Hari ini Raffa mungkin sedang berbaik hati. Entah kena angin apa dia menawarkan diri untuk mengantar Belinda pulang. Hal itu tentu saja membuat Vano jadi terheran-heran, lantaran sahabatnya itu tidak pernah sekali pun mengantar para pelanggannya pulang.
"Eh, lu serius mau nganter si Tante Belinda pulang?" Vano bertanya kepada Raffa yang sekarang ini sedang berganti baju di kamarnya.
Sedangkan Belinda menunggu di luar. Perempuan itu tengah menikmati sarapan yang khusus dipesankan Raffa.
"Seriuslah," ucap Raffa sembari menyisir rambutnya yang sudah diberi gel rambut. "emangnya kenapa? gue liat lu kayak orang enggak percaya gitu." Dia menyemprotkan parfum ke seluruh badan.
Raffa terlihat sangat tampan dan menawan. Walau hanya memakai kaos berkerah dengan celana kinos selutut berwarna hitam. Penampilan pemuda itu cukup menarik perhatian para wanita di luar sana.
<
Raffa menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang Panti Asuhan yang letaknya tidak jauh dari rumahnya yang dulu. Pemuda itu menatap seorang perempuan paruh baya yang tengah berbincang di halaman Panti Asuhan tersebut.Dadanya terasa sesak, lantaran dia hanya bisa memandang dari jauh sosok yang melahirkannya itu. Sosok ibu yang hampir tiga tahun terakhir ini tidak dapat disapa mau pun di peluk."Ibu ..." Cuma itu yang bisa Raffa ucapkan. Kerinduan pada sang ibu sedikit demi sedikit terobati, manakala dia mendatangi tempat ini.Tempat di mana ibunya selalu berkunjung setiap satu bulan sekali. Raffa ingat betul, pada waktu pertama kali dia menginjakkan kaki ke Panti Asuhan Muara Bunda. Pada waktu itu hari ulang tahunnya yang ke 10 tahun. Hingga detik ini dia masih menyimpan memori kenangan indah bersama ibunya."Mungkin lain waktu Raffa menemui Ibu. Semoga Ibu mau memaafkan
Sementara di rumah Belinda.Perempuan itu langsung memerintahkan asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya untuk membersihkan kamar tamu. Dia juga memasak makanan kesukaan suaminya dengan penuh semangat. Meski di hatinya merasa sedih, dengan kemungkinan yang akan terjadi. Suaminya entah mau menyentuh masakannya atau tidak. Seperti yang sudah-sudah.Belinda terus mendesah frustrasi, bukankah seharusnya dia merasa senang? Suaminya datang untuk menemuinya setelah hampir tiga bulan lamanya tidak bertemu."Seandainya Mas Bima seperti suami-suami di luaran sana. Mungkin aku tidak akan merana setiap hari. Menunggu kedatangannya hampir tiap malam, yang aku tahu itu tidak akan pernah terjadi." Belinda terus bermonolog sendiri sambil menata makanan di meja dengan dibantu asisten rumah tangganya yang lain."Mbak, saya mau mandi dulu. Tolong ini nanti diterusin, ya?" ucapnya semba
Tengah malam Belinda terbangun. Dia melirik ke sisi tempat tidurnya yang kosong. Lagi-lagi, Bima menyakiti hatinya dengan tak kasat mata. Harusnya malam ini dia menghabiskan malam penuh gelora bersama suaminya itu. Melepas rindu dalam balutan hangatnya cinta sejoli yang baru bertemu.Namun, semua kehangatan itu nampaknya memang tak dapat dirasakan olehnya. Dicintai dan disayangi oleh Bima mungkin cuma ada dalam angan-angan Belinda. Bagaimana mungkin, dia bisa merasakan semua itu, jika Bima saja tak pernah sudi tidur satu kamar dengannya semenjak menikah.Pria itu memilih tidur di kamar lain dan tidak peduli dengan perasaan istrinya yang hampir tiap hari mengharapakan sentuhan dan kasih sayangnya.Malam-malam dingin seperti ini, Belinda selalu menghabiskannya sendiri. Itu sudah jadi kebiasaannya. Bersuami pun percuma, bila dia tidak pernah dianggap keberadaannya.
Di meja makan, Belinda dan Bima terlihat seperti dua orang asing yang tinggal dalam satu atap. Duduk di meja yang sama, tak lantas membuat hubungan mereka jadi baik. Bima sibuk dengan sarapannya sementara Belinda sibuk dengan urusannya sendiri. Meski ekor matanya tak henti melirik sang suami yang sudah berpenampilan rapi.Bima terlihat gagah dan berwibawa. Usianya memang terbilang cukup matang. Namun, ketampanan wajah Bima tak diragukan lagi. Dewasa dan tegas, itu kesan pertama Belinda waktu pertama kali bertemu lelaki berusia 48 tahun tersebut."Aku akan pulang hari ini," ucap Bima membelah kesunyian di ruang makan luas ini. Seperti biasa, tanpa menatap wajah Belinda sama sekali.Biasanya Belinda akan sedih dan kecewa mendengar penuturan Bima. Namun, kali ini tidak lagi. Dia seolah telah kebal dan terbiasa mulai detik ini."Aku titip salam buat Mbak Marina," ujarnya, yang terkesan tidak peduli denga
Raffa mengajak Belinda makan ke tempat yang biasa dia kunjungi. Sebuah Restoran yang letaknya tidak jauh dari apartemen pemuda itu. Situasinya lumayan ramai pengunjung, dan banyak dari mereka para pasangan muda mudi.Keduanya memilih duduk di rooftops yang ada di atas gedung tersebut. Pemandangan malam ibu kota nampak jelas terlihat dari atas sini, hingga Belinda tak henti berdecak kagum sejak tadi.Semilir angin malam tak mengurangi kebahagiaan Belinda sedikit pun. Padahal, dengan pakaian yang yang seperti itu, pastinya dia merasa kedinginan.Senyuman Belinda jelas memukau Raffa yang sedari tadi menatapnya. Diam-diam pemuda itu mengagumi sosok perempuan yang malam ini tampil sangat cantik itu. Raffa belum pernah melihat senyuman sepolos senyuman Belinda.'Cantik.' B
Belinda menggeleng."Bukan. Bukan itu alasannya.""Terus apa dong?""Aku ini cuma berstatus istri kedua dari suamiku.""What's? Serius?" Raffa melebarkan mata tak percaya."Iya. Aku istri kedua. Istri pertama suamiku ada di Bandung." Belinda menjawab dengan tenang tanpa beban. Dia seolah tidak malu mengakui bahwa dirinya hanyalah berstatus sebagai istri kedua.Sementara Raffa jelas saja terkejut. Namun, terkejut dalam arti lain. Pemuda itu sempat terdiam sesaat. Tak ingin bereaksi berlebihan, lantaran lawan bicaranya kini terlihat sangat sedih."Sudahlah. Jangan dibahas lagi. Lebih baik kita bahas hal yang lain." Raffa beranjak dari tempatnya duduk. Dia hendak berlalu dari sana, bermaksud mengambil air minum untuk Belinda.Kemudian tiba-tiba Belinda meraih tangannya lalu berkata,"Malam ini temani aku berpetualang. Ajak aku ke duniamu. Aku ingin merasakan hal yang belum pernah sama sekali aku rasakan selama ini. Apa kamu
Di menit berikutnya, keduanya sama-sama telah polos. Tanpa ada sehelai kain yang menutupi tubuh mereka. Raffa dan Belinda semakin terhanyut dalam buai hasrat memabukkan. Melenakan dan mampu membuat Belinda hampir menjerit lantaran klimaks yang baru saja dia capai. Padahal Raffa belum memasukinya. Masih hanya sebatas memainkan jari jemarinya di bawah sana.Belinda benar-benar dibuat semakin belingsatan kala pemuda itu kembali menggodanya dengan gigitan-gigitan lembut di setiap titik sensitifnya.Dalam benaknya, Belinda mengingat semua ucapan Dini tentang Raffa. Jika pemuda tersebut pasti akan membawanya ke puncak nirwana yang sama sekali belum pernah dia jamah selama menikah dengan Bima.Raffa menyeringai puas, menatap perempuan yang kemarin sempat menolak ajakannya. Kini perempuan itu tengah menikmati kenikmatan yang dia ciptakan dalam kendalinya. Belinda semakin terlihat cantik, wajahnya yang putih dipenuhi dengan peluh
Happy Reading! Semoga suka^^###Tengah malam Belinda terbangun lantaran rasa tidak nyaman pada inti tubuhnya. Agak perih dan terasa ngilu sebab ini adalah yang pertama baginya.Belinda bangkit lalu terduduk di pinggir ranjang, dia hendak ke kamar mandi. Namun tiba-tiba terdengar suara berat Raffa dari balik punggungnya."Mau ke mana?" tanya pemuda itu. Dia juga terbangun dan menatap punggung polos Belinda yang sangat indah.Tubuh Belinda sontak menegang, menelan ludahnya susah payah."A-aku mau ke kamar mandi," sahutnya tanpa menoleh, sambil terus meringis menahan ngilu di bawah sana.Merasa ada yang aneh dari suara perempuan yang beberapa jam lalu dia gagahi, Raffa lantas beringsut maju. Dia menyentuh pundak Belinda yang masih betah membelakanginya, kemudian bertanya lagi."Kamu kenapa? Perlu aku bantu?" Tak lepas menatap Belinda yang menundukkan kepala."Enggak usah. Aku bisa sendiri." Belinda lantas mencoba berdiri,
Beberapa saat yang lalu, Raffa baru saja menyelesaikan ijab qobul yang berlangsung dengan khidmat itu. Kini, dirinya dan Belinda telah resmi menjadi sepasang suami istri. Suasana di dalam ruangan tersebut begitu mengharukan, ketika Raffa menyematkan cincin di jari manis sang istri, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening Belinda. "Mommy Bel, istriku," ucap Raffa dengan lirih, bahkan saking pelannya hanya dia dan Belinda yang mendengar. Pipi Belinda seketika merona, semu kemerahan tercetak jelas di wajah cantiknya. "Daddy Raffa," ujarnya tak mau kalah dengan Raffa. Perasaannya sungguh sangat bahagia, pada akhirnya, dia dan Raffa bisa menikah dengan restu dari orang tua. "Selamat, ya, Bel," ucap bu Farah mengusap sayang puncak kepala menantunya. "Semoga pernikahan kalian langgeng." "Amiiin …" sahut Raffa dan Belinda bersamaan. Masalah yang ada sudah terselesaikan, dengan kata maaf yang terucap dari mulut ibu sebelum pernikahan ini berlangsung. Bu Farah sudah membuang jauh-j
"Bel …" Raffa sampai speechless sendiri, bingung harus bagaimana. Perempuan yang dicintainya kini telah membuka mata. Hanya lelehan air mata yang mewakili perasaannya detik ini. Bahagia bercampur haru menjadi satu. "Sayang …." Pemuda itu membungkuk agar bisa mendaratkan sebuah kecupan di kening Belinda. "Raffa …" Suara Belinda terdengar serak dan lemah. Maniknya menjelajah ke seluruh ruangan serba putih dan berbau khas tersebut. "Aku … di rumah sakit?" tanyanya yang belum menyadari bila di dadanya ada sang putri. "Iya, Bel. Kamu di rumah sakit," jawab Raffa, sembari menyeka lelehan air mata yang tidak mau berhenti mengalir itu. Alisa melangkah mendekat, sementara dua perawat yang masih berada di dalam ruangan itu melakukan tugasnya masing-masing. Perhatian Belinda beralih pada suara bayi yang merengek. Suaranya terdengar begitu dekat. Lantas, dia pun melebarkan maniknya seketika saat menyadari ternyata ada seorang bayi yang tengah tengkurap di dadanya. "I--ini?" Alisa terseny
Dalam ruangan serba berwarna putih, Belinda terlihat tengah duduk termenung seorang diri. Tatapan matanya terlihat kosong, dengan pikiran yang bercabang. Ada suara-suara yang terus saja berdengung di telinganya. Seperti suara tangisan bayi, dan suara seorang laki-laki.Namun, yang Belinda tidak mengerti ialah, mengapa dia tidak dapat melihat orang tersebut. Dia hanya bisa mendengar suara yang nampak tidak asing di telinganya. Lalu, suara bayi itu? Bayi siapa? Belinda memindai ruangan serba putih itu. Kosong, tidak ada satu orangpun yang berada di sana. "Aku di mana?" gumamnya sambil menelisik setiap sudut yang sama sekali tidak ada apa pun. Lantas, tangannya terjulur ke bawah, memegang perutnya yang rata. "Kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang? Rasanya seperti?" Pandangannya pun turun pada perut yang tertutupi dress berwarna putih itu. Hati Belinda berdesir, berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tetapi, nihil! Dia tetap tidak mengingat apa pun. "Apa? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Raffa melangkah keluar dengan gontai dan mata sembab. Menutup pintu ruangan yang selama ini dijadikan ruang perawatan untuk Belinda dengan perasaan tidak rela. Andai saja, dokter memberinya ijin untuk menemani Belinda di dalam, pasti hatinya bisa sedikit lebih tenang. Tidak seperti saat ini, yang berharap-harap cemas dan bertanya-tanya sendiri. Belum sampai dia membalik badan, ibu dan beberapa orang yang berada di sana mendekat. Ayah, Vano dan pak penghulu yang baru saja tiba juga ikut merasa khawatir dengan kondisi Belinda yang belum ada kejelasan sama sekali. "Raf, kenapa kamu keluar? Terus kenapa itu bayinya dibawa ke dalem?" Ibu memberondong pertanyaan, mendesak Raffa yang masih memunggunginya. Beliau sempat menanyakan sendiri hal tersebut kepada perawat yang menggendong cucunya. Namun, tidak ada jawaban. Perawat itu hanya melempar senyum, dan berlalu dari hadapannya. Tanpa memberikan penjelasan yang diinginkan.Alhasil, semua orang semakin kalut dan takut. Memikirkan kemungkin
Tak berselang lama, dua orang perawat perempuan datang dengan tergesa. Keduanya langsung mendekati ranjang Belinda. Mendengar ada suara langkah kaki yang masuk, Raffa pun menegakkan tubuh, lalu menyeka jejak air mata dengan punggung tangan kiri. Sementara tangannya yang lain seakan enggan melepas genggaman tangannya pada Belinda.Maniknya menatap salah satu perawat tengah yang berdiri sambil mengecek fungsi layar persegi yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi itu."Permisi, Tuan. Saya mau mengecek Nyonya Belinda dulu," ucap salah satu perawat yang lainnya, berdiri di depan Raffa. Di tangannya ada sebuah alat tensi darah digital.Raffa pun terhenyak, tubuhnya reflek tersentak dan beringsut mundur, hingga dengan berat hati dia melepas genggaman tangannya pada Belinda. Memberikan sedikit celah agar suster tersebut dapat segera menangani sang kekasih.Dengan masih menahan sesak, manik Raffa yang belum kering sepenuhnya memindai bergantian kedua suster tersebut. Sungguh, hatinya semakin
"Bel, kalo anak kita lahir, mau dikasih nama siapa? tanya Raffa sembari mengusap sayang puncak kepala Belinda yang bersandar di dada polosnya. Memiringkan sedikit kepalanya, lalu mengecup dalam kening itu.Napas keduanya masih sedikit memburu, karena beberapa saat yang lalu baru saja selesai bercinta. Belinda mendongak, guna mempertemukan maniknya dengan manik Raffa yang juga menatapnya."Terserah daddy-nya aja. Mommy ngikut aja," ucapnya sambil tersenyum manis. "Siapa pun namanya, aku sih setuju-setuju aja, Raf." Belinda lantas mengeratkan pelukannya ke Raffa. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh pemuda itu. Seperti biasa selalu menenangkan dan candu.Raffa terkekeh sekilas. Dia dan Belinda kini memiliki nama panggilan baru, yakni Mommy dan Daddy."Kok, terserah aku? Kan, biasanya ibunya yang selalu antusias, nyari nama buat bayinya," kata Raffa, mencubit gemas hidung Belinda yang langsung mengerucutkan bibir.Mengusap bekas cubitan Raffa di hidung, Belinda lalu menyahut, "Aku belum ada
Bu Farah, tante Dini, Marina, kini terlihat sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan dadakan yang akan segera dilaksanakan sebentar lagi. Atas ijin dari dokter Indira tentunya, ketiga perempuan itu bekerja sama untuk menyelesaikan persiapan sederhana dan seadanya. Sempat bingung, lantaran setahu Indira, Belinda adalah istri dari Raffa. Namun, dokter spesialis itu memilih diam dan tidak banyak bertanya perihal urusan privasi keluarga pasiennya. Tugasnya, hanya memantau kondisi Belinda yang belum menunjukkan perubahan. Dan, memberikan perhatian ekstra terhadap bayi Belinda yang saat ini benar-benar butuh asupan nutrisi. "Dok, ini ASI-nya keluar terus. Gimana cara berhentiin-nya?" tanya Dini yang kewalahan menangani ASI Belinda yang terus saja mengalir dari payudaranya. Walaupun Belinda tengah koma, namun produksi ASI tetap keluar dan sangat banyak.Dini yang hendak mengganti baju pasien Belinda dengan kebaya pengantin itu pun berusaha menyumpal tetes demi tetes ASI tersebut dengan
Terkadang, apa yang kita harapkan, dan telah kita susun dengan sedemikian rupa. Tidak bisa terwujud dengan mudah, lantaran hal-hal yang datang dan terjadi tanpa diduga. Seperti halnya rencana pernikahan yang telah direncanakan oleh Raffa setelah kelahiran putrinya. Jauh-jauh hari pemuda itu rupanya sudah memesan cincin pernikahan untuknya dan Belinda tanpa sepengetahuan sang kekasih. Cincin kawin berisinial nama masing-masing, Raffa pesan secara khusus, untuk hari spesialnya. Raffa menatap nanar cincin tersebut di tangannya, dengan perasaan tak menentu. Kesedihan menjadi berkali-kali lipat kala mengingat kondisi Belinda yang masih belum bangun dari tidur panjangnya. Sudah hampir satu bulan lebih, kekasihnya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun. Segala upaya juga sudah dilakukan oleh dokter, tetapi belum membuahkan hasil. Belinda tetap tidak mau bangun. Dia seakan betah tertidur, dan enggan membuka mata lagi. "Raf...." Vano memangil sang sahabat yang sedari tadi ha
"Gimana hasilnya, Dok? Apa... ada yang mengkhawatirkan?" Raffa bertanya dengan raut cemas dan pucat. Hal yang sudah dia tunggu-tunggu selama dua hari ini akhirnya datang juga.Kemarin, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan pada Belinda yang belum juga sadar. Padahal, sudah lebih dari dua hari, perempuan itu tidak sadarkan diri. Dan, setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya hasil pemeriksaan medis Belinda pun keluar.Indira, selaku dokter yang menangani Belinda menghela panjang. Meletakkan berkas laporan medis pasiennya itu ke meja, lalu melepas kaca mata yang selalu dia pakai, dan menaruhnya di nakas."Begini, Pak," ucapnya seraya melipat tangan ke atas meja. Maniknya menatap serius Raffa yang sedari tadi sudah merasa gelisah dan khawatir. "Dengan sangat menyesal saya katakan, kalau istri Anda ternyata sempat mengalami benturan di kepala. Dan, hal itulah yang menyebabkan Nyonya Belinda belum sadarkan diri sampai sekarang."Kening Raffa mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya sam