Entah kekuatan dari mana, aku mulai berhenti menangis lalu kuhapus air mataku.
"Aku memaafkanmu, Mas," jawabku sambil menatapnya.Mas Ifan terdiam, dihapusnya air matanya."Benarkah, Tik?" tanya Mas Ifan sambil menatap mataku."Hem,""Terima kasih, Tik. Aku janji akan kuperbaiki segalanya.”"Jangan janjikan apa pun lagi, Mas." Kutarik tanganku dari genggamannya dan membelakanginya."Karena jika sekali lagi kau mengingkarinya, aku tak tahu, apa aku masih bisa memaafkanmu lagi atau tidak.”"Kau benar, Tika. Tapi kali ini akan aku usahakan untuk bisa menepati janjiku," jawabnya singkat."Untukmu, untuk Riska, untuk kita bertiga."Aku menghela napas panjang."Hhm, baiklah, Tik. Terima kasih sudah mau mendengarkan, terima kasih juga sudah mau memaafkanku. Istirahatlah," katanya lagi."Hem," jawabku singkat.Mas Ifan berlalu. Kupandangi punggungnya sampai hilang di balik pintu. Kemudian berjalan ke arah tempat tidur dan merebahkan tubuh di atas kasur. Entah mengapa beban yang kurasakan sedikit berkurang. Apa karena aku sudah bisa memaafkan Mas Ifan? Yah, kurasa itulah jawabannya.Kadang menyimpan dendam membuat hidup kita menjadi tak tenang. Ikhlas dan yakinlah kunci dari ketenangan hidup. Ikhlas menerima apa yang ditakdirkan Allah untuk kita, dan yakin kalau Allah sudah menyiapkan yang terbaik untuk kita.Bersabarlah, Tika! Semua akan indah pada waktunya.***Aku terbangun karena mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Segera aku bangun dan menuju ke sana. Kulihat Mas Ifan tengah membereskan pecahan kaca di lantai dan buru-buru mengambil sebuah mangkok dari lemari. Ada raut cemas di wajahnya."Ada apa, Mas?""Riska, Tik. Dia mimisan lagi," jawabnya cemas.Aku segera berlari ke kamar Mbak Riska."Mbak Ris," panggilku langsung masuk ke kamarnya dan segera menghampirinya yang sedang duduk bersandar di tempat tidur sambil mengusap tisu di hidung."Mbak, Mbak kenapa?" tanyaku sambil duduk di sebelahnya."Nggak apa-apa, Tik. Ini sudah biasa," jawabnya."Tapi, Mbak. Darahnya banyak sekali," kataku sambil melihat beberapa tisu yang penuh darah di atas nakas."Bener, kok, Nduk. Mbak nggak apa-apa," jawabnya lagi.Mas Ifan muncul dengan membawa sebuah mangkok berisi air hangat. Segera kuambil mangkuk dari tangannya dan mulai membersihkan hidung Mbak Riska."Mas, kita bawa Mbak Riska ke Rumah sakit aja," pintaku cemas sambil menoleh ke arah Mas Ifan."Niatnya begitu, Tik, tapi Mbakmu menolak," jawab Mas Ifan sambil menatap tajam ke arah Mbak Riska."Ya ampun kalian berdua ini. Aku nggak apa-apa, kok. Darahnya juga sudah berhenti," ucap Mbak Riska."Nggak apa-apa gimana, Ris? Ini yang ketiga kali dalam seminggu ini. Biasanya nggak pernah sesering ini," jawab Mas Ifan sambil berjalan ke seberang tempat tidur, lalu duduk di samping Mbak Riska."Mas Ifan benar, Mbak. Muka Mbak juga pucat.""Udah, ya. Aku benar-benar nggak apa-apa. Aku mau istirahat aja," jawab Mbak Riska sambil berbaring.Aku dan Mas Ifan saling memandang."Ya udah Mbak istirahat, ya. Aku buatkan makan siang," kataku sambil berdiri."Nggak usah masak, Tik. Aku udah pesan makanan jadi. Mungkin sebentar lagi sampai," kata Mas Ifan."Oh, begitu, ya sudah" kataku sambil berjalan ke pintu. Saat akan menutup pintu, kulihat Mas Ifan membelai kepala Mbak Riska yang sedang berbaring di sampingnya.Seperti biasa, ada rasa perih di hati.***Aku mandi dan melaksanakan sholat Dzuhur. selesai sholat, tak lupa menyelipkan doa untuk kesembuhan Mbak Riska.Aku buru-buru keluar dari kamar kerena mendengar bel pintu berbunyi. Kubuka pintu. Ternyata catering yang dipesan Mas Ifan sudah sampai. Kubayar dan membawanya masuk, lalu kuhidangkan di atas meja.Setelah semua terhidang, aku menyendokkan nasi, sayur, dan lauk ke sebuah piring. Lalu segera menuju kamar Mbak Riska."Mbak Ris," panggilku sambil mengetuk pintu sekali dan langsung membuka pintu kamarnya.Jantungku berdetak kencang, kaget melihat pemandangan saat itu dan langsung terdiam. Kulihat Mbak Riska merebahkan kepalanya di pangkuan Mas Ifan. Sementara Mas Ifan mengelus kepalanya mesra. Aah ... bodohnya aku kenapa harus masuk?Mas Ifan dan Mbak Riska kaget dengan kehadiranku."Kamu, Tik. Masuklah," kata Mbak Riska."Ma-maaf, Mbak. Aku langgsung masuk begini," kataku dengan gugup. Detak jantung pun mulai tak beraturan."Nggak apa-apa, Tik," jawab Mbak Riska.Mas Ifan langsung berdiri dan berjalan ke arahku."Apa ini Tik, harusnya kamu nggak usah repot-repot" tanya Mas Ifan saat dia melihat ada sepiring nasi di tangan ku."Nggak apa-apa, Mas. Nggak repot, kok. Ini makan siangnya, Mbak Riska," kataku sambil menyodorkan piring pada Mas Ifan.Aku langsung berbalik hendak buru-buru keluar dari kamar itu."Makasih, ya, Tik," kata Mas Ifan.Aku menoleh dan melihat senyum tulus tersungging di bibir Mas Ifan."Iya." Aku mengangguk, lalu menutup pintu meninggalkan mereka berdua.Selesai makan siang, seperti biasa, kubereskan semua makanan yang ada di meja, karena Mas Ifan sama sekali tak keluar dari kamar untuk makan siang.Begitu pun saat makan malam, Mas Ifan tak keluar untuk makan malam. Hanya aku yang ke kamar Mbak Riska untuk mengantar makan malamnya.Kuketuk pintu kamar itu lagi."Masuk," jawab Mas Ifan.Aku segera masuk. Kulihat mas Ifan sedang duduk di kursi menghadap ke tempat tidur tepat di samping Mbak Riska."Mas biar aku yang nyuapin Mbak Riska," kataku."Baiklah, Tik," Mas Ifan menggeser kursinya dan berdiri."Aku keluar sebentar," kata Mas Ifan. Sambil berlalu dan keluar dari kamar."Mbak makan dulu," kataku membangunkan Mbak Riska."Hhm, iya, Tik." Mbak Riska membuka mata bangun perlahan.Kubantu memperbaiki posisi duduknya. Kemudian mulai menyuapkan nasi dan lauk ke mulutnya."Makasih, ya, Tik. Maaf, Mbak merepotkanmu kali ini.""Nggak, kok, Mbak. Jangan merasa begitu" jawabku sambil terus menyuapinya."Jangan bosan, ya, Tik." Mbak Riska tertawa."Mbak ini, masih saja suka bercanda.""Kamu urus rumah dulu, ya," pintanya."Tenang aja, Mbak. Ada aku hi hi hi." Aku meringis"Urus Mas Ifan juga."Aku terdiam sejenak ..."He'em." Aku mengangguk.Selesai makan, kuberikan obat yang biasa diminum Mbak Riska, kemudian membiarkannya untuk istirahat.Aku keluar dari kamar Mbak Riska dan mendapati Mas Ifan tertidur di meja makan. Kuperhatikan wajahnya yang terlihat lelah. Kupakaikan selimut padanya dengan perlahan, takut Mas Ifan terbangun. Saat kembali ke dapur, langkahku terhenti karena Mas Ifan menarik tanganku.Aku menoleh dan kami saling memandang. Ada raut sedih di wajahnya kemudian dengan cepat dia menarik tangan dan memelukku. Ia meletakkan kepalanya tepat di perutku kemudian menangis.Kurasakan tubuhnya bergetar hebat. Karena saat ini Mas Ifan benar-benar sedang menangis.Ada perih menyeruak dari dalam hati melihatnya seperti ini. Aku tau dia takut kehilangan Mbak Riska, tapi Mas Ifan sadar dia tak mampu berbuat apa-apa selain menerima ini semua.Aku letakkan kembali piring yang hendak kubawa ke dapur, lalu perlahan membelai kepalanya.Ya Rabb ....Tak kuasa menahan tangis, air mataku pun tumpah. Sambil terus mengusap kepalanya. Aku tak tau Apa yang harus kulakukan. Aku bingung. Haruskah aku bahagia? Atau sebaliknya? Yang kutau saat ini, hatiku sakit melihatnya seperti ini.***BersambungTerima kasih buat teman-teman yang sudah mampir. Sehat selalu buat kalian semua. 🙏Kubiarkan Mas Ifan menangis sepuasnya, sambil terus kuusap kepalanya. Tak lama dia mulai terdiam kemudian melepaskan pelukan."Maafkan aku, Tik," ucapnya sambil menghapus air mata."Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti, kok," jawabku."Terima kasih," ucap Mas Ifan dengan tersenyum."Sama-sama, Mas," "Istirahatlah, Tik. Kau pasti capek seharian ngurus rumah. Aku masuk duluan, ya.”"Mas nggak makan dulu?" "Nggak, Tik. Makasih." "Ya udah, Mas istirahat juga." "He'em," jawabnya singkat.Mas Ifan beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan perlahan dan menghilang di balik pintu kamarnya dan Mbak Riska.Aku terdiam sejenak, kemudian lanjut mencuci sedikit piring kotor di dapur. Setelah semua beres, aku langsung masuk ke kamar, berwudhu dan kemudian melaksanakan sholat Isya .Setelah itu, seperti biasa aku merebahkan kepala di atas bantal, dan mulai berpikir, malam ini memang giliran Mas Ifan tidur bersama Mbak Riska, aah ... apa aku cemburu? Ya, itu wajar, karena mencintai tanpa rasa cemburu
Selesai makan malam, kami kembali ke kamar masing-masing. Aku terus memikirkan bagaimana nasibku, saat berada di rumah Ibu Mas Ifan nanti. Asik melamun aku sampai lupa, jika malam ini giliran Mas Ifan, tidur di kamarku"Ehem." Ternyata Mas Ifan, sudah berada tepat di samping ku. Aku kaget dan buru-buru bangun."Mas Ifan! Kok, aku nggak liat Mas, masuk?" tanyaku."Bagaimana mau lihat Tik, kamu sibuk melamun," "Ada apa, Tik? Aku perhatikan, kamu banyak melamun." tanya Mas Ifan."Nggak ada apa apa, Mas." "Kamu nggak mau cerita, sama aku?" Mas Ifan terus memandangku. Menunggu agar aku mau menceritakan, kegundahan hati."Ya, sudah kalau memang nggak mau cerita," kata Mas Ifan. Sambil merapikan bantalnya."Mas, besok aku di rumah aja ya, aku nggak ikut ke rumah ibu," ucapku.Mas ifan mengurungkan niatnya untuk berbaring, lalu duduk kembali dan menatapku."Jadi ini, yang membuatmu resah, Tik?""He'em," aku mengangguk."Nggak bisa Tik. Kamu harus ikut, kamu kan juga istriku." "Jangan k
Selesai sholat subuh, aku putuskan untuk tidur lagi. Mataku masih sangat mengantuk, karrna sejak datang kemarin hingga larut malam, aku membantu ibu-ibu di dapur.Sekitar pukul 07.00, aku terbangun kaget dan buru-buru mandi. Setelahnya aku kembali bergabung dengan para ibu-ibu di dapur. Kukerjakan semuanya yang aku bisa. Ikut berbaur dengan ibu-ibu di dapur sedikit membuatku melupakan respon dingin ibu terhadapku. Tak terasa hari sudah siang dan semua ibu-ibu bergegas untuk makan siang dan beristirahat sejenak. Nduk, ayo makan, dulu," kata seorang Ibu di dapur. sepertinya dia heran, melihatku tidak ikut makan."Iya, Bude. Bude, duluan saja." "Makan dulu, nanti lanjut lagi kerjanya." "Iya, bude." Aku mengalah.Kemudian mendekat ke meja makan hendak menyendok nasi. Tiba-tiba Ibu memanggilku."Tik ... Tika, kamu gimana sih, itu si Riska mau minum obat, Ifan juga belum makan siang, kamu urusin dululah ... habis itu baru kamu lanjut makan," Ibu berteriak di pintu dapur."Iya, Bu." jaw
Mas Ifan menenteng tas pakaianku, saat berjalan melewati ruang makan, Tiba-tiba terdengar suara cempreng Ibu memanggilnya."Fan!" panggil Ibu. Keningnya berkerut, melihat Mas Ifan menenteng tas pakaian."Loh, kamu mau kemana?" tanya Ibu."Ifan mau antar Tika pulang ke Bandung, Bu," jawab Mas Ifan."Loh, emang nya kenapa lagi kamu Tik?" tanya Ibu sambil melotot ke arahku."Ibu kan nggak mau kalau orang-orang tau kalau Tika ini istri kedua ku. Jadi, biar Ifan antar dia pulang." "Jadi kamu tersinggung Tik, dengan ucapan ibu?" Ibu bertanya sambil melotot kepadaku.Aku hanya menunduk. Ingin marah tapi ku tahan, karena biar bagaimana pun Ibu adalah mertuaku. "Lha terus, Riska gimana, Fan?" tanya Ibu."Aku tetap disini, Bu." jawab Mbak Riska "Ya, sudah, aku pamit Bu,Ris," pamit Mas Ifan sambil menyalami Ibu."Ya, sudah, habis itu langsung balik kemari ya, besok akad nikahnya jam sembilan," kata Ibu ketus.Mas Ifan melirik ke arahku. Aku mengangguk."Nggak, Bu. Malam ini Ifan nginap. Beso
Mas Ifan membuka matanya, kemudian tersenyum. Kami saling menatap. Mas Ifan mendekatkan wajahnya, refleks aku meremas gaun tidur dan menutup kedua mataku. Kurasakan bibirnya menyentuh telingaku dan berbisik."Sholat dulu, yuk," bisiknya lalu tersenyum geli melihatku. Aku bengong dengan kening berkerut."Aku sudah sholat isya kok, Mas," jawabku bego."Hahaha ...," Mas Ifan tertawa renyah.Kemudian kembali mendekat dan berbisik."Sholat dua rakaat, sayang," bisiknya lembut, kemudian tersenyum sambil berlalu ke kamar mandi. "Ya Allah ...," ucapku lirih sambil menutup wajah dengan kedua tanganku. Malunya ....Kami melaksanakan sholat dua rakaat. Ini sholat pertamaku bersamanya. Setelah sholat. aku menyalami Mas Ifan mencium tangannya penuh takzim. Dan kembali merasa gugup setelahnya. Kali ini benar-benar gugup sampai bingung harus berbuat apa. Melipat mukena yang biasanya hanya tergantung di dinding. Kemudian berjalan menuju lemari dan menyimpannya. Saat berbalik, kulihat Mas Ifan s
Pemuda berlesung pipi itu mengerutkan keningnya sambil memperhatikanku dari puncak kepala hingga ke ujung kaki."Terus, kamu siapanya dong? Nggak mungkin kamu istrinya. Istrinya kan, Mbak Riska," tanyanya lagi. Astaga ... kurang asem ini orang, dia pikir aku adiknya Mas Ifan?"Ayo ... buruan bayar. Masih banyak nih, pesanan yang mau diantar," omelnya mengagetkanku."Berapa?" tanyaku."Dua puluh lima ribu," jawabnya ketus.Kurogoh saku celanaku, hanya ada uang dua puluh ribu disana. Seingatku, di dompet pun kosong, karena belum sempat ke ATM buat narik lagi."Em, ini." kusodorkan selembar dua puluh ribuan."Uangnya kurang." "Tapi, aku cuma pegang uang segitu, besok sisanya, ya?" pintaku."Ya, sudahlah. Kamu berutang lima ribu, ya?" Lain kali aja aku kemari lagi. Salam sama Mas Ifan." Aku langsung berlari ke kamar, dan mengambil ponselku. Kucari nomor Mas Ifan dan menelpon nya."Assalamualaikum," suara Mas Ifan terdengar di seberang sana."Wa'alaikumsalam warohmatullah." jawabku."
Bahan makanan di kulkas sudah kosong. Terus mau makan apa nanti malam. Aku segera berganti pakaian, celana jeans hitam, atasan kaos lengan panjang berwarna cream dan jilbab langsung, hitam polos sebatas dada. Setelah belanja, aku merasa malas untuk balik ke rumah. Jam baru menunjukkan pukul empat lewat tiga puluh menit. Aku putuskan mampir di kedai yang ada di seberang jalan.Sampai di kedai kuambil tempat duduk persis menghadap ke jalan, agar bisa melihat lalu lalang kendaraan yang lewat. Kiranya bisa sedikit mengusir kebosanan. Tak sampai lima menit pesanan pun datang, Aku mulai sibuk dengan ponsel dan menyeruput minumanku. Sebelum akhirnya di kagetkan oleh sebuah suara, yang sudah tak asing lagi bagiku."Assalamualaikum, cantik!" ucap suara tersebut."Wa'alaikumsalam, warohmatullah," hampir saja aku keselek."Sendirian aja," ucapnya, langsung duduk di kursi yang ada di depanku."Kamu buntutin aku, ya?" tanyaku menatapnya penuh selidik."Enak aja. Kamu suudzon terus sih, sama aku.
Kenapa? Aku nggak kenapa-kenapa, kok," jawabku semakin gugup."Kamu yakin?" tanyanya lagi. Kali ini aku bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku."He'em," aku gugup.Sedetik kemudian Aku meremas handuk dan menutup mata, meresapi kecupan hangat Mas Ifan di keningku. Setelah itu Mas Ifan kembali menatapku sambil tersenyum nakal, lalu berjalan melewati ku, namun sebelum itu di tariknya handuk yang sedang melingkar di tubuhku tepat di bagian dada dan ..."Mas Ifan!" Aku berteriak kaget sambil menahan handuk yang hampir terlepas dari tubuhku. Untung saja tidak melorot ke lantai."Hahaha ...." Mas Ifan tertawa sambil berlari ke arah kamar mandi. Membuka pintu lalu berbalik ke arahku."Satu kosong!" ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya."Mas Ifan!" Aku menarik selembar baju dari atas ranjang dan melemparkannya ke arah Mas Ifan. "Eits, nggak kena," Mas Ifan mengelak lalu masuk ke kamar mandi sambil tertawa lepas."Ya Allah, dasar Mas Ifan," ucapku tersipu malu.Aku buru-buru berpak
Aku benar-benar penasaran, sudah tak sabar rasanya ingin segera menanyakan kebenaran obat yang baru saja aku temukan di laci nakas pada pihak apotek, obat apa ini sebenarnya.Selain obat, aku juga menemukan sebuah wadah yang berisi bubuk yang aku yakin itu adalah susu, di dalam laci mejanya, tapi susu apa?Ah ... Tika? Apa yang kau sembunyikan dariku.Hampir satu jam menunggu. Aku bersyukur, akhirnya apotek pun buka. Aku segera menghampiri petugas yang masih sibuk beberes."Permisi, Mbak," ucapku."Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya."Maaf, saya datang sepagi ini, cuma mau nanya, Ini obat apa ya, Mbak?" tanyaku tak sabar, sambil menunjukkan obat yang aku temukan di laci."Coba saya, liat." Jantungku berdebar kencang, menunggu penjelasan darinya."Oo ini vitamin Pak. Biasanya, di konsumsi oleh wanita yang sedang hamil atau wanita yang sedang program hamil.""Oh, jadi, ini, vitamin?" tanyaku memastikan."Iya, pak.""Berarti yang mengkonsumsi obat ini, kemungkinan sekarang di
Mendengar ucapan Yuda barusan benar-benar membuatku jantungku hampir copotAh ... Tika! Itu pertanyaan bodoh! Harusnya aku sudah tahu jawabannya. Benar kata Ibu."Udah ah, bercandanya, aku masuk dulu," ucapku menghindar. "Aku tidak sedang bercanda!" ucapnya menghalangi jalanku.Langkahku terhenti."Kendalikan dirimu, Yud! Apa kamu lupa, aku udah punya suami" aku mulai marah.Yuda tersenyum."Tenang saja Tik, aku tahu batasanku. Aku hanya ingin memastikan kalau kamu benar-benar bahagia, sebelum aku kembali ke Hongkong," ucapnya.Apa? Hongkong? Jadi dia mau balik ke Hongkong? tanyaku dalam hati"Baiklah aku ke dalam dulu, tinggal sedikit lagi pekerjaanku selesai," ucapnya lagi kemudian masuk ke dalam rumah. Aku mematung di teras rumah. Yuda benar-benar menyukaiku? Jujur aku merasa risih, tapi mendengar kalau dia akan kembali ke Hongkong, membuatku sedikit lega. ***Karena kejadian tadi pagi, seharian aku mengurung diri di dalam kamar. Hanya saat makan siang aku keluar untuk makan bers
Pagi ini kami sarapan seperti biasa. Setelah sarapan, kami mulai sibuk sendiri-sendiri. Aku duduk santai di ruang tamu. Selonjoran di sofa ruang tamu, sambil membaca majalah tentang Ibu dan bayi.Tiba-tiba bel berbunyi, aku berdiri perlahan, menarik jilbab yang kuletakkan di meja lalu memakainya. Kemudian berjalan ke pintu dan membukanya."Assalamualaikum." ucap suara yang tak asing dari balik pintu."Wa'alaikumsalam warohmatullah." jawabku.Senyum manis berlesung pipi menyambutku."Hai Tik, gimana kabarmu?" "Kamu, Yud? ngapain disini?" tanyaku heran."Gimana sih, ada tamu bukannya di suruh masuk malah di interogasi," ocehnya."maaf, masuklah." ucapku."Nah, gitu dong." ucapnya cengengesan.Yuda masuk dan duduk di sofa ruang tamu. "Kamu belum jawab pertanyaanku, gimana kabarmu? Juga kehamilanmu?" tanya Yuda."Ssstttt, jangan keras-keras ngomongnya, nanti yang lain dengar," ucapku, setengah berbisik."Tik, jadi kamu benar-benar merahasiakan kehamilanmu? Kenapa?" ocehnya."Kamu nggak
Ternyata Mbak Riska sudah berdiri di ambang pintu. "Oh, ini vitamin, Mbak." Aku buru-buru berdiri menghalangi botol vitamin yang ada di atas, agar tak terlihat jelas oleh Mbak Riska. "Ada yang bisa kubantu, Mbak?" ucapku lagi sambil berjalan tertatih ke arah Mbak Riska. "Oh, nggak kok. Mau ngajak kamu nonton. Bosan cuma diam-diam aja di kamar. Pingin jalan-jalan, tapi Mas Ifan pasti nggak akan kasi izin." "Ya udah, yuk, kita nonton bareng." Aku cepat-cepat mengajak Mbak Riska pergi dari kamar. ***Kami menonton hingga terkantuk-kantuk. Karena tak kuat, akhirnya kami sudahi menonton, dan balik ke kamar masing-masing. Sampai di pintu kamar aku tertegun, terdiam tak mampu bergerak, melihat pemandangan yang ada di dalam kamar.Ibu tengah berdiri, memegang sesuatu di tangannya. Itu, vitamin khusus ibu hamil yang tadi lupa kuimpan. Gleg ! Aku menelan ludah.Aku masuk dan mengunci pintu. Saat berbalik, ibu sudah berdiri menghadapku."Obat apa ini,
Hari ini akhirnya kami bisa pulang dan makan siang di rumah. Mas Ifan meliburkan diri dari kantor agar bisa menemani kami di rumah. Mas Ifan juga pamit, untuk ke luar kota beberapa hari kedepan untuk urusan kantor. "Kamu istirahat ya, jangan lupa minum obat." kata Mas Ifan, setelah mengantarku ke kamar."He'em," aku mengangguk.Aku membuka laci dan menyembunyikan obat yang di berikan mas Ifan disana. Tak hanya itu, obat, vitamin, dan susu untuk kehamilanku pun aku sembunyikan disana. Sebenarnya aku merasa berdosa. Tapi tak lama lagi, aku akan jujur pada Mas Ifan soal kehamilanku ini. Karena Mbak Riska sudah mulai membaik. ***Menjelang makan malam, Mas Ifan membantuku untuk ke meja makan. Disana sudah ada Bapak, Ibu, dan Mbak Riska.Sebenarnya aku tak berselera karena ada sesuatu aku inginkan. Hmm .. mengingatnya membuat air liurku benar-benar mau keluar. "Tik, kok bengong, ayo di makan." tanya Mas Ifan"Eh, iya Mas." "Kenapa? masakan Ibu
Ya Allah, bagaimana ini?" ucapku panik.Aku lupa kalau kunci rumahku, ada di dompet yang baru saja dijambret. Aku berjalan tertatih, dan duduk di teras. Mengeluarkan ponsel dari saku gamis dan mulai memencet nomor Mas Ifan."Oh, aku lupa. Aku belum sempat beli pulsa tadi," ucapku lirih. Tiba-tiba sebuah mobil masuk ke halaman, mobil yang sudah tak asing lagi bagiku."Mas Ifan!" seruku.Lalu segera bangkit dan hampir saja aku terjatuh.Mas Ifan turun dari mobil, dan terkejut melihat kakiku yang di perban, sebuah tongkat yang menopang tubuhku."Ya Allah, Tika! Kamu kenapa?" tanyanya setengah berlari ke arahku."Aku di jambret Mas, aku berusaha mengejar tapi kakiku tertusuk pecahan botol di pinggir jalan,""Astagfirullahal'adzim, tapi kamu nggak apa-apa kan, Tik?" tanya Mas Ifan, sambil meraba-raba tangan dan punggung ku."Nggak apa-apa, Mas. Cuma kaki aja yang harus di jahit," jawabku."Apa dijahit?" tanya Mas Ifan panik.Mas Ifan menatapku lekat. Lalu menarikku ke dalam pelukannya."
Saat memasang aroma terapi di kamar, tiba-tiba kepala terasa pusing, perutku terasa mual. Buru-buru mencari minyak kayu putih andalanku. Kuhirup dalam-dalam sambil berjalan keluar kamar , lalu berbaring di atas sofa. Entah kenapa mualku tiba-tiba hilang, sakit kepalapun agak berkurang. Aku mulai berfikir ini pasti ada hubungannya dengan kehamilanku. Perlahan kuusap perutku."Kamu enggak suka, wangi-wangian ya, sayang?" "Hem, baiklah mulai besok mama nggak akan pakai wangi-wangian lagi, kamu senang? Jadi jangan rewel lagi, ya?" ucapku."Sepertinya aku harus selalu sedia minyak kayu putih nih?" pikirku.Tiba-tiba ponselku berdering."Ya, Mas?" jawabku."Tik, kamu nggak balik kemari?" tanya Mas Ifan di seberang sana."Kayaknya, aku tidur di rumah aja deh, Mas." "Bener?" Tanyanya lagi."Iya, Mas. nggak apa-apakan kalau malam ini, jaga Mbak Riskanya sendirian?" tanyaku."Nggak apa-apa, Tik. Tapi kamu gimana? Berani di rumah sendiri?" "In shaa Allah berani, Mas." "Ya sudah. Kalau be
Aku sedikit terburu-buru keruangan Mbak Riska. Sudah terlalu lama aku meninggalkannya.Sata sampai di depan pintu, aku mengintip sedikit ke dalam ruangan. Sudah ada Mas Ifan yang sedang menyuapi potongan buah ke mulut Mbak Riska. Aku tersenyum, saat ini aku benar-benar bahagia. Ingin rasanya membagi kebahagiaan ini dengan Mas Ifan. Tapi aku tahu, ini bukan saat yang tepat. Mbak Riska baru saja pulih dari sakitnya, aku takut kehamilan ini akan membuatnya drop lagi. Sama sekali tidak meragukan ketulusannya, bahkan mungkin dia satu-satunya wanita yang sangat tulus, karena mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Tapi sekuat apapun wanita, rasa cemburu selalu mampu melemahkannya. "Tik, kenapa berdiri disitu?." panggil Mbak Riska membuatku gelagapan."Iya, Mbak," Aku mendekat dan duduk di tepi ranjangnya."Tadi, Dokter bilang, besok aku sudah boleh pulang." jelas Mbak Riska."Waah, benarkah Mbak?" tanyaku tak percaya."He'em Tik, benerkan Mas?" Mbak Riska meyakinkanku."Bener Tik, jadi
Mood yang berantakan membuatku jadi lapar lagi. Akhirnya kuputuskan mampir di warung bubur ayam di sebeeang jalan depan Rumah Sakit. "Aah!" teriakkan seseorang meganggu konsentrasi saat sedang menikmati bubur ayam. Seorang wanita yang lagi-lagi tidak asing sedang meringis kesakitan memegangi tangannya yang tersiram bubur oleh pelanggan lain."Oh, maaf Mbak, saya tidak sengaja," "Pelan-pelan dong, Mas." Tika mengomel pada pelangggan itu.Aku terSmsenyum sinis. Meraih tisu dan berjalan mendekatinya"Apa itu, sakit?" kuberikan tisu sambil menatapnya.Tika tak menjawab. "Kau dengar, tapi pura-pura tak mendengar. Sepertinya berpura-pura sudah jadi kebiasaanmu," ucapku lagi."Kamu ngomong apa, sih!" Dia mulai terpancing."Berhenti berpura-pura peduli pada madumu, aku tahu kau pasti senang melihatnya seperti sekarang ini," Aku terkekeh. "Diamlah, Yud. Sudah kubilang kamu nggak tahu apa-apa, jadi berhenti menuduhku! Napasnya mulai tersengal, mungkin ucapanku melukainya. Aku tak peduli."K