Clara menyeret tubuhnya karena kedua kaki yang tak lagi kuat untuk menopang badan. Wajahnya terasa panas, sedang dadanya kian sesak karena napas yang tak beraturan. Gadis ini merogoh kantong jaket dan mengambil ponsel. Tidak ada satu pun sinyal yang hinggap di ponselnya, dan ia memilih menyalakan senter. Clara mengusahakan diri agar tetap bisa berpikir, karena keadaan seakan mengintimidasi. Deretan pohon bambu ini berdiri angkuh, menimbulkan derit nyaring terkena angin. Clara kembali berlari, meninggalkan hewan melata itu yang terus menjulurkan lidah.Sinar senter mulai Clara arahkan ke jalan setapak yang ada di hadapannya. Gerimis perlahan mulai turun, semakin kepayahan gadis ini memulai perjalanan. Clara ingin menangis, tetapi ia tahu percuma. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah dan keluar dari hutan perawan ini mudah. Deretan pohon bambu sudah ia lewati, kini ia tengah berjalan menyusuri pohon karet yang berjajar rapi. Seharusnya, pukul 16:12 masih memungkinkan ada petani kar
Truk yang ditumpangi semua orang tiba-tiba saja berhenti. Panji yang mengemudi berteriak, jika mesinnya tidak bisa menyala, sedangkan bensin masih dalam keadaan penuh. Clara masih menutupi wajah karena sosok berwajah hitam legam itu berdiri di atas kepala truk sambil terus tertawa.”Pergi setan g*blok!” Jerry berteriak, terus memaki sekitar. Dipta sudah lemas tak berdaya dan hanya berkata lirih meminta tolong. Mesin berangsur-angsur menyala, truk kembali berjalan di atas jalan bebatuan. Setengah jam dalam keadaan seperti ini, akhirnya mereka sampai di depan gubuk mbah Lanang.Panji, Riko dan Jerry saling memapah Dipta. Sedangkan anak buah yang lain menunggu di truk. Clara mengetuk pintu mbah Lanang sambil berteriak agar cepat dibuka. ”Buka aja pintunya, Clara.”Mereka semua menoleh, ternyata mbah Lanang menghampiri dari samping gubuknya sambil memegangi ayam berbulu hitam. Ayam itu ia letakkan, dan ikut masuk dengan yang lain. Dipta ditaruh di atas karpet tipis, Clara menerima kain
Rumini berteriak karena sedetik setelahnya tubuh Alina terpelanting menabrak lukisan besar hingga lukisan itu jatuh. Beruntung dalam bingkai lukisan itu tak terdapat kaca, sehingga tubuh Alina hanya terkena kayu lukisan. Hidung Alina berdarah karena begitu kerasnya menghantam lantai, sedangkan mulutnya dipenuhi darah karena hantaman keras dibagian belakang tubuhnya.Sosok yang mengaku Melisa ini hanya diam, melayang, hingga ujung gaun merahnya melayang di atas lantai. Matanya hitam, tak secuil pun memancarkan rasa kasih melihat kakaknya ia siksa. ”Tolong! Tolong! Pak Ardaaan!”Rumini melolong, berteriak, tetapi Ardan yang berada di kamar seakan tuli. Rumini berlari menuju Alina, memapahnya untuk berdiri dan berjalan keluar rumah. Tetapi, kekuatan yang bahkan sama sekali tak terlihat ini membuat Alina kembali jatuh telungkup dan tubuh Alina terseret hingga jatuh ke air kolam.”Pak Ardan! Pak Ardaaan!”Rumini kembali berteriak. Alina kepayahan menuju tangga kolam renang agar memudahkan
Dipta duduk termenung di halaman belakang, otaknya berkelana pada sore penuh gairah dengan Clara. Meski akhirnya, itu bukan kekasihnya yang sebenarnya. Dipta merutuki kebodohan karena dari gerakan sensual yang dibuat kekasihnya itu memang sangat berbeda. Kaku, dan wajahnya begitu dingin, bahkan seluruh kamarnya berbau kembang kamboja. Dipta yang terbuai gairah seakan lupa, otaknya membeku karena kenikmatan yang disuguhkan membuat akalnya tidak bisa berpikir.”Shit! Harusnya gue nggak setujuin tawaran Alina pas mau jual adeknya ke gue,” umpat Dipta. Meski tak ia pungkiri, kali pertama ia melihat wajah Melisa saat berkunjung ke rumah rekannya itu, Dipta langsung jatuh hati. Tergiur karena masih dalam keadaan virgin, Dipta menyetujui tanpa berpikir panjang dan itulah mengapa ia berani membayar mahal. Lelaki ini masih teringat kala pertama kali Melisa dibawa paksa ke rumahnya untuk diiming-imingi bekerja untuk membayar budi pada Alina, wajahnya tersenyum manis. Tetapi kenyataan yang mena
Hari ini, Alina dapat tersenyum lega karena dokter mengizinkan pulang karena asmanya pun tidak kembali kambuh. Pernapasannya mulai membaik dan hanya membutuhkan istirahat juga tidak bekerja berat. Tanpa menunggu suaminya untuk menjemput, Alina menaiki mobil Erika yang sudah menunggu. ”Kapan orang suruhan lo bakal ngasih info?””Kemungkinan besok, ya. Orang-orang sewaan gue terjun hari ini ke lokasi.” Kemudian Erika memberikan ponsel pada Alina, ”Lo harus pake hp ini, biar Ardan nggak curiga.”Alina menerima ponsel dari tangan Erika karena memang ada benarnya. Mimpi Ardan seperti sebuah firasat, jika cepat atau lambat, suaminya pun pasti akan mengetahui kebusukannya. ”Gue kadang takut.”Erika menoleh. ”Kenapa? Apa Meli ngeliatin mukanya yang jadi hantu?””Non, maaf Bibi potong.” Rumini menghela napas, ”Tiap malem, Bibi nggak bisa tidur karena di pintu kamar Bibi, Non Meli duduk meringkuk sambil liatin Bibi tidur.”Wanita paruh baya itu gelisah, bibirnya bergetar. Ia masih saja ingat
Jerry berteriak dan menghentikan sepeda motor. Lelaki ini begitu tertekan, udara yang ia hirup seakan menipis. Orang-orang yang berada di depan rumah mereka berubah kian memucat, wajahnya sangat putih sedangkan bibirnya melebar hingga ke telinga. Darah mulai mengucur dari semua lubang yang ada di kepala. Teriakan itu masih menggema, Jerry sudah menangis.”Ampuuun. Ampuuun.”Kedua tangan Jerry ia tangkupkan, ia berlutut untuk memohon ampun pada penghuni antah berantah itu. Cukup lama Jerry menyuarakan suara putus asanya, bahunya ditepuk oleh seseorang. Meski ragu, akan tetapi tubuhnya seakan menuruti keinginan seseorang yang menepuknya. Bahkan Jerry tidak bisa mengontrol anggota tubuhnya untuk menolak.Jerry merasa ada harapan karena di hadapannya kini terlihat makhluk yang sangat manusiawi karena bentuknya memang manusia biasa. Bahkan senyum lelaki paruh baya itu sangat teduh. Jerry dapat merasakan atmosfer yang berbeda dari lelaki ini.”Ini bukan tempatmu.”Jerry semakin kebingungan
”Kita nggak bisa buru-buru gini, Lin. Lo tenangin diri dulu.”Erika menarik lengan sahabatnya agar kembali duduk. Rumini mengecek lemari pendingin untuk mengambil air minum untuk majikannya. Alina meneguk minuman yang diberi oleh Rumini, ia mengatur napasnya, kemudian menangis sambil menangkupkan wajah. ”Gue nggak pernah ngerasa diinginkan.” Dengan pandangan nanar, Alina berbicara. ”Liburan beberapa hari lalu, gue ketemu ibu. Dia belom mati kayak yang bude bilang. She looks happy sama suami barunya.” Kemudian tertawa menyedihkan. Alina tertawa, akan tetapi matanya terus saja bercucuran air mata.Erika mengusap lengan Alina, sedangkan Ardan baru mengetahui ini. Ia merutuki dirinya sendiri karena nyatanya, istrinya itu tidak merasa aman dan nyaman untuk membagi setiap resah yang ia rasakan. Alina benar, ia sendirian meski berdua dalam ikatan pernikahan.”Sekarang di pernikahan ini, gue juga nggak diinginkan. Suami gue lebih peduli sama adik tiri kesayangan. Pagi gue kerja sampe malem h
Dipta tengah berada di ruang kerjanya dan mendapati pintu diketuk dengan sangat keras. Melihat seorang gadis di depan pintu, mata Dipta terbelalak. Ia mengetahui siapa gadis di hadapannya. Sahabat Alina! Erika memandang Dipta dengan pandangan datar, menendang pintu yang terbuka separuh. ”Gue nggak pinter basa-basi, tapi lebih baik lo kasih tau di mana Melisa berada.” Suara Erika dingin, sedingin tatapannya. Dipta mereguk ludah, kemudian tertawa terbahak-bahak yang dipaksakan. ”Tikus kecil itu udah kabur 2 bulan lalu dan udah nggak ada sangkut-pautnya sama gue,” jawab Dipta. Erika bangkit dari duduknya, memandangi Dipta dari bawah ke atas kemudian mengeluarkan belati kecil dari dalam jaketnya. Erika menancapkan belati itu ke dalam paha kanan Dipta hingga lelaki itu mengerang kesakitan.”Di mana Melisa!” pekik Erika. Bug!Erika menendang kemaluan Dipta, kemudian mengambil kunci ruang kerja Dipta dan mengunci lelaki itu dari luar. Erika terjatuh saat sedang menyusuri lorong, Clara a
Baku tembak antara pengawal yang dibawa oleh Rose dengan sekawanan orang memakai jas tak terelakkan. Clara sudah bersimbah darah karena kepala Rose yang tertembak terus menerus mengucurkan darah. Clara hanya memejamkan mata, mencoba menerima jika ia akan dijemput oleh ajal saat itu juga. Tubuhnya gemetar hebat. Malaikat maut seakan mengintai hendak mencabut nyawa siapa pun yang ada di sana. Desing peluru telah berhenti. Clara masih memejamkan mata dan mulai berpikir, kali ini ia akan menjadi tawanan oleh orang berbeda. Tangan dan kakinya terbebas, Clara membuka mata dan mendapati sepasang mata yang ia kenali memindahkan jasad Rose. Lantai kayu ini berubah berwarna merah dan berbau anyir. Semua pengawal Rose telah kalah telak oleh anak buah Dipta. ”Kita mau ke mana?” Dipta terus saja menarik tangan Clara setelah ke luar dari rumah itu. Dipta menarik tangan Clara memasuki hutan yang masih lebat. Riko dan Panji membabat habis pohon yang menghalangi jalan dengan parang.”Kita ambil tu
Dunia benar - benar berjalan seperti apa yang diharapkan untuk penjahat besar. Mereka bahkan bisa mempermainkan seseorang seperti bidak catur yang digerakkan maju, atau mundur. Alina masih saja meringkuk, menatap kotak berisi jari mungil manusia yang ia perkirakan, adalah jemari beberapa bayi atau anak-anak.”Nyokap Erika udah pergi?” ujarnya bermonolog.Alina menyelinap diam-diam, sembari mengingat ucapan Erika tentang patung dan buku kuno yang ada di perpustakaan. Alina ingin mengetahui perihal ini. Ia ingin memperjelas, jika orang tua Erika tidak terlibat soal ini. Tangga ini meliuk seperti ular kobra yang menganga. Tidak tidur membuat otak Alina berhalusinasi. Rumah bercahaya temaram, dan beberapa ruangan tidak dinyalakan, membuat Alina merasa menggigil.”Tolong kami ....””Siapa itu?” Suara bisikan saat Alina sampai di tangga terakhir ia dengar. Suaranya serak, dan bergetar. Menoleh ke sana ke mari, tidak ada apa-apa. Meyakinkan diri, jika salah dengar, Alina kembali menapaki la
Kengerian yang dirasakan oleh Clara membuat sekujur tubuhnya terasa dingin. Dingin yang dirasakan tubuhnya bukan perihal pakaian yang telah ditanggalkan, tetapi perasaan takut yang kini hinggap ketika melihat wajah Melisa begitu ayu dalam balutan jasad yang masih hidup. Beruntung tali yang mengikatnya terlepas secara ajaib. Baju yang berserakan Clara punguti sebelum gadis berwajah sama persis dengan Melisa menyadari ia telah pergi. Clara bertelanjang kaki, bersahabat dengan kerikil dingin yang semakin menusuk. Ia sudah terbebas dari bangunan setengah jadi itu. Dikejauhan, terdengar olehnya teriakan dari gedung tinggi itu. Clara semakin mempercepat langkah.Brug!Baru saja menginjakkan kaki di jalan besar, sebuah mobil mengkilap hampir menabraknya. Clara tergelincir, bajunya yang sudah compang camping itu tidak bisa menahan p4ntatnya mendarat ke aspal. Clara mengaduh, dan mendengar mesin berhenti. ”Rose ....”Seorang wanita berwajah bule berdiri di hadapannya, mengernyit. Mungkin wan
Kepala ketiga wanita ini terasa ringan, bahkan tubuhnya merasa melayang. Sejak pocong berukuran besar itu menyuarakan mantera, asap keabuan seakan menyelimuti rumah ini hingga ketiga wanita itu pun tak sadarkan diri. Derak langkah segerombolan orang merangsek masuk, tak mengindahkan wajah-wajah seram yang masih berdiri di kiri kanan. Segerombolan orang itu tetap memanggul satu per satu tubuh si wanita.Gadis cantik berjubah merah turun dari mobil, membunyikan lonceng, membuat para wajah seram itu kembali ke tempat pengap di sana. Gadis ini hanya menampilkan ekspresi datar memandangi para lelaki tengah saling bahu membahu membawa ketiga wanita. Ini sudah hampir subuh. Segerombolan orang-orang ini seakan tidak merasakan kantuk. Mereka menyalakan obor untuk menerangi ruangan di lantai empat. Tidak ada satu pun kendaraan yang akan lewat pada area ini. Orang-orang ini bekerja tanpa suara, seolah sudah di luar kepala apa saja yang hendak dilakukan.”Alina?”Wajah Alina masih saja diam kare
***Ada saja hal yang seharusnya tidak perlu kita mengerti, meski sebagian dari dalam diri seakan mendengar bisikan untuk mencari tahu agar mengetahui. Sebagian besar memilih untuk mundur dibanding terlibat terlalu dalam.---Clara mendorong pintu yang terasa sangat berat, napasnya tak beraturan, keringatnya bercucuran. Hanya suara deru napasnya saja yang terdengar, dibarengi tapak langkah banyak orang di depan rumah. Clara sudah menutup tirai, dan tidak ingin membukanya hanya untuk menegaskan apa yang ada di benak. Sahut-sahutan suara memanggil namanya, tetapi Clara tetap saja diam meringkuk di balik pintu. Clara benar-benar dikuasai rasa takut. Sekelebat memori saat di hutan perawan itu kembali memenuhi kepala. Clara takut Melisa yang saat itu mengejarnya pun turut ada di antara banyaknya pocong yang tengah mengerubungi di depan rumah sewaan ini. Sudah 15 menit berlalu, langkah-langkah itu tak lagi sekeras tadi terdengar. Langkah kaki mulai terdengar menjauh dari pekarangan, tetapi
Ada saja hal yang tidak bisa dijelaskan dengan baik, seperti situasi yang dihadapi orang-orang yang memiliki pertanyaan besar perihal ... siapa gadis yang memiliki wajah begitu mirip dengan Melisa? 2 jam lalu, adalah 2 jam yang menegangkan. Alina berhasil lepas dari cengkraman tangan Melisa misterius itu karena Melisa yang melepasnya dan kembali pergi. Erika yang memilih mengemudi karena Alina beberapa kali menghirup inhaler dan udara yang terasa menipis. Erika merasa kasihan pada sahabatnya itu, karena ketika terserang panik dan takut, tubuhnya akan memberi respon dan berujung sesak napas. Ia sering kali meminta Alina untuk diam saja di rumah, akan tetapi rentetan masalah ini, sahabatnya itu tetap ingin bertanggungjawab dan tak mau melimpahkan segalanya pada Erika.”Lo udah lebih baik?” tanya Erika, sesekali ia melirik sahabatnya yang masih memegangi inhaler di tangan kiri.Alina tak kuasa menjawab, hanya mengangguk saja karena tengah menetralkan pernapasan. Inhaler kembali Alina hi
”Untung kita nggak mati konyol!” Dipta membuang puntung rokok ke sembarang arah. Clara hanya mengedikkan bahu. 7 bulan lalu, saat kebakaran villa, Dipta dan yang lainnya memang sudah pergi dari sana melalui bawah tanah. Karena satu-satunya jalan yang tidak akan terkena api hanya itu. Tulang yang sudah dibungkus dengan kain kafan tak mereka pikirkan. ”Alina udah berhasil bawa tulang adiknya, bukannya masalah kita impas?” tanya Clara. ”Buktinya Alin dan Rika nggak nyari kita.””Justru kata Mbah Lanang, Melisa masih belum dikubur. Rohnya masih belom tenang.””Yang terpenting polisi nggak ngendus masalah ini, kita aman,” ujar Clara.Dipta dan Clara tidak benar-benar menghindar, tidak pula memilih tempat terpencil seperti yang sudah-sudah. Bahkan Dipta kembali ke Jakarta, berbisnis barang haram dan wanita. Rumahnya yang dulu menjadi saksi darah Melisa yang mengalir, sudah ditinggalkan. Bahkan sudah hampir 1 tahun, rumahnya masih belum ada yang membeli. Bahkan beberapa orang yang menyewa,
Ternyata, hidup se-atap tidak menjamin untuk saling mengerti. Seperti halnya Alina, yang tidak tahu apa-apa tentang mendiang ayahnya. Kematian Melisa membuat hal yang sebelumnya bahkan tak pernah ada di benak, kini tersaji nyata. Alina masih terpekur di tempatnya, menerima setiap repetan yang keluar dari mulut wanita cantik berkerudung ini.Romo berulangkali meminta putrinya diam, tetapi begitulah putrinya. Rasa kehilangan dan rasa sakit membuat emosi Rara tak terkontrol dengan baik. Ia luapkan segalanya, dan lagi pun ia sudah menunggu moment ini untuk meluapkannya di hadapan Alina.Rapatnya pintu yang baru saja ditutup keras, Alina semakin menunduk. Erika hanya termangu di tempatnya, tidak mengerti untuk melakukan apa karena kata-kata Rara sepertinya benar. Alina mengambil napas panjang, menghembuskan perlahan untuk mengatur kata yang akan keluar.”Romo ... jika ada kesalahan yang dilakukan oleh mendiang ayah saya, saya sebagai anaknya meminta maaf sebesar-besarnya. Semua yang sudah
Tidak akan terasa menyakitkan, jika bukan orang terdekat yang memberi luka. Tetapi orang terdekatlah yang bisa membuat hal manis menjadi begitu menyakitkan setelah mengetahui seperti apa mereka yang sebenarnya. Cinta, kasih dan sudut pandang masing-masing akan seperti mata tombak yang siap menghunus ketika ternyata semua itu hanya kamuflase.”Kepala gue udah kayak diskotik. Brisik banget!” keluh Alina sembari memegangi kepala. Erika hanya diam, ia masih cukup berduka dengan kenyataan yang sangat membuatnya terkejut. Sekte? Pembunuhan? Hal itu saling berseliweran di kepala, menuntut jawab yang belum ia dapat jawabannya saat ini. Hatinya memintanya pulang untuk meminta jawaban dari kedua orang tuanya, tetapi logika berjalan untuk menunggu waktu yang tepat dan tidak boleh mengedepankan emosi.Hawa dingin yang disuguhkan di rumah Alina tidak membuat Erika menggigil. Bahkan sedari pulang dari cafe, jaket berbahan jeans itu sudah ia lepas dan disampirkan ke sofa. Pikirannya melayang jauh,