Suasana malam ini begitu dingin, disertai gemericik air hujan dengan petir menyambar. Tapi agaknya, cuaca mencekam seperti itu tidak mengganggu Alina yang tengah menenggak minuman haram sambil sesekali melambungkan asap rokok. Uang sebanyak 100 juta rupiah sudah menggemukkan rekeningnya. Alina tertawa.”Setidaknya ada gunanya juga si cupu itu. Lumayan lah, uang ini buat bayar dia numpang ke gue,” gumam Alina yang mulai teler.Krek!Pintu terbuka, Ardan -- suami Alina menggelengkan kepala melihat istrinya kembali mabuk. Ardan segera mengambil barang haram itu dan membuangnya ke tempat sampah. Alina meracau, meneriaki suaminya karena mengganggu kesenangannya.”Mana Melisa?” tanya Ardan.Alina tertawa, ”Dia adikku, udah gede. Kenapa kamu cari dia terus? Jelas-jelas istrinya ada di depan mata,” gerutunya.Ardan menghela napas. Ia tak habis pikir dengan istrinya karena tampak begitu tenang padahal adik perempuannya sudah pergi selama seminggu dari rumah. Ia bahkan tidak pernah mendengar is
Alina segera membersihkan rumah meski beberapa kali tersandung kaki sofa, karena baru saja terbangun.Ardan melengang santai menuju dapur, kemudian mulai menggoreng telur dan memanggang roti. Ia hanya membuat 1 untuk dirinya sendiri. Saat Melisa masih ada di rumah, gadis itu yang akan membuatkan semua orang sarapan. Tapi setelah gadis itu pergi, Ardan kembali menghandle tugas rumah karena selama 2 tahun pernikahan, istrinya tidak mau mengerjakan hal kotor seperti itu.Setelah Ardan selesai memakan semua sarapannya, ia menghampiri Alina. Ardan merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel.(Tolong aku ....)”Denger?” ucap Ardan, begitu memutar pesan suara yang ia dapatkan saat bangun tidur. ”Kenapa kamu masih tenang-tenang aja, padahal Melisa nggak pulang-pulang?”Alina geram mendengar ucapan suaminya yang terus menyudutkannya itu. ”Dia udah gede! Pesan suara itu bisa jadi orang iseng. Emang suaranya persis sama kayak suara adikku?!””Siapa lagi? Bisa jadi Melisa emang lagi ketakutan
Tanpa buang-buang waktu lagi, Alina menggeledah rumahnya sendiri untuk mencari keberadaan Melisa. Jelas sekali ia mendengar suara Melisa saat ia membuka pintu. Kini kursi bahkan di posisi terbalik karena Alina menariknya. ”Di mana kamu, Melisa! Awas aja kalo kamu ketemu!” gerutunya. (Teteh, aku di sini.)Suara itu kembali terdengar bagai bisikan di telinga Alina. Gerakan Alina semakin kasar, ia melangkah menuju lantai dua untuk mencari keberadaan Melisa. Sesampainya di depan kamar Melisa, Alina segera menendang pintu bercat coklat itu hingga membentur tembok.Namun begitu sampai, ia tidak menemukan apapun, hanya saja posisi kamar itu tidak sama seperti biasanya. Seprai menghambur ke mana-mana, sedangkan boneka beruang milik Melisa sudah terpotong menjadi dua bagian.Mata Alina membelalak. Ia terkejut dengan apa yang dilihatnya, kini tubuhnya mulai bergetar. Agaknya ada yang ingin bermain-main dengan dirinya, karena shower di kamar mandi Melisa terdengar ke telinga.Braak!Pintu kama
Alina mengerjap, adik tirinya memang masih ada di sana tengah berbaring dengan posisi membelakangi. Alina maju beberapa langkah, kemudian melihat adiknya yang memang terlelap, ia menghembuskan napas lega dan bersiap mengayun langkah untuk keluar kamar. Namun ....”Hah.”Lemari kayu jati yang terdapat kaca besar di depannya itu memantulkan diri Alina yang terkena cahaya lampu rumah tetangganya, Alina mendekat ke arah kaca kemudian ke adiknya. ”Ke-kenapa bisa ....” Jantungnya kembali berlarian, keringatnya bercucuran. Tangan Ardan menarik Alina, tapi saat istrinya sudah di luar kamar, istrinya itu tengah mengalami sesak napas.”Alina. Lin,” ucap Ardan. ”Kamu kenapa? Nggak perlu panik atau takut, kan adik kamu baik-baik aja di dalam.”Alina masih dengan wajah pucatnya disertai napas yang tersendat. Ardan membopong tubuh istrinya dan dibaringkan ke kamar. ”Minum obat kamu.” Ardan memberikan satu butir obat beserta air putih. Alina segera mengambil obat itu dan menelannya, kemudian memin
Alina bergeming di tempatnya mendengar penuturan Ardan. Jual diri? Alina memang menjualnya pada Dipta, tapi untuk menemaninya saja, Alina tidak berpikir sejauh itu jika adik tirinya akan disuruh menjadi kupu-kupu malam. Ardan agaknya semakin emosi melihat istrinya hanya diam dengan mulut menganga, ia semakin mengacak rambutnya karena begitu emosi.”Apa?! Apa sebenarnya kamu juga udah tau tentang ini?!” Mata Ardan memerah karena emosi, bahkan urat lehernya tercetak jelas.Alina mengerjap sambil mengatur napas. ”Nggak, Mas. Kalo aku tau, nggak mungkin aku biarin Meli di luaran?” Ya, Alina memang berniat menyangkalnya karena tidak ingin menjadi sasaran emosi atau paling fatal rumah tangganya terancam jika mengiyakan.Ardan tak sabar segera menaiki tangga hendak menuju kamar adik iparnya. Ia pulang lebih cepat, bahkan Ardan harus meminta izin pulang cepat karena pikirannya terganggu. Isi kepalanya hanya dipenuhi oleh Melisa yang seharusnya masih sekolah malah menjual diri di jalanan.Brak
Alina masih diam sambil mengaduk kopi yang sudah dingin, pandangannya mengarah ke laptop yang tak menyala. Kali ini, Alina merasa tidak enak badan karena semalam saat di rumah Dipta, kehujanan. Alina pun tidak bertemu dengan Dipta, justru kali ini ia malah merasa sedikit demam.”Gue kan udah ngomong 10 hari lagi ke sana, mungkin Melisa lagi dibawa jalan sama Dipta?” Alina bermonolog. Sebenarnya ia hanya ingin meyakinkan dirinya sendiri.”Terus ... apa maksud Melisa?” Kepalanya bertambah pening memikirkan itu semua, bahkan praduga Melisa hantu membuatnya bergidik. ”Kalo Melisa mati, ntar gue ikut keseret ke penjara!” Alina menggeleng, ia bertekad untuk ke rumah Dipta lagi 3 hari ke depan, karena saat ini ia sedang tidak sehat.Untuk mengalihkan pikirannya dari hal rumit, Alina memilih berdiri sambil membawa cangkir kopi yang sudah dingin ke tempat barista. ”Ganti yang panas, jangan pake gula.””Lo kenapa sih, Lin?” ”Rika?” Alina segera menarik tangan Rika untuk masuk ke ruangannya,
”Berhenti bicara omong kosong!” pekik Alina sambil menatap wajah datar Melisa. ”Aku udah jual kamu ke Dipta untuk sebulan ke depan, kenapa kamu malah pulang?!”Melisa menatap Alina dengan pandangan terluka. ”Dia jahat, Teteh.” Kali ini Melisa berdiri, tapi Alina merasa gadis itu semakin tinggi saat semakin mendekat padanya. Bahkan menurut Alina, Melisa seperti melayang.”Lihat tanganku ....” Melisa mengulurkan tangannya, di depan Alina. Alina dapat melihat beberapa bekas sundutan ro-kok dan cambuk menghiasi kulit pucatnya. ”Ini bukan urusanku! Apa kamu lupa, ibumu pernah menganiaya aku lebih dari lukamu?!”Tangis itu lolos dari sudut mata Alina. Ia masih ingat, Sintia datang tergopoh-gopoh saat dirinya belajar, saat itu, Baskoro--Ayahnya baru saja pergi untuk perjalanan bisnis. Sintia datang membawa nampan dan langsung menghantamkan benda itu ke kepala Alina hingga mengaduh, hanya karena dimarahi oleh Baskoro setelah Alina mengadu dengan siksaan yang dia terima.”Pintar kamu ya, adu
”Apa itu, Bi?”Alina masih di tangga, melihat plastik berukuran cukup besar ditenteng oleh Rumini. Bau menyengat dari dalam plastik membuat perut Alina terasa diaduk-aduk. ”Tikus mati, Non.”Alina segera lari ke kamarnya, tapi berkali-kali ia mencoba masuk, tidak bisa. Kamarnya terkunci! Alina panik, karena sedari tadi ia tidak berada di kamar dan kunci kamar selalu menempel di lubang kuncinya. Rumini kembali lagi, melihat Alina dengan wajah ditekuk tengah berusaha membuka pintu.”Kenapa, Non?””Ini, Bi, kenapa nggak bisa dibuka? Aku mau pergi ambil baju, padahal dari tadi aku ada di bawah nggak ke atas, pintu juga selalu aku buka,” ucap Alina.Rumini tertegun, ”Bukannya Non Alina dari tadi di kamar dan bolehin saya masuk buat bebersih?”Alina menggerakkan kenopnya dengan cepat. ”Apaan, sih, Bi. Dari tadi aku di bawah.” Karena kesal, Alina memilih segera pergi saja dari rumah untuk menuju cafe miliknya.Lirih, namun Rumini masih mendengar, Melisa tertawa kecil dengan tawa yang menuru
Baku tembak antara pengawal yang dibawa oleh Rose dengan sekawanan orang memakai jas tak terelakkan. Clara sudah bersimbah darah karena kepala Rose yang tertembak terus menerus mengucurkan darah. Clara hanya memejamkan mata, mencoba menerima jika ia akan dijemput oleh ajal saat itu juga. Tubuhnya gemetar hebat. Malaikat maut seakan mengintai hendak mencabut nyawa siapa pun yang ada di sana. Desing peluru telah berhenti. Clara masih memejamkan mata dan mulai berpikir, kali ini ia akan menjadi tawanan oleh orang berbeda. Tangan dan kakinya terbebas, Clara membuka mata dan mendapati sepasang mata yang ia kenali memindahkan jasad Rose. Lantai kayu ini berubah berwarna merah dan berbau anyir. Semua pengawal Rose telah kalah telak oleh anak buah Dipta. ”Kita mau ke mana?” Dipta terus saja menarik tangan Clara setelah ke luar dari rumah itu. Dipta menarik tangan Clara memasuki hutan yang masih lebat. Riko dan Panji membabat habis pohon yang menghalangi jalan dengan parang.”Kita ambil tu
Dunia benar - benar berjalan seperti apa yang diharapkan untuk penjahat besar. Mereka bahkan bisa mempermainkan seseorang seperti bidak catur yang digerakkan maju, atau mundur. Alina masih saja meringkuk, menatap kotak berisi jari mungil manusia yang ia perkirakan, adalah jemari beberapa bayi atau anak-anak.”Nyokap Erika udah pergi?” ujarnya bermonolog.Alina menyelinap diam-diam, sembari mengingat ucapan Erika tentang patung dan buku kuno yang ada di perpustakaan. Alina ingin mengetahui perihal ini. Ia ingin memperjelas, jika orang tua Erika tidak terlibat soal ini. Tangga ini meliuk seperti ular kobra yang menganga. Tidak tidur membuat otak Alina berhalusinasi. Rumah bercahaya temaram, dan beberapa ruangan tidak dinyalakan, membuat Alina merasa menggigil.”Tolong kami ....””Siapa itu?” Suara bisikan saat Alina sampai di tangga terakhir ia dengar. Suaranya serak, dan bergetar. Menoleh ke sana ke mari, tidak ada apa-apa. Meyakinkan diri, jika salah dengar, Alina kembali menapaki la
Kengerian yang dirasakan oleh Clara membuat sekujur tubuhnya terasa dingin. Dingin yang dirasakan tubuhnya bukan perihal pakaian yang telah ditanggalkan, tetapi perasaan takut yang kini hinggap ketika melihat wajah Melisa begitu ayu dalam balutan jasad yang masih hidup. Beruntung tali yang mengikatnya terlepas secara ajaib. Baju yang berserakan Clara punguti sebelum gadis berwajah sama persis dengan Melisa menyadari ia telah pergi. Clara bertelanjang kaki, bersahabat dengan kerikil dingin yang semakin menusuk. Ia sudah terbebas dari bangunan setengah jadi itu. Dikejauhan, terdengar olehnya teriakan dari gedung tinggi itu. Clara semakin mempercepat langkah.Brug!Baru saja menginjakkan kaki di jalan besar, sebuah mobil mengkilap hampir menabraknya. Clara tergelincir, bajunya yang sudah compang camping itu tidak bisa menahan p4ntatnya mendarat ke aspal. Clara mengaduh, dan mendengar mesin berhenti. ”Rose ....”Seorang wanita berwajah bule berdiri di hadapannya, mengernyit. Mungkin wan
Kepala ketiga wanita ini terasa ringan, bahkan tubuhnya merasa melayang. Sejak pocong berukuran besar itu menyuarakan mantera, asap keabuan seakan menyelimuti rumah ini hingga ketiga wanita itu pun tak sadarkan diri. Derak langkah segerombolan orang merangsek masuk, tak mengindahkan wajah-wajah seram yang masih berdiri di kiri kanan. Segerombolan orang itu tetap memanggul satu per satu tubuh si wanita.Gadis cantik berjubah merah turun dari mobil, membunyikan lonceng, membuat para wajah seram itu kembali ke tempat pengap di sana. Gadis ini hanya menampilkan ekspresi datar memandangi para lelaki tengah saling bahu membahu membawa ketiga wanita. Ini sudah hampir subuh. Segerombolan orang-orang ini seakan tidak merasakan kantuk. Mereka menyalakan obor untuk menerangi ruangan di lantai empat. Tidak ada satu pun kendaraan yang akan lewat pada area ini. Orang-orang ini bekerja tanpa suara, seolah sudah di luar kepala apa saja yang hendak dilakukan.”Alina?”Wajah Alina masih saja diam kare
***Ada saja hal yang seharusnya tidak perlu kita mengerti, meski sebagian dari dalam diri seakan mendengar bisikan untuk mencari tahu agar mengetahui. Sebagian besar memilih untuk mundur dibanding terlibat terlalu dalam.---Clara mendorong pintu yang terasa sangat berat, napasnya tak beraturan, keringatnya bercucuran. Hanya suara deru napasnya saja yang terdengar, dibarengi tapak langkah banyak orang di depan rumah. Clara sudah menutup tirai, dan tidak ingin membukanya hanya untuk menegaskan apa yang ada di benak. Sahut-sahutan suara memanggil namanya, tetapi Clara tetap saja diam meringkuk di balik pintu. Clara benar-benar dikuasai rasa takut. Sekelebat memori saat di hutan perawan itu kembali memenuhi kepala. Clara takut Melisa yang saat itu mengejarnya pun turut ada di antara banyaknya pocong yang tengah mengerubungi di depan rumah sewaan ini. Sudah 15 menit berlalu, langkah-langkah itu tak lagi sekeras tadi terdengar. Langkah kaki mulai terdengar menjauh dari pekarangan, tetapi
Ada saja hal yang tidak bisa dijelaskan dengan baik, seperti situasi yang dihadapi orang-orang yang memiliki pertanyaan besar perihal ... siapa gadis yang memiliki wajah begitu mirip dengan Melisa? 2 jam lalu, adalah 2 jam yang menegangkan. Alina berhasil lepas dari cengkraman tangan Melisa misterius itu karena Melisa yang melepasnya dan kembali pergi. Erika yang memilih mengemudi karena Alina beberapa kali menghirup inhaler dan udara yang terasa menipis. Erika merasa kasihan pada sahabatnya itu, karena ketika terserang panik dan takut, tubuhnya akan memberi respon dan berujung sesak napas. Ia sering kali meminta Alina untuk diam saja di rumah, akan tetapi rentetan masalah ini, sahabatnya itu tetap ingin bertanggungjawab dan tak mau melimpahkan segalanya pada Erika.”Lo udah lebih baik?” tanya Erika, sesekali ia melirik sahabatnya yang masih memegangi inhaler di tangan kiri.Alina tak kuasa menjawab, hanya mengangguk saja karena tengah menetralkan pernapasan. Inhaler kembali Alina hi
”Untung kita nggak mati konyol!” Dipta membuang puntung rokok ke sembarang arah. Clara hanya mengedikkan bahu. 7 bulan lalu, saat kebakaran villa, Dipta dan yang lainnya memang sudah pergi dari sana melalui bawah tanah. Karena satu-satunya jalan yang tidak akan terkena api hanya itu. Tulang yang sudah dibungkus dengan kain kafan tak mereka pikirkan. ”Alina udah berhasil bawa tulang adiknya, bukannya masalah kita impas?” tanya Clara. ”Buktinya Alin dan Rika nggak nyari kita.””Justru kata Mbah Lanang, Melisa masih belum dikubur. Rohnya masih belom tenang.””Yang terpenting polisi nggak ngendus masalah ini, kita aman,” ujar Clara.Dipta dan Clara tidak benar-benar menghindar, tidak pula memilih tempat terpencil seperti yang sudah-sudah. Bahkan Dipta kembali ke Jakarta, berbisnis barang haram dan wanita. Rumahnya yang dulu menjadi saksi darah Melisa yang mengalir, sudah ditinggalkan. Bahkan sudah hampir 1 tahun, rumahnya masih belum ada yang membeli. Bahkan beberapa orang yang menyewa,
Ternyata, hidup se-atap tidak menjamin untuk saling mengerti. Seperti halnya Alina, yang tidak tahu apa-apa tentang mendiang ayahnya. Kematian Melisa membuat hal yang sebelumnya bahkan tak pernah ada di benak, kini tersaji nyata. Alina masih terpekur di tempatnya, menerima setiap repetan yang keluar dari mulut wanita cantik berkerudung ini.Romo berulangkali meminta putrinya diam, tetapi begitulah putrinya. Rasa kehilangan dan rasa sakit membuat emosi Rara tak terkontrol dengan baik. Ia luapkan segalanya, dan lagi pun ia sudah menunggu moment ini untuk meluapkannya di hadapan Alina.Rapatnya pintu yang baru saja ditutup keras, Alina semakin menunduk. Erika hanya termangu di tempatnya, tidak mengerti untuk melakukan apa karena kata-kata Rara sepertinya benar. Alina mengambil napas panjang, menghembuskan perlahan untuk mengatur kata yang akan keluar.”Romo ... jika ada kesalahan yang dilakukan oleh mendiang ayah saya, saya sebagai anaknya meminta maaf sebesar-besarnya. Semua yang sudah
Tidak akan terasa menyakitkan, jika bukan orang terdekat yang memberi luka. Tetapi orang terdekatlah yang bisa membuat hal manis menjadi begitu menyakitkan setelah mengetahui seperti apa mereka yang sebenarnya. Cinta, kasih dan sudut pandang masing-masing akan seperti mata tombak yang siap menghunus ketika ternyata semua itu hanya kamuflase.”Kepala gue udah kayak diskotik. Brisik banget!” keluh Alina sembari memegangi kepala. Erika hanya diam, ia masih cukup berduka dengan kenyataan yang sangat membuatnya terkejut. Sekte? Pembunuhan? Hal itu saling berseliweran di kepala, menuntut jawab yang belum ia dapat jawabannya saat ini. Hatinya memintanya pulang untuk meminta jawaban dari kedua orang tuanya, tetapi logika berjalan untuk menunggu waktu yang tepat dan tidak boleh mengedepankan emosi.Hawa dingin yang disuguhkan di rumah Alina tidak membuat Erika menggigil. Bahkan sedari pulang dari cafe, jaket berbahan jeans itu sudah ia lepas dan disampirkan ke sofa. Pikirannya melayang jauh,