***"Apa-apaan ini, Eyang?!" Fatima sejak tadi berdiri di ambang pintu kini melenggang masuk ke ruang tamu. Eyang Salma menoleh, beberapa detik kemudian bibir wanita tua itu mencebik melihat betapa berani Fatima berteriak di depannya. "Membebaskan Erina sampai jual rumah, Eyang yakin mau jual rumah Bibi Naomi hanya demi membebaskan Erina?" selidik Fatima. "Atau ... justru ada hal lain, Eyang?""H-- hal lain a-- apa maksud kamu, hah?" sahut Eyang terbata. "Eyang mau jual rumah Bibimu itu murni buat bebasin Erina. Kalian kalau gak mau bantu kasih pinjaman, ya sudah, diam! Biar Eyang jual saja rumah Naomi agar putrinya bisa bebas.""Wah, hebat sekali perjuangan Eyang. Erina bisa bebas hanya dengan uang lima belas juta sementara kalau rumah Bibi Naomi dijual, berapa ratus juta yang bisa Eyang kantongi?" Fatima manggut-manggut sambil tersenyum sinis. "Lagipula uang segitu pasti Om Dani punya, Eyang. Kenapa Eyang yang harus kebingungan mengurus Erina, sesayang itu Eyang pada Erina, iya?"
***"Assalamualaikum ...."Fatima dan Bu Sarah yang sedang berpelukan seketika menoleh. Di depan pintu, Kenan berdiri sambil memamerkan barisan giginya di hadapan calon istri dan calon mertuanya. "Apa saya mengganggu, Bu?" tanya Kenan ragu. "Waalaikumsalam, masuk, Le!" Bu Sarah melepaskan pelukan dan berjalan mendekati Kenan di depan pintu. "Sendirian?"Kenan mengangguk sebelum akhirnya mencium punggung tangan Bu Sarah takzim. "Nggih, sendirian. Rencananya mau ajak Fatima berkunjung ke showroom sekalian lihat gaun pengantin, Bu."Bu Sarah mengangguk paham. Wanita paruh baya itu mendorong punggung Kenan dengan lembut agar segera memasuki rumah. Fatima buru-buru mengusap sudut matanya yang berair menggunakan punggung tangan. "Kenapa mendadak sekali, Ken?" tanya Fatima sedikit kesal. "Fat, panggil Mas!" tegur Bu Sarah seraya mendelik. "Dia calon suami kamu, masa panggilnya gitu."Fatima berdiri dengan kikuk kemudian tersenyum sambil mengangguk. "Ya, Bu," jawabnya patuh."Sebenarnya ak
***"Jangan mengada-ada, Nela!" Untuk pertama kalinya, Fatima mendengar Kenan berteriak lantang. "Aku tidak pernah menyentuhmu, apa yang kamu katakan, hah?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Pak. Ayolah ... tidak perlu malu ....""Kau pikir aku percaya pada semua omong kosongmu itu?" Tiba-tiba Fatima bersuara. "Di luaran sana, bukan hanya kamu wanita yang mengejar-ngejar calon suamiku, aku tahu itu. Tapi kamu salah, siapa nama kamu ... Nela? Ah ya, Nela ... tapi kamu sangat salah jika mengatakan bahwa Kenan adalah pria yang handal bercinta. Asal kamu tahu, dia bahkan tidak pernah menyentuhku sebelum menikah," papar Fatima tegas. "Sampai detik ini aku sangat yakin sekali jika Kenan bukanlah pria yang suka mengumbar air maninya di banyak lubang."Bibir Nela melongo. "Ja-- jadi benar itu ... itu bukan darah daging Pak Kenan?""Ya," jawab Fatima tegar. "Aku janda, kebetulan bercerai dalam keadaan hamil. Kau pikir apa ... Kenan berbuat tidak senonoh, begitu? Kau pikir bisa merusak nama bai
***"Dek, kenapa?"Kang Dirman mengusap punggung istrinya dengan gerakan naik turun. "Gak bisa tidur?"Annisa mengangguk, "Kalau telepon Mbak Delia malam-malam begini kira-kira ganggu gak ya, Mas?" tanya Annisa ragu. "Aku kepikiran banget dari tadi. Ada apa ya? Ya Allah, semoga Mbak Delia baik-baik saja."Kang Dirman tersenyum mendengar kekhawatiran Annisa pada Delia. "Kenapa, habis mimpi?""Gak juga, cuma kepikiran aja. Bangun-bangun malah kepikiran Mbak Delia," jawab Annisa jujur. "Telepon besok pagi saja, kasihan Neng Delia lagi hamil besar, dia pasti lagi istirahat tengah malam begini."Annisa manggut-manggut mengerti, "Nggih, Mas."Kang Dirman membetulkan letak bantal Sang Istri sebelum akhirnya membantu Annisa untuk kembali rebahan di sampingnya. Kehamilan Annisa sudah memasuki bulan ke-lima, dan tentu saja wanita itu sekarang kesulitan untuk tidur telentang. ***"Waalaikumsalam, Haikal ... ada apa malam-malam ....""Delia mau melahirkan, Mbak," sela Haikal cepat. "Kita sedang
***"Dia tampan sekali, Del."Pujian yang Haikal lontarkan membuat pipi Delia bersemu. Pasalnya, mulai dari Emak, Bapak dan semua keluarga dari Surabaya mengatakan jika bayinya sangat mirip dengan Sang Ibu. "Masya Allah, pasti mirip sekali dengan kamu, Mas," sahut Delia sembari cekikikan. "Tidak sia-sia kamu mengandung, dia mirip kamu."Haikal dan Delia tertawa sementara bayinya sedang berlatih minum Asi untuk yang kesekian kalinya. "Nanti siang sudah boleh pulang ya, Bu. Jangan lupa, setiap dua jam sekali bayinya harus dibangunkan untuk minum Asi," tutur asisten bidan."Nggih, Mbak," sahut Delia patuh. "Masya Allah, tampan sekali ya. Mirip ... ibunya," kata perempuan bertubuh tambun yang semalam membantu persalinan Delia. "Tadi malam saya kurang memperhatikan, Masya Allah, hidungnya ...."Delia tersenyum melihat semua orang begitu menyukai bayinya. Pun dengan Haikal, pria yang baru sehari menyandang status Ayah itu tak henti-hentinya menatap bayi mungil yang sedang tertidur di da
***Haikal memasrahkan urusan Resto dan semua pengelolaannya kepada Kang Dirman mengingat Delia yang masih berada dalam fase penyembuhan setelah melahirkan dan mendapat beberapa jahitan di jalan lahir. Di Kampung, pekerjaan Haikal tetaplah seorang tani, namun bukan rahasia umum lagi jika putra Pak Gani itu telah memiliki bisnis yang cukup besar di Surabaya dengan bantuan Kang Dirman. Semua tetangga tahu jika Kang Dirman dan Haikal sekarang sudah menjadi pria-pria berusia matang yang mapan. Bahkan tidak sedikit para tetangga yang memujurkan nasib Emak Asih saat ini. Hidup di Kota bersama menantu dan anaknya yang sudah berpenghasilan besar. Tentulah hal tersebut membuat beberapa tetangga merasa betapa hidup Emak Asih sangatlah sempurna. "Gak mau lihat perkembangan Resto, Mas?" Delia yang sedang menyusui Azka bertanya sambil melirik ke arah suaminya yang tengah berganti pakaian. "Ini sudah hampir sebulan setelah melahirkan, aku juga sudah baik-baik saja, Mas. Gak ada salahnya kalau kamu
***"Ketemu Hana?"Annisa menghentikan langkah tepat di ambang pintu. Pertanyaan Kang Dirman membuat senyum yang sebentar tadi menghiasi bibir istrinya kini memudar sudah. "Hana dan suaminya?" tebak Kang Dirman lagi. "Mereka menyakiti kamu?""Tidak, Mas," jawab Annisa ragu. "Tadi cuma ....""Kamu tau kan seberapa berharga dirimu untuk kami, Nis?" Kang Dirman menjepit dagu Annisa dengan jemari tangannya. "Kesedihan kamu adalah luka bagiku, Annisa.""Mas, tadi Mas Farhan hanya ....""Hanya apa? Berkata kalau dia tidak bisa melupakan kamu, begitu?"Annisa tergagap. "A-- itu ... dia bilang ....""Dia akan tetap bilang hal yang sama sampai aku dan kamu berpisah. Sampai kamu kembali berada dalam genggamannya, dia akan terus berkata jika cintanya hanya untukmu, Annisa," sela Kang Dirman menggebu-gebu. "Pria brengsek itu pasti akan terus mencari cara agar kamu mau kembali dengannya apapun yang terjadi. Aku yakin, dia bahkan tidak perduli jika di sebelahnya ada Hana, istrinya sendiri!" "Mas
***"Kondisikan wajahmu, Bro! Aku kesini ingin menemui putriku, kau tidak mendadak lupa kalau dia adalah darah dagingku, kan?"Kenan menghela napas panjang. Situasi seperti ini sudah ia perhitungkan sejak awal. Faisal tidak mungkin melepaskan Fatima begitu saja apalagi ketika pria itu tahu jika Kenan bukanlah laki-laki biasa tanpa harta. "Wah, tubuh Ibu semakin subur, pasti sangat bahagia sekali punya menantu kaya raya," sindir Faisal sembari melongok ke belakang Kenan yang ternyata sudah berdiri sosok wanita paruh baya. Bu Sarah. "Bagaimana, Bu, pasti senang sekali seluruh kebutuhan di rumah ini sudah ada yang menanggung. Ah, Haikal pasti bisa bernapas lega sekarang," imbuh Faisal masih terus menyindir."Alhamdulillah, Fatima akhirnya tidak salah pilih suami. Kenan juga Haikal adalah menantu terbaik bagi Ibu, Faisal, terima kasih sudah melepaskan Fatima sehingga dia bisa bernapas lega dan menjalani hidup dengan sangat bahagia. Semua juga berkat kamu, terima kasih banyak ya, Le." Bu