Ketiga wanita beda generasi ini saling berusaha menopang satu sama lain. Sepanjang jalan mereka saling menangis memikirkan nyawanya tak melayang saja sudah cukup membuat mereka bersyukur. Erika mendorong Alina dan Rumini hingga berguling sekitar 2 meter. Derak langkah beberapa orang membuat Erika curiga akan membahayakan dirinya dan yang lain. ”Sisir lokasi ini, cari Alina dan yang lain sampai ketemu. Mati atau hidup, harus dibawa ke sini!”Ardan berkacak pinggang, rahangnya mengeras. Ketiga wanita itu sama sekali tidak menyangka ucapan Ardan setelahnya.”Tenang, Mel. Aa yang akan balesin sakit hati kamu,” gumam Ardan. Kemudian berlari menuju villa yang masih mengepulkan asap.Ketiga wanita itu segera berlari tunggang langgang sambil menjauh dari orang-orang Ardan. Alina tak habis pikir dengan Ardan, dari mana uang yang ia dapatkan untuk membayar 10 orang itu? Sedangkan Ardan tidak memiliki jabatan penting di kantor. Alina berpikir keras, dirinya merasakan signal bahaya dari Ardan. W
Ketiga wanita beda generasi ini saling berusaha menopang satu sama lain. Sepanjang jalan mereka saling menangis memikirkan nyawanya tak melayang saja sudah cukup membuat mereka bersyukur. Erika mendorong Alina dan Rumini hingga berguling sekitar 2 meter. Derak langkah beberapa orang membuat Erika curiga akan membahayakan dirinya dan yang lain. ”Sisir lokasi ini, cari Alina dan yang lain sampai ketemu. Mati atau hidup, harus dibawa ke sini!”Ardan berkacak pinggang, rahangnya mengeras. Ketiga wanita itu sama sekali tidak menyangka ucapan Ardan setelahnya.”Tenang, Mel. Aa yang akan balesin sakit hati kamu,” gumam Ardan. Kemudian berlari menuju villa yang masih mengepulkan asap.Ketiga wanita itu segera berlari tunggang langgang sambil menjauh dari orang-orang Ardan. Alina tak habis pikir dengan Ardan, dari mana uang yang ia dapatkan untuk membayar 10 orang itu? Sedangkan Ardan tidak memiliki jabatan penting di kantor. Alina berpikir keras, dirinya merasakan signal bahaya dari Ardan. Wa
Rambut Alina dijambak, Josua tidak tinggal diam, ia segera meninju rahang suami atasannya tanpa ampun. Foto yang tengah Alina ambil dengan tangan gemetar dilihat oleh Josua, rahang lelaki itu mengetat, ubun-ubunnya terasa panas. Ardan yang tersungkur diraih kembali kerah bajunya dan tanpa pikir panjang, Josua mengarahkan kepalanya ke kepala Ardan. Pening tidak membuatnya gentar untuk membuat babak belur suami Alina itu. Josua meludah, Ardan bukan tandingannya. Josua menggenggam tangan Alina dan mulai membawanya turun dari bangunan mengerikan penuh tanda terbakar ini. ”Bu Alina harus pergi dari tempat ini,” ucap Josua pelan, matanya tidak ia arahkan pada Alina. ”Terlalu bahaya di sini, Bu.”Alina berhenti, tetapi langkahnya memijak bebatuan licin hingga terguling ke perkebunan warga. Josua menolong Alina dan menawarkan diri untuk menggendong atasannya itu.”Yo, ada yang bilang ke saya. Tempat musuh adalah persembunyian yang paling aman, karena musuh nggak akan berpikir kalau kita sebe
Erika menceritakan segala yang terjadi pada dirinya saat peristiwa kebakaran itu. Tubuhnya dirasuki oleh Melisa hingga ia tidak bisa merasakan apapun lagi. Mereka berdua, tengah berada di puing-puing bangunan yang basah karena hujan semalam. Ranjang untuk mengikatnya waktu itu masih ada di sana, tak terbakar sedikit pun. ”Gue masuk ke ruangan ini,” ucap Erika, mulai menjelaskan. Ruangan yang semula berisi freezer ukuran besar ini menjadi saksi bisu betapa putus asanya Erika. ”Gue ke sini karena mau nolongin Bi Rumi, tapi malah gue pun ketangkep. Ada dukun yang Dipta sewa, Lin. Karena dukun itu juga yang bikin Melisa ada di hadapan gue dan setelah itu ... gue nggak bisa kontrol badan gue.”Alina mengangguk, ia pun ingat ada seorang lelaki memakai baju serba hitam dan mengenakan ikat kepala. ”Villa ini kebakaran, dan kita pun terlempar sampe ke pohon. Kira-kira, di mana Dipta? Misal mereka udah mati, kenapa nggak ada jasad yang tersisa? Atau tulangnya mungkin? Bukannya tulang ekor ngg
Bersyukur Alina memakai sneakers, membuatnya lebih leluasa untuk lari. Kedua wanita itu segera memasuki rumah, dan membagikan beberapa lembar uang untuk membayar jasa bersih-bersih yang telah ia panggil. Alina juga mengusir semuanya meski pekerjaan belum selesai. Setelah memastikan semuanya pergi, Alina dan Erika bergegas mengunci pintu dan melajukan kendaraan. Aliran darah seakan mengalir lebih cepat, membuat kepala terasa panas.”Jawabannya mungkin ada di buku tadi, Lin.””Astaga! Bukunya ketinggalan!” Mobil dihentikan begitu saja, Erika menoyor kepala Alina karena sangat ceroboh. Alina memukul-mukul kemudi. Ia masih ingat, buku itu tidak dimasukkan ke dalam tas karena tadi tergesa-gesa menarik Erika untuk mengajaknya ke ruang bawah tanah itu. Mobil kembali diputar balik ke rumah, meski dongkol di hati tidak bisa ditepis lagi. Melihat rumah yang sudah lama sekali tidak dihuni, membuat Alina merasakan takut.”Lo gila, kita balik lagi ke rumah itu!” Erika berteriak.”Dari pada kita d
Pada kenyataannya, kehidupan memang dipenuhi rahasia. Seperti layaknya lautan yang tidak bisa diungkap seluruhnya, begitu pula manusia. Melisa yang Alina kira anak pendiam dan baik-baik, hingga dirinya merasa bersalah telah menjualnya pada Dipta, kini justru merasa lega telah jauh dari gadis manis itu. Pukul 00:29, Alina baru sampai di rumahnya yang asri. Beberapa jam perjalanan, lebih lama dari biasanya karena Erika dan dirinya hanya diam dan bergelut dalam pikir masing-masing. Erika duduk di ruang tamu, belum mengganti baju yang penuh keringat. Begitupun Alina, masih belum beranjak dari pintu yang sudah tertutup. Air matanya turun, kejadian tadi membuat psikologisnya terguncang.”Maaf ....” Suara Erika tersendat, tenggorokan terasa tercekat. Ada banyak yang ingin ia katakan pada sahabatnya, tetapi mulutnya hanya berkata "maaf" saja.”Lo berhak buat nggak ikut ke masalah yang udah gue buat, Rik. Gue hargai,” jawab Alina lirih. ”Makasih udah nolong gue tadi.” Alina beranjak ke pintu
Ada filosofi yang mengatakan, ketika berada dalam kandungan janin diberi pilihan untuk lahir atau tidak. Di dalam sana beberapa kehidupan yang akan dijalani diperlihatkan, hingga akhirnya memilih lahir atau tidak untuk suatu hal yang akan di jalankan di dunia. Bayi-bayi yang lahir membuat siapapun akan mengasihi dan menyayangi. Kebahagiaan sempurna, yang tak akan terulang lagi. Namun, pada kenyataannya, sains mengatakan jika yang terkuatlah yang akan lahir ke dunia. Umur yang membuat kita semakin besar, dengan bahu yang terus saja diberi berbagai beban, memaksa kita untuk kuat meski berulangkali ingin menyerah. Dari situ, beberapa manusia akan bertanya. ”Untuk apa kami lahir jika kehidupan maha berat seperti ini?”Alina menutup buku yang tengah ia baca setelah shalat tahajjud untuk menunggu waktu subuh. Sepenggal kalimat menggelitik pikirannya.”Untuk apa lahir?” gumamnya, ”jika memang setiap bayi yang lahir karena diberi suatu gambaran kebahagiaan di dunia, apa mungkin kebahagiaan g
Tidak akan terasa menyakitkan, jika bukan orang terdekat yang memberi luka. Tetapi orang terdekatlah yang bisa membuat hal manis menjadi begitu menyakitkan setelah mengetahui seperti apa mereka yang sebenarnya. Cinta, kasih dan sudut pandang masing-masing akan seperti mata tombak yang siap menghunus ketika ternyata semua itu hanya kamuflase.”Kepala gue udah kayak diskotik. Brisik banget!” keluh Alina sembari memegangi kepala. Erika hanya diam, ia masih cukup berduka dengan kenyataan yang sangat membuatnya terkejut. Sekte? Pembunuhan? Hal itu saling berseliweran di kepala, menuntut jawab yang belum ia dapat jawabannya saat ini. Hatinya memintanya pulang untuk meminta jawaban dari kedua orang tuanya, tetapi logika berjalan untuk menunggu waktu yang tepat dan tidak boleh mengedepankan emosi.Hawa dingin yang disuguhkan di rumah Alina tidak membuat Erika menggigil. Bahkan sedari pulang dari cafe, jaket berbahan jeans itu sudah ia lepas dan disampirkan ke sofa. Pikirannya melayang jauh,
Baku tembak antara pengawal yang dibawa oleh Rose dengan sekawanan orang memakai jas tak terelakkan. Clara sudah bersimbah darah karena kepala Rose yang tertembak terus menerus mengucurkan darah. Clara hanya memejamkan mata, mencoba menerima jika ia akan dijemput oleh ajal saat itu juga. Tubuhnya gemetar hebat. Malaikat maut seakan mengintai hendak mencabut nyawa siapa pun yang ada di sana. Desing peluru telah berhenti. Clara masih memejamkan mata dan mulai berpikir, kali ini ia akan menjadi tawanan oleh orang berbeda. Tangan dan kakinya terbebas, Clara membuka mata dan mendapati sepasang mata yang ia kenali memindahkan jasad Rose. Lantai kayu ini berubah berwarna merah dan berbau anyir. Semua pengawal Rose telah kalah telak oleh anak buah Dipta. ”Kita mau ke mana?” Dipta terus saja menarik tangan Clara setelah ke luar dari rumah itu. Dipta menarik tangan Clara memasuki hutan yang masih lebat. Riko dan Panji membabat habis pohon yang menghalangi jalan dengan parang.”Kita ambil tu
Dunia benar - benar berjalan seperti apa yang diharapkan untuk penjahat besar. Mereka bahkan bisa mempermainkan seseorang seperti bidak catur yang digerakkan maju, atau mundur. Alina masih saja meringkuk, menatap kotak berisi jari mungil manusia yang ia perkirakan, adalah jemari beberapa bayi atau anak-anak.”Nyokap Erika udah pergi?” ujarnya bermonolog.Alina menyelinap diam-diam, sembari mengingat ucapan Erika tentang patung dan buku kuno yang ada di perpustakaan. Alina ingin mengetahui perihal ini. Ia ingin memperjelas, jika orang tua Erika tidak terlibat soal ini. Tangga ini meliuk seperti ular kobra yang menganga. Tidak tidur membuat otak Alina berhalusinasi. Rumah bercahaya temaram, dan beberapa ruangan tidak dinyalakan, membuat Alina merasa menggigil.”Tolong kami ....””Siapa itu?” Suara bisikan saat Alina sampai di tangga terakhir ia dengar. Suaranya serak, dan bergetar. Menoleh ke sana ke mari, tidak ada apa-apa. Meyakinkan diri, jika salah dengar, Alina kembali menapaki la
Kengerian yang dirasakan oleh Clara membuat sekujur tubuhnya terasa dingin. Dingin yang dirasakan tubuhnya bukan perihal pakaian yang telah ditanggalkan, tetapi perasaan takut yang kini hinggap ketika melihat wajah Melisa begitu ayu dalam balutan jasad yang masih hidup. Beruntung tali yang mengikatnya terlepas secara ajaib. Baju yang berserakan Clara punguti sebelum gadis berwajah sama persis dengan Melisa menyadari ia telah pergi. Clara bertelanjang kaki, bersahabat dengan kerikil dingin yang semakin menusuk. Ia sudah terbebas dari bangunan setengah jadi itu. Dikejauhan, terdengar olehnya teriakan dari gedung tinggi itu. Clara semakin mempercepat langkah.Brug!Baru saja menginjakkan kaki di jalan besar, sebuah mobil mengkilap hampir menabraknya. Clara tergelincir, bajunya yang sudah compang camping itu tidak bisa menahan p4ntatnya mendarat ke aspal. Clara mengaduh, dan mendengar mesin berhenti. ”Rose ....”Seorang wanita berwajah bule berdiri di hadapannya, mengernyit. Mungkin wan
Kepala ketiga wanita ini terasa ringan, bahkan tubuhnya merasa melayang. Sejak pocong berukuran besar itu menyuarakan mantera, asap keabuan seakan menyelimuti rumah ini hingga ketiga wanita itu pun tak sadarkan diri. Derak langkah segerombolan orang merangsek masuk, tak mengindahkan wajah-wajah seram yang masih berdiri di kiri kanan. Segerombolan orang itu tetap memanggul satu per satu tubuh si wanita.Gadis cantik berjubah merah turun dari mobil, membunyikan lonceng, membuat para wajah seram itu kembali ke tempat pengap di sana. Gadis ini hanya menampilkan ekspresi datar memandangi para lelaki tengah saling bahu membahu membawa ketiga wanita. Ini sudah hampir subuh. Segerombolan orang-orang ini seakan tidak merasakan kantuk. Mereka menyalakan obor untuk menerangi ruangan di lantai empat. Tidak ada satu pun kendaraan yang akan lewat pada area ini. Orang-orang ini bekerja tanpa suara, seolah sudah di luar kepala apa saja yang hendak dilakukan.”Alina?”Wajah Alina masih saja diam kare
***Ada saja hal yang seharusnya tidak perlu kita mengerti, meski sebagian dari dalam diri seakan mendengar bisikan untuk mencari tahu agar mengetahui. Sebagian besar memilih untuk mundur dibanding terlibat terlalu dalam.---Clara mendorong pintu yang terasa sangat berat, napasnya tak beraturan, keringatnya bercucuran. Hanya suara deru napasnya saja yang terdengar, dibarengi tapak langkah banyak orang di depan rumah. Clara sudah menutup tirai, dan tidak ingin membukanya hanya untuk menegaskan apa yang ada di benak. Sahut-sahutan suara memanggil namanya, tetapi Clara tetap saja diam meringkuk di balik pintu. Clara benar-benar dikuasai rasa takut. Sekelebat memori saat di hutan perawan itu kembali memenuhi kepala. Clara takut Melisa yang saat itu mengejarnya pun turut ada di antara banyaknya pocong yang tengah mengerubungi di depan rumah sewaan ini. Sudah 15 menit berlalu, langkah-langkah itu tak lagi sekeras tadi terdengar. Langkah kaki mulai terdengar menjauh dari pekarangan, tetapi
Ada saja hal yang tidak bisa dijelaskan dengan baik, seperti situasi yang dihadapi orang-orang yang memiliki pertanyaan besar perihal ... siapa gadis yang memiliki wajah begitu mirip dengan Melisa? 2 jam lalu, adalah 2 jam yang menegangkan. Alina berhasil lepas dari cengkraman tangan Melisa misterius itu karena Melisa yang melepasnya dan kembali pergi. Erika yang memilih mengemudi karena Alina beberapa kali menghirup inhaler dan udara yang terasa menipis. Erika merasa kasihan pada sahabatnya itu, karena ketika terserang panik dan takut, tubuhnya akan memberi respon dan berujung sesak napas. Ia sering kali meminta Alina untuk diam saja di rumah, akan tetapi rentetan masalah ini, sahabatnya itu tetap ingin bertanggungjawab dan tak mau melimpahkan segalanya pada Erika.”Lo udah lebih baik?” tanya Erika, sesekali ia melirik sahabatnya yang masih memegangi inhaler di tangan kiri.Alina tak kuasa menjawab, hanya mengangguk saja karena tengah menetralkan pernapasan. Inhaler kembali Alina hi
”Untung kita nggak mati konyol!” Dipta membuang puntung rokok ke sembarang arah. Clara hanya mengedikkan bahu. 7 bulan lalu, saat kebakaran villa, Dipta dan yang lainnya memang sudah pergi dari sana melalui bawah tanah. Karena satu-satunya jalan yang tidak akan terkena api hanya itu. Tulang yang sudah dibungkus dengan kain kafan tak mereka pikirkan. ”Alina udah berhasil bawa tulang adiknya, bukannya masalah kita impas?” tanya Clara. ”Buktinya Alin dan Rika nggak nyari kita.””Justru kata Mbah Lanang, Melisa masih belum dikubur. Rohnya masih belom tenang.””Yang terpenting polisi nggak ngendus masalah ini, kita aman,” ujar Clara.Dipta dan Clara tidak benar-benar menghindar, tidak pula memilih tempat terpencil seperti yang sudah-sudah. Bahkan Dipta kembali ke Jakarta, berbisnis barang haram dan wanita. Rumahnya yang dulu menjadi saksi darah Melisa yang mengalir, sudah ditinggalkan. Bahkan sudah hampir 1 tahun, rumahnya masih belum ada yang membeli. Bahkan beberapa orang yang menyewa,
Ternyata, hidup se-atap tidak menjamin untuk saling mengerti. Seperti halnya Alina, yang tidak tahu apa-apa tentang mendiang ayahnya. Kematian Melisa membuat hal yang sebelumnya bahkan tak pernah ada di benak, kini tersaji nyata. Alina masih terpekur di tempatnya, menerima setiap repetan yang keluar dari mulut wanita cantik berkerudung ini.Romo berulangkali meminta putrinya diam, tetapi begitulah putrinya. Rasa kehilangan dan rasa sakit membuat emosi Rara tak terkontrol dengan baik. Ia luapkan segalanya, dan lagi pun ia sudah menunggu moment ini untuk meluapkannya di hadapan Alina.Rapatnya pintu yang baru saja ditutup keras, Alina semakin menunduk. Erika hanya termangu di tempatnya, tidak mengerti untuk melakukan apa karena kata-kata Rara sepertinya benar. Alina mengambil napas panjang, menghembuskan perlahan untuk mengatur kata yang akan keluar.”Romo ... jika ada kesalahan yang dilakukan oleh mendiang ayah saya, saya sebagai anaknya meminta maaf sebesar-besarnya. Semua yang sudah
Tidak akan terasa menyakitkan, jika bukan orang terdekat yang memberi luka. Tetapi orang terdekatlah yang bisa membuat hal manis menjadi begitu menyakitkan setelah mengetahui seperti apa mereka yang sebenarnya. Cinta, kasih dan sudut pandang masing-masing akan seperti mata tombak yang siap menghunus ketika ternyata semua itu hanya kamuflase.”Kepala gue udah kayak diskotik. Brisik banget!” keluh Alina sembari memegangi kepala. Erika hanya diam, ia masih cukup berduka dengan kenyataan yang sangat membuatnya terkejut. Sekte? Pembunuhan? Hal itu saling berseliweran di kepala, menuntut jawab yang belum ia dapat jawabannya saat ini. Hatinya memintanya pulang untuk meminta jawaban dari kedua orang tuanya, tetapi logika berjalan untuk menunggu waktu yang tepat dan tidak boleh mengedepankan emosi.Hawa dingin yang disuguhkan di rumah Alina tidak membuat Erika menggigil. Bahkan sedari pulang dari cafe, jaket berbahan jeans itu sudah ia lepas dan disampirkan ke sofa. Pikirannya melayang jauh,