Ya Tuhan, Clara ingin pingsan saja. Sayangnya tidak bisa. Pura-pura pun ia tidak mampu.Setelah beberapa saat hanya ada keheningan, "Ka-kamu masih mabuk," ucap Clara gugup. Hanya itu yang bisa ia ucapkan."Baik semalam dan sekarang, aku sadar. Sepenuhnya sadar," tegas Revan.Dalam kegugupannya, Clara berusaha menenangkan diri. Ia mulai mendongak dan perlahan melepaskan tangan Revan. Sekuat tenaga ia juga mencoba menstabilkan ekspresinya.Setelah bisa mengendalikan dirinya, Clara sengaja pura-pura tertawa untuk menyamarkan kegugupannya. Tawa yang tentu saja sangat kentara dibuat-buat."Kamu menganggap lucu hal ini?" tanya Revan. "Kamu tahu, butuh keberanian buat mengungkapkan ini dan kamu hanya tertawa."Seketika tawa Clara berhenti. Ia lalu bertanya, "Kamu sayang aku?""Ya. Aku serius. Gimana kalau kita pacaran aja?""Wah, kalau begitu kebetulan sama dong ... aku juga sayang kamu nih, bahkan sebelum aku lahir ke dunia ini, aku udah lebih dulu sayang kamu." Sejujurnya jantung Clara mas
Melalui cermin, Clara melihat lehernya sudah kembali seperti semula. Tanda merah yang biasa orang-orang sebut kiss mark sudah hilang sepenuhnya sehingga ia tidak perlu mengenakan pakaian yang bisa menutupi bagian itu. Jujur saja ia malu sehingga beberapa hari ini terpaksa menutupinya. Ia tidak mau Lidya sampai melihatnya lalu berpikir yang tidak-tidak. Walau bagaimanapun, Lidya tidak sepolos itu. Justru, sepertinya wanita itu lebih berpengalaman darinya.Ah, memikirkannya membuat Clara jadi teringat lagi pada kejadian di ruang karaoke. Padahal kejadian itu sudah berlalu dan tanda merahnya pun sudah hilang. Kenapa sensasinya masih terbayang sampai sekarang? Tuh kan, sekarang Clara kembali merinding.Mungkin pagi itu, saat Revan menyatakan perasaan pada Clara, adalah terakhir kalinya mereka bertemu. Ya, sesuai harapan Clara kalau Revan kembali disibukkan dengan aktivitas pekerjaannya. Clara biasanya akan senang karena artinya, ia tidak perlu repot-repot bertemu pria itu. Terlebih biasan
Sejujurnya, Clara meminjamkan ponsel pada Lidya untuk melihat foto perselingkuhan Benny dan Ariana. Beberapa waktu lalu Clara memang berjanji untuk memperlihatkannya pada Lidya. Lidya pun melihatnya sebentar, karena setelahnya ia tertarik untuk melihat kontak Revan di ponsel Clara. Ia hanya penasaran, kenapa Mira dan Ayra bersikeras kalau mereka pacaran sungguhan. Lidya hanya ingin membuktikannya sendiri.Selain itu, Clara bersikeras tidak mau menelepon Revan padahal wanita itu besok pulang kampung cukup lama. Hal itu membuat Lidya gemas sendiri. Ia bisa merasakan kalau sebenarnya Clara ingin pamit pada Revan, tapi entah apa yang membuat Clara enggan berbicara dengan Revan sekalipun via telepon.Awalnya Lidya kesulitan menemukan kontak Revan, ia berpikir sepertinya Clara benar-benar tidak menyimpan nomor Revan. Namun, saat iseng mengetikkan nomor Revan dengan menyalin dari ponselnya sendiri, Lidya terkejut saat menekan tombol dial dan yang keluar adalah kontak dengan nama KAMBING.Hal
Lidya lega. Ia sudah berhasil kembali membuka blokiran Revan di ponsel Clara, sekaligus menghapus satu chat yang masuk. Ya, rupanya Revan mengirimkan chat juga. Untung saja tadi Lidya gerak cepat memblokirnya, sehingga Clara tidak akan tahu chat Revan yang menanyakan kenapa me-reject panggilannya.Setelah berpisah dengan Clara di lift, karena ia harus turun di lantai empat, Lidya lalu memasuki ruangan privasinya bersama Angga. Baru saja masuk, ia langsung dikejutkan dengan keberadaan kekasihnya itu.Seingatnya tadi Angga berangkat ke kantor dan mengatakan akan pulang agak malam. Namun, kenapa sekarang sudah ada di sini? Terlebih pria itu tampak baru selesai mandi, terlihat dari rambutnya yang masih basah."Sayang, kamu nggak jadi ke kantor?"Angga pun duduk di sofa dengan pakaian santainya. "Udah, tapi pulang lagi. Puas main basketnya?""Kok pulang lagi?" Lidya bahkan mengabaikan pertanyaan Angga."Bos minta pulang.""Tumben banget.""Iya, kan, tumben? Kirain aku aja yang mikir begitu
Di bawah guyuran shower, Clara masih memikirkan betapa anehnya sifat Revan. Oke, Clara tahu betul Revan memang diharuskan menahan hubungannya dengan Ariana demi suksesnya misi mereka. Ia juga tidak akan heran kalau Ariana nyosor lebih dulu. Namun, ia tetap tidak menyangka kalau Revan akan sejujur itu padanya. Takut dirinya marah, kecewa dan salah paham?Padahal, menurutnya Revan tinggal diam saja dan tidak perlu mengaku sudah dicium oleh Ariana. Toh, dirinya juga tidak mengetahui hal itu, bukan? Anehnya, Revan malah se-merasa bersalah itu sampai-sampai memohon untuk dimaafkan. Clara jadi merasa penting di hati Revan, apalagi saat pria itu mengatakan 'rasanya seakan mengkhianatinya'. Ah, haruskah Clara percaya?Clara jadi berpikir, mungkinkah Revan benar-benar serius tentang perasaan terhadapnya? Sehingga pria itu tidak mau membuatnya kecewa, marah bahkan ... cemburu pada Ariana.Ya Tuhan, entah Clara harus merasa geli atau takjub, yang pasti ia menemukan sisi lain dari Revan hari ini.
"Enggak nyangka, aku lagi nyanyi berdua sama kambing," kekeh Clara."Kamu puas, bikin aku terlihat bodoh di hadapan mereka berdua?"Clara tertawa."Tapi aku suka kamu ketawa lagi," tambah Revan."Aku tadi juga ketawa, lebih tepatnya ngetawain kamu. Habisnya kamu mengakui jati diri secara tiba-tiba, gimana nggak lucu?" balas Clara. "Kamu kambing? Embeee." Clara bahkan menirukan suara kambing, bermaksud mengolok-olok Revan.Mereka pun memutuskan untuk duduk di sofa, terlebih Revan sudah bernyanyi lebih banyak dari Clara. "Tapi sekarang kamu nggak marah lagi, kan?""Aku emang nggak marah. Tahu nggak, dari tadi aku nahan diri buat nggak nampol kepala kamu biar nggak eror gitu."Kali ini Revan tersenyum. "Kamu ingat sofa yang kita duduki ini?" tanya Revan kemudian. "Sofa bersejarah."Sial, mendengar pertanyaan pria itu membuat Clara merasakan sensasi aneh. Kenapa ia tidak kepikiran sampai ke sana? Juga, bisa-bisanya Revan membahas hal itu."Aku ke kamar sekarang juga kalau kamu bahas itu."
Clara mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia menggeliat dan perlahan matanya terbuka sepenuhnya. Hal yang pertama kali dilihatnya adalah lampu yang masih menyala, juga langit-langit kamar yang terasa sangat familier. Ini adalah kasurnya yang sangat nyaman.Tadi, Clara memang sengaja meninggalkan rumah Revan pagi-pagi sekali. Hal itu ia lakukan bukan tanpa alasan, ia takut terbujuk oleh rayuan Revan agar menunda kepulangannya. Clara tidak mau, terlebih ia sudah bilang pada orangtuanya untuk pulang hari ini. Jika ia menundanya, risikonya adalah sang mama akan datang menjemputnya seperti yang Ita katakan beberapa waktu lalu melalui telepon.Selain itu, Clara juga ingin mampir ke rumahnya yang sudah sangat lama ia tinggalkan. Ya, ia memang merasa sudah sangat lama tidak menginjakkan kaki di sini. Saking lamanya, Clara bahkan baru tahu kalau rumah di samping kanan dan kirinya yang semula kosong, kini sudah ada penghuninya. Clara melihat sendiri tadi pagi saat baru datang ke sini. Lampu-lampu tet
Revan antara percaya dan tidak percaya saat Ayra mengatakan bahwa Cindy tidak sengaja bertemu wanita yang mirip Clara di toilet. Ya, Cindy bersikeras sudah melihat Tante Clara-nya sedang bercermin sambil memakai pelembap wajah entah apa pun sejenisnya.Ingatan Cindy tidak sebatas tentang naskah atau dialog dalam film saja, tapi ia juga sangat mudah menghafal wajah orang. Apalagi jika orang tersebut pernah bertemu secara intens dengannya. Jadi, meskipun baru satu kali bertemu Clara, tentu Cindy akan mengingatnya jika suatu hari bertemu lagi.Ayra yang saat itu keluar dari salah satu bilik langsung menghampiri Cindy yang kebingungan. Bagaimana tidak bingung, penampilan Clara sangat berbeda jauh dengan saat mengunjungi rumah Mira. Sayangnya Ayra tidak sempat melihat wajah Clara karena wanita itu segera bergegas pergi, terlebih sudah memakai masker dan kacamata. Karena ragu itu Clara atau bukan, mengingat ia juga merasa postur tubuh wanita tadi mirip Clara, akhirnya Ayra menceritakan hal