Selesai makan malam, kami kembali ke kamar masing-masing. Aku terus memikirkan bagaimana nasibku, saat berada di rumah Ibu Mas Ifan nanti. Asik melamun aku sampai lupa, jika malam ini giliran Mas Ifan, tidur di kamarku
"Ehem."Ternyata Mas Ifan, sudah berada tepat di samping ku. Aku kaget dan buru-buru bangun."Mas Ifan! Kok, aku nggak liat Mas, masuk?" tanyaku."Bagaimana mau lihat Tik, kamu sibuk melamun,""Ada apa, Tik? Aku perhatikan, kamu banyak melamun." tanya Mas Ifan."Nggak ada apa apa, Mas.""Kamu nggak mau cerita, sama aku?"Mas Ifan terus memandangku. Menunggu agar aku mau menceritakan, kegundahan hati."Ya, sudah kalau memang nggak mau cerita," kata Mas Ifan. Sambil merapikan bantalnya."Mas, besok aku di rumah aja ya, aku nggak ikut ke rumah ibu," ucapku.Mas ifan mengurungkan niatnya untuk berbaring, lalu duduk kembali dan menatapku."Jadi ini, yang membuatmu resah, Tik?""He'em," aku mengangguk."Nggak bisa Tik. Kamu harus ikut, kamu kan juga istriku.""Jangan khawatir Tik, semua akan baik-baik saja."Mas Ifan masih saja menatapku, kali ini aku merasa ada sesuatu yang hendak dia katakan."Istrahatlah, Mas." kataku, mendahului nya. Aku tau, Mas Ifan hendak mengatakan, bahwa dia belum siap menunaikan kewajiban nya malam ini. Dan benar saja, Mas Ifan langsung menunduk, lalu memegang tanganku."Maafkan aku Tik, aku butuh waktu," ucapnya, sambil tetap menunduk."Tidak apa-apa Mas. Ambil waktu sebanyak yang Mas mau," jawabku sambil tersenyum."Makasih, Tik."Malam ini, kami tidur dengan saling berhadapan. Mas Ifan terus menggenggam tanganku, sampai tertidur pulas. Sementara aku, masih terus gelisah membayangkan bagaimana nasibku besok. ***Pagi ini seperti biasa, aku menyiapkan sarapan dan Mas Ifan mengerjakan yang lainnya. Selesai sarapan, kami segera bersiap untuk pergi ke rumah Ibu. Ada sesuatu yang membuatku berbunga-bunga, hari ini. Mas Ifan membelikan sepasang gamis gamis dan jilbab untukku.“Di pakai sekarang, ya?" pinta Mas Ifan, saat menyerahkan gamis padaku.Kubuka plastik yang membungkus baju pemberian Mas Ifan. Sebuah gamis berwarna biru muda, lengkap dengan jilbab segi empat berwarna senada, dengan bis berwarna putih di pinggirnya. Aku tersenyum penuh haru. Ternyata benar, Mas Ifan masih ingat warna favoritku “Tapi aku tidak terbiasa memakai jilbab segiempat, bisa seharian nih, di depan cermin." ucapku lirih. Sambil mengenakan gamis pemberian Mas Ifan."Tik,Tika!" Mbak Riska memanggil dari depan pintu kamarku.“Iya, Mbak.""Loh ... kok, belum siap?""Mbak, aku nggak bisa pakai jilbab seperti ini," ucapku, sambil menunjukkan jilbab pemberian Mas Ifan."Ya ampun ... ya, sudah sini aku, bantu."Kami mulai sibuk di depan cermin. Mbak Riska memang jago untuk urusan tutorial hijab. Walaupun dulu, dia paling malas kalau harus keluar rumah, mengenakan jilbab. Namun saat ini, Mba Riska sudah lebih dulu berhijab. Sedangkan aku, masih harus banyak belajar darinya. Tak butuh waktu lama. Jilbab pemberian Mas Ifan, sudah terpasang rapi di kepalaku."Ya Allah, kenapa aku terlihat berbeda dengan jilbab seperti ini," ucapku dalam hati."Masya Allah ... kamu terlihat beda Tik, terlihat lebih dewasa dan tambah cantik tentunya," puji Mbak Riska."Ah, Mbak bisa aja." Aku tersipu."Iya, besok-besok belajar pakai sendiri, ya?" "Siap, Mbak." jawabku sambil memeluknya."Ya sudah, Mbak tunggu di mobil.""Oke."Aku keluar dengan menenteng sebuah tas pakaian di tangan kanan , dan sebuah tas berukuran sedang di pundak kiriku. Tiba di teras depan, aku di sambut dengan pandangan takjub Mas Ifan yang sedari tadi sudah berdiri di teras. Sementara Mbak Riska sudah duduk di dalam mobil. Mas Ifan terus saja memandangiku, dari ujung kaki ke ujung kepala. Kemudian tersenyum sambil berjalan ke arahku.Deg!Jantung ku berdebar kencang.Ya Allah kok jadi deg-degan gini, yaMas Ifan berjalan melewatiku. Mengunci pintu, kemudian mengambil tas pakaian yang ada di tanganku."Masuklah ke mobil Tik, Mas simpan tas mu di bagasi, ya."Ya Allah ... terpesona aku melihat senyum nya. Entah mengapa hari inipun Mas Ifan terlihat berbeda. Apa karena hari ini, dia memakai baju berwarna senada, dengan baju yang kukenakan? Entahlah, yang pasti, aku bahagia hari ini. ***Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu kurang lebih satu jam dari kota Bandung, kami tiba di sebuah rumah yang juga lumayan besar menurutku. Tenda biru sudah terpasang rapi di halamannya.Mas Ifan memarkir mobilnya, kemudian turun menyiapkan kursi roda untuk Mbak Riska. Dan seperti biasa, Mas Ifan menggendong Mbak Riska dan mendudukkannya, di kursi roda."Eee ... kalian sudah sampai," suara cempreng Ibu Mas Ifan sudah menyambut kami di teras."Assalamualaikum," ucap Mas Ifan."Wa'alaikumsalam," jawab ibu sambil memeluk Mas Ifan."Bu," Mbak Riska pun menyalami Ibu. Ibu menyambutnya dengan pelukkan hangat."Ris, bagaimana keadaanmu?" tanya Ibu."Sudah agak mendingan, Bu."Aku maju hendak menyalami ibu."Bu ...," panggilku, dengan menyalami tangannya. Belum sempat hidungku menyentuh telapak tangannya, Ibu sudah menarik tangannya."Iya, iya," ucapnya dengan tatapan tak senang.Sudah kuduga, tak ada pelukan hangat untukku. Bahkan tersenyum untukku pun tidak. Aku menunduk terdiam kemudian menarik napas panjang. Mencoba menetralisir rasa sedihku."Ayo masuk," ajak ibu sambil mendorong kursi roda Mbak Riska.Aku masih mematung. Dan kaget, saat Mas Ifan menyentuh pergelangan tanganku. Aku menoleh ke arahnya, Mas Ifan hanya tersenyum, kemudian dan mengajakku masuk."Mas Ifan!" Ratna, adik perempuan mas Ifan berlarian memeluk Mas Ifan."Duh! Calon pengantin, wajahnya berseri -seri," ledek Mas Ifan."Ah, Mas ini," jawab Ratna tersipu."Mbak Ris," Ratna pun memeluk Mbak Riska.Kemudian Ratna berjalan ke arahku, menyalami dan mencium tanganku."Gimana kabar mu, Mbak?" Ratna tersenyum padaku."Eh, baik, Nduk," jawabku gugup, tak menyangka Ratna menyambutku dengan hangat."Mbak, cantik," puji Ratna."Em, kamu juga cantik, Nduk."Setelah saling melepas rindu, kami diajak masuk ke ruang keluarga menemui Bapak yang sedang santai menonton televisi."Pak," panggil Mas Ifan sambil menyalami bapak."Oalah sudah sampai kamu Fan?" tanya Bapak."Iya, Pak. Baru saja sampai.”"Pak," Mbak Riska juga menyalami Bapak."Bapak, sehat?" tanya Mbak Riska."Alhamdulillah Nduk, Bapak sehat. Kamu gimana kabarnya," tanya bapak."Alhamdulillah, Pak, Riska sudah baikan," jawab Mbak Riska."Loh, istrimu yang satunya lagi, sapa itu namanya, kok nggak ikut?" tanya Bapak."Tika, pak," jawab Mas Ifan, sambil tersenyum menarikku kesebelahnya."Pak," panggilku, seraya menyalaminya."Oh, iya, sehat kamu, Nduk?" tanya Bapak."Sehat Pak, alhamdulillah," jawabku dengan mata berkaca kaca, ternyata Bapak pun sama hangatnya seperti Ratna." Alhamdulillah." ucapnya, sambil tersenyum."Ya sudah, kalian istirahat ya. Sini Ibu antar ke kamar mu Ri,s" ucap Ibu, sambil mendorong kursi roda Mbak Riska."Nah, seperti biasa ini kamar mu sama Ifan, udah Ibu bersihkan.""Makasih, Bu," ucap Mbak Riska"Ya, sudah, kamu istirahat Ris, kamu juga Tik," kata Mas Ifan sambil menoleh ke arahku."Eh, eh ... kamu gimana sih Fan, ini kamar kamu sama Riska, kenapa Tika juga masuk?" kata Ibu, dengan nada tak suka."Nggak, Bu. Biar mereka berdua tidur di kamar ini," kata Mas Ifan."Halah, ngga boleh begitu to, suami istri kok tidurnya pisah-pisah ki piye," omel Ibu."Tapi, Bu," ucap Mas Ifan."Halah ngga ada tapi-tapian, kamu tidur disini, biar si Tika tidur bareng Ratna. Ijabnya masih besok juga to?" jawab Ibu lagi.Mas Ifan hendak membantah, tapi segera kucegah."Nggak, apa-apa Mas. Aku tidur di kamar Ratna aja,""Ayo, Mbak. Aku antar ke kamar," ajak Ratna sambil menarik tanganku."Makasih, Na," ucapku.Suasana rumah bertambah ramai dengan keluarga besar Mas Ifan. Aku masih berdiam di kamar,, sampai suara ibu mertua dari balik pintu mengagetkanku. ~ BersambungSelesai sholat subuh, aku putuskan untuk tidur lagi. Mataku masih sangat mengantuk, karrna sejak datang kemarin hingga larut malam, aku membantu ibu-ibu di dapur.Sekitar pukul 07.00, aku terbangun kaget dan buru-buru mandi. Setelahnya aku kembali bergabung dengan para ibu-ibu di dapur. Kukerjakan semuanya yang aku bisa. Ikut berbaur dengan ibu-ibu di dapur sedikit membuatku melupakan respon dingin ibu terhadapku. Tak terasa hari sudah siang dan semua ibu-ibu bergegas untuk makan siang dan beristirahat sejenak. Nduk, ayo makan, dulu," kata seorang Ibu di dapur. sepertinya dia heran, melihatku tidak ikut makan."Iya, Bude. Bude, duluan saja." "Makan dulu, nanti lanjut lagi kerjanya." "Iya, bude." Aku mengalah.Kemudian mendekat ke meja makan hendak menyendok nasi. Tiba-tiba Ibu memanggilku."Tik ... Tika, kamu gimana sih, itu si Riska mau minum obat, Ifan juga belum makan siang, kamu urusin dululah ... habis itu baru kamu lanjut makan," Ibu berteriak di pintu dapur."Iya, Bu." jaw
Mas Ifan menenteng tas pakaianku, saat berjalan melewati ruang makan, Tiba-tiba terdengar suara cempreng Ibu memanggilnya."Fan!" panggil Ibu. Keningnya berkerut, melihat Mas Ifan menenteng tas pakaian."Loh, kamu mau kemana?" tanya Ibu."Ifan mau antar Tika pulang ke Bandung, Bu," jawab Mas Ifan."Loh, emang nya kenapa lagi kamu Tik?" tanya Ibu sambil melotot ke arahku."Ibu kan nggak mau kalau orang-orang tau kalau Tika ini istri kedua ku. Jadi, biar Ifan antar dia pulang." "Jadi kamu tersinggung Tik, dengan ucapan ibu?" Ibu bertanya sambil melotot kepadaku.Aku hanya menunduk. Ingin marah tapi ku tahan, karena biar bagaimana pun Ibu adalah mertuaku. "Lha terus, Riska gimana, Fan?" tanya Ibu."Aku tetap disini, Bu." jawab Mbak Riska "Ya, sudah, aku pamit Bu,Ris," pamit Mas Ifan sambil menyalami Ibu."Ya, sudah, habis itu langsung balik kemari ya, besok akad nikahnya jam sembilan," kata Ibu ketus.Mas Ifan melirik ke arahku. Aku mengangguk."Nggak, Bu. Malam ini Ifan nginap. Beso
Mas Ifan membuka matanya, kemudian tersenyum. Kami saling menatap. Mas Ifan mendekatkan wajahnya, refleks aku meremas gaun tidur dan menutup kedua mataku. Kurasakan bibirnya menyentuh telingaku dan berbisik."Sholat dulu, yuk," bisiknya lalu tersenyum geli melihatku. Aku bengong dengan kening berkerut."Aku sudah sholat isya kok, Mas," jawabku bego."Hahaha ...," Mas Ifan tertawa renyah.Kemudian kembali mendekat dan berbisik."Sholat dua rakaat, sayang," bisiknya lembut, kemudian tersenyum sambil berlalu ke kamar mandi. "Ya Allah ...," ucapku lirih sambil menutup wajah dengan kedua tanganku. Malunya ....Kami melaksanakan sholat dua rakaat. Ini sholat pertamaku bersamanya. Setelah sholat. aku menyalami Mas Ifan mencium tangannya penuh takzim. Dan kembali merasa gugup setelahnya. Kali ini benar-benar gugup sampai bingung harus berbuat apa. Melipat mukena yang biasanya hanya tergantung di dinding. Kemudian berjalan menuju lemari dan menyimpannya. Saat berbalik, kulihat Mas Ifan s
Pemuda berlesung pipi itu mengerutkan keningnya sambil memperhatikanku dari puncak kepala hingga ke ujung kaki."Terus, kamu siapanya dong? Nggak mungkin kamu istrinya. Istrinya kan, Mbak Riska," tanyanya lagi. Astaga ... kurang asem ini orang, dia pikir aku adiknya Mas Ifan?"Ayo ... buruan bayar. Masih banyak nih, pesanan yang mau diantar," omelnya mengagetkanku."Berapa?" tanyaku."Dua puluh lima ribu," jawabnya ketus.Kurogoh saku celanaku, hanya ada uang dua puluh ribu disana. Seingatku, di dompet pun kosong, karena belum sempat ke ATM buat narik lagi."Em, ini." kusodorkan selembar dua puluh ribuan."Uangnya kurang." "Tapi, aku cuma pegang uang segitu, besok sisanya, ya?" pintaku."Ya, sudahlah. Kamu berutang lima ribu, ya?" Lain kali aja aku kemari lagi. Salam sama Mas Ifan." Aku langsung berlari ke kamar, dan mengambil ponselku. Kucari nomor Mas Ifan dan menelpon nya."Assalamualaikum," suara Mas Ifan terdengar di seberang sana."Wa'alaikumsalam warohmatullah." jawabku."
Bahan makanan di kulkas sudah kosong. Terus mau makan apa nanti malam. Aku segera berganti pakaian, celana jeans hitam, atasan kaos lengan panjang berwarna cream dan jilbab langsung, hitam polos sebatas dada. Setelah belanja, aku merasa malas untuk balik ke rumah. Jam baru menunjukkan pukul empat lewat tiga puluh menit. Aku putuskan mampir di kedai yang ada di seberang jalan.Sampai di kedai kuambil tempat duduk persis menghadap ke jalan, agar bisa melihat lalu lalang kendaraan yang lewat. Kiranya bisa sedikit mengusir kebosanan. Tak sampai lima menit pesanan pun datang, Aku mulai sibuk dengan ponsel dan menyeruput minumanku. Sebelum akhirnya di kagetkan oleh sebuah suara, yang sudah tak asing lagi bagiku."Assalamualaikum, cantik!" ucap suara tersebut."Wa'alaikumsalam, warohmatullah," hampir saja aku keselek."Sendirian aja," ucapnya, langsung duduk di kursi yang ada di depanku."Kamu buntutin aku, ya?" tanyaku menatapnya penuh selidik."Enak aja. Kamu suudzon terus sih, sama aku.
Kenapa? Aku nggak kenapa-kenapa, kok," jawabku semakin gugup."Kamu yakin?" tanyanya lagi. Kali ini aku bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku."He'em," aku gugup.Sedetik kemudian Aku meremas handuk dan menutup mata, meresapi kecupan hangat Mas Ifan di keningku. Setelah itu Mas Ifan kembali menatapku sambil tersenyum nakal, lalu berjalan melewati ku, namun sebelum itu di tariknya handuk yang sedang melingkar di tubuhku tepat di bagian dada dan ..."Mas Ifan!" Aku berteriak kaget sambil menahan handuk yang hampir terlepas dari tubuhku. Untung saja tidak melorot ke lantai."Hahaha ...." Mas Ifan tertawa sambil berlari ke arah kamar mandi. Membuka pintu lalu berbalik ke arahku."Satu kosong!" ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya."Mas Ifan!" Aku menarik selembar baju dari atas ranjang dan melemparkannya ke arah Mas Ifan. "Eits, nggak kena," Mas Ifan mengelak lalu masuk ke kamar mandi sambil tertawa lepas."Ya Allah, dasar Mas Ifan," ucapku tersipu malu.Aku buru-buru berpak
"Minggir! Kalau kamu nggak minggir, aku teriak sekarang!" kataku dengan nada suara mulai meninggi."Siapa, namamu?" tanyanya sambil menatapku lembut."Minggir!" kataku lagi, tak menghiraukan ucapannya."Jawab dulu," pintanya dengan kening berkerut."Nggak!" aku melotot ke arahnya."Please ...." pintanya lagi, dengan wajah memelas.Aku menatapnya dengan tatapan penuh amarah. "Ok-ok, mungkin ini bukan hari keberuntunganku," kata Yuda lalu menarik kedua tangannya dari tembok."Pergilah ...," ucapnya sambil tersenyum hangat.Aku berlari secepat mungkin. Agar dia tak bisa menghadangku lagi, dalam hati mengutuk kejadian hari ini. Kenapa harus ketemu sama si modus itu lagi. Aku benar-benar takut kalau dia sampai berbuat macam-macam padaku di toilet tadi."Tik! kamu nggak, apa-apa, kan?" tiba-tiba Mas Ifan sudah ada di depan ku, mungkin dia khawatir karena itu dia menyusulku."Eh, nggak kok, Mas. Aku hanya merasa nggak enak badan." "Oh, kalau begitu kamu habiskan makan mu dulu, setelah itu
Pagi ini, setelah Mas Ifan berangkat ke kantor, aku dan Mbak Riska menjalani rutinitas kami seperti biasa. Menjelang siang aku mulai gelisah. Sama sekali tak bergairah karena mengingat makan siang hari ini, akan ke tempat si modus Yuda. Aku berharap makan siang kali ini batal."Yah, Tik. Mas Ifan nggak bisa pulang makan siang. Ada urusan mendadak katanya," Hah, doaku terkabul, Alhamdulillah ...."Yah ... batal dong Mbak, makan siang di warung Bu, Nunik," aku pura-pura sedih."Padahal Mbak lagi pengen banget, Tik." kata Mbak Riska."Oh, iya. Aku telfon aja si Yuda, biar dia yang antar ayam bakarnya kemari.""Terserah Mbak aja," kataku. Setidaknya kalau dia kemari aku bisa menghindar, biar Mbak Riska yang terima pesanannya."Tik! Mbak keluar sebentar, ya," teriak Mbak Riska dari arah dapur.Terlihat dia sudah berganti pakaian yang lebih tertutup."Iya, Mbak.""Nanti, kalau Yuda datang kamu terima dulu ya, pesanannya. Uangnya di atas kulkas." kata Mbak Riska lagi. Lah, kok aku sih?
Aku benar-benar penasaran, sudah tak sabar rasanya ingin segera menanyakan kebenaran obat yang baru saja aku temukan di laci nakas pada pihak apotek, obat apa ini sebenarnya.Selain obat, aku juga menemukan sebuah wadah yang berisi bubuk yang aku yakin itu adalah susu, di dalam laci mejanya, tapi susu apa?Ah ... Tika? Apa yang kau sembunyikan dariku.Hampir satu jam menunggu. Aku bersyukur, akhirnya apotek pun buka. Aku segera menghampiri petugas yang masih sibuk beberes."Permisi, Mbak," ucapku."Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya."Maaf, saya datang sepagi ini, cuma mau nanya, Ini obat apa ya, Mbak?" tanyaku tak sabar, sambil menunjukkan obat yang aku temukan di laci."Coba saya, liat." Jantungku berdebar kencang, menunggu penjelasan darinya."Oo ini vitamin Pak. Biasanya, di konsumsi oleh wanita yang sedang hamil atau wanita yang sedang program hamil.""Oh, jadi, ini, vitamin?" tanyaku memastikan."Iya, pak.""Berarti yang mengkonsumsi obat ini, kemungkinan sekarang di
Mendengar ucapan Yuda barusan benar-benar membuatku jantungku hampir copotAh ... Tika! Itu pertanyaan bodoh! Harusnya aku sudah tahu jawabannya. Benar kata Ibu."Udah ah, bercandanya, aku masuk dulu," ucapku menghindar. "Aku tidak sedang bercanda!" ucapnya menghalangi jalanku.Langkahku terhenti."Kendalikan dirimu, Yud! Apa kamu lupa, aku udah punya suami" aku mulai marah.Yuda tersenyum."Tenang saja Tik, aku tahu batasanku. Aku hanya ingin memastikan kalau kamu benar-benar bahagia, sebelum aku kembali ke Hongkong," ucapnya.Apa? Hongkong? Jadi dia mau balik ke Hongkong? tanyaku dalam hati"Baiklah aku ke dalam dulu, tinggal sedikit lagi pekerjaanku selesai," ucapnya lagi kemudian masuk ke dalam rumah. Aku mematung di teras rumah. Yuda benar-benar menyukaiku? Jujur aku merasa risih, tapi mendengar kalau dia akan kembali ke Hongkong, membuatku sedikit lega. ***Karena kejadian tadi pagi, seharian aku mengurung diri di dalam kamar. Hanya saat makan siang aku keluar untuk makan bers
Pagi ini kami sarapan seperti biasa. Setelah sarapan, kami mulai sibuk sendiri-sendiri. Aku duduk santai di ruang tamu. Selonjoran di sofa ruang tamu, sambil membaca majalah tentang Ibu dan bayi.Tiba-tiba bel berbunyi, aku berdiri perlahan, menarik jilbab yang kuletakkan di meja lalu memakainya. Kemudian berjalan ke pintu dan membukanya."Assalamualaikum." ucap suara yang tak asing dari balik pintu."Wa'alaikumsalam warohmatullah." jawabku.Senyum manis berlesung pipi menyambutku."Hai Tik, gimana kabarmu?" "Kamu, Yud? ngapain disini?" tanyaku heran."Gimana sih, ada tamu bukannya di suruh masuk malah di interogasi," ocehnya."maaf, masuklah." ucapku."Nah, gitu dong." ucapnya cengengesan.Yuda masuk dan duduk di sofa ruang tamu. "Kamu belum jawab pertanyaanku, gimana kabarmu? Juga kehamilanmu?" tanya Yuda."Ssstttt, jangan keras-keras ngomongnya, nanti yang lain dengar," ucapku, setengah berbisik."Tik, jadi kamu benar-benar merahasiakan kehamilanmu? Kenapa?" ocehnya."Kamu nggak
Ternyata Mbak Riska sudah berdiri di ambang pintu. "Oh, ini vitamin, Mbak." Aku buru-buru berdiri menghalangi botol vitamin yang ada di atas, agar tak terlihat jelas oleh Mbak Riska. "Ada yang bisa kubantu, Mbak?" ucapku lagi sambil berjalan tertatih ke arah Mbak Riska. "Oh, nggak kok. Mau ngajak kamu nonton. Bosan cuma diam-diam aja di kamar. Pingin jalan-jalan, tapi Mas Ifan pasti nggak akan kasi izin." "Ya udah, yuk, kita nonton bareng." Aku cepat-cepat mengajak Mbak Riska pergi dari kamar. ***Kami menonton hingga terkantuk-kantuk. Karena tak kuat, akhirnya kami sudahi menonton, dan balik ke kamar masing-masing. Sampai di pintu kamar aku tertegun, terdiam tak mampu bergerak, melihat pemandangan yang ada di dalam kamar.Ibu tengah berdiri, memegang sesuatu di tangannya. Itu, vitamin khusus ibu hamil yang tadi lupa kuimpan. Gleg ! Aku menelan ludah.Aku masuk dan mengunci pintu. Saat berbalik, ibu sudah berdiri menghadapku."Obat apa ini,
Hari ini akhirnya kami bisa pulang dan makan siang di rumah. Mas Ifan meliburkan diri dari kantor agar bisa menemani kami di rumah. Mas Ifan juga pamit, untuk ke luar kota beberapa hari kedepan untuk urusan kantor. "Kamu istirahat ya, jangan lupa minum obat." kata Mas Ifan, setelah mengantarku ke kamar."He'em," aku mengangguk.Aku membuka laci dan menyembunyikan obat yang di berikan mas Ifan disana. Tak hanya itu, obat, vitamin, dan susu untuk kehamilanku pun aku sembunyikan disana. Sebenarnya aku merasa berdosa. Tapi tak lama lagi, aku akan jujur pada Mas Ifan soal kehamilanku ini. Karena Mbak Riska sudah mulai membaik. ***Menjelang makan malam, Mas Ifan membantuku untuk ke meja makan. Disana sudah ada Bapak, Ibu, dan Mbak Riska.Sebenarnya aku tak berselera karena ada sesuatu aku inginkan. Hmm .. mengingatnya membuat air liurku benar-benar mau keluar. "Tik, kok bengong, ayo di makan." tanya Mas Ifan"Eh, iya Mas." "Kenapa? masakan Ibu
Ya Allah, bagaimana ini?" ucapku panik.Aku lupa kalau kunci rumahku, ada di dompet yang baru saja dijambret. Aku berjalan tertatih, dan duduk di teras. Mengeluarkan ponsel dari saku gamis dan mulai memencet nomor Mas Ifan."Oh, aku lupa. Aku belum sempat beli pulsa tadi," ucapku lirih. Tiba-tiba sebuah mobil masuk ke halaman, mobil yang sudah tak asing lagi bagiku."Mas Ifan!" seruku.Lalu segera bangkit dan hampir saja aku terjatuh.Mas Ifan turun dari mobil, dan terkejut melihat kakiku yang di perban, sebuah tongkat yang menopang tubuhku."Ya Allah, Tika! Kamu kenapa?" tanyanya setengah berlari ke arahku."Aku di jambret Mas, aku berusaha mengejar tapi kakiku tertusuk pecahan botol di pinggir jalan,""Astagfirullahal'adzim, tapi kamu nggak apa-apa kan, Tik?" tanya Mas Ifan, sambil meraba-raba tangan dan punggung ku."Nggak apa-apa, Mas. Cuma kaki aja yang harus di jahit," jawabku."Apa dijahit?" tanya Mas Ifan panik.Mas Ifan menatapku lekat. Lalu menarikku ke dalam pelukannya."
Saat memasang aroma terapi di kamar, tiba-tiba kepala terasa pusing, perutku terasa mual. Buru-buru mencari minyak kayu putih andalanku. Kuhirup dalam-dalam sambil berjalan keluar kamar , lalu berbaring di atas sofa. Entah kenapa mualku tiba-tiba hilang, sakit kepalapun agak berkurang. Aku mulai berfikir ini pasti ada hubungannya dengan kehamilanku. Perlahan kuusap perutku."Kamu enggak suka, wangi-wangian ya, sayang?" "Hem, baiklah mulai besok mama nggak akan pakai wangi-wangian lagi, kamu senang? Jadi jangan rewel lagi, ya?" ucapku."Sepertinya aku harus selalu sedia minyak kayu putih nih?" pikirku.Tiba-tiba ponselku berdering."Ya, Mas?" jawabku."Tik, kamu nggak balik kemari?" tanya Mas Ifan di seberang sana."Kayaknya, aku tidur di rumah aja deh, Mas." "Bener?" Tanyanya lagi."Iya, Mas. nggak apa-apakan kalau malam ini, jaga Mbak Riskanya sendirian?" tanyaku."Nggak apa-apa, Tik. Tapi kamu gimana? Berani di rumah sendiri?" "In shaa Allah berani, Mas." "Ya sudah. Kalau be
Aku sedikit terburu-buru keruangan Mbak Riska. Sudah terlalu lama aku meninggalkannya.Sata sampai di depan pintu, aku mengintip sedikit ke dalam ruangan. Sudah ada Mas Ifan yang sedang menyuapi potongan buah ke mulut Mbak Riska. Aku tersenyum, saat ini aku benar-benar bahagia. Ingin rasanya membagi kebahagiaan ini dengan Mas Ifan. Tapi aku tahu, ini bukan saat yang tepat. Mbak Riska baru saja pulih dari sakitnya, aku takut kehamilan ini akan membuatnya drop lagi. Sama sekali tidak meragukan ketulusannya, bahkan mungkin dia satu-satunya wanita yang sangat tulus, karena mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Tapi sekuat apapun wanita, rasa cemburu selalu mampu melemahkannya. "Tik, kenapa berdiri disitu?." panggil Mbak Riska membuatku gelagapan."Iya, Mbak," Aku mendekat dan duduk di tepi ranjangnya."Tadi, Dokter bilang, besok aku sudah boleh pulang." jelas Mbak Riska."Waah, benarkah Mbak?" tanyaku tak percaya."He'em Tik, benerkan Mas?" Mbak Riska meyakinkanku."Bener Tik, jadi
Mood yang berantakan membuatku jadi lapar lagi. Akhirnya kuputuskan mampir di warung bubur ayam di sebeeang jalan depan Rumah Sakit. "Aah!" teriakkan seseorang meganggu konsentrasi saat sedang menikmati bubur ayam. Seorang wanita yang lagi-lagi tidak asing sedang meringis kesakitan memegangi tangannya yang tersiram bubur oleh pelanggan lain."Oh, maaf Mbak, saya tidak sengaja," "Pelan-pelan dong, Mas." Tika mengomel pada pelangggan itu.Aku terSmsenyum sinis. Meraih tisu dan berjalan mendekatinya"Apa itu, sakit?" kuberikan tisu sambil menatapnya.Tika tak menjawab. "Kau dengar, tapi pura-pura tak mendengar. Sepertinya berpura-pura sudah jadi kebiasaanmu," ucapku lagi."Kamu ngomong apa, sih!" Dia mulai terpancing."Berhenti berpura-pura peduli pada madumu, aku tahu kau pasti senang melihatnya seperti sekarang ini," Aku terkekeh. "Diamlah, Yud. Sudah kubilang kamu nggak tahu apa-apa, jadi berhenti menuduhku! Napasnya mulai tersengal, mungkin ucapanku melukainya. Aku tak peduli."K