Vano cuma memakai celana bokser pendek tanpa memakai baju, berjalan ke luar kamar dengan langkah gontai. Dia masih terkantuk-kantuk, sebab baru memejamkan mata sekitar dua jam yang lalu.
"Semalem lu diboking siapa?" tanya Raffa begitu Vano ada di depannya, tengah duduk sambil menelungkup di atas meja. Sedangkan Raffa menikmati minuman kaleng bergambar bintang favoritnya.
"Gue semalem diboking Tante Alda," jawab Vano masih di posisi yang sama. Matanya benar-benar masih mengantuk, hingga menjawab pun dia tidak memiliki tenaga.
Raffa berdecak. Dia kesal dengan Vano yang selalu seperti itu—tidur di apartemennya tanpa permisi.
"Abis berapa ronde, lu? Sampe teler gitu."
"Cuma dua, kok. Lu tau sendiri, kalau Tante Alda pelitnya minta ampun. Enggak kayak tante-tante yang piara lu selama ini." Vano menegakkan tubuhnya, menyandarkan punggung lalu mengusap wajahnya yang tampan berulang.
"Iri gue sama lu. Kapan gue bisa dapet tante-tante royal kayak lu," sambungnya lagi sambil beranjak dari duduknya lalu menuju lemari es.
Kemudian Vano mengambil minuman kaleng yang sama seperti Raffa, setelah itu dia duduk kembali dan membuka kaleng tersebut. Ditenggaknya perlahan cairan dingin berkarbonasi itu, yang lumayan menyegarkan otaknya.
"Gue doain semoga lu ada yang nawarin buat dijadiin suami juga," celetuk Raffa.
Vano mengerutkan keningnya. "Suami? Suami gimana maksut, lu?" tanyanya.
Raffa lantas menceritakan perihal tawaran tante Rika kepada Vano. Tawaran yang tidak hanya sekali ditawarkan oleh janda cantik itu.
"Buset! Kalau jadi gue, nih, langsung gue terima, Raf. Sayang, 'kan duit segitu melayang. Kita juga bisa leha-leha, enggak usah capek-capek nerima bokingan lagi," seru Vano yang sangat menyayangkan keputusan Raffa, yang sudah menolak tawaran Tante Rika.
Rasa kantuknya seolah menguap entah ke mana.
Raffa mengembuskan napas kasar—merasa pusing sendiri dengan ucapan sahabatnya yang selalu memikirkan tentang duit dan duit.
"Gue males kali, Van. Elu, 'kan tau sendiri, dari dulu gue enggak mau menjalin komitmen sama pelanggan gue. Sekali pun dia nawarin gue duit milyaran. Gue tetep enggak mau," ucap Raffa yang tanpa sadar sudah mendahului ketentuan takdir.
Dia selalu berucap demikian— menolak menjalin hubungan dengan wanita manapun. Raffa seakan lupa, bahwa ada Tuhan Sang Maha membolak-balikkan hati. Bisa saja, suatu hari nanti dia dipertemukan dengan wanita yang berbeda dari yang lainnya. Entahlah.
Vano menggeleng, seolah dia pun tidak setuju dengan ungkapan Raffa.
"Elu jangan bilang gitu. Siapa tahu, nih, ya, besok-besok lu ada pelanggan baru terus lu jatuh cinta sama dia. Elu ngejar-ngejar dia," ucap pemuda itu yang cuma ditanggapi kekehan oleh Raffa.
"Enggak mungkin." Raffa mengibaskan tangannya sambil tertawa. "Ya kali gue ngejar tante-tante. Yang ada, nih, ya, tuh tante-tante yang ngejar-ngejar gue," tukasnya seraya mengambil sebatang rokok lalu menyulut dan menghisapnya, yang kemudian mengepulkan asapnya ke udara.
Barang berbau khas tersebut selalu mampu menenangkan pikirannya. Raffa menjadi pecandu rokok sejak di bangku SMP, akibat pergaulannya yang salah.
Vano berdecak seraya tersenyum mengejek. Sahabatnya ini tidak pernah berubah sedikit pun. Meski begitu, Vano masih saja salut kepada Raffa yang selalu membuktikan ucapannya. Mereka berdua bersahabat sejak SMA, Vano mengetahui semua tentang kehidupan Raffa, begitu pun sebaliknya.
Bila ada Raffa maka di situ ada Vano. Keduanya sama-sama terjun ke dunia malam tiga tahun yang lalu. Namun, keberuntungan berpihak pada Raffa yang sejak pertama kali menjalani profesi ini. Pemuda itu langsung menjadi bintang di diskotek Mami Kumala di hari kedua dia bekerja.
Sedangkan Vano, yang tampannya di bawah Raffa tidak seberuntung itu. Sama-sama berprofesi sebagai lelaki penghibur, tetapi berbeda nasib.
"Ya ... kita liat aja nanti. Semoga lu bener-bener bisa megang ucapan lu." Vano berdiri usai berkata demikian. "Gue mau tidur lagi. Masih ngantuk." Dia lantas berjalan menuju kamar Raffa.
Raffa yang tahu jika Vano akan masuk ke kamarnya lagi, lantas bergegas mematikan rokoknya di asbak lalu berdiri.
"Tidur di kamar tamu, Van! Jangan tidur di kamar gue! Gue juga mau tidur," teriaknya sambil berlari kecil menyusul Vano yang hendak masuk ke kamarnya.
"Sial*n!" umpat Vano yang terkejut lantaran Raffa sudah masuk terlebih dulu dan membanting pintu kamarnya dari dalam.
Pemuda tersebut lantas berbelok, menuju kamar tamu yang ada di sebelah kamar Raffa sambil bersungut-sungut.
"Untung enggak kena aset gue. Bisa-bisa enggak laku, nih. Ck!"
####
Malamnya Raffa agak terburu-buru menuju diskotek. Mami Kumala baru saja meneleponnya dan mengabari bahwa ada pelanggan baru yang akan membokingnya malam ini. Raffa yang selalu menghormati perintah Mami Kumala menurut saja tanpa membantah sedikit pun.
"Kira-kira siapa, ya, pelanggan baru lu? Perasaan gua enggak pernah dapet pelanggan baru. Itu-itu mulu." Vano terus mengoceh di sepanjang perjalanan menuju diskotek. Dia meratapi nasibnya yang tak seberuntung Raffa.
Raffa memutar bola matanya ke atas, meski kesal lantaran sahabatnya ini selalu saja mengeluh dan iri kepadanya. Namun, Raffa tak pernah memasukkannya ke dalam hati. Sebab dia tahu, jika Vano memang sangatlah cerewet. Akan tetapi, pemuda yang usianya terpaut satu tahun darinya itu sebenarnya baik.
"Gimana mau dapet pelanggan baru? Orang elu-nya aja enggak mau minta sama Mami," celetuk Raffa setelah beberapa saat terdiam.
Vano langsung mengalihkan pandangannya. Menatap Raffa yang sibuk menyetir, dengan mata memicing.
"Emang bisa?" tanyanya dengan kening berkerut dalam.
"Ya bisalah. Ntar gue bantu mintain deh," seru Raffa yang seketika disambut dengan tepukan di pundaknya.
"Emang lu temen gue yang terbaik, Raf," ucap Vano sambil menepuk-nepuk pundak Raffa.
"Udah dari dulu kali! Elu-nya aja yang enggak nyadar. Ck!" Raffa berdecak sementara Vano tergelak.
"Kalau bisa yang royal kayak tante-tante yang piara lu."
"Njim! Itu namanya temen enggak ada akhlak! Udah dikasih hati malah minta ta*k."
"Jantung, Raf! Bukan ta*k! Lu pikir gue doyan begituan." Vano memukul pundak Raffa.
"Sakit, njirr! Ya abisnya lu nawar. Sukur-sukur Mami Kumala mau ngasih klien baru."
"Iye-iye! Gue apa aja dah! Yang penting pelanggan baru. Biar enggak itu-itu mulu. Bosen, Raf! Sekali-kali pengen ngerasain yang perawan."
"Dih! Ngelunjak!" Raffa mendelik.
Vano malah cengengesan.
$$$$
Raffa dan Vano bergegas masuk ke diskotek yang selalu ramai pengunjung itu, setelah memarkir mobil.
"Eh, bukannya itu Tante Dini?" kata Vano sambil mengarahkan pandangannya ke sudut tempat yang temaram.
Langkah Raffa sontak terhenti.
"Mana?"
"Itu!" Vano menunjuk dengan telunjuknya.
Raffa mengikuti arah yang ditunjukkan sahabatnya itu.
"Iya. Itu Tante Dini. Tapi mana pelanggan barunya?" ucapnya sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan bising dan remang-remang tersebut.
Lantaran dia hanya melihat Tante Dini duduk di tempat biasa sendirian tanpa ada orang lain di sisinya.
"Mungkin di dalem kali, sama Mami," jawab Vano asal. "Ya udah yuk! Kita samperin dulu aja," ajak pemuda itu yang kemudian melanjutkan langkahnya, mendekat ke tempat Tante Dini berada. Raffa mengekor di belakangnya.
Sedikit info—Tante Dini adalah wanita pelanggan pertama Raffa tiga tahun yang lalu. Dia yang memperkenalkan Raffa pada kenikmatan surga dunia. hehehe....
"Hai, Tan." Raffa menyapa Tante Dini yang sedang asyik memainkan ponselnya.
Dia lantas duduk di samping wanita yang malam ini mengenakan dress mini sebatas lutut berwana hitam, berlengan panjang.
Tante Dini seketika mengalihkan tatapannya.
"Hai, Raf. Apa kabar?" Dia memeluk Raffa, pun dengan pemuda itu. "Tambah ganteng aja." Tante Dini mengecup pipi Raffa sekilas.
Raffa terkekeh. "Biasa aja, Tan. Tante juga tambah cantik dan ..." Dia menggantung kalimatnya, lalu berbisik di telinga Tante Dini. "Tambah seksi." Dikecupnya sekilas bibir Tante Dini—wanita yang pertama kali menjamah tubuhnya.
Sikap Raffa kepada wanita pemilik butik ternama itu jelas berbeda. Meski usia Tante Dini sangatlah jauh dari usia Raffa, tetapi wanita itu selalu bisa mengimbangi pemikiran dan permainan pemuda itu ketika di ranjang.
Vano yang sejak tadi masih berdiri cuma bisa menelan ludah. Dia agak tergiur dengan kemolekan tubuh Tante Dini yang menurutnya sangat sempurna. Tidak ada yang mengira jika Tante Dini berusia 38 tahun, karena tubuhnya benar-benar terawat dan terlihat masih muda.
#####
"Ekhm!" Vano sengaja berdeham sangat keras diantara bisingnya suara musik DJ, guna menginterupsi kedua manusia yang tengah asyik bercanda di depan matanya.Dia merasa dongkol, sebab Raffa dan tante Dini tidak menganggapnya.Tante Dini seketika mengalihkan pandangannya ke Vano."Eh, ada Vano," serunya yang baru menyadari keberadaan Vano.Vano menyeringai, memamerkan deretan giginya yang putih dan bersih dengan terpaksa."Hai, Tan." Pemuda itu membungkukkan badan lalu cipika-cipiki dengan tante Dini. "Udah lama enggak ke sini, Tan," tanyanya kemudian.Selanjutnya dia duduk di samping Raffa yang menatapnya datar.
"Hem, kita mau ke mana?" Belinda bertanya kepada Raffa yang tengah sibuk menyetir. Wanita bermata biru itu tak henti memandang ke arah luar jendela, yang menurutnya sangat asing.Dua puluh menit yang lalu, Raffa membawanya pergi dari diskotek. Tanpa mengatakan apa pun, pemuda tersebut mengajaknya ke suatu tempat yang biasa dikunjunginya."Kita ke hotel. Emang mau ke mana lagi? Kalau enggak ke sana." Raffa menjawab pertanyaan Belinda dengan gaya khasnya yang datar dan suara yang terdengar dingin.Belinda sontak menoleh ke samping—menatap pemuda yang baru saja dikenalnya dengan alis tertaut.Seperti orang bodoh, Belinda yang sama sekali belum paham dengan apa yang tengah dilakukannya jelas melontarkan pertanyaan konyol."Hotel?"Raffa cuma mengangguk tanpa bersuara. Meski dalam benak pemuda itu merasa aneh dan bertanya-tanya.
Belinda meremang manakala tangan Raffa mulai memeluk pinggangnya dari belakang dengan posesif. Sementara tangan lain pemuda itu menyibak rambut Belinda ke samping bahu, hingga mengekspos leher jenjang perempuan bermata bulat tersebut.Aroma parfum vanila seketika menguar dan membuat Raffa semakin tidak sabar ingin mengecupnya. Kulit putih mulus leher Belinda, seakan menggodanya.Bak orang yang terhipnotis, Belinda tidak dapat mencegah atau menolak perlakuan Raffa padanya. Aliran darahnya memanas, ketika pemuda itu mendaratkan kecupan di lekuk lehernya. Belinda terpejam, dengan suara desah*n tertahan di bibirnya yang tipis. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuh, dengan debaran jantung yang hampir meledak.Sensasi yang belum pernah dia rasakan sama sekali itu, telah berhasil mengacaukan cara kerja otaknya. Sentuhan-sentuhan jemari Raffa pada setiap inci tubuhnya, seolah memberi sinyal kepada sesuatu di dalam dirinya
Sementara di diskotek, Vano terlihat tengah dicecar berbagai pertanyaan oleh Axel. Pemuda itu nampak sangat tidak menyukai Axel yang terkenal dengan sikap kasarnya.Sejak satu jam yang lalu mereka duduk di meja bartender sambil menunggu chat dari Mami Kumala."Jadi, temen lu baru dapet pelanggan baru?" tanya Axel yang sudah ke sekian kalinya.Vano berdecak mendengar pertanyaan-pertanyaan yang sangat membosankan baginya. Dia sangat mengenal Axel, yang sejak dulu tidak menyukai Raffa—sahabatnya."Astaga ... itu mulu yang lu tanyain, Bang! Enggak ada yang lain apa?" ucap Vano sambil menggelengkan kepalanya berulang."Ada sih yang mau gue tanyain ke elu. Tapi gue enggak yakin, lu mau jawab jujur apa enggak." Axel menyeringai, seperti sedang memikirkan sesuatu."Apaan?""Temen lu dukunnya orang mana? Pakek sus
Paginya Raffa terbangun dari tidurnya dengan perasaan tak karu-karuan. Bayangkan saja, dia yang biasanya menghabiskan malam bergelora dengan para pelanggannya. Semalaman dia dan Belinda tidur bersama, tetapi cuma saling memeluk satu sama lain, tanpa melakukan apa-apa.Alhasil, Raffa yang notabene sang pemain, harus menahan diri untuk tidak menyerang Belinda habis-habisan. Mati-matian dia menekan hasratnya yang tersulut tanpa tersalurkan. Kemolekan tubuh perempuan di sampingnya ini sangat menggoda. Sayangnya, Raffa tidak dapat menyentuh atau berbuat lebih.'Cantik, tapi sayang enggak bisa gue icip.' Raffa membatin sambil memandangi wajah Belinda yang tertidur di lengannya dengan nyaman.Nampak sangat polos dan menggemaskan. Saking gemasnya, Raffa kembali mencuri ciuman dari bibir Belinda yang sangat menggoda.Setelah mengecupnya, dengan hati-hati Raffa mengangkat lengannya.
Hari ini Raffa mungkin sedang berbaik hati. Entah kena angin apa dia menawarkan diri untuk mengantar Belinda pulang. Hal itu tentu saja membuat Vano jadi terheran-heran, lantaran sahabatnya itu tidak pernah sekali pun mengantar para pelanggannya pulang."Eh, lu serius mau nganter si Tante Belinda pulang?" Vano bertanya kepada Raffa yang sekarang ini sedang berganti baju di kamarnya.Sedangkan Belinda menunggu di luar. Perempuan itu tengah menikmati sarapan yang khusus dipesankan Raffa."Seriuslah," ucap Raffa sembari menyisir rambutnya yang sudah diberi gel rambut. "emangnya kenapa? gue liat lu kayak orang enggak percaya gitu." Dia menyemprotkan parfum ke seluruh badan.Raffa terlihat sangat tampan dan menawan. Walau hanya memakai kaos berkerah dengan celana kinos selutut berwarna hitam. Penampilan pemuda itu cukup menarik perhatian para wanita di luar sana.
Raffa menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang Panti Asuhan yang letaknya tidak jauh dari rumahnya yang dulu. Pemuda itu menatap seorang perempuan paruh baya yang tengah berbincang di halaman Panti Asuhan tersebut.Dadanya terasa sesak, lantaran dia hanya bisa memandang dari jauh sosok yang melahirkannya itu. Sosok ibu yang hampir tiga tahun terakhir ini tidak dapat disapa mau pun di peluk."Ibu ..." Cuma itu yang bisa Raffa ucapkan. Kerinduan pada sang ibu sedikit demi sedikit terobati, manakala dia mendatangi tempat ini.Tempat di mana ibunya selalu berkunjung setiap satu bulan sekali. Raffa ingat betul, pada waktu pertama kali dia menginjakkan kaki ke Panti Asuhan Muara Bunda. Pada waktu itu hari ulang tahunnya yang ke 10 tahun. Hingga detik ini dia masih menyimpan memori kenangan indah bersama ibunya."Mungkin lain waktu Raffa menemui Ibu. Semoga Ibu mau memaafkan
Sementara di rumah Belinda.Perempuan itu langsung memerintahkan asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya untuk membersihkan kamar tamu. Dia juga memasak makanan kesukaan suaminya dengan penuh semangat. Meski di hatinya merasa sedih, dengan kemungkinan yang akan terjadi. Suaminya entah mau menyentuh masakannya atau tidak. Seperti yang sudah-sudah.Belinda terus mendesah frustrasi, bukankah seharusnya dia merasa senang? Suaminya datang untuk menemuinya setelah hampir tiga bulan lamanya tidak bertemu."Seandainya Mas Bima seperti suami-suami di luaran sana. Mungkin aku tidak akan merana setiap hari. Menunggu kedatangannya hampir tiap malam, yang aku tahu itu tidak akan pernah terjadi." Belinda terus bermonolog sendiri sambil menata makanan di meja dengan dibantu asisten rumah tangganya yang lain."Mbak, saya mau mandi dulu. Tolong ini nanti diterusin, ya?" ucapnya semba
Beberapa saat yang lalu, Raffa baru saja menyelesaikan ijab qobul yang berlangsung dengan khidmat itu. Kini, dirinya dan Belinda telah resmi menjadi sepasang suami istri. Suasana di dalam ruangan tersebut begitu mengharukan, ketika Raffa menyematkan cincin di jari manis sang istri, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening Belinda. "Mommy Bel, istriku," ucap Raffa dengan lirih, bahkan saking pelannya hanya dia dan Belinda yang mendengar. Pipi Belinda seketika merona, semu kemerahan tercetak jelas di wajah cantiknya. "Daddy Raffa," ujarnya tak mau kalah dengan Raffa. Perasaannya sungguh sangat bahagia, pada akhirnya, dia dan Raffa bisa menikah dengan restu dari orang tua. "Selamat, ya, Bel," ucap bu Farah mengusap sayang puncak kepala menantunya. "Semoga pernikahan kalian langgeng." "Amiiin …" sahut Raffa dan Belinda bersamaan. Masalah yang ada sudah terselesaikan, dengan kata maaf yang terucap dari mulut ibu sebelum pernikahan ini berlangsung. Bu Farah sudah membuang jauh-j
"Bel …" Raffa sampai speechless sendiri, bingung harus bagaimana. Perempuan yang dicintainya kini telah membuka mata. Hanya lelehan air mata yang mewakili perasaannya detik ini. Bahagia bercampur haru menjadi satu. "Sayang …." Pemuda itu membungkuk agar bisa mendaratkan sebuah kecupan di kening Belinda. "Raffa …" Suara Belinda terdengar serak dan lemah. Maniknya menjelajah ke seluruh ruangan serba putih dan berbau khas tersebut. "Aku … di rumah sakit?" tanyanya yang belum menyadari bila di dadanya ada sang putri. "Iya, Bel. Kamu di rumah sakit," jawab Raffa, sembari menyeka lelehan air mata yang tidak mau berhenti mengalir itu. Alisa melangkah mendekat, sementara dua perawat yang masih berada di dalam ruangan itu melakukan tugasnya masing-masing. Perhatian Belinda beralih pada suara bayi yang merengek. Suaranya terdengar begitu dekat. Lantas, dia pun melebarkan maniknya seketika saat menyadari ternyata ada seorang bayi yang tengah tengkurap di dadanya. "I--ini?" Alisa terseny
Dalam ruangan serba berwarna putih, Belinda terlihat tengah duduk termenung seorang diri. Tatapan matanya terlihat kosong, dengan pikiran yang bercabang. Ada suara-suara yang terus saja berdengung di telinganya. Seperti suara tangisan bayi, dan suara seorang laki-laki.Namun, yang Belinda tidak mengerti ialah, mengapa dia tidak dapat melihat orang tersebut. Dia hanya bisa mendengar suara yang nampak tidak asing di telinganya. Lalu, suara bayi itu? Bayi siapa? Belinda memindai ruangan serba putih itu. Kosong, tidak ada satu orangpun yang berada di sana. "Aku di mana?" gumamnya sambil menelisik setiap sudut yang sama sekali tidak ada apa pun. Lantas, tangannya terjulur ke bawah, memegang perutnya yang rata. "Kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang? Rasanya seperti?" Pandangannya pun turun pada perut yang tertutupi dress berwarna putih itu. Hati Belinda berdesir, berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tetapi, nihil! Dia tetap tidak mengingat apa pun. "Apa? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Raffa melangkah keluar dengan gontai dan mata sembab. Menutup pintu ruangan yang selama ini dijadikan ruang perawatan untuk Belinda dengan perasaan tidak rela. Andai saja, dokter memberinya ijin untuk menemani Belinda di dalam, pasti hatinya bisa sedikit lebih tenang. Tidak seperti saat ini, yang berharap-harap cemas dan bertanya-tanya sendiri. Belum sampai dia membalik badan, ibu dan beberapa orang yang berada di sana mendekat. Ayah, Vano dan pak penghulu yang baru saja tiba juga ikut merasa khawatir dengan kondisi Belinda yang belum ada kejelasan sama sekali. "Raf, kenapa kamu keluar? Terus kenapa itu bayinya dibawa ke dalem?" Ibu memberondong pertanyaan, mendesak Raffa yang masih memunggunginya. Beliau sempat menanyakan sendiri hal tersebut kepada perawat yang menggendong cucunya. Namun, tidak ada jawaban. Perawat itu hanya melempar senyum, dan berlalu dari hadapannya. Tanpa memberikan penjelasan yang diinginkan.Alhasil, semua orang semakin kalut dan takut. Memikirkan kemungkin
Tak berselang lama, dua orang perawat perempuan datang dengan tergesa. Keduanya langsung mendekati ranjang Belinda. Mendengar ada suara langkah kaki yang masuk, Raffa pun menegakkan tubuh, lalu menyeka jejak air mata dengan punggung tangan kiri. Sementara tangannya yang lain seakan enggan melepas genggaman tangannya pada Belinda.Maniknya menatap salah satu perawat tengah yang berdiri sambil mengecek fungsi layar persegi yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi itu."Permisi, Tuan. Saya mau mengecek Nyonya Belinda dulu," ucap salah satu perawat yang lainnya, berdiri di depan Raffa. Di tangannya ada sebuah alat tensi darah digital.Raffa pun terhenyak, tubuhnya reflek tersentak dan beringsut mundur, hingga dengan berat hati dia melepas genggaman tangannya pada Belinda. Memberikan sedikit celah agar suster tersebut dapat segera menangani sang kekasih.Dengan masih menahan sesak, manik Raffa yang belum kering sepenuhnya memindai bergantian kedua suster tersebut. Sungguh, hatinya semakin
"Bel, kalo anak kita lahir, mau dikasih nama siapa? tanya Raffa sembari mengusap sayang puncak kepala Belinda yang bersandar di dada polosnya. Memiringkan sedikit kepalanya, lalu mengecup dalam kening itu.Napas keduanya masih sedikit memburu, karena beberapa saat yang lalu baru saja selesai bercinta. Belinda mendongak, guna mempertemukan maniknya dengan manik Raffa yang juga menatapnya."Terserah daddy-nya aja. Mommy ngikut aja," ucapnya sambil tersenyum manis. "Siapa pun namanya, aku sih setuju-setuju aja, Raf." Belinda lantas mengeratkan pelukannya ke Raffa. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh pemuda itu. Seperti biasa selalu menenangkan dan candu.Raffa terkekeh sekilas. Dia dan Belinda kini memiliki nama panggilan baru, yakni Mommy dan Daddy."Kok, terserah aku? Kan, biasanya ibunya yang selalu antusias, nyari nama buat bayinya," kata Raffa, mencubit gemas hidung Belinda yang langsung mengerucutkan bibir.Mengusap bekas cubitan Raffa di hidung, Belinda lalu menyahut, "Aku belum ada
Bu Farah, tante Dini, Marina, kini terlihat sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan dadakan yang akan segera dilaksanakan sebentar lagi. Atas ijin dari dokter Indira tentunya, ketiga perempuan itu bekerja sama untuk menyelesaikan persiapan sederhana dan seadanya. Sempat bingung, lantaran setahu Indira, Belinda adalah istri dari Raffa. Namun, dokter spesialis itu memilih diam dan tidak banyak bertanya perihal urusan privasi keluarga pasiennya. Tugasnya, hanya memantau kondisi Belinda yang belum menunjukkan perubahan. Dan, memberikan perhatian ekstra terhadap bayi Belinda yang saat ini benar-benar butuh asupan nutrisi. "Dok, ini ASI-nya keluar terus. Gimana cara berhentiin-nya?" tanya Dini yang kewalahan menangani ASI Belinda yang terus saja mengalir dari payudaranya. Walaupun Belinda tengah koma, namun produksi ASI tetap keluar dan sangat banyak.Dini yang hendak mengganti baju pasien Belinda dengan kebaya pengantin itu pun berusaha menyumpal tetes demi tetes ASI tersebut dengan
Terkadang, apa yang kita harapkan, dan telah kita susun dengan sedemikian rupa. Tidak bisa terwujud dengan mudah, lantaran hal-hal yang datang dan terjadi tanpa diduga. Seperti halnya rencana pernikahan yang telah direncanakan oleh Raffa setelah kelahiran putrinya. Jauh-jauh hari pemuda itu rupanya sudah memesan cincin pernikahan untuknya dan Belinda tanpa sepengetahuan sang kekasih. Cincin kawin berisinial nama masing-masing, Raffa pesan secara khusus, untuk hari spesialnya. Raffa menatap nanar cincin tersebut di tangannya, dengan perasaan tak menentu. Kesedihan menjadi berkali-kali lipat kala mengingat kondisi Belinda yang masih belum bangun dari tidur panjangnya. Sudah hampir satu bulan lebih, kekasihnya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun. Segala upaya juga sudah dilakukan oleh dokter, tetapi belum membuahkan hasil. Belinda tetap tidak mau bangun. Dia seakan betah tertidur, dan enggan membuka mata lagi. "Raf...." Vano memangil sang sahabat yang sedari tadi ha
"Gimana hasilnya, Dok? Apa... ada yang mengkhawatirkan?" Raffa bertanya dengan raut cemas dan pucat. Hal yang sudah dia tunggu-tunggu selama dua hari ini akhirnya datang juga.Kemarin, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan pada Belinda yang belum juga sadar. Padahal, sudah lebih dari dua hari, perempuan itu tidak sadarkan diri. Dan, setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya hasil pemeriksaan medis Belinda pun keluar.Indira, selaku dokter yang menangani Belinda menghela panjang. Meletakkan berkas laporan medis pasiennya itu ke meja, lalu melepas kaca mata yang selalu dia pakai, dan menaruhnya di nakas."Begini, Pak," ucapnya seraya melipat tangan ke atas meja. Maniknya menatap serius Raffa yang sedari tadi sudah merasa gelisah dan khawatir. "Dengan sangat menyesal saya katakan, kalau istri Anda ternyata sempat mengalami benturan di kepala. Dan, hal itulah yang menyebabkan Nyonya Belinda belum sadarkan diri sampai sekarang."Kening Raffa mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya sam