Firman mengangguk, "Bagaimana caraku agar membuatmu percaya?"Aku menatapnya dalam. Tatapan kami terpaku. Tangisku mulai mereda, aku langsung memeluk Firman.Firman mengusap rambut panjangku, "Awalnya aku memang hanya ingin membuatmu berpaling darinya. Namun, ternyata perasaan itu hadir, melupakan dendamku. Dan sekarang, aku ingin memilikimu." ujarnya.Aku yang masih sesegukan memukul pelan dada bidangnya."Cup, cup! Jangan menangis. Maaf telah membuatmu bersedih, tapi aku sudah tidak punya hubungan apapun lagi dengan Renata."Firman mengusap air mataku, kemudian mengecup punggung tanganku berkali-kali."Udah jangan nangis lagi, jelek. Ingusnya keluar tuh, ih jorok."Aku mencebik, kemudian mencubit pinggangnya. "Aw, sakit.""Hatiku lebih sakit!" ujarku."Iya, maaf. Aku kira kamu nggak liat. Ternyata ngintip." balasnya.Aku mengusap pipiku dengan kasar. kemudian berusaha untuk bangun. Firman membantuku, aku menopang pada lengannya.Setelah aku berdiri dengan tegak, Firman mengambil kota
Kami menonton televisi bersama setelah melakukan pergul@tan p@nas beberapa menit yang lalu. Aku telah membersihkan diri agar tidak tercium oleh Mas Hendra. Kemudian memakai piyama milikku.Aku dan Firman duduk di ruang televisi, aku menyandarkan kepala di bahu Firman. Kami menonton sinetron bersama di Chanel ikan tongkol. Sambil sesekali menyuapkan cemilan. Firman mengelus rambutku, aku merasa nyaman dalam posisi seperti ini. Firman terlihat sangat menyayangiku begitu pun sebaliknya.Saat sedang asyik menonton, tiba-tiba perutku terasa mulas, aku hendak bangun dari kursi namun Firman mencegahku. Dia malah semakin erat memelukku. Akhirnya aku duduk kembali, bersandar Kemabli di bahunya.Aku meringis saat sesuatu seperti hendak keluar. Dan tak lama kemudian.PRET! PROT!Firman yang semula serius menonton televisi menoleh ke arahku. Aku berpura-pura asik menonton televisi."Winda," panggilnya."Kamu kentut sayang?""A-apa? Kamu ngomong apa sayang? Bentar, bentar lagi seru." Aku berpura-p
Kami sarapan bersama, tak ada yang membuka percakapan entah aku, Mas Hendra bahkan Firman sendiri. Kami semua diam, larut dalam pikiran masing-masing. Hingga selesai sarapan Mas Hendra pergi setelah aku mencium punggung tangannya. Kini tinggal aku dns Firman di rumah. Firman pun bangun dari kursinya. Kemudian menghampiriku, "Mbak, aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik di dalam rumah," ucapnya, lalu pergi setelah mengecup keningku. Setelah kepergian Mas Hendra dan juga Firman, aku duduk bersantai di ruang tamu sambil memegang sebuah album pernikahan kami. Aku mau buka setiap lembar yang ada di sana. Memandang wajahku saat pertama menikah, di sana terlihat aku bahagia bersuamikan Mas Hendra. Namun kini pernikahan kami sudah berantakan, Mas Hendra telah berselingkuh. Begitupun juga denganku telah membagi hati pada pria lain, yang tak lain adalah adik kandungnya sendiri. Aku sangat mencintai Firman--adik iparku. Aku sedikit merasa bersalah, namun semuanya sudah terlanjur. Aku tak mampu
Aku terbelalak, mataku mengerjap berkali-kali mencari alasan. "Katakan, Winda. Jam tangan siapa ini?!" sentaknya. Aku menggaruk tengkuk yang tak gatal, "E—em, i-itu jam tangan milik—Firman." ucapku tergagap. Mas Hendra berjalan mendekat dengan tatapan tajam dan sulit ku artikan. Dia terus menatapku lekat. Kemudian terdengar suara tawa dari mulutnya, "Hahahaha, kenapa kau tegang seperti itu, sayang?" "Tentu saja, aku tau ini jam tangan milik Firman. Tapi..... Kenapa bisa ada di kamar kita?" sambungnya. Napasku memburu, mataku bergerak liar mencari alasan. "Ke—kemarin Firman kemari, dia bilang ingin meminjam charger milikmu. Jadi... Aku menyuruhnya untuk mengambil sendiri, dan mungkin saja, jam tangannya terlepas." katakut, aku masih harap-harap cemas memandang Mas Hendra yang tampak sedang berpikir. "Oh begitu rupanya. Yasudah nanti biar aku kembalikan." "Tidak perlu, Mas." "Kenapa tidak perlu?" "E—em, maksudku. Biar aku saja yang mengembalikan jam tangan itu. Kau mandi saja.
Prok prok prok! "Bagus, Bagaimana rasanya bercint@ dengan istriku selama ini, Hem?" ujar Mas Hendra melirik tajam ke arah Firman dan aku. Tu buhku bergetar hebat, akhirnya aku ketahuan. "Kakak, Kau—" belum sempat Firman berbicara Mas Hendra sudah menarik kerah baju Firman kemudian memukulinya. Aku meringis ketakutan melihat kakak beradik berkelahi di depanku. "Kur@ng aj4r! Beraninya kau Firman!" BUGH, BUGH! Mas Hendra memukuli Firman secara terus menerus tanpa henti, membuat Firman tak dapat membela diri. "Adik si@lan! Beraninya kau men!duri istriku," Mas Hendra terlihat begitu marah, wajahnya memerah dengan rahang yang mengeras. "Kumohon, Kak. Ceraikan Mbak Winda, biarkan dia bersamaku. Dia tidak bahagia bersamamu." pinta Firman saat dirinya tumbang di lantai. Aku membalut tubuh dengan selimut, lalu duduk di tepi ranj@ng menyaksikan pergul@tan keduanya. "No, no, no! Tidak akan! Aku tidak akan pernah menceraikan Winda," tukas Mas Hendra. Firman bangkit, kemudian menyeka s
Aku segera bangun dan turun dari ranjang. "Akhh..." pekikku saat merasakan sakit di area lengan dan kaki. Sekuat tenaga aku melangkahkan kaki. Rasanya tidak sabar ingin melihat kondisi Firman. Dengan langkah tertatih aku keluar dari kamar. Aku segera berjalan menuju teras. Disana, aku bisa melihat Firman yang tengah berdebat dengan Mas Hendra. "Mbak Winda!" panggil Firman, dia tersenyum melihatku yang berdiam di ambang pintu. Mas Hendra langsung menoleh. Kemudian berjalan dengan cepat menghampiriku. "Masuk ke dalam!" sentak suamiku itu. "Tidak, Mas. Aku ingin bertemu dengan Firman." Aku menatap ke arah Firman yang sedang memandangku. Dengan wajah yang penuh luka itu dia berjalan mendekat. "Stop, Jangan mendekat!" ujar Mas Hendra. Firman yang semula hendak menghampiri kami langsung berhenti di tempat. "Kak, ceraikan Mbak Winda. Biarkan dia bersamaku. Kami saling mencintai. Kakak bisa bersama Renata, dan aku bersama Mbak Winda. Kita sama-sama bisa hidup bahagia." lirihnya. Aku me
"Hentikan, Jangan sakiti Winda!" suara bariton seorang pria datang, kemudian memeluk tu buhkku. Mereka semua mundur ke belakang, aku menoleh ke arah pria yang kini berusaha untuk melindungiku dari cemoohan mereka yang terus menghinaku. Kupikir Firman yang datang, ternyata si Musang. Sepertinya dia dan Mbak Santi bersekongkol. "Jangan sakiti, Winda. Dia istriku," "Bukannya dia udah berani bermain terong lelaki lain, ya?" "Aku memaafkannya. Cintaku lebih besar dari penghianatannya." ujar suamiku. Aku menoleh ke arahnya, menatapnya lekat. Apa yang sedang dia perankan disini suami, yang tersakiti? Cih! Bukankah dia juga pernah menghianatiku. Kenapa seolah-olah aku yang salah. Ini sangat tidak adil. Saat dia berselingkuh aku diam saja, tapi disaat aku yang ketahuan selingkuh semua orang membenciku. "Ayo, sayang. Kita pulang." Ajaknya. Mas Hendra berusaha membantuku untuk berdiri. Kemudian menuntunku untuk kembali ke rumah. Aku menoleh ke arah Mbak Santi dan para tetanggaku yang lain.
"Pulanglah, Winda!" sahut seseorang di sebrang telepon.Mataku membulat sempurna dengan tangan yang menggenggam telepon. Tanganku bergetar saat suara di sebrang sana adalah suara Mas Hendra. Bagaimana bisa ponsel Firman ada padanya?"M—Mas Hendra..." lirihku. Napasku tercekat."Keluarlah dari sana, aku menunggumu di mobil." Aku berbalik badan, di sebrang jalan ada Mas Hendra yang sedang memperhatikanku dari dalam mobil, tangannya menggenggam ponsel menerima panggilan dariku.Aku segera menutup telepon, aku tak habis pikir, kenapa ponsel Firman berada di tangan Mas Hendra. Aku keluar dari sana tatapanku menunduk ke bawah. Mas Hendra menjalankan mobilnya menghampiriku."Ayo, masuk!" ujarnya saat tiba di depanku.Ingin rasanya aku pergi dari sana, namun percuma saja, Mas Hendra takkan melepaskanku.Aku mende sah pelan, kemudian masuk ke dalam mobil. Mas Hendra melajukan mobilnya dengan cepat, hingga mobil berjalan meliuk-liuk. Aku bisa merasakan dirinya tengah di landa emosi."Kenapa kau