***"Dia tampan sekali, Del."Pujian yang Haikal lontarkan membuat pipi Delia bersemu. Pasalnya, mulai dari Emak, Bapak dan semua keluarga dari Surabaya mengatakan jika bayinya sangat mirip dengan Sang Ibu. "Masya Allah, pasti mirip sekali dengan kamu, Mas," sahut Delia sembari cekikikan. "Tidak sia-sia kamu mengandung, dia mirip kamu."Haikal dan Delia tertawa sementara bayinya sedang berlatih minum Asi untuk yang kesekian kalinya. "Nanti siang sudah boleh pulang ya, Bu. Jangan lupa, setiap dua jam sekali bayinya harus dibangunkan untuk minum Asi," tutur asisten bidan."Nggih, Mbak," sahut Delia patuh. "Masya Allah, tampan sekali ya. Mirip ... ibunya," kata perempuan bertubuh tambun yang semalam membantu persalinan Delia. "Tadi malam saya kurang memperhatikan, Masya Allah, hidungnya ...."Delia tersenyum melihat semua orang begitu menyukai bayinya. Pun dengan Haikal, pria yang baru sehari menyandang status Ayah itu tak henti-hentinya menatap bayi mungil yang sedang tertidur di da
***Haikal memasrahkan urusan Resto dan semua pengelolaannya kepada Kang Dirman mengingat Delia yang masih berada dalam fase penyembuhan setelah melahirkan dan mendapat beberapa jahitan di jalan lahir. Di Kampung, pekerjaan Haikal tetaplah seorang tani, namun bukan rahasia umum lagi jika putra Pak Gani itu telah memiliki bisnis yang cukup besar di Surabaya dengan bantuan Kang Dirman. Semua tetangga tahu jika Kang Dirman dan Haikal sekarang sudah menjadi pria-pria berusia matang yang mapan. Bahkan tidak sedikit para tetangga yang memujurkan nasib Emak Asih saat ini. Hidup di Kota bersama menantu dan anaknya yang sudah berpenghasilan besar. Tentulah hal tersebut membuat beberapa tetangga merasa betapa hidup Emak Asih sangatlah sempurna. "Gak mau lihat perkembangan Resto, Mas?" Delia yang sedang menyusui Azka bertanya sambil melirik ke arah suaminya yang tengah berganti pakaian. "Ini sudah hampir sebulan setelah melahirkan, aku juga sudah baik-baik saja, Mas. Gak ada salahnya kalau kamu
***"Ketemu Hana?"Annisa menghentikan langkah tepat di ambang pintu. Pertanyaan Kang Dirman membuat senyum yang sebentar tadi menghiasi bibir istrinya kini memudar sudah. "Hana dan suaminya?" tebak Kang Dirman lagi. "Mereka menyakiti kamu?""Tidak, Mas," jawab Annisa ragu. "Tadi cuma ....""Kamu tau kan seberapa berharga dirimu untuk kami, Nis?" Kang Dirman menjepit dagu Annisa dengan jemari tangannya. "Kesedihan kamu adalah luka bagiku, Annisa.""Mas, tadi Mas Farhan hanya ....""Hanya apa? Berkata kalau dia tidak bisa melupakan kamu, begitu?"Annisa tergagap. "A-- itu ... dia bilang ....""Dia akan tetap bilang hal yang sama sampai aku dan kamu berpisah. Sampai kamu kembali berada dalam genggamannya, dia akan terus berkata jika cintanya hanya untukmu, Annisa," sela Kang Dirman menggebu-gebu. "Pria brengsek itu pasti akan terus mencari cara agar kamu mau kembali dengannya apapun yang terjadi. Aku yakin, dia bahkan tidak perduli jika di sebelahnya ada Hana, istrinya sendiri!" "Mas
***"Kondisikan wajahmu, Bro! Aku kesini ingin menemui putriku, kau tidak mendadak lupa kalau dia adalah darah dagingku, kan?"Kenan menghela napas panjang. Situasi seperti ini sudah ia perhitungkan sejak awal. Faisal tidak mungkin melepaskan Fatima begitu saja apalagi ketika pria itu tahu jika Kenan bukanlah laki-laki biasa tanpa harta. "Wah, tubuh Ibu semakin subur, pasti sangat bahagia sekali punya menantu kaya raya," sindir Faisal sembari melongok ke belakang Kenan yang ternyata sudah berdiri sosok wanita paruh baya. Bu Sarah. "Bagaimana, Bu, pasti senang sekali seluruh kebutuhan di rumah ini sudah ada yang menanggung. Ah, Haikal pasti bisa bernapas lega sekarang," imbuh Faisal masih terus menyindir."Alhamdulillah, Fatima akhirnya tidak salah pilih suami. Kenan juga Haikal adalah menantu terbaik bagi Ibu, Faisal, terima kasih sudah melepaskan Fatima sehingga dia bisa bernapas lega dan menjalani hidup dengan sangat bahagia. Semua juga berkat kamu, terima kasih banyak ya, Le." Bu
***"Nduk, katanya mau periksa kandungan, telepon suamimu minta biar pulang sebentar," ujar Emak Asih pada Annisa yang tengah menikmati rujak buah di depan TV. "Nanti kalau siang-siang malah panas," imbuh Emak. "Nggih, Mak," jawab Annisa patuh. Emak tersenyum melihat piring berisi buah-buahan yang sudah diiris tipis kini telah tandas tak bersisa. "Mas Dirman bilang nanti sore saja, Mak. Katanya sekalian jalan-jalan ajak Emak juga. Emak mau kan?" tanya Annisa dengan posisi ponsel masih berada di telinganya. "Mau ya, Mak?"Emak Asih mengangguk seraya tersenyum lebar. "Ya mau kalau dipaksa, Nduk." Annisa tertawa mendengar jawaban Emak. "Tapi nanti Emak naik apa?""Mas Dirman bilang mau sewa mobil, Mak, sekalian jalan-jalan. Bagaimana?""Manut kalian saja," jawab Emak sembari meluruskan kakinya di depan TV. "Sini, Nduk ... kakimu kenapa bengkak begitu, sini Emak pijit!"Annisa mendekat dengan gembira. Di samping Emak Asih, wanita yang sedang hamil besar itu mendaratkan bokongnya dengan p
***"Sudah berapa banyak uang yang ‘panjenengan’ gelontorkan sampai-sampai masa kurungan putri semata wayang ini disunat sedemikian pendek, Umi?"Umi Laila menoleh mendengar sindiran menohok dari seseorang yang tengah berdiri sambil membawa pesanan untuk mejanya. Kang Dirman. Kedua bola mata Ranti dan Uminya terbelalak melihat sesiapa yang sedang berdiri di samping mereka. "Kang Dirman?" Ranti memanggil nama Kang Dirman dengan cukup lantang. Terkejut. Respon yang wanita berkulit putih itu berikan terkesan tidak dibuat-buat. Ranti sungguh tidak tahu jika Kang Dirman ada di Kota Surabaya, atau pula, Ranti tidak tahu jika Resto yang sedang ia dan Uminya kunjungi adalah milik seseorang yang begitu ingin dia miliki. "Kerja disini?" tanya Ranti basa-basi.Alih-alih menjawab, Kang Dirman justru menarik ujung bibirnya sinis melihat betapa wanita di sampingnya tidak menunjukkan gelagat canggung. Luar biasa. "Pantas saja aku tidak melihat Kang Dirman sama sekali waktu pulang, ternyata Kang D
***"Di-- dia Manager Resto?" tanya Ranti gagap. "Kamu bercan~da?""Untuk apa saya bercanda, Bu, Pak Dirman memang Manager disini," jawab Mila ketus. Kang Dirman tersenyum sinis melihat Ranti dan Umi Laila yang saling pandang. Sampai akhirnya suami Annisa itu berbalik dan bersedekap dada sambil berucap, "Saya manager disini, Bu Laila. Pria bodoh yang tidak berpendidikan ini adalah manager di tempat kalian hendak mengenyangkan perut. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, tolong keluar dari Resto kami, saya tidak mau tempat ini dikunjungi oleh tersangka perencanaan pembunuhan." Semua pengunjung menatap ngeri ke arah dimana Ranti dan Umi Laila berada. Kasak-kusuk para penikmat makanan di Resto milik Haikal itu membuat dua wanita beda generasi itu berdiri dengan kikuk. "Kamu hanya manager, Kang ....""Ranti, ayo pergi!" Umi Laila menarik lengan Ranti karena merasa risih dengan tatapan tajam para pengunjung Resto. "Tutup mulutmu, ayo!""Umi, dia harus diberi pengertian, dia cuma manager,
***"Mas Haikal ...." Haikal menoleh dan mendapati Delia sudah berdiri di belakangnya, sementara Pak Handoko dan Kenan ternyata sudah masuk ke dalam rumah karena mendengar tangis Allyna yang tak kunjung berhenti. "Loh, mana Bapak sama Kenan?" Haikal celingukan, "Tadi ngopi disitu bareng sama aku, Dek, apa sudah masuk ke dalam?" tanya Haikal.Delia mengangguk lemah. Sorot matanya menyelami wajah Haikal yang terlihat sendu malam ini. Benar apa kata Pak Handoko kepadanya barusan, "Temui suamimu di halaman, sepertinya ada telepon penting yang mengusik hatinya, Nduk." Seketika Delia keluar dari dalam rumah setelah memberikan Azka pada Emak."Kenapa?" Delia bertanya sembari mengusap rahang suaminya yang mengeras. "Ada masalah apa, Mas?" cecarnya lirih. "Hah, ada apa memangnya, Dek?" Haikal balik bertanya dan berpura-pura kebingungan mendengar pertanyaan Delia. "Mas tadi dapat telepon dari Kang Dirman, eh tau-tau pas selesai telepon kok Bapak sama Kenan udah gak ada.""Kang Dirman bilang