***"Nduk, katanya mau periksa kandungan, telepon suamimu minta biar pulang sebentar," ujar Emak Asih pada Annisa yang tengah menikmati rujak buah di depan TV. "Nanti kalau siang-siang malah panas," imbuh Emak. "Nggih, Mak," jawab Annisa patuh. Emak tersenyum melihat piring berisi buah-buahan yang sudah diiris tipis kini telah tandas tak bersisa. "Mas Dirman bilang nanti sore saja, Mak. Katanya sekalian jalan-jalan ajak Emak juga. Emak mau kan?" tanya Annisa dengan posisi ponsel masih berada di telinganya. "Mau ya, Mak?"Emak Asih mengangguk seraya tersenyum lebar. "Ya mau kalau dipaksa, Nduk." Annisa tertawa mendengar jawaban Emak. "Tapi nanti Emak naik apa?""Mas Dirman bilang mau sewa mobil, Mak, sekalian jalan-jalan. Bagaimana?""Manut kalian saja," jawab Emak sembari meluruskan kakinya di depan TV. "Sini, Nduk ... kakimu kenapa bengkak begitu, sini Emak pijit!"Annisa mendekat dengan gembira. Di samping Emak Asih, wanita yang sedang hamil besar itu mendaratkan bokongnya dengan p
***"Sudah berapa banyak uang yang ‘panjenengan’ gelontorkan sampai-sampai masa kurungan putri semata wayang ini disunat sedemikian pendek, Umi?"Umi Laila menoleh mendengar sindiran menohok dari seseorang yang tengah berdiri sambil membawa pesanan untuk mejanya. Kang Dirman. Kedua bola mata Ranti dan Uminya terbelalak melihat sesiapa yang sedang berdiri di samping mereka. "Kang Dirman?" Ranti memanggil nama Kang Dirman dengan cukup lantang. Terkejut. Respon yang wanita berkulit putih itu berikan terkesan tidak dibuat-buat. Ranti sungguh tidak tahu jika Kang Dirman ada di Kota Surabaya, atau pula, Ranti tidak tahu jika Resto yang sedang ia dan Uminya kunjungi adalah milik seseorang yang begitu ingin dia miliki. "Kerja disini?" tanya Ranti basa-basi.Alih-alih menjawab, Kang Dirman justru menarik ujung bibirnya sinis melihat betapa wanita di sampingnya tidak menunjukkan gelagat canggung. Luar biasa. "Pantas saja aku tidak melihat Kang Dirman sama sekali waktu pulang, ternyata Kang D
***"Di-- dia Manager Resto?" tanya Ranti gagap. "Kamu bercan~da?""Untuk apa saya bercanda, Bu, Pak Dirman memang Manager disini," jawab Mila ketus. Kang Dirman tersenyum sinis melihat Ranti dan Umi Laila yang saling pandang. Sampai akhirnya suami Annisa itu berbalik dan bersedekap dada sambil berucap, "Saya manager disini, Bu Laila. Pria bodoh yang tidak berpendidikan ini adalah manager di tempat kalian hendak mengenyangkan perut. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, tolong keluar dari Resto kami, saya tidak mau tempat ini dikunjungi oleh tersangka perencanaan pembunuhan." Semua pengunjung menatap ngeri ke arah dimana Ranti dan Umi Laila berada. Kasak-kusuk para penikmat makanan di Resto milik Haikal itu membuat dua wanita beda generasi itu berdiri dengan kikuk. "Kamu hanya manager, Kang ....""Ranti, ayo pergi!" Umi Laila menarik lengan Ranti karena merasa risih dengan tatapan tajam para pengunjung Resto. "Tutup mulutmu, ayo!""Umi, dia harus diberi pengertian, dia cuma manager,
***"Mas Haikal ...." Haikal menoleh dan mendapati Delia sudah berdiri di belakangnya, sementara Pak Handoko dan Kenan ternyata sudah masuk ke dalam rumah karena mendengar tangis Allyna yang tak kunjung berhenti. "Loh, mana Bapak sama Kenan?" Haikal celingukan, "Tadi ngopi disitu bareng sama aku, Dek, apa sudah masuk ke dalam?" tanya Haikal.Delia mengangguk lemah. Sorot matanya menyelami wajah Haikal yang terlihat sendu malam ini. Benar apa kata Pak Handoko kepadanya barusan, "Temui suamimu di halaman, sepertinya ada telepon penting yang mengusik hatinya, Nduk." Seketika Delia keluar dari dalam rumah setelah memberikan Azka pada Emak."Kenapa?" Delia bertanya sembari mengusap rahang suaminya yang mengeras. "Ada masalah apa, Mas?" cecarnya lirih. "Hah, ada apa memangnya, Dek?" Haikal balik bertanya dan berpura-pura kebingungan mendengar pertanyaan Delia. "Mas tadi dapat telepon dari Kang Dirman, eh tau-tau pas selesai telepon kok Bapak sama Kenan udah gak ada.""Kang Dirman bilang
***"Kamu gila, Mas!?" pekik Safina dengan wajah memerah. "Kamu sadar kan lagi minta apa sama aku?"Pria berkemeja hitam yang sedang duduk di samping Safina itu melengos. "Fin, kita sudah lama menjalin hubungan, kamu mau kan menikah denganku?" ucapnya sambil menggenggam jemari Safina yang berkeringat. "Tidak ada yang salah dengan permintaanku, Safina, itu hal biasa ....""Ternyata aku belum benar-benar mengenalmu, Mas," sela Safina. Suaranya bergetar mendengar pria yang begitu dia cintai menganggap hubungan badan sebelum pernikahan adalah hal yang sudah biasa. "Apa sebelum menjalin hubungan denganku, kamu sudah biasa melakukan hal seperti ini? Maksudku ... kamu terbiasa ... astaga, aku bahkan tidak sanggup mengatakannya," imbuh Safina lirih."Aku tidak bisa, Mas, dan sepertinya lebih baik kita akhiri hubungan kita malam ini. Aku tidak akan pernah memberikan sesuatu yang paling berharga sebelum terikat pernikahan. Maaf ....""Fin ...." Lengan Safina ditarik dengan kasar. "Apa-apaan ka
***"Mas, mau kemana?"Azka menoleh dan mendapati Hafsah sudah berdiri di depan pintu. Di belakangnya, kedua orang tua Hafsah nampak tersenyum menatap Azka yang justru bergeming tanpa suara. "Mas Azka," panggil Hafsah mengulang. "Mau kemana?" tanya wanita berambut sebahu yang malam ini terlihat begitu cantik dengan balutan kaftan berwarna peach."Pak, Bu ...." Setelah mengumpulkan kesadaran, Azka bergerak mendekat dan mencium punggung tangan dua pasangan paruh baya yang sejak tadi memperhatikannya. "Monggo, silahkan masuk!"Pintu yang semula terbuka setengah kini telah dibuka penuh oleh Azka. Tidak butuh waktu lama, Delia dan Haikal keluar disusul dengan Bu Sarah dan Pak Handoko yang sudah menginap sejak kemarin malam. "Waalaikumsalam, Masya Allah ... tamu yang kita tunggu-tunggu akhirnya datang juga," ucap Delia ramah. "Mari silahkan duduk, Pak Denis, Bu Rania. Mari ....""Kamu cantik sekali, Nak," puji Delia ketika Hafsah mencium punggung tangannya takzim."Bunda bisa saja," sahut
***"Kamu salah paham, Haf ....""Bagian mana yang salah, Mas?" sahut Hafsah cepat. "Bagian karena aku bertanya apakah kamu mencintai Safina, iya?" Azka membuang muka, berdebat dengan Hafsah tidak pernah bisa membuatnya menjadi pemenang. Sejak duduk di bangku Kuliah, Hafsah terkenal dengan kecerdasannya. Bukan hal yang sulit bagi wanita berambut sebahu itu untuk menebak apa yang bergemuruh di hati calon suaminya."Kamu meninggalkan aku dan kedua orang tuaku ....""Safina dalam bahaya, Hafsah," sela Azka lirih. "Itu sebabnya kamu mengabaikan Ayah dan Bunda? Jika saja hanya aku yang datang, aku mungkin bisa menelan rasa kecewa sekalipun teramat pahit. Tapi kedua orang tuaku ... kamu sadar, Mas, mereka kecewa karena kamu memilih pergi di hari penentuan tanggal pernikahan kita," sahut Hafsah dengan suara bergetar. "Mereka mengira urusanmu begitu mendesak sampai-sampai harus pergi tanpa bisa ditunda. Tapi ternyata ... kamu pergi hanya demi Safina.""Haf, tolong mengertilah ... Safina itu
***Azka seketika menoleh ...."Haruskah kita membicarakan hal itu di Rumah Sakit, Bu?" tanya Azka sembari menatap sendu kedua mata Ibunya. "Aku akan mempertanggungjawabkan semuanya. Bila perlu, aku akan bersujud di bawah kaki kedua orang tua Hafsah karena sudah menyakiti putri mereka. Aku tidak akan bersembunyi di balik ketiak Ibu dan Ayah.""Ini bukan tentang bersembunyi di balik ketiak, Le ....""Aku tahu, Bu. Tapi akan jauh lebih brengsek jika aku menikahi Hafsah namun ternyata ada nama lain di hatiku."Delia memejamkan mata sambil merasakan rasa panas di wajahnya. Ucapan Azka barusan seolah memberi isyarat bahwa pernikahan antara dirinya dan Hafsah tidak akan pernah terjadi. "Pergilah, antar Hafsah pulang," pinta Delia lirih. Azka mengangguk patuh sebelum akhirnya pria berkulit bersih itu mencium punggung tangan Ibunya dan berjalan mendahului Hafsah yang masih memeluk erat tubuh Delia. "Pantaskah Ayah dan Ibu mendapatkan semua ini, Bun? Mereka begitu menyayangi Mas Azka, betap