Pukul sepuluh pagi Raffa terbangun dari tidurnya. Pemuda itu baru bisa tidur pukul tiga pagi, usai melayani Tante Rika yang sekarang ini masih terlelap di sampingnya tanpa mengenakan sehelai kain. Hanya selimut tebal yang menutupi tubuh polosnya.
Raffa beranjak dari ranjang dengan hati-hati, agar Tante Rika tidak merasa terganggu. Dia lantas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum pulang ke apartemen.
Membasuh seluruh tubuhnya yang kekar di bawah kucuran air shower, sembari merenungi semua kelakuannya selama ini. Dalam benaknya, selalu tersirat rasa penyesalan, seusai melayani para kliennya. Raffa merasa, harus sampai kapan dirinya melakoni profesinya ini.
"Andai Ayah enggak ngremehin gue. Mungkin gue enggak akan jadi kayak sekarang." Bibirnya bergumam dalam guyuran air dingin yang berasal dari shower. Mendinginkan otak dan hatinya yang memanas, bila mengingat kejadian tiga tahun yang lalu.
Raffa menyudahi ritual mandinya yang tidak hanya menyegarkan tubuhnya, tetapi juga mampu merelaksasi otot-ototnya yang agak kaku. Tante Rika selalu meminta dipuaskan berkali-kali, hingga dirinya harus bekerja ekstra lebih keras untuk itu.
Dia keluar dari kamar mandi dengan memakai handuk yang hanya menutupi sebagian tubuhnya. Bagian atas pemuda itu terekspos sangat jelas dan terlihat menggiurkan bagi siapa saja yang memandang. Perut sixpack, postur tubuh yang tegap, ditambah tetes-tetes air yang jatuh dipermukaan kulitnya yang bersih, semakin menambah kesan seksi.
Raffa mengusak rambutnya yang basah menggunakan handuk kecil, dia melangkah lalu memilih duduk di pinggir ranjang, membelakangi Tante Rika yang dia pikir masih tidur.
"Morning, Baby ..." Tangan Tante Rika tiba-tiba melingkar di pinggang polosnya dari belakang. Wanita itu sengaja menempelkan dadanya di balik punggung Raffa dengan erat. "Kamu udah mandi?" tanyanya seraya mengecup lekuk leher Raffa yang menguarkan aroma sabun.
Punggung Raffa yang polos bertemu dengan dada Tante Rika yang polos, menimbulkan sengatan bak aliran listrik, yang seketika membuat pusat tubuh pemuda itu menegang. Dada montok Tante Rika begitu terasa, menggesek permukaan kulitnya yang masih agak basah.
Raffa menelan ludahnya sendiri, menekan sesuatu di bawah sana yang semakin meronta.
"Hem," Dia menanggapi Tante Rika dengan gumaman kecil sambil sibuk mengeringkan rambutnya. "Habis ini Raffa langsung pulang ya, Tan?"
"Kok cepet, sih?" Tante Rika seakan tidak rela melepas Raffa untuk pulang. "Harusnya kamu terima tawaran tante, Raf. Kamu minta bayaran berapa, pasti tante kasih," tawar Tante Rika yang semakin mengeratkan pelukannya di punggung pemuda itu.
"Maaf, Tan. Raffa enggak bisa nerima tawaran Tante. Raffa enggak mau hidup dalam kendali seorang perempuan." Jawaban yang sama, ketika Tante Rika memintanya untuk menjadi suami kontrak. Raffa tidak menginginkan hal semacam itu.
Tante Rika sontak melepaskan tangannya dari pinggang Raffa, penolakan yang kesekian kali cukup membuat hatinya ngilu.
"Ya udah. Tante enggak akan maksa kamu lagi," ujarnya dengan nada terdengar tidak rela sama sekali. Raut wajahnya memberengut seperti anak kecil yang tidak dituruti permintaannya.
Raffa berbalik badan menghadap Tante Rika yang menundukkan kepala.
"Tan. Jangan sedih dong ... kita, 'kan masih bisa ketemu walau Raffa enggak bisa jadi suami Tante Rika." Dia menyentuh dagu Tante Rika lalu mengangkatnya perlahan. Menatap manik mata berwarna cokelat itu yang nampak sedih. "Raffa janji bakalan tetep ada buat Tante. Tapi maaf, kalau Raffa enggak bisa nerima tawaran Tante."
Helaan napas panjang berembus dari hidung mancung Tante Rika.
"Enggak apa-apa, Raf," ucapnya dengan suaranya yang seksi. Namun, kesedihan akan penolakan Raffa masih kentara di matanya.
"Tante enggak marah sama Raffa, kan?"
Tante Rika menggeleng. "Mana bisa tante marah sama kamu," sergahnya.
Memang itu kenyataanya. Tante Rika tidak mungkin bisa marah kepada Raffa—pemuda yang selama ini menghangatkan ranjangnya.
Raffa tersenyum sekilas, dia kemudian mengecup bibir Tante Rika lalu memagutnya dengan lembut dan hangat.
"Makasih, Tan. Karena Tante udah mau ngertiin aku," ucapnya setelah melepas pagutannya.
"Sama-sama." Tante Rika mengelus pipi Raffa lalu mengecupnya. "Nanti uangnya tante transfer, ya?"
"Kan udah di transfer Mami Kumala?" Raffa bingung.
"Enggak apa-apa. Anggap aja itu bonus dari tante, karena semalem kamu udah bekerja keras, hihi." Wanita berambut merah tersebut terkikik.
"Makasih, ya, Tan." Raffa mengecup bibir Tante Rika sekali lagi, dia lalu berdiri dan berganti baju di depan wanita itu tanpa malu.
Tante Rika beranjak dari ranjang, berjalan menuju kamar mandi tanpa penutup sama sekali. Dia sengaja memamerkan lekuk tubuhnya di depan Raffa yang berada di belakangnya. Sementara Raffa meliriknya sekilas, dan berpura-pura sibuk mengancingkan kemejanya.
"Ck!" Raffa berdecak pelan. "Tahan, Raf ... tahan," bibirnya terus bergumam.
#####
Raffa dalam perjalanan menuju apartemennya. Namun tiba-tiba ponselnya yang ada di saku kemeja bergetar, seperti ada pesan masuk. Dia lantas mengeceknya sebentar, membaca pesan masuk yang ternyata notif transferan masuk ke rekeningnya.
"Lumayan." Bibirnya tersenyum ketika melihat nominal jumlah uang bonus yang ditransfer Tante Rika. Lima digit cuma untuk bonus, belum uang jasa yang nominalnya tidak sedikit.
Dalam semalam Raffa mengantongi sekitar sepuluh juta. Itu baru dari Tante Rika. Belum dari tante-tantenya yang lain. Sungguh, pekerjaan paling gampang dan instan untuk menjadi orang kaya. Dalam kehidupannya yang dulu, dia sama sekali tidak pernah membayangkan akan hidup mewah seperti sekarang ini, tanpa bantuan ayahnya.
*****
Perjalanan menuju apartemen tidak memerlukan waktu yang lama, cuma sekitar dua puluh menit dari hotel tempatnya menginap semalam. Raffa memarkir mobil di basemen apartemen, lalu bergegas menuju lantai tujuh, tempat unitnya berada.
Raffa tiba di depan pintu apartemen, lalu menekan kode akses masuk. Pada saat dia melangkahkan kaki menuju arah pantry, matanya terfokus menatap pintu kamarnya yang terbuka.
"Kok kamar gue kebuka, sih?" Matanya memicing sambil menebak-nebak sendiri. Dia pun mengurungkan niatnya yang semula ingin menuju pantry, kini melangkah menuju kamarnya.
Begitu pintu kamar terbuka lebar, Raffa sontak mendengkus kasar.
"Sialan! Gue pikir ada maling. Tahunya si kampret! Woi! Bangun, woi! Udah siang! Enak aja lu tidur di sini!" Raffa mengguncang tubuh temannya yang tertidur pulas di ranjangnya yang empuk.
Namun sepertinya temannya itu tidak merasa terganggu sama sekali. Temannya tersebut tidak bergerak sedikit pun atau membuka matanya. Padahal Raffa mengguncang punggungnya dengan sangat keras sambil terus berteriak.
"Eh, bangke! Bangun enggak, lu! Gue siram juga, nih!" Raffa melempar bantal ke kepala temannya, hingga lelaki itu membuka matanya.
Menatap Raffa yang berdiri sambil berkacak pinggang, teman Raffa yang bernama Vano itu lalu berdecak,
"Ck! apaan sih? Berisik lu!" umpatnya yang kemudian menutup telinganya rapat-rapat dengan bantal.
"Sialan! Yang punya rumah enggak dianggep!" Raffa mendengkus lagi merasa kesal lantaran tidak dianggap keberadaannya oleh Vano.
'Gue kerjain juga, nih!' Raffa membatin. Ide gila seketika muncul di otaknya. Dia berpura-pura mengangkat telepon.
"Halo? Iya, Mam. Oh, ada pelanggan buat Vano? Nih, anaknya lagi tidur." Sembari melirik ke arah Vano yang sontak terperanjat dari tempatnya berbaring.
"Eh, bawa sini bawa sini! Bilang gue udah bangun." Vano mencoba merebut ponsel Raffa.
Namun Raffa malah terbahak-bahak sambil melempar benda pipih miliknya ke Vano.
"Makan tuh hape! Giliran denger B.O-an aja langsung bangun. Gue yang dari tadi teriak-teriak lu cuekin."
Vano mengecek ponsel Raffa yang mati karena kehabisan daya.
"Jadi lu tadi bohongin gue?" Matanya memicing sambil bersungut-sungut.
Raffa mengedikkan bahunya tak acuh. Dia lantas berlalu meninggalkan Vano yang terbengong-bengong dengan perasaan dongkol.
"Sialan emang si Raffa. Ganggu orang tidur aja." Vano bersungut-sungut sembari beranjak dari tempat tidur Raffa, menyusul sang sahabat yang sudah berada di pantry.
Vano cuma memakai celana bokser pendek tanpa memakai baju, berjalan ke luar kamar dengan langkah gontai. Dia masih terkantuk-kantuk, sebab baru memejamkan mata sekitar dua jam yang lalu."Semalem lu diboking siapa?" tanya Raffa begitu Vano ada di depannya, tengah duduk sambil menelungkup di atas meja. Sedangkan Raffa menikmati minuman kaleng bergambar bintang favoritnya."Gue semalem diboking Tante Alda," jawab Vano masih di posisi yang sama. Matanya benar-benar masih mengantuk, hingga menjawab pun dia tidak memiliki tenaga.Raffa berdecak. Dia kesal dengan Vano yang selalu seperti itu—tidur di apartemennya tanpa permisi."Abis berapa ronde, lu? Sampe teler gitu.""Cuma dua, kok. Lu tau sendiri, kalau Tante Alda pelitnya minta ampun. Enggak kayak tante-tante yang piara lu selama ini." Vano menegakkan tubuhnya, menyandarkan punggung lalu mengusap
"Ekhm!" Vano sengaja berdeham sangat keras diantara bisingnya suara musik DJ, guna menginterupsi kedua manusia yang tengah asyik bercanda di depan matanya.Dia merasa dongkol, sebab Raffa dan tante Dini tidak menganggapnya.Tante Dini seketika mengalihkan pandangannya ke Vano."Eh, ada Vano," serunya yang baru menyadari keberadaan Vano.Vano menyeringai, memamerkan deretan giginya yang putih dan bersih dengan terpaksa."Hai, Tan." Pemuda itu membungkukkan badan lalu cipika-cipiki dengan tante Dini. "Udah lama enggak ke sini, Tan," tanyanya kemudian.Selanjutnya dia duduk di samping Raffa yang menatapnya datar.
"Hem, kita mau ke mana?" Belinda bertanya kepada Raffa yang tengah sibuk menyetir. Wanita bermata biru itu tak henti memandang ke arah luar jendela, yang menurutnya sangat asing.Dua puluh menit yang lalu, Raffa membawanya pergi dari diskotek. Tanpa mengatakan apa pun, pemuda tersebut mengajaknya ke suatu tempat yang biasa dikunjunginya."Kita ke hotel. Emang mau ke mana lagi? Kalau enggak ke sana." Raffa menjawab pertanyaan Belinda dengan gaya khasnya yang datar dan suara yang terdengar dingin.Belinda sontak menoleh ke samping—menatap pemuda yang baru saja dikenalnya dengan alis tertaut.Seperti orang bodoh, Belinda yang sama sekali belum paham dengan apa yang tengah dilakukannya jelas melontarkan pertanyaan konyol."Hotel?"Raffa cuma mengangguk tanpa bersuara. Meski dalam benak pemuda itu merasa aneh dan bertanya-tanya.
Belinda meremang manakala tangan Raffa mulai memeluk pinggangnya dari belakang dengan posesif. Sementara tangan lain pemuda itu menyibak rambut Belinda ke samping bahu, hingga mengekspos leher jenjang perempuan bermata bulat tersebut.Aroma parfum vanila seketika menguar dan membuat Raffa semakin tidak sabar ingin mengecupnya. Kulit putih mulus leher Belinda, seakan menggodanya.Bak orang yang terhipnotis, Belinda tidak dapat mencegah atau menolak perlakuan Raffa padanya. Aliran darahnya memanas, ketika pemuda itu mendaratkan kecupan di lekuk lehernya. Belinda terpejam, dengan suara desah*n tertahan di bibirnya yang tipis. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuh, dengan debaran jantung yang hampir meledak.Sensasi yang belum pernah dia rasakan sama sekali itu, telah berhasil mengacaukan cara kerja otaknya. Sentuhan-sentuhan jemari Raffa pada setiap inci tubuhnya, seolah memberi sinyal kepada sesuatu di dalam dirinya
Sementara di diskotek, Vano terlihat tengah dicecar berbagai pertanyaan oleh Axel. Pemuda itu nampak sangat tidak menyukai Axel yang terkenal dengan sikap kasarnya.Sejak satu jam yang lalu mereka duduk di meja bartender sambil menunggu chat dari Mami Kumala."Jadi, temen lu baru dapet pelanggan baru?" tanya Axel yang sudah ke sekian kalinya.Vano berdecak mendengar pertanyaan-pertanyaan yang sangat membosankan baginya. Dia sangat mengenal Axel, yang sejak dulu tidak menyukai Raffa—sahabatnya."Astaga ... itu mulu yang lu tanyain, Bang! Enggak ada yang lain apa?" ucap Vano sambil menggelengkan kepalanya berulang."Ada sih yang mau gue tanyain ke elu. Tapi gue enggak yakin, lu mau jawab jujur apa enggak." Axel menyeringai, seperti sedang memikirkan sesuatu."Apaan?""Temen lu dukunnya orang mana? Pakek sus
Paginya Raffa terbangun dari tidurnya dengan perasaan tak karu-karuan. Bayangkan saja, dia yang biasanya menghabiskan malam bergelora dengan para pelanggannya. Semalaman dia dan Belinda tidur bersama, tetapi cuma saling memeluk satu sama lain, tanpa melakukan apa-apa.Alhasil, Raffa yang notabene sang pemain, harus menahan diri untuk tidak menyerang Belinda habis-habisan. Mati-matian dia menekan hasratnya yang tersulut tanpa tersalurkan. Kemolekan tubuh perempuan di sampingnya ini sangat menggoda. Sayangnya, Raffa tidak dapat menyentuh atau berbuat lebih.'Cantik, tapi sayang enggak bisa gue icip.' Raffa membatin sambil memandangi wajah Belinda yang tertidur di lengannya dengan nyaman.Nampak sangat polos dan menggemaskan. Saking gemasnya, Raffa kembali mencuri ciuman dari bibir Belinda yang sangat menggoda.Setelah mengecupnya, dengan hati-hati Raffa mengangkat lengannya.
Hari ini Raffa mungkin sedang berbaik hati. Entah kena angin apa dia menawarkan diri untuk mengantar Belinda pulang. Hal itu tentu saja membuat Vano jadi terheran-heran, lantaran sahabatnya itu tidak pernah sekali pun mengantar para pelanggannya pulang."Eh, lu serius mau nganter si Tante Belinda pulang?" Vano bertanya kepada Raffa yang sekarang ini sedang berganti baju di kamarnya.Sedangkan Belinda menunggu di luar. Perempuan itu tengah menikmati sarapan yang khusus dipesankan Raffa."Seriuslah," ucap Raffa sembari menyisir rambutnya yang sudah diberi gel rambut. "emangnya kenapa? gue liat lu kayak orang enggak percaya gitu." Dia menyemprotkan parfum ke seluruh badan.Raffa terlihat sangat tampan dan menawan. Walau hanya memakai kaos berkerah dengan celana kinos selutut berwarna hitam. Penampilan pemuda itu cukup menarik perhatian para wanita di luar sana.
Raffa menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang Panti Asuhan yang letaknya tidak jauh dari rumahnya yang dulu. Pemuda itu menatap seorang perempuan paruh baya yang tengah berbincang di halaman Panti Asuhan tersebut.Dadanya terasa sesak, lantaran dia hanya bisa memandang dari jauh sosok yang melahirkannya itu. Sosok ibu yang hampir tiga tahun terakhir ini tidak dapat disapa mau pun di peluk."Ibu ..." Cuma itu yang bisa Raffa ucapkan. Kerinduan pada sang ibu sedikit demi sedikit terobati, manakala dia mendatangi tempat ini.Tempat di mana ibunya selalu berkunjung setiap satu bulan sekali. Raffa ingat betul, pada waktu pertama kali dia menginjakkan kaki ke Panti Asuhan Muara Bunda. Pada waktu itu hari ulang tahunnya yang ke 10 tahun. Hingga detik ini dia masih menyimpan memori kenangan indah bersama ibunya."Mungkin lain waktu Raffa menemui Ibu. Semoga Ibu mau memaafkan
Beberapa saat yang lalu, Raffa baru saja menyelesaikan ijab qobul yang berlangsung dengan khidmat itu. Kini, dirinya dan Belinda telah resmi menjadi sepasang suami istri. Suasana di dalam ruangan tersebut begitu mengharukan, ketika Raffa menyematkan cincin di jari manis sang istri, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening Belinda. "Mommy Bel, istriku," ucap Raffa dengan lirih, bahkan saking pelannya hanya dia dan Belinda yang mendengar. Pipi Belinda seketika merona, semu kemerahan tercetak jelas di wajah cantiknya. "Daddy Raffa," ujarnya tak mau kalah dengan Raffa. Perasaannya sungguh sangat bahagia, pada akhirnya, dia dan Raffa bisa menikah dengan restu dari orang tua. "Selamat, ya, Bel," ucap bu Farah mengusap sayang puncak kepala menantunya. "Semoga pernikahan kalian langgeng." "Amiiin …" sahut Raffa dan Belinda bersamaan. Masalah yang ada sudah terselesaikan, dengan kata maaf yang terucap dari mulut ibu sebelum pernikahan ini berlangsung. Bu Farah sudah membuang jauh-j
"Bel …" Raffa sampai speechless sendiri, bingung harus bagaimana. Perempuan yang dicintainya kini telah membuka mata. Hanya lelehan air mata yang mewakili perasaannya detik ini. Bahagia bercampur haru menjadi satu. "Sayang …." Pemuda itu membungkuk agar bisa mendaratkan sebuah kecupan di kening Belinda. "Raffa …" Suara Belinda terdengar serak dan lemah. Maniknya menjelajah ke seluruh ruangan serba putih dan berbau khas tersebut. "Aku … di rumah sakit?" tanyanya yang belum menyadari bila di dadanya ada sang putri. "Iya, Bel. Kamu di rumah sakit," jawab Raffa, sembari menyeka lelehan air mata yang tidak mau berhenti mengalir itu. Alisa melangkah mendekat, sementara dua perawat yang masih berada di dalam ruangan itu melakukan tugasnya masing-masing. Perhatian Belinda beralih pada suara bayi yang merengek. Suaranya terdengar begitu dekat. Lantas, dia pun melebarkan maniknya seketika saat menyadari ternyata ada seorang bayi yang tengah tengkurap di dadanya. "I--ini?" Alisa terseny
Dalam ruangan serba berwarna putih, Belinda terlihat tengah duduk termenung seorang diri. Tatapan matanya terlihat kosong, dengan pikiran yang bercabang. Ada suara-suara yang terus saja berdengung di telinganya. Seperti suara tangisan bayi, dan suara seorang laki-laki.Namun, yang Belinda tidak mengerti ialah, mengapa dia tidak dapat melihat orang tersebut. Dia hanya bisa mendengar suara yang nampak tidak asing di telinganya. Lalu, suara bayi itu? Bayi siapa? Belinda memindai ruangan serba putih itu. Kosong, tidak ada satu orangpun yang berada di sana. "Aku di mana?" gumamnya sambil menelisik setiap sudut yang sama sekali tidak ada apa pun. Lantas, tangannya terjulur ke bawah, memegang perutnya yang rata. "Kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang? Rasanya seperti?" Pandangannya pun turun pada perut yang tertutupi dress berwarna putih itu. Hati Belinda berdesir, berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tetapi, nihil! Dia tetap tidak mengingat apa pun. "Apa? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Raffa melangkah keluar dengan gontai dan mata sembab. Menutup pintu ruangan yang selama ini dijadikan ruang perawatan untuk Belinda dengan perasaan tidak rela. Andai saja, dokter memberinya ijin untuk menemani Belinda di dalam, pasti hatinya bisa sedikit lebih tenang. Tidak seperti saat ini, yang berharap-harap cemas dan bertanya-tanya sendiri. Belum sampai dia membalik badan, ibu dan beberapa orang yang berada di sana mendekat. Ayah, Vano dan pak penghulu yang baru saja tiba juga ikut merasa khawatir dengan kondisi Belinda yang belum ada kejelasan sama sekali. "Raf, kenapa kamu keluar? Terus kenapa itu bayinya dibawa ke dalem?" Ibu memberondong pertanyaan, mendesak Raffa yang masih memunggunginya. Beliau sempat menanyakan sendiri hal tersebut kepada perawat yang menggendong cucunya. Namun, tidak ada jawaban. Perawat itu hanya melempar senyum, dan berlalu dari hadapannya. Tanpa memberikan penjelasan yang diinginkan.Alhasil, semua orang semakin kalut dan takut. Memikirkan kemungkin
Tak berselang lama, dua orang perawat perempuan datang dengan tergesa. Keduanya langsung mendekati ranjang Belinda. Mendengar ada suara langkah kaki yang masuk, Raffa pun menegakkan tubuh, lalu menyeka jejak air mata dengan punggung tangan kiri. Sementara tangannya yang lain seakan enggan melepas genggaman tangannya pada Belinda.Maniknya menatap salah satu perawat tengah yang berdiri sambil mengecek fungsi layar persegi yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi itu."Permisi, Tuan. Saya mau mengecek Nyonya Belinda dulu," ucap salah satu perawat yang lainnya, berdiri di depan Raffa. Di tangannya ada sebuah alat tensi darah digital.Raffa pun terhenyak, tubuhnya reflek tersentak dan beringsut mundur, hingga dengan berat hati dia melepas genggaman tangannya pada Belinda. Memberikan sedikit celah agar suster tersebut dapat segera menangani sang kekasih.Dengan masih menahan sesak, manik Raffa yang belum kering sepenuhnya memindai bergantian kedua suster tersebut. Sungguh, hatinya semakin
"Bel, kalo anak kita lahir, mau dikasih nama siapa? tanya Raffa sembari mengusap sayang puncak kepala Belinda yang bersandar di dada polosnya. Memiringkan sedikit kepalanya, lalu mengecup dalam kening itu.Napas keduanya masih sedikit memburu, karena beberapa saat yang lalu baru saja selesai bercinta. Belinda mendongak, guna mempertemukan maniknya dengan manik Raffa yang juga menatapnya."Terserah daddy-nya aja. Mommy ngikut aja," ucapnya sambil tersenyum manis. "Siapa pun namanya, aku sih setuju-setuju aja, Raf." Belinda lantas mengeratkan pelukannya ke Raffa. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh pemuda itu. Seperti biasa selalu menenangkan dan candu.Raffa terkekeh sekilas. Dia dan Belinda kini memiliki nama panggilan baru, yakni Mommy dan Daddy."Kok, terserah aku? Kan, biasanya ibunya yang selalu antusias, nyari nama buat bayinya," kata Raffa, mencubit gemas hidung Belinda yang langsung mengerucutkan bibir.Mengusap bekas cubitan Raffa di hidung, Belinda lalu menyahut, "Aku belum ada
Bu Farah, tante Dini, Marina, kini terlihat sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan dadakan yang akan segera dilaksanakan sebentar lagi. Atas ijin dari dokter Indira tentunya, ketiga perempuan itu bekerja sama untuk menyelesaikan persiapan sederhana dan seadanya. Sempat bingung, lantaran setahu Indira, Belinda adalah istri dari Raffa. Namun, dokter spesialis itu memilih diam dan tidak banyak bertanya perihal urusan privasi keluarga pasiennya. Tugasnya, hanya memantau kondisi Belinda yang belum menunjukkan perubahan. Dan, memberikan perhatian ekstra terhadap bayi Belinda yang saat ini benar-benar butuh asupan nutrisi. "Dok, ini ASI-nya keluar terus. Gimana cara berhentiin-nya?" tanya Dini yang kewalahan menangani ASI Belinda yang terus saja mengalir dari payudaranya. Walaupun Belinda tengah koma, namun produksi ASI tetap keluar dan sangat banyak.Dini yang hendak mengganti baju pasien Belinda dengan kebaya pengantin itu pun berusaha menyumpal tetes demi tetes ASI tersebut dengan
Terkadang, apa yang kita harapkan, dan telah kita susun dengan sedemikian rupa. Tidak bisa terwujud dengan mudah, lantaran hal-hal yang datang dan terjadi tanpa diduga. Seperti halnya rencana pernikahan yang telah direncanakan oleh Raffa setelah kelahiran putrinya. Jauh-jauh hari pemuda itu rupanya sudah memesan cincin pernikahan untuknya dan Belinda tanpa sepengetahuan sang kekasih. Cincin kawin berisinial nama masing-masing, Raffa pesan secara khusus, untuk hari spesialnya. Raffa menatap nanar cincin tersebut di tangannya, dengan perasaan tak menentu. Kesedihan menjadi berkali-kali lipat kala mengingat kondisi Belinda yang masih belum bangun dari tidur panjangnya. Sudah hampir satu bulan lebih, kekasihnya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun. Segala upaya juga sudah dilakukan oleh dokter, tetapi belum membuahkan hasil. Belinda tetap tidak mau bangun. Dia seakan betah tertidur, dan enggan membuka mata lagi. "Raf...." Vano memangil sang sahabat yang sedari tadi ha
"Gimana hasilnya, Dok? Apa... ada yang mengkhawatirkan?" Raffa bertanya dengan raut cemas dan pucat. Hal yang sudah dia tunggu-tunggu selama dua hari ini akhirnya datang juga.Kemarin, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan pada Belinda yang belum juga sadar. Padahal, sudah lebih dari dua hari, perempuan itu tidak sadarkan diri. Dan, setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya hasil pemeriksaan medis Belinda pun keluar.Indira, selaku dokter yang menangani Belinda menghela panjang. Meletakkan berkas laporan medis pasiennya itu ke meja, lalu melepas kaca mata yang selalu dia pakai, dan menaruhnya di nakas."Begini, Pak," ucapnya seraya melipat tangan ke atas meja. Maniknya menatap serius Raffa yang sedari tadi sudah merasa gelisah dan khawatir. "Dengan sangat menyesal saya katakan, kalau istri Anda ternyata sempat mengalami benturan di kepala. Dan, hal itulah yang menyebabkan Nyonya Belinda belum sadarkan diri sampai sekarang."Kening Raffa mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya sam