan hal itu di Rumah Sakit, Bu?" tanya Azka sembari menatap sendu kedua mata Ibunya. "Aku akan mempertanggungjawabkan semuanya. Bila perlu, aku akan bersujud di bawah kaki kedua orang tua Hafsah karena sudah menyakiti putri mereka. Aku tidak akan bersembunyi di balik ketiak Ibu dan Ayah.""Ini bukan tentang bersembunyi di balik ketiak, Le ....""Aku tahu, Bu. Tapi akan jauh lebih brengsek jika aku menikahi Hafsah namun ternyata ada nama lain di hatiku."Delia memejamkan mata sambil merasakan rasa panas di wajahnya. Ucapan Azka barusan seolah memberi isyarat bahwa pernikahan antara dirinya dan Hafsah tidak akan pernah terjadi. "Pergilah, antar Hafsah pulang," pinta Delia lirih. Azka mengangguk patuh sebelum akhirnya pria berkulit bersih itu mencium punggung tangan Ibunya dan berjalan mendahului Hafsah yang masih memeluk erat tubuh Delia. "Pantaskah Ayah dan Ibu mendapatkan semua ini, Bun? Mereka begitu menyayangi Mas Azka, betap
***Sesampainya di halaman rumah Hafsah, Azka segera turun dan membukakan pintu seperti sebelum-sebelumnya. Perhatian yang pria itu berikan tidak berkurang sedikitpun untuk Hafsah meskipun ada yang telah berubah. Hatinya. Cintanya. "Mampir dulu, Mas," pinta Hafsah. Azka menggeleng, "Sudah malam, Haf, aku langsung balik, gak enak sama orang tua kamu. Mereka pasti sudah istirahat.""Jangan khawatir, besok aku pasti datang bersama Ayah dan Ibu. Masuklah!"Tanpa menunggu Hafsah masuk ke dalam rumah, Azka sudah lebih dulu memasuki mobilnya dan meninggalkan pelataran rumah wanita yang sampai detik ini masih berdiri terpaku menatap mobil berwarna silver yang semakin melaju menjauh. "Kamu merusak semuanya, Safina." Kedua tangan Hafsah mengepal erat. Matanya yang sejak tadi terasa sesak dengan air mata kini berhasil menurunkan hujan dengan derasnya.Setelah puas menumpahkan tangis di pelataran rumah, Hafsah berjalan lunglai menuju teras yang lampunya masih berpendar. "Assalamualaikum ...."
***"Bi, ada apa?" tanya Azka sambil melirik Safina yang saat tengah menatapnya sendu. "Kenapa menampar Hafsah?"Annisa menghela napas kasar. Diusapnya wajah yang sejak semalam terasa kebas. "Safina bukan jalang, Le," ucap Annisa lirih namun mampu membuat hati Azka berdenyut nyeri. "Bibi minta maaf atas nama Safina karena sudah membatalkan acara kalian malam itu. Maafkan kami, Azka. Tolong ... bawa calon istrimu pergi dari sini, Le."Azka meregangkan dekapan kepala Hafsah pada perutnya yang tipis. "Kamu bicara apa pada Safina, Haf?" Azka menatap wajah Hafsah yang basah. Kepala wanita cantik itu menggeleng sambil berkata, "Apa, Mas? Kamu pikir aku bicara apa pada Safina, hah? Aku ... Aku hanya menjenguknya, itu saja!""Bohong!" sahut Annisa ketus. "Setelah menghardik Safina habis-habisan, lalu sekarang kamu berkata tidak bicara apa-apa, pandai sekali mulutmu itu bersilat, Hafsah," imbuh Annisa menggebu-gebu. Dadanya terasa panas ketika mendengar Hafsah berbicara pedas pada Safina. "Bi
***"Jadi ini pria yang Hafsah ceritakan pada Bunda," ucap Ranti seraya tersenyum tipis. "Pernikahan kalian hanya tinggal menentukan tanggal dan hari, jangan sampai goyah dengan godaan perempuan atau pria lain di luaran sana. Besar harapan Bunda melihat Hafsah bahagia, tolong jangan sakiti dia, Le." Ranti tanpa sadar mencengkeram lengan Azka hingga pria bertubuh tinggi itu mengerutkan kening dan menatap wanita berkerudung hitam di sampingnya dengan air muka kebingungan. "Ah, maaf," seloroh Ranti ketika menyadari raut Azka yang berubah tidak bersahabat. "Bunda hanya sedikit kecewa dengan sikap kamu, Azka. Hafsah bilang kamu tergoda dengan teman masa kecilmu, benar begitu?" "Bun ...." Hafsah merajuk ragu."Tidak apa-apa, Haf. Bunda hanya ingin tahu pembelaan apa yang akan Azka ucapakan, Nak. Bagaimanapun Bunda juga Ibu kamu."Bu Rania melengos ketika mendengar Ranti menyebut dirinya sebagai Ibu. Ada perasaan perih dan tidak terima ketika di depan Azka wanita berkerudung hitam itu menye