"Maaf, Bu. Arfan baru bisa nyusul Nabila ke sini."
"Iya, tidak apa-apa. Kamu orang sibuk Ibu ngerti." Rupanya Mas Arfan nekat ke rumah orang tuaku meski tengah malam. Aku mendengar suaranya dari dalam kamar. "Diminum teh-nya, Fan. Mumpung masih anget.""Iya, Bu. Terimakasih." "Sudah makan? Kalau belum Ibu ada sayur dan lauknya. Ibu bisa angetin.""Udah, Bu. Nggak usah." "Nabila ada di kamarnya, tadi katanya kurang enak badan.""Oh, ya, Bu. Arfan memang belum sempat membawa ke dokter. Kalau gitu Arfan temuin Nabila dulu. Silakan Ibu istirahat. Maaf, sudah mengganggu.""Iya, silahkan. Bawa saja tehnya.""Iya, Bu."Aku buru-buru meringkuk. Sudah menyimak obrolan mereka. Pintu kamar dibuka Mas Arfan. Terdengar suara gelas ditaruh. Aku yakin itu teh manisnya. "Bila." Dia menyentuh bahuku. "Kamu nggak apa-apa?" Mau tidak mau aku membuka mata. Melihatnya sudah duduk di sisiku. "Aku nggak tau kamu sakit. Kamu nggak bilang.""Memangnya kalau bilang kamu peduli?" Lelaki itu diam. Aku membuang pandangan memiringkan tubuh kembali. "Aku habis dari rumah Saskia." Dan aku sudah tahu itu. Ke mana lagi memangnya, kalau bukan pergi ke rumah perempuan itu? Jadi, percuma aku bilang pun. Dia pasti akan tetap menemui Saskia. Mana mau menemaniku? "Kenapa kamu ke sini? Takut rahasiamu aku bongkar, iya?""Sudahlah, Nabila, kamu tidur saja." Aku mendengus dan terdiam. Malah jadi sulit tidur karna kedatangannya. Tidak menyangka dia akan ke sini. Aku sudah berpikir dia tidak akan peduli. "Aku kira kamu tidak jadi pergi." Nyatanya aku di sini. Dia pikir aku tidak berani keluar malam sendirian? Dan karna aku pergi dia terpaksa harus meninggalkan Saskia. Karna mencemaskan rahasianya. "Ibu masih memperlakukanku baik. Terimakasih kamu masih menjaga aman rahasia tersebut. Aku yakin kamu tidak akan melakukan itu." "Bagaimana kalau ternyata aku mengatakan semuanya?" balasku cepat setelah terdiam beberapa saat. Aku tersentak Mas Arfan membalikkan tubuhku begitu saja menghadapnya. "Kamu tidak akan melakukan itu." Lelaki itu merunduk di atasku menatapku intens."Jangan terlalu percaya diri!" Aku menepis dua tangannya dari bahu, menjauh lagi. Dia duduk tegap dan malah tersenyum dengan manis, menambah tampan wajahnya. Aku melengos kembali dan merasakan pipi memerah karna ditatap seperti itu seakan menggodaku. Dia tidak takut setelah di sini, seakan aku bisa dikendalikan untuk tidak berbuat apapun."Kamu dingin? Katanya meriang, mau aku peluk?" Mas Arfan ikut merebahkan tubuh dan memelukku. "Apaan, Mas!" "Kamu tidak usah hawatir. Saskia sudah melayaniku dengan baik." Aku muak dan jijik mendengarnya. "Kamu belum mandi?""Mandi apa?""Mandi dari hadas besar!""Oh, dikeramas maksudmu? Belum." "Singkirkan tubuh kotormu dariku!" Tubuhnya kujauhkan sampai Mas Arfan terjatuh dari ranjang. Aku tidak sudi disentuhnya dalam keadaan junub! Dan pastinya lengket keringat. "Kenapa memangnya?" Dia menatapku jengkel seraya berdiri."Mandi sana. Sekarang juga!""Ini tengah malam, Nabila. Dingin.""Aku tidak peduli. Pokoknya kamu harus mandi. Kamu juga pasti belum solat isya." Dia diam sedikit menunduk. Benar ucapanku, lelaki itu belum salat. "Dengar aku, Mas. Kamu mandi. Bersihkan diri kamu dan solat. Kamu bisa mandi air hangat." "Aku mau tidur. Aku capek.""Mas! Kamu mau aku membangunkan seluruh orang rumah dan mengatakan semuanya?" ancamku. Mas Arfan baru berbaring buru-buru bangun lagi. "Nabila, jangan macam-macam kamu. Baik, aku mandi sekarang!" Dia beranjak mengambil handuk di lemari lalu keluar membuka pintu. Aku menghela napas lega, tapi juga merasa perih mengetahui dia ke sini sehabis bergumul dengan Saskia. *** Pagi-pagi sekali ibu sudah selesai memasak. Aku menghampirinya yang baru menaruh mangkuk sayur di meja. Lauk sudah tersedia di sana. Termasuk air minum dan piring. "Ibu sudah selesai? Maaf, Bila nggak bantu.""Tidak apa-apa. Bagaimana badan kamu sekarang?""Aku lebih enakkan, Bu." "Pasti karna ada suamimu." Aku mengeryit tidak paham. "Maksud Ibu?" "Ya karna ada yang menemani, kamu tidak akan kedinginan jadinya. Kamu bisa minta dipeluk," jawabnya sambil tersenyum. "Ah, Ibu." Aku jadi malu. Padahal, tidak begitu. Kami tampak harmonis sekali di mata ibu. Sampai mempunyai pikiran seperti itu. Bagaimana kalau tahu kami hanya pura-pura?"Yasudah, makan dulu. Nanti minum obat. Ajak sekalian suamimu." Aku mengangguk kecil. Berbalik menemui Mas Arfan. Lelaki itu sedang mengobrol bersama bapak dan Nizar di ruang depan. Aku memperhatikannya yang leluasa bicara serta ramah. Orang tidak akan curiga dia sedang menyembunyikan sesuatu. Benar-benar pandai akting. "Bukannya dari sore ke sininya. Jadi lebih banyak waktu. Nggak harus buru-buru pergi." Bapak sama berkata ramah pada menantunya itu. "Iya, Pak. Ada urusan. Nanti Arfan bisa ke sini lagi. Jengukin Bapak. Semoga Bapak lekas sembuh. Kalau perlu sesuatu jangan ragu minta sama Arfan. Pasti Arfan bantu." Bapak sampai tertawa kecil menanggapi ucapannya. Mungkin saking senang suamiku bicara begitu. Lalu mengelus dadanya seperti lega atas sesuatu. Meski tubuh itu terlihat ringkih dan lemah, tapi terpancar rona bahagia di matanya. Adikku juga tersenyum menatap kagum kakak iparnya itu.Andai bapak tau ... aku menggeleng tak sanggup membayangkan. Mas Arfan tidak sebaik itu, Pak. "Mas makan dulu." Mas Arfan menoleh dan pamit pada bapak menghampiriku. Aku juga menawari bapak dan Nizar untuk makan bersama kami. "Kalian makanlah dulu." Bapak menjawabku sambil tersenyum. "Kamu kurang sehat Bapak tau. Arfan sudah mengatakannya. Jangan lupa minum obat.""Bapak juga jangan lupa minum obat." Lelaki paruh baya dengan rambut beruban di balik peci putih yang dikenakannya itu mengangguk kecil. Kami pun berlalu. Hanya berdua menikmati makan, tanpa obrolan sampai selesai. Ibu tidak ada di ruangan ini pergi menemani bapak. Mas Arfan menghampiriku saat aku ke kamar."Kita berangkat. Kamu mau pulang kan?" tanyanya setelah menutup pintu. "Bagaimana kalau aku masih mau di sini?" "Kamu harus ikut aku jangan di sini lama-lama." Dia menatapku tak suka. "Biarkan aku di sini dulu. Pula ini di rumah orang tuaku sendiri. Bukan di rumah siapa-siapa." "Pulang, Nabila. Rumah jangan dibiarkan kosong!""Kamu juga sering meninggalkan rumah!" Aku balas menatapnya tak suka karna sudah egois dan dengan bicara nada tinggi sama seperti dirinya. "Bahkan sampai berhari-hari. Kamu sering meninggalkanku. Membiarkan sendirian. Tanpa kabar. Kamu pikir aku betah jika terus begitu? Apalagi dalam keadaan badanku kurang sehat." Mataku tiba-tiba memanas, sedih rasanya. Tapi aku tidak mau menangis di hadapannya. Hanya menatap kecewa dan amarah yang terpancar. Dia sering meninggalkanku. Tapi ketika aku pergi dia tidak suka. Menuntut pulang secepatnya. "Aku masih mau di sini, Mas." Berbalik membiarkan lelaki itu tertegun atas keluh kesahku. Sejak menikah aku belum menginap di sini lagi. Sikapnya yang tak acuh memicu kuat ingin pulang. Dia pikir aku penjaga rumahnya? Atau hanya pembantu yang disuruh menginap setiap hari di sana. Yang tidak boleh jauh-jauh dan tidak boleh lama pergi. Aku istrimu, tapi kamu lebih buruk memperlakukanku dari pada pembantu. Pembantu saja diberi kabar saat majikannya pergi atau saat tidak pulang. Pembantu tidak dicuekkan terus menerus. Tapi yang kudapatkan lebih-lebih dari itu. "Maafkan aku." Mas Arfan memelukku dan berkata lembut. Gantian aku kini yang tertegun. Menatap pada tangannya di perutku."Tapi aku ingin kamu pulang. Aku janji setelah ini aku akan kasih kabar ketika sedang di luar.""Enggak, Mas." Tangan itu kulepas dari perut. Dia bilang tidak akan menyentuhku tapi dia sendiri yang seenaknya menyentuh. Tidak bisa dipercaya ucapanmu!"Aku mau menginap lagi di sini. Masih ingin menemani Bapak. Sudah lama aku baru ke sini lagi.""Ternyata kamu keras kepala, Nabila." Raut wajah Mas Arfan berubah dingin lagi. Setelah kemauannya tidak kuturuti. "Kamunya mikir, dong, Mas. Jangan cuma bisanya berkata manis di depan orang tuaku saja. Tapi saat anaknya mau menjenguknya hanya diberi waktu sedikit!""Kamu tidak takut dosa menolakku? Aku suamimu yang harus kamu patuhi!""Kamu yang tidak takut dosa, Mas. Membohongi semua orang. Kamu tidak usah keterlaluan mengaturku. Niatmu saja salah menikahiku!" "Aku akan memberimu imbalan setelah itu. Jadi, tidak usah merasa rugi.""Sudah, Mas. Lebih baik kamu pergi. Aku mau menginap sehari lagi di sini.""Terserah. Mau tidak pulang pun. Semaumu saja!" Aku terhenyak dia merespon seperti itu. Lalu berbalik membuka pintu dan keluar melang
"Dasar mes-um!" Kujauhi pintu setelah mengunci. "Nabila!" Tidak peduli dia mengumpat lagi di luar sana. Tidak peduli besok bertemu dengannya akan bagaimana. Temui saja Saskia! Tuntaskan hasratmu bersamanya. Menyesal pergi ke dapur. Hanya membuat sakit mata.Melangkah gontai menuju tempat tidur. Memikirkannya yang sekarang begitu ingin menyentuhku. Tidak seperti awal-awal menikah bisa menjaga jarak. Duduk termenung di sisi ranjang. Apa istimewanya Saskia, Mas? Sampai-sampai kamu menggilainya. Apa karna dia sangat cantik dan tinggi seperti model? Memiliki tubuh ideal sesuai maumu, begitukah Mas? Atau karna penampilannya yang seksi? Yang memperlihatkan paha, tangan, leher mulusnya dengan memakai dress pendek atau hotpant. Perih diperut terasa lagi. Aku sampai gagal mengambil makanan dan lupa setelah melihat kemesraan mereka. Membuka tas teringat ada makanan, mengeluarkan sebungkus roti dan satu teh kotak. Memakannya dengan pikiran kemana-mana. ***Besoknya pagi-pagi sarapan sudah ter
"Savia anak Mas Arfan!" balas Saskia menjerit kembali. "Kamu menipu Mas Arfan dengan mengatakan anaknya. Padahal Ayah sebenarnya bukanlah Mas Arfan!" tekanku lagi tegas. "Mas, dia fitnah aku!" Perempuan itu meraung duduk di bawah. Menangis seperti anak tantrum. Mas Arfan melotot ke arahku. "Savia anakku." Anak itu direbut paksa olehnya. Memeluk lehernya dan masih menangis. Ruangan menjadi riuh. "Bukan, Mas. Lihat, dia tidak mirip!" "Savia memang tidak mirip denganku. Tapi mirip Saskia, cantik seperti Mamanya." "Meski mirip Mamanya sekali pun. Setidaknya ada sedikit saja mirip Papanya, tapi Savia tidak. Perhatikan, Mas. Saskia hanya memanfaatkanmu!" "Cukup, Nabila. Kamu jangan asal bicara!" "Kamu jangan bod-oh, Mas!""Aku tidak bod-oh dan percaya.""Apa yang membuat kamu percaya, apa yang membuat kamu yakin itu anak kamu? Kamu harus melakukan tes DNA, Mas!" Lelaki itu pergi tidak menjawabku. Diiringi tatapan hawatir Saskia yang masih terisak-isak.Tidak lama Mas Arfan datang l
"Hmmph. Hmmph!" Tubuhku dibawa mundur dan tidak bisa mengeluarkan suara. Sampai di balik bangunan barulah dilepas. Aku melotot menyadari siapa. "Mas Satya?!" ujarku histeris. Antara kaget dan senang ternyata orang yang dikenal. "Ssst!" Mas Satya menaruh jari telunjuk di bibirnya sendiri. "Seharusnya kamu jangan dulu menghubungi Arfan. Kita harus mempunyai bukti dulu." Ponsel yang masih tersambung dengan Arfan dimatikannya dan diserahkan padaku. "Seharusnya kamu rekam dan vidiokan percakapan Saskia. Bukan main telepon orang." "Yasudah kita vidiokan sekarang kalau begitu." "Telat. Saskia sudah pergi. Lihat saja." Aku melangkah cepat ke depan lagi, benar saja mobil dua orang itu sudah tidak ada. "Sejak kapan?""Saskia mendengar saat kamu menelepon Arfan asal kamu tahu. Jadi percuma tindakkanmu itu. Yang ada Arfan tidak percaya dan menganggap kamu mengada-ngada." "Kenapa tidak direkam sama Mas Satya?" "Saya baru datang. Tadinya mau ke rumah Arfan. Kamu berhasil kabur?" Aku mengangg
Ibu dan Bapak memasuki mobil bersiap pulang. Aku membantu menutupkan pintu dengan sedikit tidak rela. "Padahal, Ibu menginap lagi saja di sini," tawarku pada Ibu. "Nanti ke sini lagi. Kami harus pulang." Ibu mengelus pipiku sekilas dari jendela yang terbuka. Bapak duduk bersandar di sampingnya. Tersenyum seolah berkata dia baik-baik saja, agar aku tidak usah hawatir. Tapi aku melihatnya dengan tatapan prihatin. Niatku untuk memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi dalam pernikahan kuurungkan. Tidak mau membuat keadaannya memburuk. Bagaimana kalau tiba-tiba terkena serangan jantung? Lalu ... ah, aku tak sanggup membayangkan. "Kamu baik-baik sama Arfan," pesan Ibu. "Dia suami yang baik." Kulihat lelaki itu tengah mengobrol dengan supir taksi online yang telah dipesannya. "Antarkan mertua saya dengan baik sampai rumah," ucapnya. "Siap, Pak." Supir itu membalas. Kebetulan dia orang yang sama dengan yang mengantarku ke sini kemarin. Mas Arfan menyerahkan uang ongkos lebih dulu pun de
"Kamu apaan?! Tidak seharusnya melakukan itu." Kemeja Mas Satya jadi kotor oleh cairan hitam kopi. Lelaki itu menatap tajam Mas Arfan seraya mengepalkan tangan. "Beraninya kamu keluar menemui laki-laki lain." Mengabaikan kemarahannya Mas Arfan terus menyudutkanku. "Dia sodaramu, Mas. Dan kami tidak melakukan apa-apa." Kukeluarkan tisu dalam tas membersihkan baju Mas Satya dengan cepat. Tapi baru sebentar Mas Arfan menarikku lagi. "Tinggalkan dia ikut bersamaku!" Tidak peduli pada tindakkannya. Juga orang sekitar yang berkasak-kusuk melihat. Lelaki itu membawaku pergi. "Jangan menyakiti, Nabila!" seru Mas Satya melihat langkahku yang terseret. "Mas Satya! Maafkan, Mas." Aku sangat tidak enak padanya. Sudah diperlakukan buruk. "Kamu tidak usah minta maaf padanya!" sentak Mas Arfan. Sambil terus membawaku.Mas Satya tidak terlihat lagi di mataku karna aku sudah dibawa jauh dan kini telah ada dalam mobil. Terkejut pintu ditutup kencang saat Mas Arfan duduk di kursi kemudi. Dia melir
Bel rumah berbunyi saat aku baru selesai mencuci piring. Tangan basahku segera kulap dengan serbet bersih lalu beranjak ke pintu utama. Menerka-nerka siapa yang bertamu? Jika itu Mas Arfan pasti akan langsung masuk. Pintu aku buka. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam ... Mas Satya?!" Aku tidak menyangka yang datang dia. Lelaki itu tersenyum ramah. Harus bagaimana aku memperlakukannya, apa menyuruh dia masuk? Tapi takut Mas Arfan datang. "Ada perlu apa, ya, Mas?" Akhirnya kutanyakan itu. "Saya ingin memastikan keadaan kamu. Setelah kemarin tiba-tiba mematikan telepon dan tidak bisa dihubungi lagi." "Oh ... itu." Aku tidak enak. Tidak sopan jadinya. "Kenapa? Arfan melakukan sesuatu?" Kepalaku mengangguk pelan. "Mas Arfan merebut ponsel saya dan mengambil kartunya.""Sudah saya duga." Lelaki itu merogoh sesuatu dari kantong celana. "Saya sudah membeli sim card baru untuk kamu." Dia menyerahkan sebuah kartu yang masih rapi dalam kemasan. "Kamu bisa menggunakannya. Nomornya sudah s
"Mama katanya mau jengungin Bapak Nabila. Ayo, dong." Mas Arfan datang lagi mencari Mama yang masih bersamaku. Plakk! Aku terkejut Mama menamparnya. "Mama kenapa tam-par Arfan?" kesalnya. Menatap Mama tak mengerti. "Kamu jangan menyakiti Nabila." Mas Arfan tetuju padaku menatap tajam. Tangannya yang mengusap pipi lalu diturunkan. Aku menunduk. "Awas kamu kalau sampai meninggalkan, Nabila.""Mama ini kenapa, sih. Mana mungkin aku ninggalin istri aku. Lihat aja, aku masih bersamanya kan?" "Mama cuma mau menantu seperti Nabila. Ayo, Bila, antar Mama lihat Bapakmu." Tanganku di raih Mama. Diajak pergi bersamanya. Aku melihat Mas Arfan yang mematung menatapku curiga serta tak suka. Kemudian tertuju ke depan lagi terus mengikuti Mama. . "Kamu pikir Mama diam aja? Tidak, Nabila. Mama awasi Arfan." Tante Reni rupanya sudah mengawasi Mas Arfan sejak lama. "Maafin Mama ...." Menetes air matanya, karna rasa bersalah terhadapku yang tidak memberitahu dari awal. "Bukan maksud Mama menyakiti
"Nabila?"Saat membuka mata yang kulihat hanyalah Mas Arfan. Menyebut namaku beberapa kali, sembari menyentuh telapak tangan. Melihat sekitar ternyata aku sedang terbaring di sebuah ruangan. Aku mengeryit saat hendak bangun. "Diam saja dulu kalau masih pusing." Mas Arfan membantu merebahkan tubuhku lagi. "Kamu tadi pingsan," ucapnya lagi lembut dan menatapku teduh. "Kamu anemia. Tensi darah hanya sembilan puluh per enam puluh. Selain itu ...." "Aku kenapa, Mas?" selaku tidak sabar menanti ucapannya selesai. Takut ada sakit serius di tubuhku. Mas Arfan malah tersenyum dan tampak berbinar matanya. Digenggamnya lagi tanganku erat. "Kamu hamil," ucapnya sumringah. "Aku hamil?"Dia mengangguk semangat. "Kata dokter iya, ketahuan dari tes darah ada kadar HCG di situ. Pertanda janin tumbuh." Ya Allah, pantas tamu bulanan tidak datang-datang. Ternyata tumbuh embrio di rahimku. Tidak mengira bakal langsung jadi padahal belum lama berhenti minum Pil KB. "Ada anak aku. Kamu harus mau kembal
"Maafkan kami, Pak Rasyid, Bu Nafa ... tidak memberitahukan sebelumnya, kalau Arfan mempunyai istri simpanan." Mama membuka percakapan setelah kami berkumpul. Diliriknya Mas Arfan yang tertunduk dalam. "Kami tidak bermaksud menipu." Papa melanjutkan pembicaraan. "Kami memang berniat menjadikan Nabila menantu bukan semata-mata mempermainkan.""Saya menyukai Nabila dengan pribadinya yang baik, sedangkan Saskia bukan wanita baik-baik, mendekati Arfan hanya untuk tujuan yang salah." Gantian Mama yang berbicara kembali. "Sebelum bersama Arfan dia sudah menjalin hubungan lebih dulu dengan laki-laki lain, bahkan anak yang dikandungnya pun anak laki-laki itu. Tapi karna sudah terpengaruh kuat Arfan tidak bisa melihat kebenarannya. Saya menikahkan dengan Nabila untuk menjauhkan dari dua orang jahat seperti mereka. Percaya Nabila pasangan yang tepat untuk Arfan." Orang tuaku sama-sama menarik napas dalam. Tapi masih tidak bicara sepatah kata pun. Mama melirik pada Mas Satya. "Kami sadar, apa
"Saskiaa." Mas Arfan terus memeluk tubuh tidak bernyawa itu. Dua tahun dia hidup bersamanya, menemani siang menemani malam, menemani makan, menemani tidur, berbagi hangat tubuh, sekarang telah pergi begitu saja. Tanpa adanya penyakit yang menggerogoti. Hilang dihabisi orang lain. Meninggalkan rasa pilu amat dalam. Rasa kecewanya yang besar setelah tahu semua hal buruk tersembunyi, tertepis saat dia pergi untuk selamanya. Bagaimana pun sosok itu pernah mewarnai hidupnya. Membuat semangat, membuat bahagia, dan sudah menyelamatkan nyawa meski kecelakaan itu sengaja. Daniel memang ingin membunuhnya. Saskia bisa kuat menemani tanpa direstui dan hanya disembunyikan dari publik. Mas Satya menghampiriku. Mengusap-usap bahu. Aku pun berbalik menghadapnya tidak kuat melihat Mas Arfan dan Saskia lagi. Dia merangkul membenamkan kepalaku di dadanya. Saskia diurusi di kediamannya. Banyak tetangga melayat. Juga ada beberapa saudaranya, mereka tampak sedih melihat kepergiannya yang mengenaskan. A
"Bedebah!"Mas Arfan langsung menghampiri laki-laki yang sibuk memakai bawahan. Menonjok wajahnya hingga beberapa kali. Aku dan Mas Satya masuk. "Mas, jangan Mas!" Kini Mas Arfan beralih pada Saskia, yang sibuk menutupi tubuh dengan selimut setelah tadi berada di atas laki-laki itu sama-sama bertelanja-ng bulat. Menampar keras pipinya, sampai terjerembab di bawah. Tidak puas Mas Arfan berjongkok menamparnya lagi kedua kali. Aku meringis melihatnya. "Diam kamu Daniel!" Mas Satya sudah bergerak cepat menahan lelaki itu. Menodongkan senjata api di kepalanya sehingga tidak bisa berkutik. "Ternyata kamu biangnya. Anak dari musuh keluarga Dhanurendra!" Dhanurendra nama belakang Mas Arfan, juga merupakan nama belakang Papa.Laki-laki bernama Daniel itu sengaja menjadikan Saskia sebagai umpan untuk membuat bangkrut Mas Arfan dengan mengambil hartanya. Dan akan memakmurkan perusahaannya sendiri. "Mas ... Ini semua tidak seperti yang kamu lihat." Saskia memeluk lutut kakinya. Sudah tertangka
"Mas! Kamu berbuat mesra dengan Nabila?!" Lagi, suara Saskia melengking di telingaku. Tapi suaranya kecil di pendengaran Mas Arfan dan tidak jelas. Hingga lelaki itu tidak terganggu. "Awas kamu, Mas!!!" Dia mengira Mas Arfanlah yang menerima telepon. Aku terkejut saat ponsel direbut. Menatap Mas Arfan tegang hawatir akan marah. Ternyata dia malah mematikan sepihak. Lalu melempar asal ponsel ke seprai. "Mas?" "Aku tidak ingin diganggu." Lalu menyibukkan diri merasai tubuhku kembali. Staminanya yang kuat mampu menerbangkanku lagi. Hingga ke paling puncaknya. Usai berhubungan Mas Arfan langsung tertidur nyenyak. Aku sudah membersihkan diri dan memakai pakaian lengkap. Perlahan menjauhinya ke luar kamar. Mencari udara segar dan berkomunikasi dengan Mas Satya ditemani secangkir minuman hangat di sebuah kedai. Di Bandung aku tidak terlalu buta arah dan lebih leluasa karna memakai bahasa sehari-hari tidak seperti di luar negeri. Bersama kakak sepupu suami aku banyak bercerita. "Aku sud
"Sini, Mas, rambutmu aku ambil. Atau mau ganti dengan tes darah atau air liur?" tawarku pada Mas Arfan yang kini ada di sampingku. "Sudah. Rambut saja. Ambil sedikit.""Oke." Gunting di tangan kuarahkan pada rambutnya dan memotong sedikit. "Segini, Mas, cukup." Rambut itu kuperlihatkan. Mas Arfan tidak protes dan aku memasukkannya dalam plastik kecil. "Sekarang tinggal rambut Savia, ya, Mas." Lelaki itu mengangguk kecil. Ah ... aku senang dia manut begini. Demi bisa menikmati tubuhku lagi, demi bisa aku hamil, juga demi bisa dapat warisan, dia akhirnya rela menurunkan ego. Dasar laki-laki, kalah sama nafsu sendiri. Kami sampai di depan rumah Saskia di komplek sederhana. Aku mematung begitu turun dari mobil. Selama menikah dengannya baru tahu tempat tinggal istri sirinya itu. Pantas Saskia sangat mengingkan rumah yang tengah aku tempati dengan Mas Arfan, dia ingin lebih leluasa dari rumah minimalisnya ini. Aku yakin ini juga rumah pemberian Mas Arfan. Belum bisa memberikan rumah me
Mas Arfan menahanku yang hendak pergi. "Kamu sengaja menguping?" Aku tidak mau menjawabnya memilih pergi lagi. "Nabila! Hei!" Semakin kupercepat langkah. "Arfaan ... kenapa sih pagi-pagi sudah teriakkin Nabila?" Mama protes mengampirinya. Lelaki itu berhenti mengejarku. "Kenapa? Kan bisa bicara baik-baik." "Eh, nggak apa-apa, kok, Ma." Aku tidak jadi masuk kamar memperhatikannya yang jadi salah tingkah. Dan berusaha menormalkan raut wajah. Lelaki itu melirikku dengan tatapan dingin dan mencoba tersenyum saat tertuju pada Mama lagi. Aku pun memasuki kamar. Kamu pusing kan, Mas? Tidak semudah itu kamu untuk mendapat semua harta Papamu. Kamu harus memberikan cucu dulu. Harus bisa membuatku hamil dulu. Aku sedikit tersentak saat dia menyusul ke sini. Pintu ditutupnya pelan. Dan berjalan lambat menghampiri aku di sisi ranjang. Mas Arfan duduk di sampingku. Tampak pusing dan bingung. Terdengar helaan napasnya yang berat. "Kamu senang?" tanyanya tetap menatap lurus ke depan. "Tidak ta
Aku tersentak dari tidur dengan terisak-isak pilu. Menunduk memegangi dada sendiri. "Astagfirullah ... Ya Allah." Rupanya tragedi itu hanya dalam mimpi. Tapi rasa sakit dan ketakutannya terbawa hingga ke dunia nyata. Betapa aku dan Ibu seketika menangis histeris melihat Bapak ambruk kesakitan. Setelah mendengar keadaan rumah tanggaku yang sebenarnya dan hendak cerai. Jantung Bapak langsung collaps. Mungkin, itulah yang akan terjadi jika aku bercerita yang sebenarnya dengan resiko kehilangan Bapak selamanya. Aku menggeleng. Ya Allah, aku tidak ingin membunuh orang tuaku sendiri dengan kabar buruk ini. Mimpi sangat menakutkan, membawa langkah kaki ini ke luar kamar, melihat Ibu dan Bapak dari celah pintu. Tenang mengetahui mereka baik-baik saja. Ibu terlihat sedang memberikan air minum. Damai wajah Bapak yang bersandar ketika Ibu memijiti betis kakinya. Aku pun kini tersenyum. Mengusap pipi yang masih dijatuhi air mata. Masih sangat terasa suasana di alam bawah sadar tadi.***Saat
"Ini, Pak. Hasil tes DNA-nya.""Terimakasih." Mas Satya pamit, aku juga. "Ayo, Nabila." Membawa surat hasil tes ke luar ruangan. Lipatan kertas itu dibuka Mas Satya. Kami sama-sama melihatnya. Aku membelalak begitu membaca keterangannya. "Jadi? Mas?" Kulirik lelaki itu yang mematung. "Benar," lirihnya."Benar bukan Ayahnya," sambungnya dengan tegas kini. Dugaan kami tidak salah. Surat Hasil Identifikasi DNA memberitahukan tidak ada kecocokkan gen mereka. Penelitian sebanyak 99,9 persen menunjukkan Mas Arfan bukan Ayah biologis Savia.Aku sudah deg-dekan ketika melihat hasilnya. Sekarang lega setelah tahu anak itu bukan darah daging Mas Arfan. "Surat tes DNA yang Mas Arfan miliki berarti palsu atau sudah dimanipulasi, Mas, oleh Saskia.""Ya. Hanya akal-akalan perempuan itu." "Papa aslinya pasti orang dalam mobil itu, Mas." Aku teringat sekilas saat Saskia mengobrol dengan laki-laki asing dalam mobil mewah itu. "Dia sengaja menjebak. Menyuruh Saskia merayu Arfan sampai luluh lalu