Belinda meremang manakala tangan Raffa mulai memeluk pinggangnya dari belakang dengan posesif. Sementara tangan lain pemuda itu menyibak rambut Belinda ke samping bahu, hingga mengekspos leher jenjang perempuan bermata bulat tersebut.
Aroma parfum vanila seketika menguar dan membuat Raffa semakin tidak sabar ingin mengecupnya. Kulit putih mulus leher Belinda, seakan menggodanya.
Bak orang yang terhipnotis, Belinda tidak dapat mencegah atau menolak perlakuan Raffa padanya. Aliran darahnya memanas, ketika pemuda itu mendaratkan kecupan di lekuk lehernya. Belinda terpejam, dengan suara desah*n tertahan di bibirnya yang tipis. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuh, dengan debaran jantung yang hampir meledak.
Sensasi yang belum pernah dia rasakan sama sekali itu, telah berhasil mengacaukan cara kerja otaknya. Sentuhan-sentuhan jemari Raffa pada setiap inci tubuhnya, seolah memberi sinyal kepada sesuatu di dalam dirinya yang tidak pernah tahu apa ini sebenarnya.
'A-apa ini yang dinamakan berhasrat? I--ini benar-benar nikmat. Tapi aku tidak bisa melakukannya. A-aku ...'
Dalam hati, Belinda terus menelaah berbagai rasa yang diberikan Raffa kepada setiap inci tubuhnya. Pemuda itu terus beraksi semakin agresif dan berani, karena ini memanglah tuntutan dari profesinya.
Bukan! Bagi Raffa ini bukanlah sekedar tuntutan dari profesinya. Melainkan ada hal lain yang mendesak jiwa ke-lelakiannya sejak pertama kali melihat Belinda.
Terdengar aneh memang. Namun, saat ini Raffa benar-benar ingin berpetualang dengan klien barunya ini. Menjelajahi setiap permainan-permainan panas yang biasa dia lakukan bersama para tante-tante royal yang memujanya di atas ranjang.
Raffa merasa sedikit aneh, lantaran Belinda sangat pasif dan tidak bergerak sama sekali. Hanya suara desah*n-desah*n samar yang terlontar dari bibir perempuan berdada sintal itu. Biasanya, para kliennya sudah tidak sabar ingin berpetualang dengannya, bila sudah mendapat serangan-serangan nakal dan li*r darinya.
Namun, nampaknya Belinda tak terpengaruh sama sekali. Meski napasnya sudah memburu, dan Raffa sangat tahu itu. Jika perempuan ini mulai tersulut hasrat dengan sentuhan-sentuhan jemari dan bibirnya.
'Kenapa dia diem aja? Apa serangan gue kurang, ya?' Raffa membatin sikap Belinda yang sama sekali tidak merespon serangannya.
Kemudian dia berinisiatif untuk memulainya saja, sebab miliknya juga sudah meronta sejak tadi—ingin dimanja oleh milik Belinda.
Raffa membalik badan Belinda supaya menghadapnya, dan agar dia juga lebih leluasa melakukan serangan selanjutnya.
Akan tetapi, raut wajah perempuan cantik itu telah berhasil membuat hasrat Raffa menguap begitu saja. Alhasil, Raffa mengurungkan niatnya yang ingin melucuti pakaian Belinda.
"Hei, kamu kenapa?" tanya Raffa sembari memindai wajah Belinda yang pucat pasi seperti orang sakit. Telapak tangannya yang besar menangkup kedua sisi wajah Belinda yang menatapnya dengan takut.
Belinda membisu, diam tanpa berkata apa pun. Perasaannya masih berkecamuk tak menentu. Di satu sisi dia ingin sekali melanjutkan permainan ini, tetapi di sisi lain ada sesuatu yang membuatnya tidak berani melangkah lebih jauh lagi. Sesuatu yang hanya menjadi hak bagi suaminya.
Meski Belinda tahu, entah kapan itu akan terjadi di kehidupan pernikahannya yang hampa. Pernikahan yang membelenggunya selama hampir tiga tahun terakhir. Memaksanya untuk menjadi istri yang patuh dan setia, kendati pada kenyataannya tidaklah seindah angan-angan.
'Bima sial*n!' Belinda mengumpat suaminya dalam hati kala mengingat perlakuan yang dilakukan lelaki itu.
"A-aku lapar. Aku mau makan."
Raffa membeliak tak percaya tatkala mendengar penuturan perempuan yang membayarnya mahal malam ini. Dengan polosnya Belinda berucap demikian, sedang pemuda itu tengah mati-matian menahan gejolak yang mulai muncul kembali.
"Ma-makan? Kamu mau makan?" Raffa terlihat seperti orang bodoh.
'Sial! Kenapa dia malah minta makan? Di saat gue mau makan dia.' Batin Raffa seraya mengusap tengkuknya.
"Iya. Aku mau makan. Apa kamu punya makanan?" Belinda sengaja berdalih, supaya malam ini dia dan Raffa tidak melakukan hal yang seharusnya terjadi antara mereka.
'Aduh ... aku terpaksa bohong. Maaf, ya, Raffa.' Batin Belinda. Dia pun menggeser posisi tubuhnya— menghindari Raffa yang menatapnya dengan penuh tanya.
"Kamu punya makanan apa enggak, sih?" tanyanya kemudian. Belinda berpura-pura membuka lemari es.
Dengusan kasar berembus dari hidung mancung Raffa. "Enggak beres nih cewek," gumamnya seraya menatap punggung Belinda yang sibuk memindai lemari es miliknya.
"Aku enggak ada stok makanan. Biasanya aku delivery order." Raffa mendaratkan tubuhnya di kursi sambil menikmati minumannya lagi. Berharap rasa dingin dari minuman berkarbonasi tersebut dapat mendinginkan otaknya yang memanas.
Belinda menutup pintu lemari es lalu berkata,
"Ya udah. Kamu pesenin, gih! Aku laper soalnya." Dia lantas ikut duduk di sebelah Raffa yang kini tengah memijit pelipisnya.
"Oke," sahut Raffa dengan helaan napas panjang. Dia menuruti saja keinginan klien anehnya yang satu itu. "Kamu sukanya makanan apa?" tanyanya, tanpa menatap Belinda sedikit pun.
"Aku apa aja, sih. Tapi malam ini aku lagi pengen makan Pizza." Belinda menjawab asal sambil menahan tawa. 'Maaf Raffa. Maaf,' sambungnya dalam hati.
Raffa mengangguk lantas segera memesan makanan favorit sejuta umat itu dengan perasaan dongkol, di aplikasi pemesanan.
"Udah. Aku udah pesenin. Tunggu sekitar sepuluh menit." Dia menatap Belinda yang sama sekali tidak merasa bersalah sedikit pun.
Belinda melipat bibirnya seraya mengangguk. Bukan apa-apa, dia cuma sedang menahan tawa yang siap menyembur. Belinda merasa kasihan pada pemuda ganteng ini.
Raffa beranjak dari tempat duduknya.
"Ya udah, ditunggu aja. Aku mau mandi dulu sebentar," ucapnya sambil berlalu dari hadapan Belinda yang cuma menanggapinya dengan anggukan kepala.
'Ck!'
"Masa iya gue maen solo," sungut Raffa sambil terus melangkah ke kamarnya.
Waktu masih menunjukkan pukul sebelas malam. Biasanya Raffa membersihkan diri setelah bergumul panas dengan para kliennya. Namun kali ini ceritanya berbeda, dia mandi setelah gagal melakukan pergumulan. Akan tetapi, pantang baginya bermain solo, mengingat masih ada banyak waktu untuknya dan Belinda melanjutkan petualangan mereka.
"Kita liat. Abis ini dia bisa tahan apa enggak ngeliat badan gue. Pasti dia bakal minta lagi dan lagi." Raffa sengaja keluar kamar hanya memakai handuk yang menutupi bagian bawah tubuhnya.
Dengan penuh percaya diri, dia keluar kamar—menuju di mana Belinda duduk. Dadanya yang bidang terekspos bebas dan terlihat sangat menggoda. Raffa yakin jika Belinda akan tergoda, karena selama ini tidak ada yang bisa menolak pesonanya.
Memang tidak diragukan lagi, bentuk tubuh yang proporsional sangat menunjang penampilan pemuda berusia 23 tersebut. Otot-otot yang pas dan tidak berlebihan semakin menambah pesona Raffa di mata tante-tante yang menyewa jasanya. Kulitnya yang kuning langsat menjadi daya tarik tersendiri bagi Raffa.
Seringai lebar menghiasi wajah tampan Raffa yang hampir mendekati Belinda. Namun, senyuman itu harus pudar manakala dia melihat sosok perempuan yang tertidur pulas di sofa panjang miliknya.
"Serius? Dia malah tidur?" Raffa mendekat lalu berkacak pinggang. Tatapannya tertuju ke meja—menatap box yang masih tersegel rapi. "Pizza-nya udah dateng, rupanya. Tapi kenapa enggak dimakan? Malah tidur."
Yah, Belinda tertidur di sofa lantaran rasa kantuk yang tidak bisa ditahan lagi. Alasan lainnya adalah demi menghindari Raffa. Konyol. Perempuan itu sungguh konyol.
Raffa mendengkus sambil menatap Belinda yang tidur meringkuk seperti bayi. Dia lantas mendekat dan berjongkok di depan wajah Belinda yang terpejam.
"Apa sih yang sebenernya lu mau? Kenapa lu malah tidur? Enggak nyangka gue, malah ditinggal tidur begini," monolognya, sembari menelusuri setiap jengkal tubuh Belinda yang menggiurkan.
Pandangannya berhenti pada benda kenyal milik Belinda yang berwarna pink merona. Bibir tipis yang menarik perhatian Raffa sejak awal pertemuan mereka di diskotek beberapa jam yang lalu.
"Padahal gue pengen banget ngicipin ini." Ibu jari Raffa menyentuh bibir Belinda lalu mengusapnya. "Gue boleh nyium, kan?"
Tanpa permisi Raffa mengecup bibir ranum itu dan memagutnya sebentar, tak peduli jika setelah ini Belinda memarahinya, lantaran sudah lancang menciumnya.
"Salah lu sendiri, malah tidur." Sudut bibir Raffa tertarik ke samping. Dia menikmati sisa-sisa manis dari bibir Belinda yang masih tertidur.
###
Sementara di diskotek, Vano terlihat tengah dicecar berbagai pertanyaan oleh Axel. Pemuda itu nampak sangat tidak menyukai Axel yang terkenal dengan sikap kasarnya.Sejak satu jam yang lalu mereka duduk di meja bartender sambil menunggu chat dari Mami Kumala."Jadi, temen lu baru dapet pelanggan baru?" tanya Axel yang sudah ke sekian kalinya.Vano berdecak mendengar pertanyaan-pertanyaan yang sangat membosankan baginya. Dia sangat mengenal Axel, yang sejak dulu tidak menyukai Raffa—sahabatnya."Astaga ... itu mulu yang lu tanyain, Bang! Enggak ada yang lain apa?" ucap Vano sambil menggelengkan kepalanya berulang."Ada sih yang mau gue tanyain ke elu. Tapi gue enggak yakin, lu mau jawab jujur apa enggak." Axel menyeringai, seperti sedang memikirkan sesuatu."Apaan?""Temen lu dukunnya orang mana? Pakek sus
Paginya Raffa terbangun dari tidurnya dengan perasaan tak karu-karuan. Bayangkan saja, dia yang biasanya menghabiskan malam bergelora dengan para pelanggannya. Semalaman dia dan Belinda tidur bersama, tetapi cuma saling memeluk satu sama lain, tanpa melakukan apa-apa.Alhasil, Raffa yang notabene sang pemain, harus menahan diri untuk tidak menyerang Belinda habis-habisan. Mati-matian dia menekan hasratnya yang tersulut tanpa tersalurkan. Kemolekan tubuh perempuan di sampingnya ini sangat menggoda. Sayangnya, Raffa tidak dapat menyentuh atau berbuat lebih.'Cantik, tapi sayang enggak bisa gue icip.' Raffa membatin sambil memandangi wajah Belinda yang tertidur di lengannya dengan nyaman.Nampak sangat polos dan menggemaskan. Saking gemasnya, Raffa kembali mencuri ciuman dari bibir Belinda yang sangat menggoda.Setelah mengecupnya, dengan hati-hati Raffa mengangkat lengannya.
Hari ini Raffa mungkin sedang berbaik hati. Entah kena angin apa dia menawarkan diri untuk mengantar Belinda pulang. Hal itu tentu saja membuat Vano jadi terheran-heran, lantaran sahabatnya itu tidak pernah sekali pun mengantar para pelanggannya pulang."Eh, lu serius mau nganter si Tante Belinda pulang?" Vano bertanya kepada Raffa yang sekarang ini sedang berganti baju di kamarnya.Sedangkan Belinda menunggu di luar. Perempuan itu tengah menikmati sarapan yang khusus dipesankan Raffa."Seriuslah," ucap Raffa sembari menyisir rambutnya yang sudah diberi gel rambut. "emangnya kenapa? gue liat lu kayak orang enggak percaya gitu." Dia menyemprotkan parfum ke seluruh badan.Raffa terlihat sangat tampan dan menawan. Walau hanya memakai kaos berkerah dengan celana kinos selutut berwarna hitam. Penampilan pemuda itu cukup menarik perhatian para wanita di luar sana.
Raffa menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang Panti Asuhan yang letaknya tidak jauh dari rumahnya yang dulu. Pemuda itu menatap seorang perempuan paruh baya yang tengah berbincang di halaman Panti Asuhan tersebut.Dadanya terasa sesak, lantaran dia hanya bisa memandang dari jauh sosok yang melahirkannya itu. Sosok ibu yang hampir tiga tahun terakhir ini tidak dapat disapa mau pun di peluk."Ibu ..." Cuma itu yang bisa Raffa ucapkan. Kerinduan pada sang ibu sedikit demi sedikit terobati, manakala dia mendatangi tempat ini.Tempat di mana ibunya selalu berkunjung setiap satu bulan sekali. Raffa ingat betul, pada waktu pertama kali dia menginjakkan kaki ke Panti Asuhan Muara Bunda. Pada waktu itu hari ulang tahunnya yang ke 10 tahun. Hingga detik ini dia masih menyimpan memori kenangan indah bersama ibunya."Mungkin lain waktu Raffa menemui Ibu. Semoga Ibu mau memaafkan
Sementara di rumah Belinda.Perempuan itu langsung memerintahkan asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya untuk membersihkan kamar tamu. Dia juga memasak makanan kesukaan suaminya dengan penuh semangat. Meski di hatinya merasa sedih, dengan kemungkinan yang akan terjadi. Suaminya entah mau menyentuh masakannya atau tidak. Seperti yang sudah-sudah.Belinda terus mendesah frustrasi, bukankah seharusnya dia merasa senang? Suaminya datang untuk menemuinya setelah hampir tiga bulan lamanya tidak bertemu."Seandainya Mas Bima seperti suami-suami di luaran sana. Mungkin aku tidak akan merana setiap hari. Menunggu kedatangannya hampir tiap malam, yang aku tahu itu tidak akan pernah terjadi." Belinda terus bermonolog sendiri sambil menata makanan di meja dengan dibantu asisten rumah tangganya yang lain."Mbak, saya mau mandi dulu. Tolong ini nanti diterusin, ya?" ucapnya semba
Tengah malam Belinda terbangun. Dia melirik ke sisi tempat tidurnya yang kosong. Lagi-lagi, Bima menyakiti hatinya dengan tak kasat mata. Harusnya malam ini dia menghabiskan malam penuh gelora bersama suaminya itu. Melepas rindu dalam balutan hangatnya cinta sejoli yang baru bertemu.Namun, semua kehangatan itu nampaknya memang tak dapat dirasakan olehnya. Dicintai dan disayangi oleh Bima mungkin cuma ada dalam angan-angan Belinda. Bagaimana mungkin, dia bisa merasakan semua itu, jika Bima saja tak pernah sudi tidur satu kamar dengannya semenjak menikah.Pria itu memilih tidur di kamar lain dan tidak peduli dengan perasaan istrinya yang hampir tiap hari mengharapakan sentuhan dan kasih sayangnya.Malam-malam dingin seperti ini, Belinda selalu menghabiskannya sendiri. Itu sudah jadi kebiasaannya. Bersuami pun percuma, bila dia tidak pernah dianggap keberadaannya.
Di meja makan, Belinda dan Bima terlihat seperti dua orang asing yang tinggal dalam satu atap. Duduk di meja yang sama, tak lantas membuat hubungan mereka jadi baik. Bima sibuk dengan sarapannya sementara Belinda sibuk dengan urusannya sendiri. Meski ekor matanya tak henti melirik sang suami yang sudah berpenampilan rapi.Bima terlihat gagah dan berwibawa. Usianya memang terbilang cukup matang. Namun, ketampanan wajah Bima tak diragukan lagi. Dewasa dan tegas, itu kesan pertama Belinda waktu pertama kali bertemu lelaki berusia 48 tahun tersebut."Aku akan pulang hari ini," ucap Bima membelah kesunyian di ruang makan luas ini. Seperti biasa, tanpa menatap wajah Belinda sama sekali.Biasanya Belinda akan sedih dan kecewa mendengar penuturan Bima. Namun, kali ini tidak lagi. Dia seolah telah kebal dan terbiasa mulai detik ini."Aku titip salam buat Mbak Marina," ujarnya, yang terkesan tidak peduli denga
Raffa mengajak Belinda makan ke tempat yang biasa dia kunjungi. Sebuah Restoran yang letaknya tidak jauh dari apartemen pemuda itu. Situasinya lumayan ramai pengunjung, dan banyak dari mereka para pasangan muda mudi.Keduanya memilih duduk di rooftops yang ada di atas gedung tersebut. Pemandangan malam ibu kota nampak jelas terlihat dari atas sini, hingga Belinda tak henti berdecak kagum sejak tadi.Semilir angin malam tak mengurangi kebahagiaan Belinda sedikit pun. Padahal, dengan pakaian yang yang seperti itu, pastinya dia merasa kedinginan.Senyuman Belinda jelas memukau Raffa yang sedari tadi menatapnya. Diam-diam pemuda itu mengagumi sosok perempuan yang malam ini tampil sangat cantik itu. Raffa belum pernah melihat senyuman sepolos senyuman Belinda.'Cantik.' B
Beberapa saat yang lalu, Raffa baru saja menyelesaikan ijab qobul yang berlangsung dengan khidmat itu. Kini, dirinya dan Belinda telah resmi menjadi sepasang suami istri. Suasana di dalam ruangan tersebut begitu mengharukan, ketika Raffa menyematkan cincin di jari manis sang istri, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening Belinda. "Mommy Bel, istriku," ucap Raffa dengan lirih, bahkan saking pelannya hanya dia dan Belinda yang mendengar. Pipi Belinda seketika merona, semu kemerahan tercetak jelas di wajah cantiknya. "Daddy Raffa," ujarnya tak mau kalah dengan Raffa. Perasaannya sungguh sangat bahagia, pada akhirnya, dia dan Raffa bisa menikah dengan restu dari orang tua. "Selamat, ya, Bel," ucap bu Farah mengusap sayang puncak kepala menantunya. "Semoga pernikahan kalian langgeng." "Amiiin …" sahut Raffa dan Belinda bersamaan. Masalah yang ada sudah terselesaikan, dengan kata maaf yang terucap dari mulut ibu sebelum pernikahan ini berlangsung. Bu Farah sudah membuang jauh-j
"Bel …" Raffa sampai speechless sendiri, bingung harus bagaimana. Perempuan yang dicintainya kini telah membuka mata. Hanya lelehan air mata yang mewakili perasaannya detik ini. Bahagia bercampur haru menjadi satu. "Sayang …." Pemuda itu membungkuk agar bisa mendaratkan sebuah kecupan di kening Belinda. "Raffa …" Suara Belinda terdengar serak dan lemah. Maniknya menjelajah ke seluruh ruangan serba putih dan berbau khas tersebut. "Aku … di rumah sakit?" tanyanya yang belum menyadari bila di dadanya ada sang putri. "Iya, Bel. Kamu di rumah sakit," jawab Raffa, sembari menyeka lelehan air mata yang tidak mau berhenti mengalir itu. Alisa melangkah mendekat, sementara dua perawat yang masih berada di dalam ruangan itu melakukan tugasnya masing-masing. Perhatian Belinda beralih pada suara bayi yang merengek. Suaranya terdengar begitu dekat. Lantas, dia pun melebarkan maniknya seketika saat menyadari ternyata ada seorang bayi yang tengah tengkurap di dadanya. "I--ini?" Alisa terseny
Dalam ruangan serba berwarna putih, Belinda terlihat tengah duduk termenung seorang diri. Tatapan matanya terlihat kosong, dengan pikiran yang bercabang. Ada suara-suara yang terus saja berdengung di telinganya. Seperti suara tangisan bayi, dan suara seorang laki-laki.Namun, yang Belinda tidak mengerti ialah, mengapa dia tidak dapat melihat orang tersebut. Dia hanya bisa mendengar suara yang nampak tidak asing di telinganya. Lalu, suara bayi itu? Bayi siapa? Belinda memindai ruangan serba putih itu. Kosong, tidak ada satu orangpun yang berada di sana. "Aku di mana?" gumamnya sambil menelisik setiap sudut yang sama sekali tidak ada apa pun. Lantas, tangannya terjulur ke bawah, memegang perutnya yang rata. "Kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang? Rasanya seperti?" Pandangannya pun turun pada perut yang tertutupi dress berwarna putih itu. Hati Belinda berdesir, berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tetapi, nihil! Dia tetap tidak mengingat apa pun. "Apa? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Raffa melangkah keluar dengan gontai dan mata sembab. Menutup pintu ruangan yang selama ini dijadikan ruang perawatan untuk Belinda dengan perasaan tidak rela. Andai saja, dokter memberinya ijin untuk menemani Belinda di dalam, pasti hatinya bisa sedikit lebih tenang. Tidak seperti saat ini, yang berharap-harap cemas dan bertanya-tanya sendiri. Belum sampai dia membalik badan, ibu dan beberapa orang yang berada di sana mendekat. Ayah, Vano dan pak penghulu yang baru saja tiba juga ikut merasa khawatir dengan kondisi Belinda yang belum ada kejelasan sama sekali. "Raf, kenapa kamu keluar? Terus kenapa itu bayinya dibawa ke dalem?" Ibu memberondong pertanyaan, mendesak Raffa yang masih memunggunginya. Beliau sempat menanyakan sendiri hal tersebut kepada perawat yang menggendong cucunya. Namun, tidak ada jawaban. Perawat itu hanya melempar senyum, dan berlalu dari hadapannya. Tanpa memberikan penjelasan yang diinginkan.Alhasil, semua orang semakin kalut dan takut. Memikirkan kemungkin
Tak berselang lama, dua orang perawat perempuan datang dengan tergesa. Keduanya langsung mendekati ranjang Belinda. Mendengar ada suara langkah kaki yang masuk, Raffa pun menegakkan tubuh, lalu menyeka jejak air mata dengan punggung tangan kiri. Sementara tangannya yang lain seakan enggan melepas genggaman tangannya pada Belinda.Maniknya menatap salah satu perawat tengah yang berdiri sambil mengecek fungsi layar persegi yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi itu."Permisi, Tuan. Saya mau mengecek Nyonya Belinda dulu," ucap salah satu perawat yang lainnya, berdiri di depan Raffa. Di tangannya ada sebuah alat tensi darah digital.Raffa pun terhenyak, tubuhnya reflek tersentak dan beringsut mundur, hingga dengan berat hati dia melepas genggaman tangannya pada Belinda. Memberikan sedikit celah agar suster tersebut dapat segera menangani sang kekasih.Dengan masih menahan sesak, manik Raffa yang belum kering sepenuhnya memindai bergantian kedua suster tersebut. Sungguh, hatinya semakin
"Bel, kalo anak kita lahir, mau dikasih nama siapa? tanya Raffa sembari mengusap sayang puncak kepala Belinda yang bersandar di dada polosnya. Memiringkan sedikit kepalanya, lalu mengecup dalam kening itu.Napas keduanya masih sedikit memburu, karena beberapa saat yang lalu baru saja selesai bercinta. Belinda mendongak, guna mempertemukan maniknya dengan manik Raffa yang juga menatapnya."Terserah daddy-nya aja. Mommy ngikut aja," ucapnya sambil tersenyum manis. "Siapa pun namanya, aku sih setuju-setuju aja, Raf." Belinda lantas mengeratkan pelukannya ke Raffa. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh pemuda itu. Seperti biasa selalu menenangkan dan candu.Raffa terkekeh sekilas. Dia dan Belinda kini memiliki nama panggilan baru, yakni Mommy dan Daddy."Kok, terserah aku? Kan, biasanya ibunya yang selalu antusias, nyari nama buat bayinya," kata Raffa, mencubit gemas hidung Belinda yang langsung mengerucutkan bibir.Mengusap bekas cubitan Raffa di hidung, Belinda lalu menyahut, "Aku belum ada
Bu Farah, tante Dini, Marina, kini terlihat sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan dadakan yang akan segera dilaksanakan sebentar lagi. Atas ijin dari dokter Indira tentunya, ketiga perempuan itu bekerja sama untuk menyelesaikan persiapan sederhana dan seadanya. Sempat bingung, lantaran setahu Indira, Belinda adalah istri dari Raffa. Namun, dokter spesialis itu memilih diam dan tidak banyak bertanya perihal urusan privasi keluarga pasiennya. Tugasnya, hanya memantau kondisi Belinda yang belum menunjukkan perubahan. Dan, memberikan perhatian ekstra terhadap bayi Belinda yang saat ini benar-benar butuh asupan nutrisi. "Dok, ini ASI-nya keluar terus. Gimana cara berhentiin-nya?" tanya Dini yang kewalahan menangani ASI Belinda yang terus saja mengalir dari payudaranya. Walaupun Belinda tengah koma, namun produksi ASI tetap keluar dan sangat banyak.Dini yang hendak mengganti baju pasien Belinda dengan kebaya pengantin itu pun berusaha menyumpal tetes demi tetes ASI tersebut dengan
Terkadang, apa yang kita harapkan, dan telah kita susun dengan sedemikian rupa. Tidak bisa terwujud dengan mudah, lantaran hal-hal yang datang dan terjadi tanpa diduga. Seperti halnya rencana pernikahan yang telah direncanakan oleh Raffa setelah kelahiran putrinya. Jauh-jauh hari pemuda itu rupanya sudah memesan cincin pernikahan untuknya dan Belinda tanpa sepengetahuan sang kekasih. Cincin kawin berisinial nama masing-masing, Raffa pesan secara khusus, untuk hari spesialnya. Raffa menatap nanar cincin tersebut di tangannya, dengan perasaan tak menentu. Kesedihan menjadi berkali-kali lipat kala mengingat kondisi Belinda yang masih belum bangun dari tidur panjangnya. Sudah hampir satu bulan lebih, kekasihnya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun. Segala upaya juga sudah dilakukan oleh dokter, tetapi belum membuahkan hasil. Belinda tetap tidak mau bangun. Dia seakan betah tertidur, dan enggan membuka mata lagi. "Raf...." Vano memangil sang sahabat yang sedari tadi ha
"Gimana hasilnya, Dok? Apa... ada yang mengkhawatirkan?" Raffa bertanya dengan raut cemas dan pucat. Hal yang sudah dia tunggu-tunggu selama dua hari ini akhirnya datang juga.Kemarin, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan pada Belinda yang belum juga sadar. Padahal, sudah lebih dari dua hari, perempuan itu tidak sadarkan diri. Dan, setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya hasil pemeriksaan medis Belinda pun keluar.Indira, selaku dokter yang menangani Belinda menghela panjang. Meletakkan berkas laporan medis pasiennya itu ke meja, lalu melepas kaca mata yang selalu dia pakai, dan menaruhnya di nakas."Begini, Pak," ucapnya seraya melipat tangan ke atas meja. Maniknya menatap serius Raffa yang sedari tadi sudah merasa gelisah dan khawatir. "Dengan sangat menyesal saya katakan, kalau istri Anda ternyata sempat mengalami benturan di kepala. Dan, hal itulah yang menyebabkan Nyonya Belinda belum sadarkan diri sampai sekarang."Kening Raffa mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya sam