"Re—Renata?" lirihku.Ada hubungan apa Firman dengan Renata? Mendadak pikiranku berkecamuk. Aku segera bersembunyi di balik tembok. Memperhatikan mereka dari jauh.Terlihat Firman melepaskan tangan Renata dari pinggangnya. Terlihat juga mereka terlibat adu mulut. Apa maksud semua ini? Mengapa Firman tidak memberitahuku jika dia mengenal Renata? Atau mungkin Renata adalah kekasihnya?Ahh! Aku merasa pusing. Aku meremas rambutku sendiri. Jika memang Renata adalah kekasih Firman, apa Firman juga tau jika Renata adalah selingkuhan Mas Hendra.Atau mungkin Firman sengaja mendekatiku untuk balas dendam? "Akhh!" pekikku. Kepalaku terasa pusing memikirkan semua ini. Aku sekarang merasa—di permainkan. Di permainkan oleh kakak beradik.Aku melihat ke arah Firman, Renata telah pergi dari sana. Aku tak sempat menguping pembicaraan mereka. Aku masih kalut, memikirkan semua ini. Aku masih bingung, aku harus segera menyelidiki semua ini. "Sayang, kau disini. Lama sekali ke toiletnya, sampai aku ja
Firman mengangguk, "Bagaimana caraku agar membuatmu percaya?"Aku menatapnya dalam. Tatapan kami terpaku. Tangisku mulai mereda, aku langsung memeluk Firman.Firman mengusap rambut panjangku, "Awalnya aku memang hanya ingin membuatmu berpaling darinya. Namun, ternyata perasaan itu hadir, melupakan dendamku. Dan sekarang, aku ingin memilikimu." ujarnya.Aku yang masih sesegukan memukul pelan dada bidangnya."Cup, cup! Jangan menangis. Maaf telah membuatmu bersedih, tapi aku sudah tidak punya hubungan apapun lagi dengan Renata."Firman mengusap air mataku, kemudian mengecup punggung tanganku berkali-kali."Udah jangan nangis lagi, jelek. Ingusnya keluar tuh, ih jorok."Aku mencebik, kemudian mencubit pinggangnya. "Aw, sakit.""Hatiku lebih sakit!" ujarku."Iya, maaf. Aku kira kamu nggak liat. Ternyata ngintip." balasnya.Aku mengusap pipiku dengan kasar. kemudian berusaha untuk bangun. Firman membantuku, aku menopang pada lengannya.Setelah aku berdiri dengan tegak, Firman mengambil kota
Kami menonton televisi bersama setelah melakukan pergul@tan p@nas beberapa menit yang lalu. Aku telah membersihkan diri agar tidak tercium oleh Mas Hendra. Kemudian memakai piyama milikku.Aku dan Firman duduk di ruang televisi, aku menyandarkan kepala di bahu Firman. Kami menonton sinetron bersama di Chanel ikan tongkol. Sambil sesekali menyuapkan cemilan. Firman mengelus rambutku, aku merasa nyaman dalam posisi seperti ini. Firman terlihat sangat menyayangiku begitu pun sebaliknya.Saat sedang asyik menonton, tiba-tiba perutku terasa mulas, aku hendak bangun dari kursi namun Firman mencegahku. Dia malah semakin erat memelukku. Akhirnya aku duduk kembali, bersandar Kemabli di bahunya.Aku meringis saat sesuatu seperti hendak keluar. Dan tak lama kemudian.PRET! PROT!Firman yang semula serius menonton televisi menoleh ke arahku. Aku berpura-pura asik menonton televisi."Winda," panggilnya."Kamu kentut sayang?""A-apa? Kamu ngomong apa sayang? Bentar, bentar lagi seru." Aku berpura-p
Kami sarapan bersama, tak ada yang membuka percakapan entah aku, Mas Hendra bahkan Firman sendiri. Kami semua diam, larut dalam pikiran masing-masing. Hingga selesai sarapan Mas Hendra pergi setelah aku mencium punggung tangannya. Kini tinggal aku dns Firman di rumah. Firman pun bangun dari kursinya. Kemudian menghampiriku, "Mbak, aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik di dalam rumah," ucapnya, lalu pergi setelah mengecup keningku. Setelah kepergian Mas Hendra dan juga Firman, aku duduk bersantai di ruang tamu sambil memegang sebuah album pernikahan kami. Aku mau buka setiap lembar yang ada di sana. Memandang wajahku saat pertama menikah, di sana terlihat aku bahagia bersuamikan Mas Hendra. Namun kini pernikahan kami sudah berantakan, Mas Hendra telah berselingkuh. Begitupun juga denganku telah membagi hati pada pria lain, yang tak lain adalah adik kandungnya sendiri. Aku sangat mencintai Firman--adik iparku. Aku sedikit merasa bersalah, namun semuanya sudah terlanjur. Aku tak mampu
Aku terbelalak, mataku mengerjap berkali-kali mencari alasan. "Katakan, Winda. Jam tangan siapa ini?!" sentaknya. Aku menggaruk tengkuk yang tak gatal, "E—em, i-itu jam tangan milik—Firman." ucapku tergagap. Mas Hendra berjalan mendekat dengan tatapan tajam dan sulit ku artikan. Dia terus menatapku lekat. Kemudian terdengar suara tawa dari mulutnya, "Hahahaha, kenapa kau tegang seperti itu, sayang?" "Tentu saja, aku tau ini jam tangan milik Firman. Tapi..... Kenapa bisa ada di kamar kita?" sambungnya. Napasku memburu, mataku bergerak liar mencari alasan. "Ke—kemarin Firman kemari, dia bilang ingin meminjam charger milikmu. Jadi... Aku menyuruhnya untuk mengambil sendiri, dan mungkin saja, jam tangannya terlepas." katakut, aku masih harap-harap cemas memandang Mas Hendra yang tampak sedang berpikir. "Oh begitu rupanya. Yasudah nanti biar aku kembalikan." "Tidak perlu, Mas." "Kenapa tidak perlu?" "E—em, maksudku. Biar aku saja yang mengembalikan jam tangan itu. Kau mandi saja.
Prok prok prok! "Bagus, Bagaimana rasanya bercint@ dengan istriku selama ini, Hem?" ujar Mas Hendra melirik tajam ke arah Firman dan aku. Tu buhku bergetar hebat, akhirnya aku ketahuan. "Kakak, Kau—" belum sempat Firman berbicara Mas Hendra sudah menarik kerah baju Firman kemudian memukulinya. Aku meringis ketakutan melihat kakak beradik berkelahi di depanku. "Kur@ng aj4r! Beraninya kau Firman!" BUGH, BUGH! Mas Hendra memukuli Firman secara terus menerus tanpa henti, membuat Firman tak dapat membela diri. "Adik si@lan! Beraninya kau men!duri istriku," Mas Hendra terlihat begitu marah, wajahnya memerah dengan rahang yang mengeras. "Kumohon, Kak. Ceraikan Mbak Winda, biarkan dia bersamaku. Dia tidak bahagia bersamamu." pinta Firman saat dirinya tumbang di lantai. Aku membalut tubuh dengan selimut, lalu duduk di tepi ranj@ng menyaksikan pergul@tan keduanya. "No, no, no! Tidak akan! Aku tidak akan pernah menceraikan Winda," tukas Mas Hendra. Firman bangkit, kemudian menyeka s
Aku segera bangun dan turun dari ranjang. "Akhh..." pekikku saat merasakan sakit di area lengan dan kaki. Sekuat tenaga aku melangkahkan kaki. Rasanya tidak sabar ingin melihat kondisi Firman. Dengan langkah tertatih aku keluar dari kamar. Aku segera berjalan menuju teras. Disana, aku bisa melihat Firman yang tengah berdebat dengan Mas Hendra. "Mbak Winda!" panggil Firman, dia tersenyum melihatku yang berdiam di ambang pintu. Mas Hendra langsung menoleh. Kemudian berjalan dengan cepat menghampiriku. "Masuk ke dalam!" sentak suamiku itu. "Tidak, Mas. Aku ingin bertemu dengan Firman." Aku menatap ke arah Firman yang sedang memandangku. Dengan wajah yang penuh luka itu dia berjalan mendekat. "Stop, Jangan mendekat!" ujar Mas Hendra. Firman yang semula hendak menghampiri kami langsung berhenti di tempat. "Kak, ceraikan Mbak Winda. Biarkan dia bersamaku. Kami saling mencintai. Kakak bisa bersama Renata, dan aku bersama Mbak Winda. Kita sama-sama bisa hidup bahagia." lirihnya. Aku me
"Hentikan, Jangan sakiti Winda!" suara bariton seorang pria datang, kemudian memeluk tu buhkku. Mereka semua mundur ke belakang, aku menoleh ke arah pria yang kini berusaha untuk melindungiku dari cemoohan mereka yang terus menghinaku. Kupikir Firman yang datang, ternyata si Musang. Sepertinya dia dan Mbak Santi bersekongkol. "Jangan sakiti, Winda. Dia istriku," "Bukannya dia udah berani bermain terong lelaki lain, ya?" "Aku memaafkannya. Cintaku lebih besar dari penghianatannya." ujar suamiku. Aku menoleh ke arahnya, menatapnya lekat. Apa yang sedang dia perankan disini suami, yang tersakiti? Cih! Bukankah dia juga pernah menghianatiku. Kenapa seolah-olah aku yang salah. Ini sangat tidak adil. Saat dia berselingkuh aku diam saja, tapi disaat aku yang ketahuan selingkuh semua orang membenciku. "Ayo, sayang. Kita pulang." Ajaknya. Mas Hendra berusaha membantuku untuk berdiri. Kemudian menuntunku untuk kembali ke rumah. Aku menoleh ke arah Mbak Santi dan para tetanggaku yang lain.
Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu ... Aku dan anak-anak terus mencoba untuk menghibur Winda. Jangan sampai dia sedih dan terus memikirkan Farah. Ternyata, tidak ada usaha yang menghianati hasil. Winda yang tadinya menangisi Farah setiap malam. Kini sedikit berkurang. Hari ini adalah hari jadi pernikahan kami yg ke 6 tahun, tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Aku berencana mengajaknya liburan di bali sekaligus merayakan anniversary kami. Anak-anak sengaja kutitipkan pada Kak Santi selama aku liburan di bali.Kami sampai di resort Bali setelah sebelumnya naik pesawat selama 2 jam. Winda langsung merebahkan diri di kamar hotel. Aku tau dia pasti kelelahan.Setelah memasukan isi koper ke dalam lemari, aku langsung membuka tirai jendela. Terlihat deburan ombak yang sangat kencang di sertai dengan pemandangan yang sangat cantik. Aku sengaja memilih resort yang menghadap langsung dengan laut. Jadi, saat berdiri di jendela seperti yang kulakukan i
“Bagaimana? Apa ada perkembangan?” itu suara Kak Santi. Aku segera menoleh ke arah nya. Kemudian menggeleng, “Belum, Winda masih belum sadar.” jawabku. Aku menatap ke arah ranjang di mana ada Winda yang tengah berbaring dengan luka perban di kepalanya. Kejadian dua hari yang lalu membuatnya tak berdaya di rumah sakit ini. “Anak-anak bagaimana, mereka sama siapa?” Aku menghela napas sejenak, “Bersama asisten rumah tangga kami.” “Kakak ke rumahmu ya, kasian keponakanku. Dua kali ibu mereka masuk rumah sakit.” Aku mengangguk,“Terima kasih, Kak.” “Ya sudah. Kakak pamit ingin menemui mereka. kamu jangan terus bersedih, doakan saja istrimu cepat pulih.“ “Oh iya, bagaimana dengan pelaku yang menyebabkan Winda begini?” “Aku sudah melaporkannya kepada pihak berwajib, biarkan mereka yang mengurusnya.” Kak Santi tersenyum, “Aku tau, adikku tau apa yang harus di lakukan.”
POV Firman Aku baru saja sampai di kantor. Berbarengan dengan aku masuk ke dalam loby, tiba-tiba saja ponselku berbunyi. Aku segera mengangkatnya karena itu berasa dari rumah. Aku sangat takut terjadi sesuatu di rumah. Apalagi itu menyangkut Winda. Kondisi nya masih belum stabil. “Halo, Bibik. Ada apa?” “Halo, Pak. Ibu ... Ibu ....” “Ada apa? Bicara yang jelas?! Winda kenapa?” bertubi-tubi pertanyaan kulontarkan, aku benar-benar merasa khawatir. “Ada apa dengan Winda?” “Tadi Ibu pamit keluar sebentar katanya, dia membawa tas.” Ah, aku meraup wajah kasar. “Sudah kuduga, dia pasti akan berpergian. Harusnya aku tetap di rumah.” Aku menyesal. Kupikir memang benar Winda hanya per
Pagi hari .... Firman membuka matanya perlahan. Kepala yang semalam terasa berat, kini menghilang perlahan. Meskipun dia demam tinggi semalam, tapi dia ingat semalam Winda mengompres dirinya. Firman pikir Winda percaya pada ucapan seseorang yang mengatakan dirinya adalah penyebab kematian Hendra—kakaknya sendiri. Ternyata wanita itu masih perduli padanya. Firman mengulum senyum. Dia menoleh ke samping. Kosong! Winda tidak ada di sana. Entah semalam istrinya itu tidur di mana dia tidak tau. Sebab, setelah minum obat matanya terasa berat. Dia tertidur dan baru bangun sekarang. Firman menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Dia harus segera pergi ke kantor. Hari ini ada jadwal meeting pagi. Sebagai manager yang disiplin tentu saja Firman tidak ingin telat. Meskipun tubunya masih terasa tidak enak. Namun, semangatnya tidak berkurang sedikitpun. Ada wajah Fira dan Farhan, yang menjadi semangatnya ketika rasa malas itu datang. D
Setelah itu Winda mendekat ke arah Firman duduk di sampingnya, dia menatap muka wajah yang tengah terlelap. Wajah yang sangat teduh, tiba-tiba saja jantungnya berdetak kencang saat menatapnya. Winda menyentuh dadanya sendiri. Deg Deg Deg!Benar, jantungnya berdebar-debar. Padahal Firman Tengah tertidur.“Perasaan apa ini? Apakah aku jatuh cinta pada Firman?”“Ah, sudahlah. Jika memang iya, bukankah tidak apa-apa. Toh, dia suamiku.” Winda mengulum senyum.Senyum di wajah Winda pudar saat melihat bibir Firman bergetar.“A—aku tidak melakukan apapun, Win. Tidak ...” gumam Firman dengan mata yang masih terpejam.Winda langsung menyentuh keningnya.“Sshh, panas!”“Ternyata Firman demam, pantas saja dia tidak turun untuk makan malam.”Winda segera bangun dari ranjang. Kemudian keluar dari kamar. Dia mengambil sesuatu kemudian kembali lagi ke dalam kamar. Sambil membawa bak berisi air hangat dan juga
Firman pulang setengah jam kemudian. Setelah menyelesaikan permasalahannya di kantor. Dia segera memarkirkan mobilnya ke garasi. Sebelumnya, dia sudah mendapatkan kabar dari asisten rumah tangganya bahwa Winda sudah pulang.Dengan tergesa dia segera masuk ke dalam rumah. Terlihat Winda tengah duduk di sofa, dengan tangan bersedekap dada. Pandangannya tajam lurus ke depan.Firman tersenyum kemudian berjalan perlahan ke arah nya.“Sayang kamu dari mana saja,” ujarnya saat sudah dekat. Firman duduk di samping Winda. Jarak di antara mereka hanya satu jengkal saja.Winda melirik tajam ke arah Firman. Pria di sampingnya tanpa aba-aba langsung merangkul pundak nya.“Sejak tadi aku mencarimu. Kamu membuatku khawatir, tapi syukurlah kamu sudah pulang.”“Sayang ...”“Berhenti memanggilku dengan sebutan sayang, Firman!” Winda menepis kasar tangan Firman.“Ka—kamu kenapa?”“Aku sudah tau apa yang telah kamu lakukan
Pintu ruangan terbuka membuat keduanya terkejut. Delia dan Firman menoleh ke arah sumber suara.Terlihat seorang Office boy datang membawa ember dan kain pel. Dia terkejut melihat Firman yang sedang berada di sana. Berdebat dengan seorang wanita. Wanita yang tentu saja bukan pegawai di sana.“Ma—maaf, Pak. Saya kira bapak tidak masuk hari ini. Sebelumnya saya di tugaskan untuk membersihkan ruangan bapak.” ujar sang office boy dengan wajah menunduk, takut. Dia takut di pecat karena kelancangannya ini.Namun, Firman malah bersyukur. Adanya dia di sana akan membebaskan dirinya dari Delia. Wanita tidak war4s yang ingin menjadi madunya.“Tidak apa-apa, masuk lah. Kau juga tidak lama kan?”“I—iya, Pak.”Delia menghela napas. Dia membuang pandangan ke arah lain. Kedatangan Office boy di sana mengganggu saja.Firman menatap ke arah Delia kembali. Terlihat wajah wanita itu seperti kesal.“Delia, pergilah. Aku harus bekerja.” pinta Firman. “Firman, ku mohon ... Jadikan aku istri keduamu.”“A
“Ya, aku percaya, sangat percaya padamu sayang.” bisik Firman dengan lembut. Membuat darah Winda berdesir.Firman mendekat, menaruh dagunya di bahu Winda. Membuat wanita itu menjadi gugup. Firman menghirup aroma shampoo yang di pakai Winda. Selalu manis, sama seperti awal mereka dekat. Shampoo beraroma strawberry yang membuat Firman jadi bertekuk lutut padanya.“Fi—Firman ....” suara Winda terdengar lirih. Dia bertopang pada sisi lemari. Selimut yang melekat di tubuh Firman jatuh sehingga belalai itu langsung menyentuh paha Winda yang mu lus. Berdiri tegak begitu gagahnya. Napas Winda memburu saat Firman mencium tengkuknya.“Firman, a—aku ....” Winda tergagap.“Sudhalah, semalam kamu sangat menikmatinya.”Ya, memang Winda akui semalam dia sangat menikmati permainan Firman di atas r@njang. Tapi bukan itu yang ingin dia sampaikan tadi.Winda bergeming menatap ke arah lain. Firman memeluknya dengan erat. Setidaknya Winda hanya lupa, bukan menolaknya.“Ayolah sayang, kita ulangi permainan
Delia tertawa sambil memainkan laptop, “Lihat Firman. Aku kurang paham yang bagian ini. Apa kamu bisa mengajariku dan apa ada saran lain darimu?” Delia terus bicara. Sedangkan Firman hanya fokus pada bibirnya.Suasana semakin terasa panas, Firman mulai melepas jaz kerjanya. Lalu membuka dua kancing bagian depan untuk mengurangi rasa panas di tu buhnya.“Firman hei, kau kenapa?” Delia menyentuh pahanya. Membuat Firman terhenyak sesuatu di bawah sana semakin tak bisa di kendalikan. Sentuhan itu kini semakin terasa. Firman menghembuskan napas kasar, ia menginginkan hal lebih dari ini.Melihat Firman yang gelisah, dengan deru napas nya yang tidak beraturan, membuat Delia tersenyum. Rencananya telah berhasil.“Apa kamu merasa gerah, sama aku juga. Sepertinya akan datang hujan.” Delia melepas blazer yang ia kenakan sejak tadi memperlihatkan bahunya yang mulus.Firman yang terbakar gairah. Mulai tak tenang, ada sesuatu yang harus dia tuntaskan.Ia segera bangun dari sofa. Namun matanya masi