Kubiarkan Mas Ifan menangis sepuasnya, sambil terus kuusap kepalanya. Tak lama dia mulai terdiam kemudian melepaskan pelukan.
"Maafkan aku, Tik," ucapnya sambil menghapus air mata."Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti, kok," jawabku."Terima kasih," ucap Mas Ifan dengan tersenyum."Sama-sama, Mas,""Istirahatlah, Tik. Kau pasti capek seharian ngurus rumah. Aku masuk duluan, ya.”"Mas nggak makan dulu?""Nggak, Tik. Makasih.""Ya udah, Mas istirahat juga.""He'em," jawabnya singkat.Mas Ifan beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan perlahan dan menghilang di balik pintu kamarnya dan Mbak Riska.Aku terdiam sejenak, kemudian lanjut mencuci sedikit piring kotor di dapur. Setelah semua beres, aku langsung masuk ke kamar, berwudhu dan kemudian melaksanakan sholat Isya .Setelah itu, seperti biasa aku merebahkan kepala di atas bantal, dan mulai berpikir, malam ini memang giliran Mas Ifan tidur bersama Mbak Riska, aah ... apa aku cemburu? Ya, itu wajar, karena mencintai tanpa rasa cemburu itu mustahil.***Selesai mandi dan sholat subuh, Aku langsung ke dapur menyiapkan bahan untuk dimasak pagi ini. Setelah semua nya siap, lanjut mengumpulkan semua pakaian kotor dan mulai menggiling."Ceklek," terdengar suara pintu di buka."Assalamualaikum," Mas Ifan mengucap salam."Wa'alaikumsalam warohmatullah," jawabku.Rupanya mas Ifan baru saja kembali dari masjid. Sambil menunggu pakaian selesai digiling, aku mulai mengupas kentang."Sepagi ini, kamu sudah di dapur Tik, ada yang bisa di bantu?" tanya Mas Ifan. Mengagetkan ku."Oh nggak usah, Mas, aku bisa kok.""Pokoknya aku bantu," ucapnya, sambil mendekat ke arahku."Ya udah, Mas kupas semua sayur nya, aku kupas udang nya.""Ok," jawab Mas Ifan.Sepuluh menit kemudian, hening, kami sibuk dengan tugas masing-masing. Entah kenapa jantung ku berdebar tak karuan, benar-benar merasa grogi berada satu ruangan bersama Mas Ifan."Gimana keadaan Mbak Riska, Mas?" tanyaku mencairkan suasana."Alhamdulillah Tik, udah mendingan, tidurnya nyenyak sekali.""Alhamdulillah Mas, kalau begitu.""Apa hari ini, Mas mau ke kantor?""Iya Tik. Ada urusan yang harus segera aku selesaikan.""Oh ya, Tik, maaf hari ini aku akan merepotkan mu lagi," katanya lagi."apa itu, Mas?""Titip Riska, ya?" jawabnya sambil menatapku.Hatiku seperti dicubit. Mata itu, seperti sangat takut jika terjadi sesuatu pada Mbak Riska."Tentu saja Mas, Mas tenang aja," jawabku sambil balas menatapnya.Satu jam kemudian semuanya beres. Mas Ifan menjemur semua pakaian sementara aku, mengatur sarapan yang sudah kami masak bersama-sama. Setelah semua makanan siap di atas meja, aku segera ke kamar Mbak Riska."Mbak ayo sarapan," panggilku."Iya Nduk. Kamu masak apa?" tanya Mbak Riska."Aku buat udang tepung, sama sayur sup Mbak," jawabku, sambil membantunya duduk di kursi roda."Wah ... jadi tambah lapar, Tik."Ayo kita makaaaann!" kataku, sambil mendorong kursi rodanya keluar kamar.Sampai di pintu kamar kami berpas-pasan dengan Mas Ifan. Dia tersenyum melihat kami berdua."Yuk, Mas, sarapan!" ucap ku berbarengan sama Mbak Riska."Hahaha ... kalian kompak sekali hari ini," kata Mas Ifan, sambil tertawa.Aku dan Mbak Riska hanya tersenyum."Ya udah, yuk, kita sarapan," kata Mas Ifan sambil mengambil alih mendorong kursi roda Mbak Riska.Aku menarik kursi untuk tempat duduk Mbak Riska. Seperti biasa, Mas Ifan hendak menggendong dan mendudukkannya di kursi, tapi Mbak Riska menolak."Aku bisa, Mas," tolak Mbak Riska, sambil melirik karahku."Ya udah, iya,"Sarapan pagi ini, kami tak banyak bicara. Selesai sarapan, Mas Ifan pamit untuk siap-siap ke kantor. Sebenarnya aku juga belum tahu banyak Mas Ifan kerja di mana, sebagai apa, yang aku tahu, Mas Ifan sudah cukup mapan sekarang."Tik, kita ke halaman, yuk," ajak Mbak Riska."Iya Mbak, aku beresin meja nya dulu, ya," jawabku. "Oke."Setelah semuanya rapi, aku ajak Mbak Riska ke halaman belakang. Kami duduk dan mulai ngobrol, bercerita tentang masa-masa kami masih ngekos bareng dulu. Tiba-tiba Mas Ifan menghampiri kami hendak berpamitan."Aku berangkat ya, Ris,Tik, kalian baik-baik di rumah," pamit Mas Ifan, sambil menyalami Mbak Riska dan aku. "Iya, Mas, hati-hati di jalan," kata Mbak Riska."Iya, Ris," kata mas Ifan sambil mencium kening Mbak Riska. Kemudian menatap ke arahku. Hanya bisa menunduk. Namun, tetap saja, ada gemuruh di hatiku."Assalamualaikum," ucap Mas Ifan kemudian, sambil tersenyum menatapku."Wa'alaikumsalam warohmatullah," jawabku, balas menatapnya.Setelah Mas Ifan berangkat, kami pun melanjutkan obrolan kami yang sempat terputus. Entah sudah berapa lama kami di sana, tertawa bersama, sampai tak sadar matahari sudah semakin tinggi, dan panasnya mulai menyengat."Terimakasih, ya, Tik," tiba-tiba Mbak Riska memegang tanganku."Untuk apa, Mbak?" tanyaku."Untuk semuanya, kamu sudah mau menikah sama Mas Ifan, udah mau maafin Mas Ifan, sudah mau di repotkan ngurusin Mbak," jelasnya."Jangan begitu Mbak. Ini pasti nggak mudah buat, Mbak Riska.""Tapi, Mbak juga tahu, ini pun nggak mudah buat kamu, Tik.""Tapi, aku nggak sekuat, Mbak.""Mbak pun nggak sekuat itu Tika, Mbak juga merasakan apa yang kamu rasa," jawabnya sambil menatapku."Apa Mbak juga cemburu, kalau Mas Ifan sedang bersamaku?" tanyaku."Tentu saja, Tik,""Jadi, apa yang membuat Mbak Riska kuat, menjalani ini semua.""Kabahagiaan Mas Ifan, adalah kekuatanku.""Tapi, sepertinya Mas Ifan tidak bahagia, Mbak," ucapku, sambil menunduk. Teringat kembali, di malam saat mereka berdua berpelukan sambil menangis."Hahaha ... Mas Ifan tidak bahagia, katamu?" tanya Mbak Riska sambil tertawa."Kenapa Mbak, ketawa?" tanyaku sambil manyun."Apa kamu tidak bisa melihat, Tik? Mas Ifan sangat bahagia akhir-akhir ini, itu semua karena kehadiran mu di sisi nya saat ini.""Masa sih, Mbak," tanyaku heran."Itu benar, Tik. Aku bisa melihat nya. Mas Ifan masih mecintaimu.""Mas Ifan bahkan masih ingat, warna favorit kamu, Tik. Alhasil, sehari sebelum akad nikah, seharian dia ngecat kamar kamu, dengan warna biru muda. Warna kesukaan mu,"Jantungku berdegub kencang. jadi, Mas Ifan yang ngecat kamar ku"Cemburu itu wajar, kan? Karena kita sama-sama mencintai Mas Ifan, tapi yakinlah Mas Ifan orang baik, dia pasti bisa menjadi imam dan suami yang adil untuk kita berdua, hem" kata Mbak Riska sambil menggenggam tanganku."Mas Ifan hanya perlu waktu. Jadi, beri dia waktu. Kelak kau pasti akan mengerti. Bahwa cintamu, pengorbananmu saat ini, memang bukan untuk orang yang salah," kata Mbak Riska dengan mata berkaca-kaca.Ya Allah ... butiran bening menetes dari kedua mataku. Kupeluk erat Mbak Riska yang juga membalas pelukanku."Makasih, Mbak.""Sama-sama, Tik. Mbak juga berterima kasih padamu,"Puas menangis, kuajak Mbak Riska masuk, mengantarnya sampai ke dalam kamar dan membantunya berbaring di atas kasur.Ponsel Mbak Riska berdering. Sejenak melirik ke layar saat membantu mengambilkan ponselnya, tertulis nama Ibu Mertua di sana."Iya, Bu," Mbak Riska menjawab telepon nya."Sehat Bu. Ibu, sehat?""Ingat kok, Bu. Besok pagi kami berangkat, wa'alaikumsalam warohmatullah." Jawabnya, menutup percakapan."Oh ya, Tik, apa Mas Ifan sudah bilang kalau besok kita mau ke rumah Ibunya?" tanya Mbak Riska."Belum, Mbak,""Oh, mungkin Mas Ifan lupa, besok kita ke rumah Ibu, Tik. Lusa, adik Mas Ifan, menikah." jelasnya."Apa aku harus ikut, Mbak?"."Tentu saja Tik, kamu juga ikut."Aku hanya tersenyum dan mengangguk, lalu pamit keluar.Ke rumah mertua? Seharian aku memikirkan ini. Jika keadaan kami normal seperti pasangan suami istri pada umumnya, mungkin aku tak akan segelisah ini. Lagi pula, aku masih ingat bagaiman ekspresi Ibu Mas Ifan, saat acara akad nikah dulu. Bagaimana respon mereka nanti saat melihatku ikut kesana? Membayangkan hal itu, mendadak ulu hatiku perih.~ BersambungMaaf, baru sempat up bab baru. Signalnya ga bersahabat sudah tiga hari ini. Terima kasih sudah mengikuti kisah ini? 🙏❤Selesai makan malam, kami kembali ke kamar masing-masing. Aku terus memikirkan bagaimana nasibku, saat berada di rumah Ibu Mas Ifan nanti. Asik melamun aku sampai lupa, jika malam ini giliran Mas Ifan, tidur di kamarku"Ehem." Ternyata Mas Ifan, sudah berada tepat di samping ku. Aku kaget dan buru-buru bangun."Mas Ifan! Kok, aku nggak liat Mas, masuk?" tanyaku."Bagaimana mau lihat Tik, kamu sibuk melamun," "Ada apa, Tik? Aku perhatikan, kamu banyak melamun." tanya Mas Ifan."Nggak ada apa apa, Mas." "Kamu nggak mau cerita, sama aku?" Mas Ifan terus memandangku. Menunggu agar aku mau menceritakan, kegundahan hati."Ya, sudah kalau memang nggak mau cerita," kata Mas Ifan. Sambil merapikan bantalnya."Mas, besok aku di rumah aja ya, aku nggak ikut ke rumah ibu," ucapku.Mas ifan mengurungkan niatnya untuk berbaring, lalu duduk kembali dan menatapku."Jadi ini, yang membuatmu resah, Tik?""He'em," aku mengangguk."Nggak bisa Tik. Kamu harus ikut, kamu kan juga istriku." "Jangan k
Selesai sholat subuh, aku putuskan untuk tidur lagi. Mataku masih sangat mengantuk, karrna sejak datang kemarin hingga larut malam, aku membantu ibu-ibu di dapur.Sekitar pukul 07.00, aku terbangun kaget dan buru-buru mandi. Setelahnya aku kembali bergabung dengan para ibu-ibu di dapur. Kukerjakan semuanya yang aku bisa. Ikut berbaur dengan ibu-ibu di dapur sedikit membuatku melupakan respon dingin ibu terhadapku. Tak terasa hari sudah siang dan semua ibu-ibu bergegas untuk makan siang dan beristirahat sejenak. Nduk, ayo makan, dulu," kata seorang Ibu di dapur. sepertinya dia heran, melihatku tidak ikut makan."Iya, Bude. Bude, duluan saja." "Makan dulu, nanti lanjut lagi kerjanya." "Iya, bude." Aku mengalah.Kemudian mendekat ke meja makan hendak menyendok nasi. Tiba-tiba Ibu memanggilku."Tik ... Tika, kamu gimana sih, itu si Riska mau minum obat, Ifan juga belum makan siang, kamu urusin dululah ... habis itu baru kamu lanjut makan," Ibu berteriak di pintu dapur."Iya, Bu." jaw
Mas Ifan menenteng tas pakaianku, saat berjalan melewati ruang makan, Tiba-tiba terdengar suara cempreng Ibu memanggilnya."Fan!" panggil Ibu. Keningnya berkerut, melihat Mas Ifan menenteng tas pakaian."Loh, kamu mau kemana?" tanya Ibu."Ifan mau antar Tika pulang ke Bandung, Bu," jawab Mas Ifan."Loh, emang nya kenapa lagi kamu Tik?" tanya Ibu sambil melotot ke arahku."Ibu kan nggak mau kalau orang-orang tau kalau Tika ini istri kedua ku. Jadi, biar Ifan antar dia pulang." "Jadi kamu tersinggung Tik, dengan ucapan ibu?" Ibu bertanya sambil melotot kepadaku.Aku hanya menunduk. Ingin marah tapi ku tahan, karena biar bagaimana pun Ibu adalah mertuaku. "Lha terus, Riska gimana, Fan?" tanya Ibu."Aku tetap disini, Bu." jawab Mbak Riska "Ya, sudah, aku pamit Bu,Ris," pamit Mas Ifan sambil menyalami Ibu."Ya, sudah, habis itu langsung balik kemari ya, besok akad nikahnya jam sembilan," kata Ibu ketus.Mas Ifan melirik ke arahku. Aku mengangguk."Nggak, Bu. Malam ini Ifan nginap. Beso
Mas Ifan membuka matanya, kemudian tersenyum. Kami saling menatap. Mas Ifan mendekatkan wajahnya, refleks aku meremas gaun tidur dan menutup kedua mataku. Kurasakan bibirnya menyentuh telingaku dan berbisik."Sholat dulu, yuk," bisiknya lalu tersenyum geli melihatku. Aku bengong dengan kening berkerut."Aku sudah sholat isya kok, Mas," jawabku bego."Hahaha ...," Mas Ifan tertawa renyah.Kemudian kembali mendekat dan berbisik."Sholat dua rakaat, sayang," bisiknya lembut, kemudian tersenyum sambil berlalu ke kamar mandi. "Ya Allah ...," ucapku lirih sambil menutup wajah dengan kedua tanganku. Malunya ....Kami melaksanakan sholat dua rakaat. Ini sholat pertamaku bersamanya. Setelah sholat. aku menyalami Mas Ifan mencium tangannya penuh takzim. Dan kembali merasa gugup setelahnya. Kali ini benar-benar gugup sampai bingung harus berbuat apa. Melipat mukena yang biasanya hanya tergantung di dinding. Kemudian berjalan menuju lemari dan menyimpannya. Saat berbalik, kulihat Mas Ifan s
Pemuda berlesung pipi itu mengerutkan keningnya sambil memperhatikanku dari puncak kepala hingga ke ujung kaki."Terus, kamu siapanya dong? Nggak mungkin kamu istrinya. Istrinya kan, Mbak Riska," tanyanya lagi. Astaga ... kurang asem ini orang, dia pikir aku adiknya Mas Ifan?"Ayo ... buruan bayar. Masih banyak nih, pesanan yang mau diantar," omelnya mengagetkanku."Berapa?" tanyaku."Dua puluh lima ribu," jawabnya ketus.Kurogoh saku celanaku, hanya ada uang dua puluh ribu disana. Seingatku, di dompet pun kosong, karena belum sempat ke ATM buat narik lagi."Em, ini." kusodorkan selembar dua puluh ribuan."Uangnya kurang." "Tapi, aku cuma pegang uang segitu, besok sisanya, ya?" pintaku."Ya, sudahlah. Kamu berutang lima ribu, ya?" Lain kali aja aku kemari lagi. Salam sama Mas Ifan." Aku langsung berlari ke kamar, dan mengambil ponselku. Kucari nomor Mas Ifan dan menelpon nya."Assalamualaikum," suara Mas Ifan terdengar di seberang sana."Wa'alaikumsalam warohmatullah." jawabku."
Bahan makanan di kulkas sudah kosong. Terus mau makan apa nanti malam. Aku segera berganti pakaian, celana jeans hitam, atasan kaos lengan panjang berwarna cream dan jilbab langsung, hitam polos sebatas dada. Setelah belanja, aku merasa malas untuk balik ke rumah. Jam baru menunjukkan pukul empat lewat tiga puluh menit. Aku putuskan mampir di kedai yang ada di seberang jalan.Sampai di kedai kuambil tempat duduk persis menghadap ke jalan, agar bisa melihat lalu lalang kendaraan yang lewat. Kiranya bisa sedikit mengusir kebosanan. Tak sampai lima menit pesanan pun datang, Aku mulai sibuk dengan ponsel dan menyeruput minumanku. Sebelum akhirnya di kagetkan oleh sebuah suara, yang sudah tak asing lagi bagiku."Assalamualaikum, cantik!" ucap suara tersebut."Wa'alaikumsalam, warohmatullah," hampir saja aku keselek."Sendirian aja," ucapnya, langsung duduk di kursi yang ada di depanku."Kamu buntutin aku, ya?" tanyaku menatapnya penuh selidik."Enak aja. Kamu suudzon terus sih, sama aku.
Kenapa? Aku nggak kenapa-kenapa, kok," jawabku semakin gugup."Kamu yakin?" tanyanya lagi. Kali ini aku bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku."He'em," aku gugup.Sedetik kemudian Aku meremas handuk dan menutup mata, meresapi kecupan hangat Mas Ifan di keningku. Setelah itu Mas Ifan kembali menatapku sambil tersenyum nakal, lalu berjalan melewati ku, namun sebelum itu di tariknya handuk yang sedang melingkar di tubuhku tepat di bagian dada dan ..."Mas Ifan!" Aku berteriak kaget sambil menahan handuk yang hampir terlepas dari tubuhku. Untung saja tidak melorot ke lantai."Hahaha ...." Mas Ifan tertawa sambil berlari ke arah kamar mandi. Membuka pintu lalu berbalik ke arahku."Satu kosong!" ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya."Mas Ifan!" Aku menarik selembar baju dari atas ranjang dan melemparkannya ke arah Mas Ifan. "Eits, nggak kena," Mas Ifan mengelak lalu masuk ke kamar mandi sambil tertawa lepas."Ya Allah, dasar Mas Ifan," ucapku tersipu malu.Aku buru-buru berpak
"Minggir! Kalau kamu nggak minggir, aku teriak sekarang!" kataku dengan nada suara mulai meninggi."Siapa, namamu?" tanyanya sambil menatapku lembut."Minggir!" kataku lagi, tak menghiraukan ucapannya."Jawab dulu," pintanya dengan kening berkerut."Nggak!" aku melotot ke arahnya."Please ...." pintanya lagi, dengan wajah memelas.Aku menatapnya dengan tatapan penuh amarah. "Ok-ok, mungkin ini bukan hari keberuntunganku," kata Yuda lalu menarik kedua tangannya dari tembok."Pergilah ...," ucapnya sambil tersenyum hangat.Aku berlari secepat mungkin. Agar dia tak bisa menghadangku lagi, dalam hati mengutuk kejadian hari ini. Kenapa harus ketemu sama si modus itu lagi. Aku benar-benar takut kalau dia sampai berbuat macam-macam padaku di toilet tadi."Tik! kamu nggak, apa-apa, kan?" tiba-tiba Mas Ifan sudah ada di depan ku, mungkin dia khawatir karena itu dia menyusulku."Eh, nggak kok, Mas. Aku hanya merasa nggak enak badan." "Oh, kalau begitu kamu habiskan makan mu dulu, setelah itu