***"Kau pikir aku perduli dengan semua itu, Hana?" Suara Annisa terdengar dingin. Perempuan yang sedang memeluk Emak Asih dengan sangat erat itu berbicara tanpa menoleh ke arah dimana Hana berada. "Berulang kali aku katakan, semua yang berurusan denganmu atau suamimu, aku tidak perduli!""Oh ya?" Hana seperti tidak percaya dengan ucapan Annisa. Wanita yang mengenakan setelan blazer berwarna hitam yang dipadukan dengan kaos warna putih sebagai dalaman itu tersenyum sinis. Penampilan Hana seperti wanita karir meskipun dia sebenarnya hanya berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga biasa. "Aku kira kamu sedang menunggu kabar tentang kami, Nis. Kamu pasti merasa besar kepala karena Mas Farhan sempat datang ke rumah suamimu. Ah, sayang sekali ternyata kami berdua tidak jadi bercerai."Emak menggenggam jemari Annisa kemudian menggeleng samar. "Biarkan saja, Nduk. Ayo!""Nggih, Mak.""Dimana-mana pelakor itu tidak akan pernah menang, Annisa. Istri sah selalu dilindungi Tuhan." Kali ini suara Hana
***"Kamu tidak mengerti, Ken ....""Aku mengerti," sela Kenan. "Tidak. Kamu tidak mengerti apapun. Semua tentang aku adalah keburukan. Kamu akan menyesal sudah mencintaiku sedalam ini. Aku tidak seperti yang kau pikirkan, Kenan. Aku ... aku adalah ladang dosa." Fatima menutup wajahnya menggunakan dua telapak tangan. Dadanya sesak, napasnya tersengal saat bibirnya dengan sengaja memberi tahu pada Kenan siapa dirinya di masa lalu. "Setidaknya biarkan aku mengenal kamu lebih dekat, Fat ....""Lalu membiarkan kamu tahu seperti apa masa laluku?" tanya Fatima menyela."Kalau begitu tutup rapat-rapat masa lalu itu. Sejak awal aku tidak memperkarakan siapa dirimu, Fatima. Aku jatuh cinta begitu saja ketika melihatmu di minimarket siang itu. Begitu saja," papar Kenan menggebu-gebu. "Aku tidak mempermasalahkan seperti apa dirimu di masa lalu, keburukan apa yang pernah kamu lakukan atau apapun itu. Aku sungguh tidak pernah mempermasalahkan itu, Fat. Kamu hanya takut pada perasaanmu sendiri p
***"Kenapa melamun?" Delia yang sedang duduk di depan TV seketika terperanjat mendapat tepukan lembut di bahunya."Kangen sama Haikal?"Wanita yang sedang hamil besar itu mengangguk lemah. "Nggih, Mak," jawabnya jujur. "Kira-kira Mas Haikal pulang kapan ya?""Kenapa gak coba ditelepon, Nduk?"Delia menggeleng sambil cemberut. "Kan ceritanya lagi ngambek, Mak."Melihat ekspresi wajah Delia, Emak hampir saja tertawa lebar. Perempuan yang sedang hamil memang ada-ada saja moodnya. Sebentar-sebentar senang, sebentar-sebentar sedih. "Bagaimana kalau Emak yang telepon?" Emak Karti menawarkan diri berharap menantunya mengangguk dan kembali tersenyum."Tidak perlu, Mak. Toh, Mas Haikal juga belum kasih kabar ...."Tring ....Tiba-tiba ponsel yang tergeletak di samping Delia berdering. Emak melirik sekilas sambil mengulas senyum ketika melihat nama ‘suamiku’ terpampang di layar ponsel. "Dia pasti kepikiran sama kamu, Nduk," kata Emak seraya menunjuk ponsel Delia menggunakan dagu. "Angkatla
***POV FatimaSetelah kepulangan Kenan, hatiku diliputi rasa takut. Akankah kedua orang tuanya menerimaku sebagai menantu? Apakah benar jika Ayah dan Ibunya akan menyayangiku sementara ... sementara putra mereka menikahi janda yang sedang hamil ini? Apa benar di dunia ini ada keluarga sebaik itu? Apa aku yakin dengan keputusan ini?Entahlah. Rasanya aku lelah memberikan penolakan sementara Kenan terus berjuang memberikan keyakinan kepadaku. Dia pria muda, namun apa yang Bapak katakan memang benar bahwa kedewasaan seseorang tidak diukur dari seberapa tua umur mereka. Aku merasa seperti wanita paling beruntung dan paling tidak tau diri. Beruntung karena pertemuan singkat antara aku dan Kenan berujung pada keseriusan pria itu padaku. Namun ... aku juga merasa bahwa jika lamarannya aku terima, bukankah aku seperti wanita jahat? Bagaimana bisa aku menerima pria lajang seperti Kenan sementara aku adalah janda yang sedang berbadan dua?Tapi janda bukanlah status yang hina. Tidak ada pere
***"Kamu gak lagi pengen makan apa-apa, Sayang?"Annisa yang sedang merebahkan diri di atas kasur seketika menoleh menatap suaminya yang baru selesai mandi. Rambut Kang Dirman sedikit basah membuat degup jantung Annisa berdetak kencang. Meskipun sudah menikah, wanita itu selalu merasa malu ketika menatap dada bidang suaminya tanpa baju. "Eng-- enggak ada, Mas," jawab Annisa terbata. "Beneran gak ada? Kalau lagi pengen makan sesuatu, bilang," ucap Kang Dirman seraya terus mendekati istrinya di tempat pembaringan. "Jangan sungkan-sungkan buat ngomong sama Mas, Annisa. Pokoknya kalau lagi pengen apapun itu, kamu wajib ngomong. Mengerti?!"Annisa mengangguk patah-patah. "Nggih, Mas.""Kenapa wajah kamu merah begitu, demam?" Kang Dirman meletakkan punggung tangannya di atas dahi Sang Istri. "Lah, malah berkeringat. Kamu baik-baik saja kan, Nis?""Ba-- baik, Mas. Tapi ....""Kenapa? Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan saat ini, bilang sama Mas, Nis!" cecar Kang Dirman panik. Pria yang
***"Apa-apaan ini, Eyang?!" Fatima sejak tadi berdiri di ambang pintu kini melenggang masuk ke ruang tamu. Eyang Salma menoleh, beberapa detik kemudian bibir wanita tua itu mencebik melihat betapa berani Fatima berteriak di depannya. "Membebaskan Erina sampai jual rumah, Eyang yakin mau jual rumah Bibi Naomi hanya demi membebaskan Erina?" selidik Fatima. "Atau ... justru ada hal lain, Eyang?""H-- hal lain a-- apa maksud kamu, hah?" sahut Eyang terbata. "Eyang mau jual rumah Bibimu itu murni buat bebasin Erina. Kalian kalau gak mau bantu kasih pinjaman, ya sudah, diam! Biar Eyang jual saja rumah Naomi agar putrinya bisa bebas.""Wah, hebat sekali perjuangan Eyang. Erina bisa bebas hanya dengan uang lima belas juta sementara kalau rumah Bibi Naomi dijual, berapa ratus juta yang bisa Eyang kantongi?" Fatima manggut-manggut sambil tersenyum sinis. "Lagipula uang segitu pasti Om Dani punya, Eyang. Kenapa Eyang yang harus kebingungan mengurus Erina, sesayang itu Eyang pada Erina, iya?"
***"Assalamualaikum ...."Fatima dan Bu Sarah yang sedang berpelukan seketika menoleh. Di depan pintu, Kenan berdiri sambil memamerkan barisan giginya di hadapan calon istri dan calon mertuanya. "Apa saya mengganggu, Bu?" tanya Kenan ragu. "Waalaikumsalam, masuk, Le!" Bu Sarah melepaskan pelukan dan berjalan mendekati Kenan di depan pintu. "Sendirian?"Kenan mengangguk sebelum akhirnya mencium punggung tangan Bu Sarah takzim. "Nggih, sendirian. Rencananya mau ajak Fatima berkunjung ke showroom sekalian lihat gaun pengantin, Bu."Bu Sarah mengangguk paham. Wanita paruh baya itu mendorong punggung Kenan dengan lembut agar segera memasuki rumah. Fatima buru-buru mengusap sudut matanya yang berair menggunakan punggung tangan. "Kenapa mendadak sekali, Ken?" tanya Fatima sedikit kesal. "Fat, panggil Mas!" tegur Bu Sarah seraya mendelik. "Dia calon suami kamu, masa panggilnya gitu."Fatima berdiri dengan kikuk kemudian tersenyum sambil mengangguk. "Ya, Bu," jawabnya patuh."Sebenarnya ak
***"Jangan mengada-ada, Nela!" Untuk pertama kalinya, Fatima mendengar Kenan berteriak lantang. "Aku tidak pernah menyentuhmu, apa yang kamu katakan, hah?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Pak. Ayolah ... tidak perlu malu ....""Kau pikir aku percaya pada semua omong kosongmu itu?" Tiba-tiba Fatima bersuara. "Di luaran sana, bukan hanya kamu wanita yang mengejar-ngejar calon suamiku, aku tahu itu. Tapi kamu salah, siapa nama kamu ... Nela? Ah ya, Nela ... tapi kamu sangat salah jika mengatakan bahwa Kenan adalah pria yang handal bercinta. Asal kamu tahu, dia bahkan tidak pernah menyentuhku sebelum menikah," papar Fatima tegas. "Sampai detik ini aku sangat yakin sekali jika Kenan bukanlah pria yang suka mengumbar air maninya di banyak lubang."Bibir Nela melongo. "Ja-- jadi benar itu ... itu bukan darah daging Pak Kenan?""Ya," jawab Fatima tegar. "Aku janda, kebetulan bercerai dalam keadaan hamil. Kau pikir apa ... Kenan berbuat tidak senonoh, begitu? Kau pikir bisa merusak nama bai