Apa aku salah menerima tawaran diantar pulang kakak sepupu suami sendiri? Gerimis mendadak turun. Aku yang awalnya menolak akhirnya mau masuk mobilnya. "Tidak usah sungkan dari pada kehujanan."
Aku hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Mas Satya kemudian menjalankan mobil kembali. Mendadak suasana kaku kurasakan karna memang kami tidak akrab dan baru beberapa kali bertemu. Mas Satya memiliki garis wajah yang mirip dengan suamiku dengan postur tubuh yang juga sama. "Saya melihat kamu turun dari mobil Arfan dan dia langsung pergi." Jadi, dia tadi ada di belakang mobil Mas Arfan?"Arfan pasti menurunkanmu karna perempuan itu." Mataku melebar menatap sosoknya. Mengapa dia tau? Lelaki itu balas menatapku lalu fokus mengemudi lagi. "Saya tau hubungan dia dan perempuan itu. Dengan Saskia."Apa? Dia mengetahuinya?"Termasuk pernikahan siri mereka dan Mas Arfan yang punya anak?" cecarku. Dia mengangguk. "Ya." "Apa keluarga yang lain tahu?""Sepertinya tidak." Aku menghela napas kecewa, kenapa dia tidak memberi tahuku soal ini? Apa sengaja? Apa berkonspirasi dengannya? "Kenapa Mas Satya tidak memberi tahu saya sebelum terjadi pernikahan, Mas?" Bulir air jatuh di pipi, berkejaran tanpa bisa ditahan. Terlalu sesak rasanya. Kupikir tidak ada orang lain tahu tentang hubungan suamiku dengan perempuan itu. Kupikir hanya aku sendirian yang mengetahui rahasianya. "Saya sudah memperingatkan Arfan. Tapi dia tidak mendengarkan dan malah melarang saya untuk tidak ikut campur.""Harusnya Mas katakan pada saya langsung." Tentu aku tidak mau menikah dengannya jika tahu lebih dulu. Akan membatalkan perjodohan itu. Meski menyakitkan aku akan menolak. "Maaf, Nabila." Aku melengos pada jendela menghirup udara banyak menyingkirkan sesak itu. Dan berusaha menekan tangis. Hal seharusnya tidak kuperlihatkan pada orang lain. Sejak bersama Mas Arfan aku menahannya. Mas Satya memberikan selembar tisu. Sejenak aku terdiam melihat tatapan iba di matanya, sebelum akhirnya mengambil tisu tersebut. Mengusapkan di pipiku. Dia membawaku sampai depan rumah. Aku turun dari mobilnya. "Terimakasih, Mas." Tulus kuucapkan. Kalau tidak ada Mas Satya, mungkin aku masih di trotoar. Berjalan tak tentu arah karna sangat terpukul dengan perlakuan Mas Arfan. "Sama-sama," balasnya ramah. Lelaki itu pun berlalu. Aku berbalik memasuki rumah. Hampa dan sepi begitu terasa saat di dalam. Sudah biasa aku rasakan sejak kepindahan ke sini. Lebih tepatnya sejak Mas Arfan mengakui segala kepura-puraannya. Lelaki itu bagai batu, tidak banyak bicara dan hanya sibuk sendiri. Orang tuanya menghadiahkan rumah besar ini sebagai kado pernikahan. Mama Mas Arfan bahkan sudah mempersiapkan asisten rumah tangga. Ingat, dia membawanya ke sini memperkenalkannya padaku. "Ini Bi Sumi, sengaja Mama persiapkan untuk membantu." "Tidak usah pake pembantu segala, Ma. Toh, hanya kami berdua." Mas Arfan menolak kedatangan perempuan paruh baya itu. Tanpa menanyakan lebih dulu padaku. "Loh, jangan gitu. Biar Nabila ada teman dan tidak kecapean mengurus rumah sendirian." "Tidak perlu, Ma. Aku sudah cukup menemaninya. Mungkin nanti setelah ada anak baru kami membutuhkan. Bukan begitu, Sayang?" Aku sedikit gelagapan Mas Arfan menatap lembut dengan sapaan mesra seraya menggamit tanganku. Dia sengaja menghindari orang ketiga dan sikap baiknya hanya sandiwara. Tapi meski begitu aku tetap grogi dibuatnya. Terlebih di hadapan mamanya, memanas wajahku dan tersipu."Pula, kami ingin belajar berumah tangga mandiri." Dia meyakinkan mamanya lagi. "Benar, Bila? Kamu tidak apa-apa hanya berdua dengan Arfan?" "Iya, Ma. Tidak apa-apa." Pada akhirnya aku mengiyakan. Bukan semata-mata karna Mas Arfan, tapi aku sendiri pun akan tidak nyaman diketahui kami tidur masing-masing dan tidak akrab, tidak seperti pasangan suami istri pada umumnya. "Kamu memang istri yang baik." Mama menyentuh pipiku dengan tatapan haru, kemudian melirik Mas Arfan tegas. "Arfan, kamu harus menjaga Nabila dengan baik dan jangan sakiti dia." "Iya, Ma." Mas Arfan merangkul bahuku dan mengulas senyum.Pintar dia mengelabui orang termasuk mamanya sendiri. Tante Reni percaya begitu saja padanya. Aku meringis, kaki terantuk sofa karna berjalan sambil melamun. Semua sikap manis Mas Arfan palsu. Tidak bisa amanah dengan ucapan mamanya sendiri. Tante Reni tidak tahu dia sudah menyakitiku sejak malam pertama pernikahan. Dan berlanjut sampai sekarang. *** Langit menggelap menjelang magrib. Mobil Mas Arfan belum ada di halaman. Lelaki itu belum pulang dan mungkin tidak akan pulang sibuk bersama Saskia. Setiap teringatnya, hatiku terasa diremat. Sebagai istri sah kehadiranku tidak berarti. Gorden jendela kamar ini lalu kututup. Beranjak pergi tidak ingin larut dalam kepahitan tersebut. Mengambil air wudhu sesudah dikumandangkan Azan dan menunaikan salat tiga rokaat. Menggulir tasbih berzdikir dan berdoa setelahnya, kemudian dilanjutkan membaca Alqur'an. Mencari ketenangan dan sebagai penawar hati yang kalut. Entah sudah berapa lama aku tenggelam dalam ayat suci, sampai kemudian terdengar pintu kamar diketuk dan dibuka. "Mas Arfan?" Aku menyudahi membaca dan beranjak bangun melihatnya mendekat. Mushaf kudekap erat di dada. Aku pikir dia tidak akan pulang tapi kini sudah di hadapan. Setelah perseteruan siang tadi bersama Saskia dan bersamanya di mobil sampai-sampai aku diturunkan di tengah jalan. Aku enggan menatapnya. Hanya menunduk dalam. Masih sangat kecewa. "Aku minta maaf sudah meninggalkanmu." Pelan dia katakan. Aku mendongak. Wajahnya lemas dengan mata sayu. Tampak kuyu. Berbeda sekali dengan siang tadi. Kenapa dia? Apa ribut besar dengan perempuan itu? "Maafkan aku, Nabila," ucapnya lagi sambil mencoba menyentuh wajahku kini. Tapi aku refleks menghindar. Melangkah mundur. "Aku masih punya wudhu, Mas." "Simpan mushaf itu." Aku tidak mendengarkan mematung diam sampai dia merebutnya dariku menunda begitu saja di nakas. "Mas!" Sembarangan dia menyentuh benda suci itu. Mas Arfan menatapku dengan raut berubah kesal. "Salahmu tidak langsung menyimpannya." Lelaki itu mendekatiku lagi. "Buka mukenanya." "Mau apa, Mas?" Seketika perasaanku tak enak juga was-was. "Buka." "Aku mau nunggu waktu isya." "Buka." Dia mendekat lagi membuka paksa kain itu. Hingga lepas dari kepala. Menjatuhkan begitu saja di bawah. "Mas, kamu apa-apaan!" Dia tidak mendengarkan merengkuh tubuhku, membelai rambut panjang yang terurai. Kemudian membawaku ke tempat tidur. Mas Arfan mengeluarkan sesuatu dari kantong. Meletakkan begitu saja di seprai. Pil KB? Dia membelinya lagi?"Minum." Aku menggeleng dan hendak keluar. Tapi Mas Arfan menahan bahuku mendudukkan lagi di kasur. "Jangan pergi. Layani aku." Sudah kuduga dia menginginkan itu. Lupakah istri siri-nya yang mengamuk di apotek? Saskia tidak menginginkan Mas Arfan menyentuhku. Tapi laki-laki ini sekarang tidak peduli lagi. Merunduk mengecup keningku dan mencoba membu-ka kancing baju. Dia lupa aku belum meminum pil itu, tapi kini malah mendesak tak sabar. Hatiku berdebar juga berontak. Bukan malam pertama seperti ini yang kuinginkan. Tergesa, tengah didera kecewa dan tanpa cinta. Sama sekali tidak siap dan bukan waktu yang tepat. "Tidak mau, Mas." Tangan itu kusingkirkan, memasukkan kancing kembali ke lubangnya. Rupanya hal tersebut memantik api amarah Mas Arfan, menarik sekaligus baju hingga kancing-kancing tersebut terlepas. Terlempar ke sembarang arah. Aku tersentak kaget dan jadi takut dia kasar begitu. Pipiku tiba-tiba basah oleh aksinya. Mas Arfan mendekat lagi menciumiku dan merebahkan paksa. "Jangan, Mas!" Aku mendorongnya lekas berdiri. "Aku membutuhkanmu, Nabila!" teriaknya frustrasi dan nelangsa. "Kenapa tidak pada Saskia saja!" Aku tidak kalah keras karna sebenarnya tidak ingin mengucapkan itu dan tidak rela. Tapi terlontar begitu saja."Karna dia tidak bisa melayaniku!"Pintu ditutup kencang. Membuatku terlonjak kaget dan termenung setelahnya. Mas Arfan akhirnya meninggalkanku tidak terus memaksa. Ampuni aku sudah menolaknya. Ada rasa sesal, bersalah, tapi juga marah. Ujung baju kurapatkan dan mendekap diri ditemani sepi, setelah tadi dibuat panas tingkah suami sendiri. Andai tidak ada Saskia, Mas. Kita pasti sudah bahagia. Mereguk rasa surgawi bersama. Perempuan itu sedang datang bulan aku tahu, meski Mas Arfan tidak mengatakannya. Sewaktu di apotek pembantu yang membersamai Saskia menyebutkan belanjaan pemba-lut. Tidak salah lagi. Terlihat dari wajah dan sikap Mas Arfan sendiri yang uring-uringan dan berubah-rubah, menjauh lalu tidak bisa menahan diri mendekatiku lagi. Lelaki itu tersiksa tidak ada tempat menyalurkan hasrat. Harusnya kamu bisa menahan diri. Bukankah itu hal biasa? Apa karna ada aku di sini sekarang, jadi tidak terkendali? Aku beranjak menuju lemari untuk mengganti baju. Pil KB yang diberikan Mas Arfan kubiarkan begitu saja di
"Baik. Aku pergi sekarang juga!" Kutinggalkan Mas Arfan melangkah cepat dan berlari kecil menaiki tangga. Tidak peduli dia yang tertegun setelah mendengar jawaban tegasku. Di kamar mengeluarkan koper dan membuka lemari. Aku sudah ingin pergi sejak dia jujur malam itu. Baju-baju kumasukkan asal dengan hati perih dan rasa tak menentu. Mas Arfan keterlaluan. Menyuruhku pergi demi perempuan itu. Tetes air mata jatuh di pipi teringat Bapak. Maafkan, Nabila, Pak. Jika sekarang kembali ke rumah Bapak. Semoga tidak mengganggu kesehatan Bapak. Kuseka kasar tangisku dengan telapak tangan. Koper ditutup dan menurunkannya dari tempat tidur. Mas Arfan terdiam melihatku saat menuruni tangga. Sedangkan Saskia tersenyum senang sambil merangkul lengannya manja. Aku menunduk tidak mau melihat keduanya. "Saya pamit, Mas. Nanti Mas Arfan nyusul untuk menjatuhkan talak di hadapan orang tua saya." Setelah itu, tanpa menunggu jawabannya aku keluar. Melangkah dengan berat hati dan perasaan yang hancur.
"Kok?" Mama Papa seketika keheranan. "Di mana sebenarnya kamar kalian?" "Kamarnya di atas!" "Kamarnya di bawah!" Kami menjawab berbarengan lagi tapi masih tidak satu tujuan. Tadi Mas Arfan menyebut kamarnya di bawah sekarang menyebutkan kamarku di atas. Pun sebaliknya, aku menyebutkan kamarnya. Berkebalikan dengan sebelumnya yang menyebut kamar masing-masing. Orang tua Mas Arfan terdiam semakin terheran-heran. Aku dan Mas Arfan kembali saling melirik. "Maksudnya, kami kadang tidur di kamar atas, kadang di kamar bawah, bukan begitu, Sayang?" "Oh, i-iya, Ma, Pa." Aku jadi menjawab gugup karna Mas Arfan kali ini merengkuh pinggangku mesra. "Ooh." Mama Papa lalu tertawa. "Kalian ... ya ampuun."Suamiku pun ikut tersenyum dan menghela napas lega. Kamu masih aman, Mas!***"Jangan deket-deket, Mas." Aku sedikit menjauhkan kepala Mas Arfan karna dekat sekali dengan kepalaku. "Apa sih, kamu?" sahutnya kesal. "Itu udah ada guling, Mas. Jangan lewatin batas guling." Kami terpaksa tidur
"Maaf, Bu. Arfan baru bisa nyusul Nabila ke sini." "Iya, tidak apa-apa. Kamu orang sibuk Ibu ngerti." Rupanya Mas Arfan nekat ke rumah orang tuaku meski tengah malam. Aku mendengar suaranya dari dalam kamar. "Diminum teh-nya, Fan. Mumpung masih anget.""Iya, Bu. Terimakasih." "Sudah makan? Kalau belum Ibu ada sayur dan lauknya. Ibu bisa angetin.""Udah, Bu. Nggak usah." "Nabila ada di kamarnya, tadi katanya kurang enak badan.""Oh, ya, Bu. Arfan memang belum sempat membawa ke dokter. Kalau gitu Arfan temuin Nabila dulu. Silakan Ibu istirahat. Maaf, sudah mengganggu.""Iya, silahkan. Bawa saja tehnya.""Iya, Bu."Aku buru-buru meringkuk. Sudah menyimak obrolan mereka. Pintu kamar dibuka Mas Arfan. Terdengar suara gelas ditaruh. Aku yakin itu teh manisnya. "Bila." Dia menyentuh bahuku. "Kamu nggak apa-apa?" Mau tidak mau aku membuka mata. Melihatnya sudah duduk di sisiku. "Aku nggak tau kamu sakit. Kamu nggak bilang.""Memangnya kalau bilang kamu peduli?" Lelaki itu diam. Aku
"Enggak, Mas." Tangan itu kulepas dari perut. Dia bilang tidak akan menyentuhku tapi dia sendiri yang seenaknya menyentuh. Tidak bisa dipercaya ucapanmu!"Aku mau menginap lagi di sini. Masih ingin menemani Bapak. Sudah lama aku baru ke sini lagi.""Ternyata kamu keras kepala, Nabila." Raut wajah Mas Arfan berubah dingin lagi. Setelah kemauannya tidak kuturuti. "Kamunya mikir, dong, Mas. Jangan cuma bisanya berkata manis di depan orang tuaku saja. Tapi saat anaknya mau menjenguknya hanya diberi waktu sedikit!""Kamu tidak takut dosa menolakku? Aku suamimu yang harus kamu patuhi!""Kamu yang tidak takut dosa, Mas. Membohongi semua orang. Kamu tidak usah keterlaluan mengaturku. Niatmu saja salah menikahiku!" "Aku akan memberimu imbalan setelah itu. Jadi, tidak usah merasa rugi.""Sudah, Mas. Lebih baik kamu pergi. Aku mau menginap sehari lagi di sini.""Terserah. Mau tidak pulang pun. Semaumu saja!" Aku terhenyak dia merespon seperti itu. Lalu berbalik membuka pintu dan keluar melang
"Dasar mes-um!" Kujauhi pintu setelah mengunci. "Nabila!" Tidak peduli dia mengumpat lagi di luar sana. Tidak peduli besok bertemu dengannya akan bagaimana. Temui saja Saskia! Tuntaskan hasratmu bersamanya. Menyesal pergi ke dapur. Hanya membuat sakit mata.Melangkah gontai menuju tempat tidur. Memikirkannya yang sekarang begitu ingin menyentuhku. Tidak seperti awal-awal menikah bisa menjaga jarak. Duduk termenung di sisi ranjang. Apa istimewanya Saskia, Mas? Sampai-sampai kamu menggilainya. Apa karna dia sangat cantik dan tinggi seperti model? Memiliki tubuh ideal sesuai maumu, begitukah Mas? Atau karna penampilannya yang seksi? Yang memperlihatkan paha, tangan, leher mulusnya dengan memakai dress pendek atau hotpant. Perih diperut terasa lagi. Aku sampai gagal mengambil makanan dan lupa setelah melihat kemesraan mereka. Membuka tas teringat ada makanan, mengeluarkan sebungkus roti dan satu teh kotak. Memakannya dengan pikiran kemana-mana. ***Besoknya pagi-pagi sarapan sudah ter
"Savia anak Mas Arfan!" balas Saskia menjerit kembali. "Kamu menipu Mas Arfan dengan mengatakan anaknya. Padahal Ayah sebenarnya bukanlah Mas Arfan!" tekanku lagi tegas. "Mas, dia fitnah aku!" Perempuan itu meraung duduk di bawah. Menangis seperti anak tantrum. Mas Arfan melotot ke arahku. "Savia anakku." Anak itu direbut paksa olehnya. Memeluk lehernya dan masih menangis. Ruangan menjadi riuh. "Bukan, Mas. Lihat, dia tidak mirip!" "Savia memang tidak mirip denganku. Tapi mirip Saskia, cantik seperti Mamanya." "Meski mirip Mamanya sekali pun. Setidaknya ada sedikit saja mirip Papanya, tapi Savia tidak. Perhatikan, Mas. Saskia hanya memanfaatkanmu!" "Cukup, Nabila. Kamu jangan asal bicara!" "Kamu jangan bod-oh, Mas!""Aku tidak bod-oh dan percaya.""Apa yang membuat kamu percaya, apa yang membuat kamu yakin itu anak kamu? Kamu harus melakukan tes DNA, Mas!" Lelaki itu pergi tidak menjawabku. Diiringi tatapan hawatir Saskia yang masih terisak-isak.Tidak lama Mas Arfan datang l
"Hmmph. Hmmph!" Tubuhku dibawa mundur dan tidak bisa mengeluarkan suara. Sampai di balik bangunan barulah dilepas. Aku melotot menyadari siapa. "Mas Satya?!" ujarku histeris. Antara kaget dan senang ternyata orang yang dikenal. "Ssst!" Mas Satya menaruh jari telunjuk di bibirnya sendiri. "Seharusnya kamu jangan dulu menghubungi Arfan. Kita harus mempunyai bukti dulu." Ponsel yang masih tersambung dengan Arfan dimatikannya dan diserahkan padaku. "Seharusnya kamu rekam dan vidiokan percakapan Saskia. Bukan main telepon orang." "Yasudah kita vidiokan sekarang kalau begitu." "Telat. Saskia sudah pergi. Lihat saja." Aku melangkah cepat ke depan lagi, benar saja mobil dua orang itu sudah tidak ada. "Sejak kapan?""Saskia mendengar saat kamu menelepon Arfan asal kamu tahu. Jadi percuma tindakkanmu itu. Yang ada Arfan tidak percaya dan menganggap kamu mengada-ngada." "Kenapa tidak direkam sama Mas Satya?" "Saya baru datang. Tadinya mau ke rumah Arfan. Kamu berhasil kabur?" Aku mengangg
"Nabila?"Saat membuka mata yang kulihat hanyalah Mas Arfan. Menyebut namaku beberapa kali, sembari menyentuh telapak tangan. Melihat sekitar ternyata aku sedang terbaring di sebuah ruangan. Aku mengeryit saat hendak bangun. "Diam saja dulu kalau masih pusing." Mas Arfan membantu merebahkan tubuhku lagi. "Kamu tadi pingsan," ucapnya lagi lembut dan menatapku teduh. "Kamu anemia. Tensi darah hanya sembilan puluh per enam puluh. Selain itu ...." "Aku kenapa, Mas?" selaku tidak sabar menanti ucapannya selesai. Takut ada sakit serius di tubuhku. Mas Arfan malah tersenyum dan tampak berbinar matanya. Digenggamnya lagi tanganku erat. "Kamu hamil," ucapnya sumringah. "Aku hamil?"Dia mengangguk semangat. "Kata dokter iya, ketahuan dari tes darah ada kadar HCG di situ. Pertanda janin tumbuh." Ya Allah, pantas tamu bulanan tidak datang-datang. Ternyata tumbuh embrio di rahimku. Tidak mengira bakal langsung jadi padahal belum lama berhenti minum Pil KB. "Ada anak aku. Kamu harus mau kembal
"Maafkan kami, Pak Rasyid, Bu Nafa ... tidak memberitahukan sebelumnya, kalau Arfan mempunyai istri simpanan." Mama membuka percakapan setelah kami berkumpul. Diliriknya Mas Arfan yang tertunduk dalam. "Kami tidak bermaksud menipu." Papa melanjutkan pembicaraan. "Kami memang berniat menjadikan Nabila menantu bukan semata-mata mempermainkan.""Saya menyukai Nabila dengan pribadinya yang baik, sedangkan Saskia bukan wanita baik-baik, mendekati Arfan hanya untuk tujuan yang salah." Gantian Mama yang berbicara kembali. "Sebelum bersama Arfan dia sudah menjalin hubungan lebih dulu dengan laki-laki lain, bahkan anak yang dikandungnya pun anak laki-laki itu. Tapi karna sudah terpengaruh kuat Arfan tidak bisa melihat kebenarannya. Saya menikahkan dengan Nabila untuk menjauhkan dari dua orang jahat seperti mereka. Percaya Nabila pasangan yang tepat untuk Arfan." Orang tuaku sama-sama menarik napas dalam. Tapi masih tidak bicara sepatah kata pun. Mama melirik pada Mas Satya. "Kami sadar, apa
"Saskiaa." Mas Arfan terus memeluk tubuh tidak bernyawa itu. Dua tahun dia hidup bersamanya, menemani siang menemani malam, menemani makan, menemani tidur, berbagi hangat tubuh, sekarang telah pergi begitu saja. Tanpa adanya penyakit yang menggerogoti. Hilang dihabisi orang lain. Meninggalkan rasa pilu amat dalam. Rasa kecewanya yang besar setelah tahu semua hal buruk tersembunyi, tertepis saat dia pergi untuk selamanya. Bagaimana pun sosok itu pernah mewarnai hidupnya. Membuat semangat, membuat bahagia, dan sudah menyelamatkan nyawa meski kecelakaan itu sengaja. Daniel memang ingin membunuhnya. Saskia bisa kuat menemani tanpa direstui dan hanya disembunyikan dari publik. Mas Satya menghampiriku. Mengusap-usap bahu. Aku pun berbalik menghadapnya tidak kuat melihat Mas Arfan dan Saskia lagi. Dia merangkul membenamkan kepalaku di dadanya. Saskia diurusi di kediamannya. Banyak tetangga melayat. Juga ada beberapa saudaranya, mereka tampak sedih melihat kepergiannya yang mengenaskan. A
"Bedebah!"Mas Arfan langsung menghampiri laki-laki yang sibuk memakai bawahan. Menonjok wajahnya hingga beberapa kali. Aku dan Mas Satya masuk. "Mas, jangan Mas!" Kini Mas Arfan beralih pada Saskia, yang sibuk menutupi tubuh dengan selimut setelah tadi berada di atas laki-laki itu sama-sama bertelanja-ng bulat. Menampar keras pipinya, sampai terjerembab di bawah. Tidak puas Mas Arfan berjongkok menamparnya lagi kedua kali. Aku meringis melihatnya. "Diam kamu Daniel!" Mas Satya sudah bergerak cepat menahan lelaki itu. Menodongkan senjata api di kepalanya sehingga tidak bisa berkutik. "Ternyata kamu biangnya. Anak dari musuh keluarga Dhanurendra!" Dhanurendra nama belakang Mas Arfan, juga merupakan nama belakang Papa.Laki-laki bernama Daniel itu sengaja menjadikan Saskia sebagai umpan untuk membuat bangkrut Mas Arfan dengan mengambil hartanya. Dan akan memakmurkan perusahaannya sendiri. "Mas ... Ini semua tidak seperti yang kamu lihat." Saskia memeluk lutut kakinya. Sudah tertangka
"Mas! Kamu berbuat mesra dengan Nabila?!" Lagi, suara Saskia melengking di telingaku. Tapi suaranya kecil di pendengaran Mas Arfan dan tidak jelas. Hingga lelaki itu tidak terganggu. "Awas kamu, Mas!!!" Dia mengira Mas Arfanlah yang menerima telepon. Aku terkejut saat ponsel direbut. Menatap Mas Arfan tegang hawatir akan marah. Ternyata dia malah mematikan sepihak. Lalu melempar asal ponsel ke seprai. "Mas?" "Aku tidak ingin diganggu." Lalu menyibukkan diri merasai tubuhku kembali. Staminanya yang kuat mampu menerbangkanku lagi. Hingga ke paling puncaknya. Usai berhubungan Mas Arfan langsung tertidur nyenyak. Aku sudah membersihkan diri dan memakai pakaian lengkap. Perlahan menjauhinya ke luar kamar. Mencari udara segar dan berkomunikasi dengan Mas Satya ditemani secangkir minuman hangat di sebuah kedai. Di Bandung aku tidak terlalu buta arah dan lebih leluasa karna memakai bahasa sehari-hari tidak seperti di luar negeri. Bersama kakak sepupu suami aku banyak bercerita. "Aku sud
"Sini, Mas, rambutmu aku ambil. Atau mau ganti dengan tes darah atau air liur?" tawarku pada Mas Arfan yang kini ada di sampingku. "Sudah. Rambut saja. Ambil sedikit.""Oke." Gunting di tangan kuarahkan pada rambutnya dan memotong sedikit. "Segini, Mas, cukup." Rambut itu kuperlihatkan. Mas Arfan tidak protes dan aku memasukkannya dalam plastik kecil. "Sekarang tinggal rambut Savia, ya, Mas." Lelaki itu mengangguk kecil. Ah ... aku senang dia manut begini. Demi bisa menikmati tubuhku lagi, demi bisa aku hamil, juga demi bisa dapat warisan, dia akhirnya rela menurunkan ego. Dasar laki-laki, kalah sama nafsu sendiri. Kami sampai di depan rumah Saskia di komplek sederhana. Aku mematung begitu turun dari mobil. Selama menikah dengannya baru tahu tempat tinggal istri sirinya itu. Pantas Saskia sangat mengingkan rumah yang tengah aku tempati dengan Mas Arfan, dia ingin lebih leluasa dari rumah minimalisnya ini. Aku yakin ini juga rumah pemberian Mas Arfan. Belum bisa memberikan rumah me
Mas Arfan menahanku yang hendak pergi. "Kamu sengaja menguping?" Aku tidak mau menjawabnya memilih pergi lagi. "Nabila! Hei!" Semakin kupercepat langkah. "Arfaan ... kenapa sih pagi-pagi sudah teriakkin Nabila?" Mama protes mengampirinya. Lelaki itu berhenti mengejarku. "Kenapa? Kan bisa bicara baik-baik." "Eh, nggak apa-apa, kok, Ma." Aku tidak jadi masuk kamar memperhatikannya yang jadi salah tingkah. Dan berusaha menormalkan raut wajah. Lelaki itu melirikku dengan tatapan dingin dan mencoba tersenyum saat tertuju pada Mama lagi. Aku pun memasuki kamar. Kamu pusing kan, Mas? Tidak semudah itu kamu untuk mendapat semua harta Papamu. Kamu harus memberikan cucu dulu. Harus bisa membuatku hamil dulu. Aku sedikit tersentak saat dia menyusul ke sini. Pintu ditutupnya pelan. Dan berjalan lambat menghampiri aku di sisi ranjang. Mas Arfan duduk di sampingku. Tampak pusing dan bingung. Terdengar helaan napasnya yang berat. "Kamu senang?" tanyanya tetap menatap lurus ke depan. "Tidak ta
Aku tersentak dari tidur dengan terisak-isak pilu. Menunduk memegangi dada sendiri. "Astagfirullah ... Ya Allah." Rupanya tragedi itu hanya dalam mimpi. Tapi rasa sakit dan ketakutannya terbawa hingga ke dunia nyata. Betapa aku dan Ibu seketika menangis histeris melihat Bapak ambruk kesakitan. Setelah mendengar keadaan rumah tanggaku yang sebenarnya dan hendak cerai. Jantung Bapak langsung collaps. Mungkin, itulah yang akan terjadi jika aku bercerita yang sebenarnya dengan resiko kehilangan Bapak selamanya. Aku menggeleng. Ya Allah, aku tidak ingin membunuh orang tuaku sendiri dengan kabar buruk ini. Mimpi sangat menakutkan, membawa langkah kaki ini ke luar kamar, melihat Ibu dan Bapak dari celah pintu. Tenang mengetahui mereka baik-baik saja. Ibu terlihat sedang memberikan air minum. Damai wajah Bapak yang bersandar ketika Ibu memijiti betis kakinya. Aku pun kini tersenyum. Mengusap pipi yang masih dijatuhi air mata. Masih sangat terasa suasana di alam bawah sadar tadi.***Saat
"Ini, Pak. Hasil tes DNA-nya.""Terimakasih." Mas Satya pamit, aku juga. "Ayo, Nabila." Membawa surat hasil tes ke luar ruangan. Lipatan kertas itu dibuka Mas Satya. Kami sama-sama melihatnya. Aku membelalak begitu membaca keterangannya. "Jadi? Mas?" Kulirik lelaki itu yang mematung. "Benar," lirihnya."Benar bukan Ayahnya," sambungnya dengan tegas kini. Dugaan kami tidak salah. Surat Hasil Identifikasi DNA memberitahukan tidak ada kecocokkan gen mereka. Penelitian sebanyak 99,9 persen menunjukkan Mas Arfan bukan Ayah biologis Savia.Aku sudah deg-dekan ketika melihat hasilnya. Sekarang lega setelah tahu anak itu bukan darah daging Mas Arfan. "Surat tes DNA yang Mas Arfan miliki berarti palsu atau sudah dimanipulasi, Mas, oleh Saskia.""Ya. Hanya akal-akalan perempuan itu." "Papa aslinya pasti orang dalam mobil itu, Mas." Aku teringat sekilas saat Saskia mengobrol dengan laki-laki asing dalam mobil mewah itu. "Dia sengaja menjebak. Menyuruh Saskia merayu Arfan sampai luluh lalu