Aku mengangguk dengan air mata sudah menganak sungai di pipiku.
"Ya Allah, maafkan aku," ucap Mbak Riska."Oh, enggak, Mbak." Tersadar. Buru-buru kuhapus air mata dan segera bersimpuh di depan kursi rodanya."Kenapa Mbak minta maaf? Aku nggak apa-apa kok, Mbak," kataku menenangkannya."Aku hanya kaget aja. Dua orang yang kusayangi ternyata berjodoh."Ada perih menyayat hati."Tapi, Nduk?" kata Mbak Riska dan segera kupotong ucapannya."Sssttt ... nggak, Mbak. Nggak perlu menjelaskan apa pun. Aku mengerti dan aku ikut bahagia," kataku sambil mengusap telapak tangannya."Oh ya, aku buru-buru, Mbak. Ada janji. Duluan, ya. Selamat buat Mbak," kataku sambil memeluknya kemudian berdiri."Selamat untukmu Mas, titip Mbak Riska, ya?" Aku berusaha bersikap setenang mungkin saat menghadap Mas Ifan."Ehm ... terima kasih," jawabnya gugup.Buru-buru kutinggalkan merrka. Aku sampai tidak tahu harus apa dan harus kemana. Pandanganku mulai kabur. Tak kuhiraukan semua orang yang memandangiku yang mulai menangis.Inikah buah dari penantianku? Hanya seperti ini yang kudapatkan? Jawaban yang akhirnya membuat kusadar bahwa sehebat apa pun aku berencana Allah tetap lebih berkuasa.Hari itu adalah hari yang paling berat untukku. Kembalinya dari pusat perbelanjaan, aku mengurung diri seharian. Mencoba menata hati, menerima apa yang sudah Allah takdirkan.***Aku dikagetkan dengan suara ketukan pintu. Waktu sudah menunjukan pukul delapan. Kubiarkan saja makhluk yang masih sepagi ini sudah mengganggu ketenanganku. Mungkin itu anak-anak sebelah kos, yang kehabisan lombok atau bawang saat mau membuat nasi goreng untuk sarapan pagi."Atika!" panggil suara di depan pintu.Entah ini mimpi atau memang nyata, aku mendengar suara Mbak Riska di luar kosku."Tika! Nduk!" panggilnya lagi.Ternyata benar itu suara Mbak Riska. Perih itu kembali. Pelan berjalan ke arah pintu sambil buru-buru mengusap pipiku. Saat kubuka pintu, benar saja Mbak Riska sudah ada di sana dengan seorang wanita yang berpakaian perawat."Tika, boleh Mbak masuk?" tanyanya."Mbak Riska, tahu dari mana aku ngekos di sini?"Sudah hampir setahun aku pindah. Kenapa Mbak Riska bisa tahu alamat ini?"Mbak tanya sama Ibu kos kita, di kosan lama, Tik " jelasnya saat melihatku kebingungan."Oh, masuklah, Mbak.""Kamu nggak berubah ya, Tik. Kosmu selalu berantakan," ucapnya, sambil menatap sekeliling."Hemm," jawabku singkat."Bi, aku mau bicara berdua aja sama Tika, boleh, ya?" Kata Mbak Riska pada wanita berpakaian perawat, yang datang bersamanya."Boleh, Nyah. Saya tunggu di luar," jawabnya patuh, kemudian berjalan keluar dan menutup pintu.Tiba tiba Mbak Riska menangis."Mbak ... Mbak Riska kenapa?" Aku panik dan langsung berlari ke arahnya kemudian berlutut di depan kursi rodanya."Maafkan Mbak, ya, Tik. Mbak nggak tahu kalau Mas Ifanmu, ternyata orang yang sama yang aku cintai," jelasnya.Aku terdiam, ada perih di hati."Kami dari kota yang sama, dan kami berteman sejak SMA, Tik. Kemudian dekat dan berpacaran. Setelah lulus SMA Mas Ifan datang melamar, tapi orang tuaku menolak, karena alasan Mas Ifan belum mapan. Setelah itu kami putuskan untuk meniti karir terlebih dahulu. Mas Ifan lebih dulu mendapat tugas proyek di kampung halamanmu. Lama menanti kabar darinya, aku putuskan untuk merantau ke kota ini, Tika. Dan di sini Allah mempertemukan dua wanita yang sama- sama mencintainya. Setahun bersamamu di kota ini, aku dijemput pulang karena penyakit yang kuderita. Sesampainya di kampung halaman, ternyata Mas Ifan sudah lebih dulu kembali dari perantauan."Panjang lebar Mbak Riska menjelaskan. Sementara aku hanya bisa terdiam menahan sakit yang semakin menjadi- jadi.“Aku sempat berpikir, jangan-jangan Mas Ifanmu sama dengan Ifan yang aku cintai, tapi langsung kutepis. Lama tak bertemu, ternyata perasaan kami masih sama, Mas Ifan kembali menyampaikan niatnya untuk melamarku dan kali ini orang tuaku menerima," sambungnya lagi."Cukup, Mbak!" ucapku spontan. Dadaku semakin sesak."Aku bilang aku nggak apa-apa, Mbak. Aku baik-baik saja,""Kamu bisa bohong sama semua orang, Tik, tapi tidak sama Mbak," katanya lagi."Mataku memanas. Aku memang nggak pernah bisa bohong padamu, Mbak," batinku.Air mataku mulai luruh satu per satu. Dipegangnya daguku, lalu menatap mataku."Kamu masih mencintainya, Tika?" tanyanya lagi.Kali ini air mataku benar-benar tumpah. Aku menangis di pangkuannya. Tak berdaya kerinduan yang kupendam bertahun-tahun, hari ini kucurahkan di pangkuan istri dari pria yang aku cintai."Maafkan aku, Mbak," kataku masih menangis di pangkuannya."Boleh Mbak tanya sesuatu?" katanya sambil membelai rambutku."Boleh, Mbak.""Jika Allah masih beri kesempatan pada kalian untuk bersatu, apa kau mau ambil kesempatan itu, Tik?" tanyanya."Maksud Mbak apa?" tanyaku heran sambil menatap wajahnya."Menikahlah dengan Mas Ifan, Tik," jawabnya sambil tersenyum."Apa?" tanyaku kaget. Aku berdiri dan menjauhinya."Mbak ngomong apa, sih? Sedikit pun aku nggak punya pikiran sampai ke sana Mbak," jawabku."Aku memang masih mencintai Mas Ifan, Mbak, tapi setelah aku tahu semuanya kemarin, aku nggak pernah kepikiran untuk menikah dengannya," jelasku."Kalau begitu, pikirkan ini mulai dari sekarang. Pertemuanmu dengan Mas Ifan kemarin, rasa cintamu pada Mas Ifan yang masih Allah jaga untuknya, bahkan sampai bertahun-tahun, dan kalian dipertemukan kembali, apa kau tidak berpikir bahwa Allah merencanakan sesuatu untukmu?" cecar Mbak Riska."Kurasa inilah jawaban dari doa-doaku, Tik," lanjutnya membuat keningku berkerut."Anggap ini permintaan terakhirku,” ucapnya lagi."Maksud Mbak apa?" tanyaku tak mengerti."Ini mengenai penyakitku, Tik. Aku tidak akan bertahan, dan aku ingin saat aku pergi nanti, Mas Ifan sudah memiliki kamu sebagai penggantiku, yang akan berada di sisinya di saat-saat terberat dalam hidupnya," jelasnya lagi."Mbak?" Aku tak bisa berkata-kata."Jika bukan untuk Mas Ifan, setidaknya lakukan ini untuk aku," pintanya lagi sambil mendorong kursi roda ke arah pintu."Bi, kita pulang," panggilnya kemudian meninggalkanku yang kebingunngan. ***Seharian aku tak bisa konsentrasi melakukan apapun. Kuutuskan untuk minta izin dan pulang lebih awal dari tempat kerja. Sesampainya di kosan, sosok yang tak asing berdiri di depan pagar."Mas Ifan," gumamku."Atika!" panggilnya, ada yang tak beres wajahnya terlihat khawatir. Kulihat Bibi yang tadi pagi mengantar Mbak Riska ada bersamanya."Maaf mengganggumu. Tolong ikut aku ke rumah sakit sekarang," ucapnya."Riska tiba-tiba pingsan. Sekarang sedang dirawat. Dia terus menyebut namamu," jelas Mas Ifan."Apa? Oh, ok, kita ke sana sekarang," jawabku panik. Rasa sakitku sekarang berubah jadi cemas.Aku tak kuasa menahan tangis melihat keadaannya Mbak Riska saat Dokter mengizinkan kami masuk. Kepala yang selama ini tertutup hijab ternyata sudah tak memiliki rambut."Ris?" panggil Mas Ifan.Mbak Riska membuka matanya dan menoleh ke arahku."Ti-ka," panggilnya terbata."Iya Mbak," jawabku."Gimana, Nduk? Kamu mau, ‘kan, menikah sama Mas Ifan?"Aku terdiam. Kupandang Mas Ifan yang ada di sebelahku. Bingung. Cepat-cepat aku keluar ke halaman belakang rumah sakit. Dada ini sesak.Tiba-tiba Mas Ifan muncul."Tika!" panggilnya.Aku tak bergeming."Tolong, kabulkan permintaannya, menikahlah denganku," pintanya dengan suara serak.Aku ingin menumpahkan semua kekesalanku, tapi terhenti oleh tatapan matanya yang mengiba. Ya Allah ... mata itu aku tak sanggup rasanya menatapnya, hatiku semakin sakit melihatnya seperti ini."Jika bukan untukku, setidaknya untuk Riska," pintanya lagi.Hatiku semakin tersayat. Rasa cinta itu tergambar jelas di matanya."Hidupnya tak lama lagi, Tik. Tiga bulan kata dokter," jelasnya lagiAku tertunduk lama."Beri aku waktu sebentar saja," pintaku dan Mas Ifan meninggalkanku seorang diri.Lama memikirkan semuanya. Sanggupkah aku? Namun, jika Allah menginginkan ini, berarti Allah tahu jika aku mampu.Aku kembali ke kamar Mbak Riska."A-aku siap menikah dengan, Mas Ifan," ucapku lirih, saat berada di samping tempat tidur Mbak Riska.***BersambungBa'da maghrib, ijab kabul sederhana kami yang diadakan di masjid dekat rumah Mas Ifan berjalan dengan lancar tanpa kendala. Setelah menyelesaikan proses demi proses, kami melaksanakan salat Isya berjamaah sebelum akhirnya aku, Mas Ifan, dan Mbak Riska kembali ke rumah yang ditempati mereka. Rumah yang lumayan besar untuk kami tempati bertiga.Ah ... bertiga? Dadaku tiba-tiba sesak memikirkannya."Tika, sudah sampai. Ini rumah kita," ucap Mbak Riska membuyarkan lamunanku."Ehm, iya, Mbak," jawabku kaget.Kami segera keluar dari mobil dan berjalan ke arah teras.Jantungku berdegub kencang saat melihat pemandangan di depanku. Mas Ifan menggendong Mbak Riska turun dari mobil dan mendudukkannya di kursi roda. Ya Allah, sanggupkah aku? Pemandangan seperti inilah yang akan aku lihat setiap hari nanti.Mampukan aku, ya Rabb, doaku dalam hati.Pintu dibuka."Masuklah, Tika. Ini juga rumahmu sekarang," ucap Mas Ifan."Ehm ...." Aku hanya bisa mengangguk."Kamu pasti capek, Tik. Kamarmu di sebe
Setelah berpakaian aku putuskan untuk keluar dari kamar. Terdengar suara berisik dari arah dapur, mungkin Mbak Riska sudah lebih dulu ada di sana. Aku langsung saja ke dapur sedikit terkejut. Bukannya Mbak Riska yang ada di sana, melainkan Mas Ifan."Mas Ifan," panggilku. "Mas Ifan kok nyuci piring?" "Hhm ... hampir sebulan aku yang mengurus rumah, karena keadaan Riska tak memungkinkan untuk melakukan ini, Tik," jelasnya."Lalu Bi Ani?" tanyaku lagi."Bi Ani hanya datang seminggu dua kali, untuk bantu-bantu, karena Bi Ani itu asisten rumah tangga ibuku. Dan tadi pagi-pagi sekali dia pulang ke rumah Ibu," jelas Mas Ifan.Aku mendekat, mengambil piring dan kain cuci piring yang ada di tangannya."Biar aku aja, Mas," ucapku sambil melanjutkan mencuci piring.Mas Ifan hanya diam dan menatapku."Tika," kata Mas Ifan sambil menghentikan tanganku. "Mas mau bicara," katanya lagi.Detak jantungku mulai tak beraturan, tapi tetap kulanjutkan mencuci piring tanpa menghiraukan perkataannya. Aku m
Entah kekuatan dari mana, aku mulai berhenti menangis lalu kuhapus air mataku."Aku memaafkanmu, Mas," jawabku sambil menatapnya.Mas Ifan terdiam, dihapusnya air matanya."Benarkah, Tik?" tanya Mas Ifan sambil menatap mataku."Hem," "Terima kasih, Tik. Aku janji akan kuperbaiki segalanya.”"Jangan janjikan apa pun lagi, Mas." Kutarik tanganku dari genggamannya dan membelakanginya."Karena jika sekali lagi kau mengingkarinya, aku tak tahu, apa aku masih bisa memaafkanmu lagi atau tidak.”"Kau benar, Tika. Tapi kali ini akan aku usahakan untuk bisa menepati janjiku," jawabnya singkat."Untukmu, untuk Riska, untuk kita bertiga." Aku menghela napas panjang."Hhm, baiklah, Tik. Terima kasih sudah mau mendengarkan, terima kasih juga sudah mau memaafkanku. Istirahatlah," katanya lagi."Hem," jawabku singkat.Mas Ifan berlalu. Kupandangi punggungnya sampai hilang di balik pintu. Kemudian berjalan ke arah tempat tidur dan merebahkan tubuh di atas kasur. Entah mengapa beban yang kurasakan se
Kubiarkan Mas Ifan menangis sepuasnya, sambil terus kuusap kepalanya. Tak lama dia mulai terdiam kemudian melepaskan pelukan."Maafkan aku, Tik," ucapnya sambil menghapus air mata."Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti, kok," jawabku."Terima kasih," ucap Mas Ifan dengan tersenyum."Sama-sama, Mas," "Istirahatlah, Tik. Kau pasti capek seharian ngurus rumah. Aku masuk duluan, ya.”"Mas nggak makan dulu?" "Nggak, Tik. Makasih." "Ya udah, Mas istirahat juga." "He'em," jawabnya singkat.Mas Ifan beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan perlahan dan menghilang di balik pintu kamarnya dan Mbak Riska.Aku terdiam sejenak, kemudian lanjut mencuci sedikit piring kotor di dapur. Setelah semua beres, aku langsung masuk ke kamar, berwudhu dan kemudian melaksanakan sholat Isya .Setelah itu, seperti biasa aku merebahkan kepala di atas bantal, dan mulai berpikir, malam ini memang giliran Mas Ifan tidur bersama Mbak Riska, aah ... apa aku cemburu? Ya, itu wajar, karena mencintai tanpa rasa cemburu
Selesai makan malam, kami kembali ke kamar masing-masing. Aku terus memikirkan bagaimana nasibku, saat berada di rumah Ibu Mas Ifan nanti. Asik melamun aku sampai lupa, jika malam ini giliran Mas Ifan, tidur di kamarku"Ehem." Ternyata Mas Ifan, sudah berada tepat di samping ku. Aku kaget dan buru-buru bangun."Mas Ifan! Kok, aku nggak liat Mas, masuk?" tanyaku."Bagaimana mau lihat Tik, kamu sibuk melamun," "Ada apa, Tik? Aku perhatikan, kamu banyak melamun." tanya Mas Ifan."Nggak ada apa apa, Mas." "Kamu nggak mau cerita, sama aku?" Mas Ifan terus memandangku. Menunggu agar aku mau menceritakan, kegundahan hati."Ya, sudah kalau memang nggak mau cerita," kata Mas Ifan. Sambil merapikan bantalnya."Mas, besok aku di rumah aja ya, aku nggak ikut ke rumah ibu," ucapku.Mas ifan mengurungkan niatnya untuk berbaring, lalu duduk kembali dan menatapku."Jadi ini, yang membuatmu resah, Tik?""He'em," aku mengangguk."Nggak bisa Tik. Kamu harus ikut, kamu kan juga istriku." "Jangan k
Selesai sholat subuh, aku putuskan untuk tidur lagi. Mataku masih sangat mengantuk, karrna sejak datang kemarin hingga larut malam, aku membantu ibu-ibu di dapur.Sekitar pukul 07.00, aku terbangun kaget dan buru-buru mandi. Setelahnya aku kembali bergabung dengan para ibu-ibu di dapur. Kukerjakan semuanya yang aku bisa. Ikut berbaur dengan ibu-ibu di dapur sedikit membuatku melupakan respon dingin ibu terhadapku. Tak terasa hari sudah siang dan semua ibu-ibu bergegas untuk makan siang dan beristirahat sejenak. Nduk, ayo makan, dulu," kata seorang Ibu di dapur. sepertinya dia heran, melihatku tidak ikut makan."Iya, Bude. Bude, duluan saja." "Makan dulu, nanti lanjut lagi kerjanya." "Iya, bude." Aku mengalah.Kemudian mendekat ke meja makan hendak menyendok nasi. Tiba-tiba Ibu memanggilku."Tik ... Tika, kamu gimana sih, itu si Riska mau minum obat, Ifan juga belum makan siang, kamu urusin dululah ... habis itu baru kamu lanjut makan," Ibu berteriak di pintu dapur."Iya, Bu." jaw
Mas Ifan menenteng tas pakaianku, saat berjalan melewati ruang makan, Tiba-tiba terdengar suara cempreng Ibu memanggilnya."Fan!" panggil Ibu. Keningnya berkerut, melihat Mas Ifan menenteng tas pakaian."Loh, kamu mau kemana?" tanya Ibu."Ifan mau antar Tika pulang ke Bandung, Bu," jawab Mas Ifan."Loh, emang nya kenapa lagi kamu Tik?" tanya Ibu sambil melotot ke arahku."Ibu kan nggak mau kalau orang-orang tau kalau Tika ini istri kedua ku. Jadi, biar Ifan antar dia pulang." "Jadi kamu tersinggung Tik, dengan ucapan ibu?" Ibu bertanya sambil melotot kepadaku.Aku hanya menunduk. Ingin marah tapi ku tahan, karena biar bagaimana pun Ibu adalah mertuaku. "Lha terus, Riska gimana, Fan?" tanya Ibu."Aku tetap disini, Bu." jawab Mbak Riska "Ya, sudah, aku pamit Bu,Ris," pamit Mas Ifan sambil menyalami Ibu."Ya, sudah, habis itu langsung balik kemari ya, besok akad nikahnya jam sembilan," kata Ibu ketus.Mas Ifan melirik ke arahku. Aku mengangguk."Nggak, Bu. Malam ini Ifan nginap. Beso
Mas Ifan membuka matanya, kemudian tersenyum. Kami saling menatap. Mas Ifan mendekatkan wajahnya, refleks aku meremas gaun tidur dan menutup kedua mataku. Kurasakan bibirnya menyentuh telingaku dan berbisik."Sholat dulu, yuk," bisiknya lalu tersenyum geli melihatku. Aku bengong dengan kening berkerut."Aku sudah sholat isya kok, Mas," jawabku bego."Hahaha ...," Mas Ifan tertawa renyah.Kemudian kembali mendekat dan berbisik."Sholat dua rakaat, sayang," bisiknya lembut, kemudian tersenyum sambil berlalu ke kamar mandi. "Ya Allah ...," ucapku lirih sambil menutup wajah dengan kedua tanganku. Malunya ....Kami melaksanakan sholat dua rakaat. Ini sholat pertamaku bersamanya. Setelah sholat. aku menyalami Mas Ifan mencium tangannya penuh takzim. Dan kembali merasa gugup setelahnya. Kali ini benar-benar gugup sampai bingung harus berbuat apa. Melipat mukena yang biasanya hanya tergantung di dinding. Kemudian berjalan menuju lemari dan menyimpannya. Saat berbalik, kulihat Mas Ifan s
Aku benar-benar penasaran, sudah tak sabar rasanya ingin segera menanyakan kebenaran obat yang baru saja aku temukan di laci nakas pada pihak apotek, obat apa ini sebenarnya.Selain obat, aku juga menemukan sebuah wadah yang berisi bubuk yang aku yakin itu adalah susu, di dalam laci mejanya, tapi susu apa?Ah ... Tika? Apa yang kau sembunyikan dariku.Hampir satu jam menunggu. Aku bersyukur, akhirnya apotek pun buka. Aku segera menghampiri petugas yang masih sibuk beberes."Permisi, Mbak," ucapku."Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya."Maaf, saya datang sepagi ini, cuma mau nanya, Ini obat apa ya, Mbak?" tanyaku tak sabar, sambil menunjukkan obat yang aku temukan di laci."Coba saya, liat." Jantungku berdebar kencang, menunggu penjelasan darinya."Oo ini vitamin Pak. Biasanya, di konsumsi oleh wanita yang sedang hamil atau wanita yang sedang program hamil.""Oh, jadi, ini, vitamin?" tanyaku memastikan."Iya, pak.""Berarti yang mengkonsumsi obat ini, kemungkinan sekarang di
Mendengar ucapan Yuda barusan benar-benar membuatku jantungku hampir copotAh ... Tika! Itu pertanyaan bodoh! Harusnya aku sudah tahu jawabannya. Benar kata Ibu."Udah ah, bercandanya, aku masuk dulu," ucapku menghindar. "Aku tidak sedang bercanda!" ucapnya menghalangi jalanku.Langkahku terhenti."Kendalikan dirimu, Yud! Apa kamu lupa, aku udah punya suami" aku mulai marah.Yuda tersenyum."Tenang saja Tik, aku tahu batasanku. Aku hanya ingin memastikan kalau kamu benar-benar bahagia, sebelum aku kembali ke Hongkong," ucapnya.Apa? Hongkong? Jadi dia mau balik ke Hongkong? tanyaku dalam hati"Baiklah aku ke dalam dulu, tinggal sedikit lagi pekerjaanku selesai," ucapnya lagi kemudian masuk ke dalam rumah. Aku mematung di teras rumah. Yuda benar-benar menyukaiku? Jujur aku merasa risih, tapi mendengar kalau dia akan kembali ke Hongkong, membuatku sedikit lega. ***Karena kejadian tadi pagi, seharian aku mengurung diri di dalam kamar. Hanya saat makan siang aku keluar untuk makan bers
Pagi ini kami sarapan seperti biasa. Setelah sarapan, kami mulai sibuk sendiri-sendiri. Aku duduk santai di ruang tamu. Selonjoran di sofa ruang tamu, sambil membaca majalah tentang Ibu dan bayi.Tiba-tiba bel berbunyi, aku berdiri perlahan, menarik jilbab yang kuletakkan di meja lalu memakainya. Kemudian berjalan ke pintu dan membukanya."Assalamualaikum." ucap suara yang tak asing dari balik pintu."Wa'alaikumsalam warohmatullah." jawabku.Senyum manis berlesung pipi menyambutku."Hai Tik, gimana kabarmu?" "Kamu, Yud? ngapain disini?" tanyaku heran."Gimana sih, ada tamu bukannya di suruh masuk malah di interogasi," ocehnya."maaf, masuklah." ucapku."Nah, gitu dong." ucapnya cengengesan.Yuda masuk dan duduk di sofa ruang tamu. "Kamu belum jawab pertanyaanku, gimana kabarmu? Juga kehamilanmu?" tanya Yuda."Ssstttt, jangan keras-keras ngomongnya, nanti yang lain dengar," ucapku, setengah berbisik."Tik, jadi kamu benar-benar merahasiakan kehamilanmu? Kenapa?" ocehnya."Kamu nggak
Ternyata Mbak Riska sudah berdiri di ambang pintu. "Oh, ini vitamin, Mbak." Aku buru-buru berdiri menghalangi botol vitamin yang ada di atas, agar tak terlihat jelas oleh Mbak Riska. "Ada yang bisa kubantu, Mbak?" ucapku lagi sambil berjalan tertatih ke arah Mbak Riska. "Oh, nggak kok. Mau ngajak kamu nonton. Bosan cuma diam-diam aja di kamar. Pingin jalan-jalan, tapi Mas Ifan pasti nggak akan kasi izin." "Ya udah, yuk, kita nonton bareng." Aku cepat-cepat mengajak Mbak Riska pergi dari kamar. ***Kami menonton hingga terkantuk-kantuk. Karena tak kuat, akhirnya kami sudahi menonton, dan balik ke kamar masing-masing. Sampai di pintu kamar aku tertegun, terdiam tak mampu bergerak, melihat pemandangan yang ada di dalam kamar.Ibu tengah berdiri, memegang sesuatu di tangannya. Itu, vitamin khusus ibu hamil yang tadi lupa kuimpan. Gleg ! Aku menelan ludah.Aku masuk dan mengunci pintu. Saat berbalik, ibu sudah berdiri menghadapku."Obat apa ini,
Hari ini akhirnya kami bisa pulang dan makan siang di rumah. Mas Ifan meliburkan diri dari kantor agar bisa menemani kami di rumah. Mas Ifan juga pamit, untuk ke luar kota beberapa hari kedepan untuk urusan kantor. "Kamu istirahat ya, jangan lupa minum obat." kata Mas Ifan, setelah mengantarku ke kamar."He'em," aku mengangguk.Aku membuka laci dan menyembunyikan obat yang di berikan mas Ifan disana. Tak hanya itu, obat, vitamin, dan susu untuk kehamilanku pun aku sembunyikan disana. Sebenarnya aku merasa berdosa. Tapi tak lama lagi, aku akan jujur pada Mas Ifan soal kehamilanku ini. Karena Mbak Riska sudah mulai membaik. ***Menjelang makan malam, Mas Ifan membantuku untuk ke meja makan. Disana sudah ada Bapak, Ibu, dan Mbak Riska.Sebenarnya aku tak berselera karena ada sesuatu aku inginkan. Hmm .. mengingatnya membuat air liurku benar-benar mau keluar. "Tik, kok bengong, ayo di makan." tanya Mas Ifan"Eh, iya Mas." "Kenapa? masakan Ibu
Ya Allah, bagaimana ini?" ucapku panik.Aku lupa kalau kunci rumahku, ada di dompet yang baru saja dijambret. Aku berjalan tertatih, dan duduk di teras. Mengeluarkan ponsel dari saku gamis dan mulai memencet nomor Mas Ifan."Oh, aku lupa. Aku belum sempat beli pulsa tadi," ucapku lirih. Tiba-tiba sebuah mobil masuk ke halaman, mobil yang sudah tak asing lagi bagiku."Mas Ifan!" seruku.Lalu segera bangkit dan hampir saja aku terjatuh.Mas Ifan turun dari mobil, dan terkejut melihat kakiku yang di perban, sebuah tongkat yang menopang tubuhku."Ya Allah, Tika! Kamu kenapa?" tanyanya setengah berlari ke arahku."Aku di jambret Mas, aku berusaha mengejar tapi kakiku tertusuk pecahan botol di pinggir jalan,""Astagfirullahal'adzim, tapi kamu nggak apa-apa kan, Tik?" tanya Mas Ifan, sambil meraba-raba tangan dan punggung ku."Nggak apa-apa, Mas. Cuma kaki aja yang harus di jahit," jawabku."Apa dijahit?" tanya Mas Ifan panik.Mas Ifan menatapku lekat. Lalu menarikku ke dalam pelukannya."
Saat memasang aroma terapi di kamar, tiba-tiba kepala terasa pusing, perutku terasa mual. Buru-buru mencari minyak kayu putih andalanku. Kuhirup dalam-dalam sambil berjalan keluar kamar , lalu berbaring di atas sofa. Entah kenapa mualku tiba-tiba hilang, sakit kepalapun agak berkurang. Aku mulai berfikir ini pasti ada hubungannya dengan kehamilanku. Perlahan kuusap perutku."Kamu enggak suka, wangi-wangian ya, sayang?" "Hem, baiklah mulai besok mama nggak akan pakai wangi-wangian lagi, kamu senang? Jadi jangan rewel lagi, ya?" ucapku."Sepertinya aku harus selalu sedia minyak kayu putih nih?" pikirku.Tiba-tiba ponselku berdering."Ya, Mas?" jawabku."Tik, kamu nggak balik kemari?" tanya Mas Ifan di seberang sana."Kayaknya, aku tidur di rumah aja deh, Mas." "Bener?" Tanyanya lagi."Iya, Mas. nggak apa-apakan kalau malam ini, jaga Mbak Riskanya sendirian?" tanyaku."Nggak apa-apa, Tik. Tapi kamu gimana? Berani di rumah sendiri?" "In shaa Allah berani, Mas." "Ya sudah. Kalau be
Aku sedikit terburu-buru keruangan Mbak Riska. Sudah terlalu lama aku meninggalkannya.Sata sampai di depan pintu, aku mengintip sedikit ke dalam ruangan. Sudah ada Mas Ifan yang sedang menyuapi potongan buah ke mulut Mbak Riska. Aku tersenyum, saat ini aku benar-benar bahagia. Ingin rasanya membagi kebahagiaan ini dengan Mas Ifan. Tapi aku tahu, ini bukan saat yang tepat. Mbak Riska baru saja pulih dari sakitnya, aku takut kehamilan ini akan membuatnya drop lagi. Sama sekali tidak meragukan ketulusannya, bahkan mungkin dia satu-satunya wanita yang sangat tulus, karena mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Tapi sekuat apapun wanita, rasa cemburu selalu mampu melemahkannya. "Tik, kenapa berdiri disitu?." panggil Mbak Riska membuatku gelagapan."Iya, Mbak," Aku mendekat dan duduk di tepi ranjangnya."Tadi, Dokter bilang, besok aku sudah boleh pulang." jelas Mbak Riska."Waah, benarkah Mbak?" tanyaku tak percaya."He'em Tik, benerkan Mas?" Mbak Riska meyakinkanku."Bener Tik, jadi
Mood yang berantakan membuatku jadi lapar lagi. Akhirnya kuputuskan mampir di warung bubur ayam di sebeeang jalan depan Rumah Sakit. "Aah!" teriakkan seseorang meganggu konsentrasi saat sedang menikmati bubur ayam. Seorang wanita yang lagi-lagi tidak asing sedang meringis kesakitan memegangi tangannya yang tersiram bubur oleh pelanggan lain."Oh, maaf Mbak, saya tidak sengaja," "Pelan-pelan dong, Mas." Tika mengomel pada pelangggan itu.Aku terSmsenyum sinis. Meraih tisu dan berjalan mendekatinya"Apa itu, sakit?" kuberikan tisu sambil menatapnya.Tika tak menjawab. "Kau dengar, tapi pura-pura tak mendengar. Sepertinya berpura-pura sudah jadi kebiasaanmu," ucapku lagi."Kamu ngomong apa, sih!" Dia mulai terpancing."Berhenti berpura-pura peduli pada madumu, aku tahu kau pasti senang melihatnya seperti sekarang ini," Aku terkekeh. "Diamlah, Yud. Sudah kubilang kamu nggak tahu apa-apa, jadi berhenti menuduhku! Napasnya mulai tersengal, mungkin ucapanku melukainya. Aku tak peduli."K