Share

Bab 2 : Permintaan Riska

Aku mengangguk dengan air mata sudah menganak sungai di pipiku.

"Ya Allah, maafkan aku," ucap Mbak Riska.

"Oh, enggak, Mbak." Tersadar. Buru-buru kuhapus air mata dan segera bersimpuh di depan kursi rodanya.

"Kenapa Mbak minta maaf? Aku nggak apa-apa kok, Mbak," kataku menenangkannya.

"Aku hanya kaget aja. Dua orang yang kusayangi ternyata berjodoh."

Ada perih menyayat hati.

"Tapi, Nduk?" kata Mbak Riska dan segera kupotong ucapannya.

"Sssttt ... nggak, Mbak. Nggak perlu menjelaskan apa pun. Aku mengerti dan aku ikut bahagia," kataku sambil mengusap telapak tangannya.

"Oh ya, aku buru-buru, Mbak. Ada janji. Duluan, ya. Selamat buat Mbak," kataku sambil memeluknya kemudian berdiri.

"Selamat untukmu Mas, titip Mbak Riska, ya?" Aku berusaha bersikap setenang mungkin saat menghadap Mas Ifan.

"Ehm ... terima kasih," jawabnya gugup.

Buru-buru kutinggalkan merrka. Aku sampai tidak tahu harus apa dan harus kemana. Pandanganku mulai kabur. Tak kuhiraukan semua orang yang memandangiku yang mulai menangis.

Inikah buah dari penantianku? Hanya seperti ini yang kudapatkan? Jawaban yang akhirnya membuat kusadar bahwa sehebat apa pun aku berencana Allah tetap lebih berkuasa.

Hari itu adalah hari yang paling berat untukku. Kembalinya dari pusat perbelanjaan, aku mengurung diri seharian. Mencoba menata hati, menerima apa yang sudah Allah takdirkan.

***

Aku dikagetkan dengan suara ketukan pintu. Waktu sudah menunjukan pukul delapan. Kubiarkan saja makhluk yang masih sepagi ini sudah mengganggu ketenanganku. Mungkin itu anak-anak sebelah kos, yang kehabisan lombok atau bawang saat mau membuat nasi goreng untuk sarapan pagi.

"Atika!" panggil suara di depan pintu.

Entah ini mimpi atau memang nyata, aku mendengar suara Mbak Riska di luar kosku.

"Tika! Nduk!" panggilnya lagi.

Ternyata benar itu suara Mbak Riska. Perih itu kembali. Pelan berjalan ke arah pintu sambil buru-buru mengusap pipiku. Saat kubuka pintu, benar saja Mbak Riska sudah ada di sana dengan seorang wanita yang berpakaian perawat.

"Tika, boleh Mbak masuk?" tanyanya.

"Mbak Riska, tahu dari mana aku ngekos di sini?"

Sudah hampir setahun aku pindah. Kenapa Mbak Riska bisa tahu alamat ini?

"Mbak tanya sama Ibu kos kita, di kosan lama, Tik " jelasnya saat melihatku kebingungan.

"Oh, masuklah, Mbak."

"Kamu nggak berubah ya, Tik. Kosmu selalu berantakan," ucapnya, sambil menatap sekeliling.

"Hemm," jawabku singkat.

"Bi, aku mau bicara berdua aja sama Tika, boleh, ya?" Kata Mbak Riska pada wanita berpakaian perawat, yang datang bersamanya.

"Boleh, Nyah. Saya tunggu di luar," jawabnya patuh, kemudian berjalan keluar dan menutup pintu.

Tiba tiba Mbak Riska menangis.

"Mbak ... Mbak Riska kenapa?" Aku panik dan langsung berlari ke arahnya kemudian berlutut di depan kursi rodanya.

"Maafkan Mbak, ya, Tik. Mbak nggak tahu kalau Mas Ifanmu, ternyata orang yang sama yang aku cintai," jelasnya.

Aku terdiam, ada perih di hati.

"Kami dari kota yang sama, dan kami berteman sejak SMA, Tik. Kemudian dekat dan berpacaran. Setelah lulus SMA Mas Ifan datang melamar, tapi orang tuaku menolak, karena alasan Mas Ifan belum mapan. Setelah itu kami putuskan untuk meniti karir terlebih dahulu. Mas Ifan lebih dulu mendapat tugas proyek di kampung halamanmu. Lama menanti kabar darinya, aku putuskan untuk merantau ke kota ini, Tika. Dan di sini Allah mempertemukan dua wanita yang sama- sama mencintainya. Setahun bersamamu di kota ini, aku dijemput pulang karena penyakit yang kuderita. Sesampainya di kampung halaman, ternyata Mas Ifan sudah lebih dulu kembali dari perantauan."

Panjang lebar Mbak Riska menjelaskan. Sementara aku hanya bisa terdiam menahan sakit yang semakin menjadi- jadi.

“Aku sempat berpikir, jangan-jangan Mas Ifanmu sama dengan Ifan yang aku cintai, tapi langsung kutepis. Lama tak bertemu, ternyata perasaan kami masih sama, Mas Ifan kembali menyampaikan niatnya untuk melamarku dan kali ini orang tuaku menerima," sambungnya lagi.

"Cukup, Mbak!" ucapku spontan. Dadaku semakin sesak.

"Aku bilang aku nggak apa-apa, Mbak. Aku baik-baik saja,"

"Kamu bisa bohong sama semua orang, Tik, tapi tidak sama Mbak," katanya lagi.

"Mataku memanas. Aku memang nggak pernah bisa bohong padamu, Mbak," batinku.

Air mataku mulai luruh satu per satu. Dipegangnya daguku, lalu menatap mataku.

"Kamu masih mencintainya, Tika?" tanyanya lagi.

Kali ini air mataku benar-benar tumpah. Aku menangis di pangkuannya. Tak berdaya kerinduan yang kupendam bertahun-tahun, hari ini kucurahkan di pangkuan istri dari pria yang aku cintai.

"Maafkan aku, Mbak," kataku masih menangis di pangkuannya.

"Boleh Mbak tanya sesuatu?" katanya sambil membelai rambutku.

"Boleh, Mbak."

"Jika Allah masih beri kesempatan pada kalian untuk bersatu, apa kau mau ambil kesempatan itu, Tik?" tanyanya.

"Maksud Mbak apa?" tanyaku heran sambil menatap wajahnya.

"Menikahlah dengan Mas Ifan, Tik," jawabnya sambil tersenyum.

"Apa?" tanyaku kaget. Aku berdiri dan menjauhinya.

"Mbak ngomong apa, sih? Sedikit pun aku nggak punya pikiran sampai ke sana Mbak," jawabku.

"Aku memang masih mencintai Mas Ifan, Mbak, tapi setelah aku tahu semuanya kemarin, aku nggak pernah kepikiran untuk menikah dengannya," jelasku.

"Kalau begitu, pikirkan ini mulai dari sekarang. Pertemuanmu dengan Mas Ifan kemarin, rasa cintamu pada Mas Ifan yang masih Allah jaga untuknya, bahkan sampai bertahun-tahun, dan kalian dipertemukan kembali, apa kau tidak berpikir bahwa Allah merencanakan sesuatu untukmu?" cecar Mbak Riska.

"Kurasa inilah jawaban dari doa-doaku, Tik," lanjutnya membuat keningku berkerut.

"Anggap ini permintaan terakhirku,” ucapnya lagi.

"Maksud Mbak apa?" tanyaku tak mengerti.

"Ini mengenai penyakitku, Tik. Aku tidak akan bertahan, dan aku ingin saat aku pergi nanti, Mas Ifan sudah memiliki kamu sebagai penggantiku, yang akan berada di sisinya di saat-saat terberat dalam hidupnya," jelasnya lagi.

"Mbak?" Aku tak bisa berkata-kata.

"Jika bukan untuk Mas Ifan, setidaknya lakukan ini untuk aku," pintanya lagi sambil mendorong kursi roda ke arah pintu.

"Bi, kita pulang," panggilnya kemudian meninggalkanku yang kebingunngan.

***

Seharian aku tak bisa konsentrasi melakukan apapun. Kuutuskan untuk minta izin dan pulang lebih awal dari tempat kerja. Sesampainya di kosan, sosok yang tak asing berdiri di depan pagar.

"Mas Ifan," gumamku.

"Atika!" panggilnya, ada yang tak beres wajahnya terlihat khawatir. Kulihat Bibi yang tadi pagi mengantar Mbak Riska ada bersamanya.

"Maaf mengganggumu. Tolong ikut aku ke rumah sakit sekarang," ucapnya.

"Riska tiba-tiba pingsan. Sekarang sedang dirawat. Dia terus menyebut namamu," jelas Mas Ifan.

"Apa? Oh, ok, kita ke sana sekarang," jawabku panik. Rasa sakitku sekarang berubah jadi cemas.

Aku tak kuasa menahan tangis melihat keadaannya Mbak Riska saat Dokter mengizinkan kami masuk. Kepala yang selama ini tertutup hijab ternyata sudah tak memiliki rambut.

"Ris?" panggil Mas Ifan.

Mbak Riska membuka matanya dan menoleh ke arahku.

"Ti-ka," panggilnya terbata.

"Iya Mbak," jawabku.

"Gimana, Nduk? Kamu mau, ‘kan, menikah sama Mas Ifan?"

Aku terdiam. Kupandang Mas Ifan yang ada di sebelahku. Bingung. Cepat-cepat aku keluar ke halaman belakang rumah sakit. Dada ini sesak.

Tiba-tiba Mas Ifan muncul.

"Tika!" panggilnya.

Aku tak bergeming.

"Tolong, kabulkan permintaannya, menikahlah denganku," pintanya dengan suara serak.

Aku ingin menumpahkan semua kekesalanku, tapi terhenti oleh tatapan matanya yang mengiba. Ya Allah ... mata itu aku tak sanggup rasanya menatapnya, hatiku semakin sakit melihatnya seperti ini.

"Jika bukan untukku, setidaknya untuk Riska," pintanya lagi.

Hatiku semakin tersayat. Rasa cinta itu tergambar jelas di matanya.

"Hidupnya tak lama lagi, Tik. Tiga bulan kata dokter," jelasnya lagi

Aku tertunduk lama.

"Beri aku waktu sebentar saja," pintaku dan Mas Ifan meninggalkanku seorang diri.

Lama memikirkan semuanya. Sanggupkah aku? Namun, jika Allah menginginkan ini, berarti Allah tahu jika aku mampu.

Aku kembali ke kamar Mbak Riska.

"A-aku siap menikah dengan, Mas Ifan," ucapku lirih, saat berada di samping tempat tidur Mbak Riska.

***Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status