"Jangan, Mas!" Aku melepas diri dari Mas Arfan, mendo-r0ng dadanya hingga lelaki itu mundur. Aktifitasnya di bibirku terhenti menyisakan napasnya yang memburu.
"Kamu istriku, Nabila. Aku berhak melakukannya." Dia menatapku geram karna hasratnya yang tertahan. "Hanya istri di atas kertas, istri sementara yang tidak kamu cinta." Getir aku ucapkan. Rasa sesak menyeruak dalam dada.***Pernikahan yang kukira tulus adanya, ternyata suamiku terpaksa. Pada malam pertama kami dia ungkapkan semuanya. "Aku terpaksa menikahimu, Nabila. Demi orang tua dan demi agar aku dapat warisan. Aku sudah punya istri asal kamu tau. Istri yang baru kunikahi siri karna belum bisa kuresmikan. Dan aku sudah punya anak." Bagai tersambar petir aku mendengarnya. Mas Arfan yang kukira baik ternyata bukan lelaki lajang. Pria dewasa itu sudah punya istri yang disembunyikan. Aku bukan perempuan pertama baginya. Dia mencintai perempuan lain bahkan sudah memiliki anak .... "Aku tidak akan menyentuhmu sampai satu tahun. Setelah itu kita pisah."Mendapati kenyataan pahit, aku tidak kuasa menahan tangis. Baru menikah tapi sudah membicarakan perpisahan."Aku akan memberimu uang, rumah, mobil setelah perceraian." "Kenapa kamu tidak terus terang sama aku, Mas?!" Aku marah tapi juga sambil menangis. Tidak kuhiraukan janjinya yang akan memberiku harta setelahnya. "Karna nanti kamu tidak mau.""Aku menikah karna menyukaimu, Mas. Tapi kamu ternyata ... hanya manfaatkan aku. Aku menikah karna ibadah, Mas. Tapi kamu ternyata ... hanya karna harta." Sungguh menyesal jadinya. Andai tau, aku tidak akan menerima pinangan Om Kurniawan dan Tante Reni, selaku orang tua Mas Arfan. Mereka teman orang tuaku. Sepakat menjodohkan kami. Mas Arfan sendiri pintar mengambil hatiku. Bersikap ramah tidak ada gelagat sama sekali dia terpaksa. Sebelum menikah dia bahkan meyakinkanku dengan lembut. "Kamu mau menikah denganku, Nabila?""Mau, Mas." Aku yang tersipu bertambah malu saat dia tersenyum. Membuat wajahnya yang tampan menjadi lebih menawan. Mas Arfan lalu mengecup keningku. Berbunga-bunga hatiku setiap hari. Ternyata itu semua hanya kamuflase. Setelah menikah rasa senang itu lenyap. Berganti nestapa tak terperi kurasakan. Pernikahan menjadi mimpi buruk.Malam-malam dilewati, aku dibiarkan tidur sendirian berteman sepi. Mas Arfan memilih tidur di kamar lain. Terkadang tidak pulang dan aku tahu ke mana perginya dia. Pada istri pertamanya. Tidak ada obrolan hangat. Mas Arfan menjadi sosok dingin tidak ramah lagi. Dia benar-benar menjaga jarak. Langsung pergi setelah menikmati sarapan yang kusediakan tanpa pamit. Dan aku hanya mematung sendu melihatnya berlalu. Namun, setelah satu bulan, Mas Arfan kudapati sering curi-curi pandang ke arahku. Ketika aku berpakaian terbuka. Tidak memakai hijab dalam rumah. Aku merasa tidak berdosa jika pun membuka auratku. Toh tidak ada orang lain di rumah ini selain kami berdua. Rupanya hal itu membuat Mas Arfan mendekatiku. Aku terkejut saat membuat teh hangat dia tiba-tiba memelukku. "Mas?" Aku cemas. Tangannya yang melilit di perutku kulepaskan. "Diam, Bila." Dia mempertahankan. "Mas, ini tehnya sudah jadi. Aku mau kembali ke kamar." "Begini saja dulu." "Tidak, Mas." Aku berlepas lagi dan berbalik."Kamu berpakaian seperti ini, sengaja menggodaku?""Ti-tidak, Mas." Aku mundur saat dia mendekat dengan tatapan yang kutahu artinya. Mas Arfan seperti lupa ucapannya malam itu. Dan dia tampak tak peduli. "Aku ... menginginkanmu," ucapnya dengan suara berat. Aku menggeleng lalu pergi. Aku senang jika dia mencintaiku dan tidak ada perempuan lain selain aku. Pasti suka rela kuberikan semua. Tapi aku sadar dia sedang hilaf, dan aku menyesal akhir-akhir ini sering memakai dress pendek. Aku tersentak saat pintu dibuka. Mas Arfan menyusul ke kamar. Menatapku dengan tatapan semakin damba. Aku berjalan mundur lagi saat dia mendekat. Hingga tubuhku membentur tembok dan berhenti bergerak. Dia menarik aku lagi dalam pelukan. Kami yang menempel membuat aku bisa merasakan degup kencang di dadanya. Sama berdebar denganku. Tapi aku takut, berbeda dengan dia atas dorongan hawa nafsu. "Lepas, Mas." Aku hendak menjauh tapi Mas Arfan malah semakin mempererat pelukan. Beberapa kecupan menyusul mendarat di rambutku. Dia lalu melepasku, membelai pipi lembut. Kemudian mendekat lagi menyatukan bibir denganku. Mataku membola. Antara terkejut, tak terima, tapi juga ... rindu. Baru pertama kurasakan dalam sepanjang hidupku. Tapi menjadi tidak indah karna dilakukan bukan atas dasar cinta. Aku senang tapi juga sakit. "Jangan, Mas!" Aku melepas diri dari Mas Arfan, mendo-r0ng dadanya hingga lelaki itu mundur. Aktifitasnya di bibirku terhenti menyisakan napasnya yang memburu. "Kamu istriku, Nabila. Aku berhak melakukannya." Dia menatapku geram karna hasratnya yang tertahan. "Hanya istri di atas kertas, istri sementara yang tidak kamu cinta." Getir aku ucapkan. Rasa sesak menyeruak dalam dada. Aku malu telah terbuai dan membiarkan sesaat. Mas Arfan terdiam mencoba mengatur napasnya yang tersengal. "Kamu sendiri yang bilang tidak akan menyentuhku." Laki-laki itu melengos saat melihat bulir bening jatuh di pipiku."Bagaimana dengan perempuan itu, Mas. Kamu sudah menghianatinya dengan menikahiku dan mau menghianatinya lagi dengan menyentuh tubuhku?" Mas Arfan tampak membuang napas. Menatapku tak suka. Lalu mengusap wajah kasar. "Jangan berpakaian seperti itu lagi di depanku!" tegasnya. Kemudian pergi. Menutup pintu kamar kencang. Aku mendekat ke pintu itu dan bersandar pilu. Aku merindukanmu, Mas ... tapi aku tidak mau hanya menjadi pelampiasanmu. Rintik hujan jatuh banyak di pipi dan menjadi deras saat terdengar suara mobil Mas Arfan. Lelaki itu pergi. Tubuhku pun luruh di lantai. Tersedu sendiri. *** Setelah dua hari tidak pulang Mas Arfan mengajakku pergi. Entah ke mana aku tidak tahu. Hanya terdiam penasaran dalam mobil. Sesekali meliriknya yang serius mengemudi. Lelaki ini tidak merasa bersalah sudah meninggalkanku begitu saja. "Kita mau ke mana?" Aku yang sebenarnya tengah marah akhirnya bertanya meski tanpa melihat padanya hanya menatap lurus ke depan. "Ke apotek." "Mau apa?" "Beli pil KB."Aku mengeryit heran. "Buat siapa?""Buat kamu." Cepat aku menoleh dengan mata yang membelalak. Mas Arfan tidak terganggu dengan keterkejutanku beralih lagi memandang jalan. "Kamu suruh aku minum itu?""Ya.""Kamu ingin menggauliku?""Tidak ada yang salah, kamu istriku." "Dan kamu tidak ingin terjadi anak?" Mas Arfan diam. "Tega, kamu, Mas! Setelah menipuku, memanfaatkanku, mempermainkan perasaanku, kini kamu hanya ingin tubuhku?" "Selain rumah, mobil, uang, aku akan menambahkan sebidang tanah untukmu setelah kita berpisah nanti." "Lanca-ng kamu, Mas! Kamu pikir aku pela-cur pribadimu?" Seketika mata memanas dan menjatuhkan bulir air meski aku berusaha tegas. Meski rahangku mengeras. "Kamu rugi membiarkan kegadisanku?" Mas Arfan masih diam, hanya fokus ke depan. "Kamu rugi berpisah denganku sementara tidak menyentuhku?" "Saat ini posisi kamu sebagai istri sahku. Kamu harus melayaniku. Berdosa dan durhaka kalau menolakku." "Kamu pikir kamu tidak berdosa, Mas, sudah menyakitiku? Kamu pikir kamu tidak berdosa, menentukan waktu pernikahan kita dan hendak menceraikan setelahnya?""Nabila, jangan membantahku!" "Turunkan aku. Hentikan mobilnya.""Kita akan tetap ke apotek. Kamu harus rutin minum pil KB mulai sekarang.""Aku tidak mau!" "Mau tidak mau kamu harus menyerahkan dirimu." "Kamu minta saja sama istri pertamamu! Jangan minta padaku. Aku hanya istri sementaramu!""Kamu tidak usah merasa rugi, Nabila. Karna aku akan membayar semua waktumu." "Aku tidak ingin apa-apa. Aku mau cerai sekarang juga!" Tak tahan rasanya. Mas Arfan melupakan ucapannya. Aku tidak sudi jika hanya disuruh melayani tanpa boleh memiliki anak dan tetap berpisah. Lebih baik kuakhiri secepatnya."Silahkan cerai sekarang dan Ayahmu yang tengah sakit jantung itu akan terkejut mendengarnya. Kamu mau terjadi sesuatu dengannya?" Aku membelalak. Seketika tidak bisa berkutik. Selain merasa sedih yang amat dalam. ***Mas Arfan berhasil membawaku masuk ke sebuah apotek di klinik. Membeli lima lembar pil KB sekaligus. Dia rela bertanya pada apoteker perempuan yang sudah berpengalaman tentang penggunaan dan aku hanya diam menyimak penjelasan dengan hati perih. Aku tidak bisa menebak pikiran lelaki itu. Menjaga jarak, bersikap dingin, mendekat, menjauh lalu sekarang hendak mendekatiku lagi. Bagaimana dengan perempuan itu? Di sisi lain dia tidak ingin mengecewakannya tetapi sekarang seolah tak peduli. Egois memang, kamu, Mas.Selesai berurusan dengan mbak itu, Mas Arfan mengajak keluar. Belum sampai mobil seseorang mendekat cepat padanya. Menghentikan langkah kami. "Sayang, kok kamu ada di sini?" Perempuan cantik memanggil Mas Arfan sebutan mesra sambil menyentuh lengannya. "Saskia?" Kulihat wajah lelaki itu menegang kaku. "Em ... aku ... habis beli obat." Dan terbata bicaranya. Sikap tegas yang dipertunjukkan padaku hilang berganti cemas. "Obat apa?""Cuma obat demam." Perempuan dengan tubuh semapai dan modis itu tampak tidak puas dengan jawabannya dan memberi tatapan menyelidik. Tanpa berkata-kata lagi merebut kantong plastik dari tangan Mas Arfan. "Jangan, Saskia." Telat. Perempuan itu sudah melihatnya. Wajah cantiknya berubah memerah. Menatapnya marah. Dia juga melihat padaku dengan pandangan yang sama. Lalu tertuju pada Mas Arfan lagi. Aku meringis ketika tamparan keras mendarat di pipinya."Kamu bilang tidak akan sentuh dia. Tapi ini, apa?!" Perempuan itu menunjuk padaku juga mengangkat ke atas kantong berisi pil KB, ke hadapan wajah Mas Arfan. "Kamu tega, Mas." Dia lalu bersedih terisak kecil. Merasa didustai ucapannya tadi. Juga merasa sakit hati. "Saskia, aku bisa jelaskan." Perempuan itu tidak menggubrisnya. Menjatuhkan dan menginjak kantong pil tersebut dengan ujung sepatu haknya yang runcing. Lalu mendekat cepat padaku. Menarik hijabku kencang sampai rambut di dalamnya tertarik. "Dasar pelakor! Jangan menggoda suamiku!" "Ah, sakitt.""Saskia, hentikan!"Melihat bagaimana usaha Mas Arfan menghentikan aksi istri siri-nya itu dan menjauhkan dariku, salahkah jika aku merasa senang? Setelah sebulan lebih aku dibuat menderita setiap hari dengan sikapnya demi dia, sekarang gantian perempuan itu yang tampak tersiksa karna Mas Arfan melindungiku. Salahkah aku merasa terhibur? "Dasar perempuan gatal. Buka saja jilbab kamu itu. Mau jadi pelakor syar'i kamu, hah?!" Lihat, menuduh seenaknya. Aku tidak merasa menjadi perempuan seperti itu justru aku adalah korban. "Saskia, sudah! Malu dilihat orang." Mas Arfan sibuk menenangkan dan menahan tubuhnya yang terus berusaha untuk menyerangku. Aku tersenyum tipis menonton. Seperti itu kelakuan perempuan yang kamu bela-bela, Mas? Sampai menentang keluargamu. Tetap membersamainya dengan menikah siri. "Ayo, pulang. Di mana mobilmu?""Aku nggak mau pulang. Aku mau perempuan itu jauh dari kamu!" jeritnya belum puas memakiku. "Kamu tidak boleh sentuh dia, Mas! Kamu jangan mencoba merayu suamiku!" Menyalahk
Apa aku salah menerima tawaran diantar pulang kakak sepupu suami sendiri? Gerimis mendadak turun. Aku yang awalnya menolak akhirnya mau masuk mobilnya. "Tidak usah sungkan dari pada kehujanan." Aku hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Mas Satya kemudian menjalankan mobil kembali. Mendadak suasana kaku kurasakan karna memang kami tidak akrab dan baru beberapa kali bertemu. Mas Satya memiliki garis wajah yang mirip dengan suamiku dengan postur tubuh yang juga sama. "Saya melihat kamu turun dari mobil Arfan dan dia langsung pergi." Jadi, dia tadi ada di belakang mobil Mas Arfan?"Arfan pasti menurunkanmu karna perempuan itu." Mataku melebar menatap sosoknya. Mengapa dia tau? Lelaki itu balas menatapku lalu fokus mengemudi lagi. "Saya tau hubungan dia dan perempuan itu. Dengan Saskia."Apa? Dia mengetahuinya?"Termasuk pernikahan siri mereka dan Mas Arfan yang punya anak?" cecarku. Dia mengangguk. "Ya." "Apa keluarga yang lain tahu?""Sepertinya tidak." Aku menghela napas kecewa,
Pintu ditutup kencang. Membuatku terlonjak kaget dan termenung setelahnya. Mas Arfan akhirnya meninggalkanku tidak terus memaksa. Ampuni aku sudah menolaknya. Ada rasa sesal, bersalah, tapi juga marah. Ujung baju kurapatkan dan mendekap diri ditemani sepi, setelah tadi dibuat panas tingkah suami sendiri. Andai tidak ada Saskia, Mas. Kita pasti sudah bahagia. Mereguk rasa surgawi bersama. Perempuan itu sedang datang bulan aku tahu, meski Mas Arfan tidak mengatakannya. Sewaktu di apotek pembantu yang membersamai Saskia menyebutkan belanjaan pemba-lut. Tidak salah lagi. Terlihat dari wajah dan sikap Mas Arfan sendiri yang uring-uringan dan berubah-rubah, menjauh lalu tidak bisa menahan diri mendekatiku lagi. Lelaki itu tersiksa tidak ada tempat menyalurkan hasrat. Harusnya kamu bisa menahan diri. Bukankah itu hal biasa? Apa karna ada aku di sini sekarang, jadi tidak terkendali? Aku beranjak menuju lemari untuk mengganti baju. Pil KB yang diberikan Mas Arfan kubiarkan begitu saja di
"Baik. Aku pergi sekarang juga!" Kutinggalkan Mas Arfan melangkah cepat dan berlari kecil menaiki tangga. Tidak peduli dia yang tertegun setelah mendengar jawaban tegasku. Di kamar mengeluarkan koper dan membuka lemari. Aku sudah ingin pergi sejak dia jujur malam itu. Baju-baju kumasukkan asal dengan hati perih dan rasa tak menentu. Mas Arfan keterlaluan. Menyuruhku pergi demi perempuan itu. Tetes air mata jatuh di pipi teringat Bapak. Maafkan, Nabila, Pak. Jika sekarang kembali ke rumah Bapak. Semoga tidak mengganggu kesehatan Bapak. Kuseka kasar tangisku dengan telapak tangan. Koper ditutup dan menurunkannya dari tempat tidur. Mas Arfan terdiam melihatku saat menuruni tangga. Sedangkan Saskia tersenyum senang sambil merangkul lengannya manja. Aku menunduk tidak mau melihat keduanya. "Saya pamit, Mas. Nanti Mas Arfan nyusul untuk menjatuhkan talak di hadapan orang tua saya." Setelah itu, tanpa menunggu jawabannya aku keluar. Melangkah dengan berat hati dan perasaan yang hancur.
"Kok?" Mama Papa seketika keheranan. "Di mana sebenarnya kamar kalian?" "Kamarnya di atas!" "Kamarnya di bawah!" Kami menjawab berbarengan lagi tapi masih tidak satu tujuan. Tadi Mas Arfan menyebut kamarnya di bawah sekarang menyebutkan kamarku di atas. Pun sebaliknya, aku menyebutkan kamarnya. Berkebalikan dengan sebelumnya yang menyebut kamar masing-masing. Orang tua Mas Arfan terdiam semakin terheran-heran. Aku dan Mas Arfan kembali saling melirik. "Maksudnya, kami kadang tidur di kamar atas, kadang di kamar bawah, bukan begitu, Sayang?" "Oh, i-iya, Ma, Pa." Aku jadi menjawab gugup karna Mas Arfan kali ini merengkuh pinggangku mesra. "Ooh." Mama Papa lalu tertawa. "Kalian ... ya ampuun."Suamiku pun ikut tersenyum dan menghela napas lega. Kamu masih aman, Mas!***"Jangan deket-deket, Mas." Aku sedikit menjauhkan kepala Mas Arfan karna dekat sekali dengan kepalaku. "Apa sih, kamu?" sahutnya kesal. "Itu udah ada guling, Mas. Jangan lewatin batas guling." Kami terpaksa tidur
"Maaf, Bu. Arfan baru bisa nyusul Nabila ke sini." "Iya, tidak apa-apa. Kamu orang sibuk Ibu ngerti." Rupanya Mas Arfan nekat ke rumah orang tuaku meski tengah malam. Aku mendengar suaranya dari dalam kamar. "Diminum teh-nya, Fan. Mumpung masih anget.""Iya, Bu. Terimakasih." "Sudah makan? Kalau belum Ibu ada sayur dan lauknya. Ibu bisa angetin.""Udah, Bu. Nggak usah." "Nabila ada di kamarnya, tadi katanya kurang enak badan.""Oh, ya, Bu. Arfan memang belum sempat membawa ke dokter. Kalau gitu Arfan temuin Nabila dulu. Silakan Ibu istirahat. Maaf, sudah mengganggu.""Iya, silahkan. Bawa saja tehnya.""Iya, Bu."Aku buru-buru meringkuk. Sudah menyimak obrolan mereka. Pintu kamar dibuka Mas Arfan. Terdengar suara gelas ditaruh. Aku yakin itu teh manisnya. "Bila." Dia menyentuh bahuku. "Kamu nggak apa-apa?" Mau tidak mau aku membuka mata. Melihatnya sudah duduk di sisiku. "Aku nggak tau kamu sakit. Kamu nggak bilang.""Memangnya kalau bilang kamu peduli?" Lelaki itu diam. Aku
"Enggak, Mas." Tangan itu kulepas dari perut. Dia bilang tidak akan menyentuhku tapi dia sendiri yang seenaknya menyentuh. Tidak bisa dipercaya ucapanmu!"Aku mau menginap lagi di sini. Masih ingin menemani Bapak. Sudah lama aku baru ke sini lagi.""Ternyata kamu keras kepala, Nabila." Raut wajah Mas Arfan berubah dingin lagi. Setelah kemauannya tidak kuturuti. "Kamunya mikir, dong, Mas. Jangan cuma bisanya berkata manis di depan orang tuaku saja. Tapi saat anaknya mau menjenguknya hanya diberi waktu sedikit!""Kamu tidak takut dosa menolakku? Aku suamimu yang harus kamu patuhi!""Kamu yang tidak takut dosa, Mas. Membohongi semua orang. Kamu tidak usah keterlaluan mengaturku. Niatmu saja salah menikahiku!" "Aku akan memberimu imbalan setelah itu. Jadi, tidak usah merasa rugi.""Sudah, Mas. Lebih baik kamu pergi. Aku mau menginap sehari lagi di sini.""Terserah. Mau tidak pulang pun. Semaumu saja!" Aku terhenyak dia merespon seperti itu. Lalu berbalik membuka pintu dan keluar melang
"Dasar mes-um!" Kujauhi pintu setelah mengunci. "Nabila!" Tidak peduli dia mengumpat lagi di luar sana. Tidak peduli besok bertemu dengannya akan bagaimana. Temui saja Saskia! Tuntaskan hasratmu bersamanya. Menyesal pergi ke dapur. Hanya membuat sakit mata.Melangkah gontai menuju tempat tidur. Memikirkannya yang sekarang begitu ingin menyentuhku. Tidak seperti awal-awal menikah bisa menjaga jarak. Duduk termenung di sisi ranjang. Apa istimewanya Saskia, Mas? Sampai-sampai kamu menggilainya. Apa karna dia sangat cantik dan tinggi seperti model? Memiliki tubuh ideal sesuai maumu, begitukah Mas? Atau karna penampilannya yang seksi? Yang memperlihatkan paha, tangan, leher mulusnya dengan memakai dress pendek atau hotpant. Perih diperut terasa lagi. Aku sampai gagal mengambil makanan dan lupa setelah melihat kemesraan mereka. Membuka tas teringat ada makanan, mengeluarkan sebungkus roti dan satu teh kotak. Memakannya dengan pikiran kemana-mana. ***Besoknya pagi-pagi sarapan sudah ter
"Nabila?"Saat membuka mata yang kulihat hanyalah Mas Arfan. Menyebut namaku beberapa kali, sembari menyentuh telapak tangan. Melihat sekitar ternyata aku sedang terbaring di sebuah ruangan. Aku mengeryit saat hendak bangun. "Diam saja dulu kalau masih pusing." Mas Arfan membantu merebahkan tubuhku lagi. "Kamu tadi pingsan," ucapnya lagi lembut dan menatapku teduh. "Kamu anemia. Tensi darah hanya sembilan puluh per enam puluh. Selain itu ...." "Aku kenapa, Mas?" selaku tidak sabar menanti ucapannya selesai. Takut ada sakit serius di tubuhku. Mas Arfan malah tersenyum dan tampak berbinar matanya. Digenggamnya lagi tanganku erat. "Kamu hamil," ucapnya sumringah. "Aku hamil?"Dia mengangguk semangat. "Kata dokter iya, ketahuan dari tes darah ada kadar HCG di situ. Pertanda janin tumbuh." Ya Allah, pantas tamu bulanan tidak datang-datang. Ternyata tumbuh embrio di rahimku. Tidak mengira bakal langsung jadi padahal belum lama berhenti minum Pil KB. "Ada anak aku. Kamu harus mau kembal
"Maafkan kami, Pak Rasyid, Bu Nafa ... tidak memberitahukan sebelumnya, kalau Arfan mempunyai istri simpanan." Mama membuka percakapan setelah kami berkumpul. Diliriknya Mas Arfan yang tertunduk dalam. "Kami tidak bermaksud menipu." Papa melanjutkan pembicaraan. "Kami memang berniat menjadikan Nabila menantu bukan semata-mata mempermainkan.""Saya menyukai Nabila dengan pribadinya yang baik, sedangkan Saskia bukan wanita baik-baik, mendekati Arfan hanya untuk tujuan yang salah." Gantian Mama yang berbicara kembali. "Sebelum bersama Arfan dia sudah menjalin hubungan lebih dulu dengan laki-laki lain, bahkan anak yang dikandungnya pun anak laki-laki itu. Tapi karna sudah terpengaruh kuat Arfan tidak bisa melihat kebenarannya. Saya menikahkan dengan Nabila untuk menjauhkan dari dua orang jahat seperti mereka. Percaya Nabila pasangan yang tepat untuk Arfan." Orang tuaku sama-sama menarik napas dalam. Tapi masih tidak bicara sepatah kata pun. Mama melirik pada Mas Satya. "Kami sadar, apa
"Saskiaa." Mas Arfan terus memeluk tubuh tidak bernyawa itu. Dua tahun dia hidup bersamanya, menemani siang menemani malam, menemani makan, menemani tidur, berbagi hangat tubuh, sekarang telah pergi begitu saja. Tanpa adanya penyakit yang menggerogoti. Hilang dihabisi orang lain. Meninggalkan rasa pilu amat dalam. Rasa kecewanya yang besar setelah tahu semua hal buruk tersembunyi, tertepis saat dia pergi untuk selamanya. Bagaimana pun sosok itu pernah mewarnai hidupnya. Membuat semangat, membuat bahagia, dan sudah menyelamatkan nyawa meski kecelakaan itu sengaja. Daniel memang ingin membunuhnya. Saskia bisa kuat menemani tanpa direstui dan hanya disembunyikan dari publik. Mas Satya menghampiriku. Mengusap-usap bahu. Aku pun berbalik menghadapnya tidak kuat melihat Mas Arfan dan Saskia lagi. Dia merangkul membenamkan kepalaku di dadanya. Saskia diurusi di kediamannya. Banyak tetangga melayat. Juga ada beberapa saudaranya, mereka tampak sedih melihat kepergiannya yang mengenaskan. A
"Bedebah!"Mas Arfan langsung menghampiri laki-laki yang sibuk memakai bawahan. Menonjok wajahnya hingga beberapa kali. Aku dan Mas Satya masuk. "Mas, jangan Mas!" Kini Mas Arfan beralih pada Saskia, yang sibuk menutupi tubuh dengan selimut setelah tadi berada di atas laki-laki itu sama-sama bertelanja-ng bulat. Menampar keras pipinya, sampai terjerembab di bawah. Tidak puas Mas Arfan berjongkok menamparnya lagi kedua kali. Aku meringis melihatnya. "Diam kamu Daniel!" Mas Satya sudah bergerak cepat menahan lelaki itu. Menodongkan senjata api di kepalanya sehingga tidak bisa berkutik. "Ternyata kamu biangnya. Anak dari musuh keluarga Dhanurendra!" Dhanurendra nama belakang Mas Arfan, juga merupakan nama belakang Papa.Laki-laki bernama Daniel itu sengaja menjadikan Saskia sebagai umpan untuk membuat bangkrut Mas Arfan dengan mengambil hartanya. Dan akan memakmurkan perusahaannya sendiri. "Mas ... Ini semua tidak seperti yang kamu lihat." Saskia memeluk lutut kakinya. Sudah tertangka
"Mas! Kamu berbuat mesra dengan Nabila?!" Lagi, suara Saskia melengking di telingaku. Tapi suaranya kecil di pendengaran Mas Arfan dan tidak jelas. Hingga lelaki itu tidak terganggu. "Awas kamu, Mas!!!" Dia mengira Mas Arfanlah yang menerima telepon. Aku terkejut saat ponsel direbut. Menatap Mas Arfan tegang hawatir akan marah. Ternyata dia malah mematikan sepihak. Lalu melempar asal ponsel ke seprai. "Mas?" "Aku tidak ingin diganggu." Lalu menyibukkan diri merasai tubuhku kembali. Staminanya yang kuat mampu menerbangkanku lagi. Hingga ke paling puncaknya. Usai berhubungan Mas Arfan langsung tertidur nyenyak. Aku sudah membersihkan diri dan memakai pakaian lengkap. Perlahan menjauhinya ke luar kamar. Mencari udara segar dan berkomunikasi dengan Mas Satya ditemani secangkir minuman hangat di sebuah kedai. Di Bandung aku tidak terlalu buta arah dan lebih leluasa karna memakai bahasa sehari-hari tidak seperti di luar negeri. Bersama kakak sepupu suami aku banyak bercerita. "Aku sud
"Sini, Mas, rambutmu aku ambil. Atau mau ganti dengan tes darah atau air liur?" tawarku pada Mas Arfan yang kini ada di sampingku. "Sudah. Rambut saja. Ambil sedikit.""Oke." Gunting di tangan kuarahkan pada rambutnya dan memotong sedikit. "Segini, Mas, cukup." Rambut itu kuperlihatkan. Mas Arfan tidak protes dan aku memasukkannya dalam plastik kecil. "Sekarang tinggal rambut Savia, ya, Mas." Lelaki itu mengangguk kecil. Ah ... aku senang dia manut begini. Demi bisa menikmati tubuhku lagi, demi bisa aku hamil, juga demi bisa dapat warisan, dia akhirnya rela menurunkan ego. Dasar laki-laki, kalah sama nafsu sendiri. Kami sampai di depan rumah Saskia di komplek sederhana. Aku mematung begitu turun dari mobil. Selama menikah dengannya baru tahu tempat tinggal istri sirinya itu. Pantas Saskia sangat mengingkan rumah yang tengah aku tempati dengan Mas Arfan, dia ingin lebih leluasa dari rumah minimalisnya ini. Aku yakin ini juga rumah pemberian Mas Arfan. Belum bisa memberikan rumah me
Mas Arfan menahanku yang hendak pergi. "Kamu sengaja menguping?" Aku tidak mau menjawabnya memilih pergi lagi. "Nabila! Hei!" Semakin kupercepat langkah. "Arfaan ... kenapa sih pagi-pagi sudah teriakkin Nabila?" Mama protes mengampirinya. Lelaki itu berhenti mengejarku. "Kenapa? Kan bisa bicara baik-baik." "Eh, nggak apa-apa, kok, Ma." Aku tidak jadi masuk kamar memperhatikannya yang jadi salah tingkah. Dan berusaha menormalkan raut wajah. Lelaki itu melirikku dengan tatapan dingin dan mencoba tersenyum saat tertuju pada Mama lagi. Aku pun memasuki kamar. Kamu pusing kan, Mas? Tidak semudah itu kamu untuk mendapat semua harta Papamu. Kamu harus memberikan cucu dulu. Harus bisa membuatku hamil dulu. Aku sedikit tersentak saat dia menyusul ke sini. Pintu ditutupnya pelan. Dan berjalan lambat menghampiri aku di sisi ranjang. Mas Arfan duduk di sampingku. Tampak pusing dan bingung. Terdengar helaan napasnya yang berat. "Kamu senang?" tanyanya tetap menatap lurus ke depan. "Tidak ta
Aku tersentak dari tidur dengan terisak-isak pilu. Menunduk memegangi dada sendiri. "Astagfirullah ... Ya Allah." Rupanya tragedi itu hanya dalam mimpi. Tapi rasa sakit dan ketakutannya terbawa hingga ke dunia nyata. Betapa aku dan Ibu seketika menangis histeris melihat Bapak ambruk kesakitan. Setelah mendengar keadaan rumah tanggaku yang sebenarnya dan hendak cerai. Jantung Bapak langsung collaps. Mungkin, itulah yang akan terjadi jika aku bercerita yang sebenarnya dengan resiko kehilangan Bapak selamanya. Aku menggeleng. Ya Allah, aku tidak ingin membunuh orang tuaku sendiri dengan kabar buruk ini. Mimpi sangat menakutkan, membawa langkah kaki ini ke luar kamar, melihat Ibu dan Bapak dari celah pintu. Tenang mengetahui mereka baik-baik saja. Ibu terlihat sedang memberikan air minum. Damai wajah Bapak yang bersandar ketika Ibu memijiti betis kakinya. Aku pun kini tersenyum. Mengusap pipi yang masih dijatuhi air mata. Masih sangat terasa suasana di alam bawah sadar tadi.***Saat
"Ini, Pak. Hasil tes DNA-nya.""Terimakasih." Mas Satya pamit, aku juga. "Ayo, Nabila." Membawa surat hasil tes ke luar ruangan. Lipatan kertas itu dibuka Mas Satya. Kami sama-sama melihatnya. Aku membelalak begitu membaca keterangannya. "Jadi? Mas?" Kulirik lelaki itu yang mematung. "Benar," lirihnya."Benar bukan Ayahnya," sambungnya dengan tegas kini. Dugaan kami tidak salah. Surat Hasil Identifikasi DNA memberitahukan tidak ada kecocokkan gen mereka. Penelitian sebanyak 99,9 persen menunjukkan Mas Arfan bukan Ayah biologis Savia.Aku sudah deg-dekan ketika melihat hasilnya. Sekarang lega setelah tahu anak itu bukan darah daging Mas Arfan. "Surat tes DNA yang Mas Arfan miliki berarti palsu atau sudah dimanipulasi, Mas, oleh Saskia.""Ya. Hanya akal-akalan perempuan itu." "Papa aslinya pasti orang dalam mobil itu, Mas." Aku teringat sekilas saat Saskia mengobrol dengan laki-laki asing dalam mobil mewah itu. "Dia sengaja menjebak. Menyuruh Saskia merayu Arfan sampai luluh lalu