Share

Bab 6 : Telepon Dari Ibu Mertua

Kubiarkan Mas Ifan menangis sepuasnya, sambil terus kuusap kepalanya. Tak lama dia mulai terdiam kemudian melepaskan pelukan.

"Maafkan aku, Tik," ucapnya sambil menghapus air mata.

"Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti, kok," jawabku.

"Terima kasih," ucap Mas Ifan dengan tersenyum.

"Sama-sama, Mas,"

"Istirahatlah, Tik. Kau pasti capek seharian ngurus rumah. Aku masuk duluan, ya.”

"Mas nggak makan dulu?"

"Nggak, Tik. Makasih."

"Ya udah, Mas istirahat juga."

"He'em," jawabnya singkat.

Mas Ifan beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan perlahan dan menghilang di balik pintu kamarnya dan Mbak Riska.

Aku terdiam sejenak, kemudian lanjut mencuci sedikit piring kotor di dapur. Setelah semua beres, aku langsung masuk ke kamar, berwudhu dan kemudian melaksanakan sholat Isya .

Setelah itu, seperti biasa aku merebahkan kepala di atas bantal, dan mulai berpikir, malam ini memang giliran Mas Ifan tidur bersama Mbak Riska, aah ... apa aku cemburu? Ya, itu wajar, karena mencintai tanpa rasa cemburu itu mustahil.

***

Selesai mandi dan sholat subuh, Aku langsung ke dapur menyiapkan bahan untuk dimasak pagi ini. Setelah semua nya siap, lanjut mengumpulkan semua pakaian kotor dan mulai menggiling.

"Ceklek," terdengar suara pintu di buka.

"Assalamualaikum," Mas Ifan mengucap salam.

"Wa'alaikumsalam warohmatullah," jawabku.

Rupanya mas Ifan baru saja kembali dari masjid. Sambil menunggu pakaian selesai digiling, aku mulai mengupas kentang.

"Sepagi ini, kamu sudah di dapur Tik, ada yang bisa di bantu?" tanya Mas Ifan. Mengagetkan ku.

"Oh nggak usah, Mas, aku bisa kok."

"Pokoknya aku bantu," ucapnya, sambil mendekat ke arahku.

"Ya udah, Mas kupas semua sayur nya, aku kupas udang nya."

"Ok," jawab Mas Ifan.

Sepuluh menit kemudian, hening, kami sibuk dengan tugas masing-masing. Entah kenapa jantung ku berdebar tak karuan, benar-benar merasa grogi berada satu ruangan bersama Mas Ifan.

"Gimana keadaan Mbak Riska, Mas?" tanyaku mencairkan suasana.

"Alhamdulillah Tik, udah mendingan, tidurnya nyenyak sekali."

"Alhamdulillah Mas, kalau begitu."

"Apa hari ini, Mas mau ke kantor?"

"Iya Tik. Ada urusan yang harus segera aku selesaikan."

"Oh ya, Tik, maaf hari ini aku akan merepotkan mu lagi," katanya lagi.

"apa itu, Mas?"

"Titip Riska, ya?" jawabnya sambil menatapku.

Hatiku seperti dicubit. Mata itu, seperti sangat takut jika terjadi sesuatu pada Mbak Riska.

"Tentu saja Mas, Mas tenang aja," jawabku sambil balas menatapnya.

Satu jam kemudian semuanya beres. Mas Ifan menjemur semua pakaian sementara aku, mengatur sarapan yang sudah kami masak bersama-sama. Setelah semua makanan siap di atas meja, aku segera ke kamar Mbak Riska.

"Mbak ayo sarapan," panggilku.

"Iya Nduk. Kamu masak apa?" tanya Mbak Riska.

"Aku buat udang tepung, sama sayur sup Mbak," jawabku, sambil membantunya duduk di kursi roda.

"Wah ... jadi tambah lapar, Tik.

"Ayo kita makaaaann!" kataku, sambil mendorong kursi rodanya keluar kamar.

Sampai di pintu kamar kami berpas-pasan dengan Mas Ifan. Dia tersenyum melihat kami berdua.

"Yuk, Mas, sarapan!" ucap ku berbarengan sama Mbak Riska.

"Hahaha ... kalian kompak sekali hari ini," kata Mas Ifan, sambil tertawa.

Aku dan Mbak Riska hanya tersenyum.

"Ya udah, yuk, kita sarapan," kata Mas Ifan sambil mengambil alih mendorong kursi roda Mbak Riska.

Aku menarik kursi untuk tempat duduk Mbak Riska. Seperti biasa, Mas Ifan hendak menggendong dan mendudukkannya di kursi, tapi Mbak Riska menolak.

"Aku bisa, Mas," tolak Mbak Riska, sambil melirik karahku.

"Ya udah, iya,"

Sarapan pagi ini, kami tak banyak bicara. Selesai sarapan, Mas Ifan pamit untuk siap-siap ke kantor. Sebenarnya aku juga belum tahu banyak Mas Ifan kerja di mana, sebagai apa, yang aku tahu, Mas Ifan sudah cukup mapan sekarang.

"Tik, kita ke halaman, yuk," ajak Mbak Riska.

"Iya Mbak, aku beresin meja nya dulu, ya," jawabku.

"Oke."

Setelah semuanya rapi, aku ajak Mbak Riska ke halaman belakang. Kami duduk dan mulai ngobrol, bercerita tentang masa-masa kami masih ngekos bareng dulu. Tiba-tiba Mas Ifan menghampiri kami hendak berpamitan.

"Aku berangkat ya, Ris,Tik, kalian baik-baik di rumah," pamit Mas Ifan, sambil menyalami Mbak Riska dan aku.

"Iya, Mas, hati-hati di jalan," kata Mbak Riska.

"Iya, Ris," kata mas Ifan sambil mencium kening Mbak Riska. Kemudian menatap ke arahku. Hanya bisa menunduk. Namun, tetap saja, ada gemuruh di hatiku.

"Assalamualaikum," ucap Mas Ifan kemudian, sambil tersenyum menatapku.

"Wa'alaikumsalam warohmatullah," jawabku, balas menatapnya.

Setelah Mas Ifan berangkat, kami pun melanjutkan obrolan kami yang sempat terputus. Entah sudah berapa lama kami di sana, tertawa bersama, sampai tak sadar matahari sudah semakin tinggi, dan panasnya mulai menyengat.

"Terimakasih, ya, Tik," tiba-tiba Mbak Riska memegang tanganku.

"Untuk apa, Mbak?" tanyaku.

"Untuk semuanya, kamu sudah mau menikah sama Mas Ifan, udah mau maafin Mas Ifan, sudah mau di repotkan ngurusin Mbak," jelasnya.

"Jangan begitu Mbak. Ini pasti nggak mudah buat, Mbak Riska."

"Tapi, Mbak juga tahu, ini pun nggak mudah buat kamu, Tik."

"Tapi, aku nggak sekuat, Mbak."

"Mbak pun nggak sekuat itu Tika, Mbak juga merasakan apa yang kamu rasa," jawabnya sambil menatapku.

"Apa Mbak juga cemburu, kalau Mas Ifan sedang bersamaku?" tanyaku.

"Tentu saja, Tik,"

"Jadi, apa yang membuat Mbak Riska kuat, menjalani ini semua."

"Kabahagiaan Mas Ifan, adalah kekuatanku."

"Tapi, sepertinya Mas Ifan tidak bahagia, Mbak," ucapku, sambil menunduk. Teringat kembali, di malam saat mereka berdua berpelukan sambil menangis.

"Hahaha ... Mas Ifan tidak bahagia, katamu?" tanya Mbak Riska sambil tertawa.

"Kenapa Mbak, ketawa?" tanyaku sambil manyun.

"Apa kamu tidak bisa melihat, Tik? Mas Ifan sangat bahagia akhir-akhir ini, itu semua karena kehadiran mu di sisi nya saat ini."

"Masa sih, Mbak," tanyaku heran.

"Itu benar, Tik. Aku bisa melihat nya. Mas Ifan masih mecintaimu."

"Mas Ifan bahkan masih ingat, warna favorit kamu, Tik. Alhasil, sehari sebelum akad nikah, seharian dia ngecat kamar kamu, dengan warna biru muda. Warna kesukaan mu,"

Jantungku berdegub kencang.

jadi, Mas Ifan yang ngecat kamar ku

"Cemburu itu wajar, kan? Karena kita sama-sama mencintai Mas Ifan, tapi yakinlah Mas Ifan orang baik, dia pasti bisa menjadi imam dan suami yang adil untuk kita berdua, hem" kata Mbak Riska sambil menggenggam tanganku.

"Mas Ifan hanya perlu waktu. Jadi, beri dia waktu. Kelak kau pasti akan mengerti. Bahwa cintamu, pengorbananmu saat ini, memang bukan untuk orang yang salah," kata Mbak Riska dengan mata berkaca-kaca.

Ya Allah ... butiran bening menetes dari kedua mataku. Kupeluk erat Mbak Riska yang juga membalas pelukanku.

"Makasih, Mbak."

"Sama-sama, Tik. Mbak juga berterima kasih padamu,"

Puas menangis, kuajak Mbak Riska masuk, mengantarnya sampai ke dalam kamar dan membantunya berbaring di atas kasur.

Ponsel Mbak Riska berdering. Sejenak melirik ke layar saat membantu mengambilkan ponselnya, tertulis nama Ibu Mertua di sana.

"Iya, Bu," Mbak Riska menjawab telepon nya.

"Sehat Bu. Ibu, sehat?"

"Ingat kok, Bu. Besok pagi kami berangkat, wa'alaikumsalam warohmatullah." Jawabnya, menutup percakapan.

"Oh ya, Tik, apa Mas Ifan sudah bilang kalau besok kita mau ke rumah Ibunya?" tanya Mbak Riska.

"Belum, Mbak,"

"Oh, mungkin Mas Ifan lupa, besok kita ke rumah Ibu, Tik. Lusa, adik Mas Ifan, menikah." jelasnya.

"Apa aku harus ikut, Mbak?".

"Tentu saja Tik, kamu juga ikut."

Aku hanya tersenyum dan mengangguk, lalu pamit keluar.

Ke rumah mertua? Seharian aku memikirkan ini. Jika keadaan kami normal seperti pasangan suami istri pada umumnya, mungkin aku tak akan segelisah ini. Lagi pula, aku masih ingat bagaiman ekspresi Ibu Mas Ifan, saat acara akad nikah dulu. Bagaimana respon mereka nanti saat melihatku ikut kesana? Membayangkan hal itu, mendadak ulu hatiku perih.

~ Bersambung

Maaf, baru sempat up bab baru. Signalnya ga bersahabat sudah tiga hari ini. Terima kasih sudah mengikuti kisah ini? 🙏❤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status