Share

4. Bukti

Penulis: Syiffa Natasya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Alina mengerjap, adik tirinya memang masih ada di sana tengah berbaring dengan posisi membelakangi. Alina maju beberapa langkah, kemudian melihat adiknya yang memang terlelap, ia menghembuskan napas lega dan bersiap mengayun langkah untuk keluar kamar. Namun ....

”Hah.”

Lemari kayu jati yang terdapat kaca besar di depannya itu memantulkan diri Alina yang terkena cahaya lampu rumah tetangganya, Alina mendekat ke arah kaca kemudian ke adiknya.

”Ke-kenapa bisa ....” Jantungnya kembali berlarian, keringatnya bercucuran. Tangan Ardan menarik Alina, tapi saat istrinya sudah di luar kamar, istrinya itu tengah mengalami sesak napas.

”Alina. Lin,” ucap Ardan. ”Kamu kenapa? Nggak perlu panik atau takut, kan adik kamu baik-baik aja di dalam.”

Alina masih dengan wajah pucatnya disertai napas yang tersendat. Ardan membopong tubuh istrinya dan dibaringkan ke kamar.

”Minum obat kamu.” Ardan memberikan satu butir obat beserta air putih. Alina segera mengambil obat itu dan menelannya, kemudian meminum air. Berangsur-angsur sesak napasnya berkurang, tapi ia masih syok dengan apa yang ia lihat.

”Mas, Melisa itu hantu. Di kaca lemari aku lihat dia nggak ada di ranjang, dia ada di belakang aku dengan wajah mengerikan. Dia mau cekik aku tadi, Mas. Sumpah, aku nggak bohong.”

Ardan menempelkan tangannya ke kening Alina. ”Nggak anget, berarti nggak sakit. Tapi kenapa omongan kamu ngelantur? Adek sendiri dikata hantu. Udahlah, aku mau tidur aja.”

”Jangan matiin lampunya, Mas. Aku takut gelap. Aku takut Melisa ke sini cekek aku,” ucap Alina ketika melihat Ardan hendak mematikan lampu.

Ardan geram mendengar ucapan ngelantur istrinya. ”Makanya jangan kebanyakan minum miras, kamu! Pikirannya ngelantur terus! Sebel banget aku dengernya.”

”Aku udah lama nggak minum! Aku nggak ngelantur, Mas!” Alina jelas tidak terima.

”Terserah kamu, aku mau tidur.”

Ardan segera membelakangi istrinya kemudian menutupi wajah dengan selimut. Alina membelalak, dan segera masuk ke dalam selimut sambil memeluk suaminya.

Keesokan harinya, Alina bangun dengan wajah lesu dan mata merah dengan bawah mata hitam akibat kurang tidur. Ardan sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali, sedangkan dirinya masih berada di balik selimut. Semalaman Alina mendengar tangis yang begitu menyayat di kamar mandi, bahkan saat didekati tangis itu berpindah ke belakangnya.

Ardan tak mendengar karena semalaman dia tidur dengan telinga disumbat earphone. Bahkan Alina sudah berteriak agar suaminya bangun, tapi tetap saja Ardan tak bangun.

”Sebenernya aku serumah sama Melisa asli atau hantu?” Alina bergidik.

***

”Sial, sial, sial! Gadis itu,” umpat Dipta sambil melambungkan asap rokok ke sembarang arah. Semalaman ia tidak bisa tidur meski sudah menenggak 2 butir obat tidur.

”Kenapa, sih, Babe,” ujar Clara. Gadis berperawakan kurus itu bergelayut di lengan Dipta.

”Melisa. Dia neror aku semalaman.”

Clara berkerut. ”Neror? Penjaga kamu pada di mana sampe kamu diteror cewek aja nggak bisa atasin?”

Dipta mendengkus kesal, mulutnya bungkam karena tak bisa memberi jawaban yang sebenarnya pada Clara. Dipta menyentak tangan Clara yang bergelayut pada lengannya hingga gadis itu hampir jatuh. Pikirannya kacau, bahkan merokok tidak membuatnya tenang. Pikirannya tetap berkabut dan tidak menemukan jalan keluar.

”Babe, yang ngirim pesan ke kamu begini siapa sih? Ini, cewek yang kamu maksud?”

Clara memutar pesan suara yang berisi hanya jeritan dan suara tawa melengking. Dipta meremas rambutnya, mendengar suara jeritan itu ... ia mengenalnya.

”Diam! Hapus pesan itu. Hapus!” Clara tersentak kaget karena dibentak oleh kekasihnya.

Dipta berlari ke belakang rumah menatap lebatnya pohon bambu yang saling bergesekan. Bunga kamboja yang berada tak jauh dari sana menebarkan bau harum yang khas, tapi justru membuat Dipta takut.

”Nggak. Ini nggak bisa gue diemin terus.”

***

Di kantor polisi, tepatnya pada jam makan siang kantor, Ardan ke sana hendak mencabut laporan. Motornya baru saja sampai di halaman kantor polisi, kemudian masuk ke dalam.

”Pak Ardan, baru saja kami hendak mengabarkan kabar terbaru mengenai ananda Melisa.”

Mendengar ucapan dari petugas polisi yang mengetik laporan miliknya kemarin membuat Ardan duduk dan menatapnya sambil tersenyum.

”Iya, Pak. Justru saya kemari--”

”Kami mendapat laporan jika ananda Melisa sempat menjajakan diri di pinggir jalan saat tengah malam. Tapi sudah 3 hari ini saksi yang kami temui mengatakan tidak pernah lagi melihat ananda Melisa di tempat yang sama.”

Ardan setia mendengarkan, meski ia sangat kecewa mendengar Melisa menjual diri di pinggir jalan.

”Pemilik warung kopi memberi kesaksian, jika Melisa selalu diantar dan dijemput oleh lelaki yang sama. Bahkan terakhir kali, yaitu tiga hari yang lalu, pemilik warung kopi ini melihat Melisa dan lelaki ini tengah beradu mulut.”

”Ta-tapi, Pak.” Suara Ardan melemah. ”Melisa bukan gadis seperti itu. Bahkan dia bukan gadis yang kurang uang karena selalu mendapat jatah bulanan dari saya.”

Raut kecewa sangat terlihat di wajah tampan Ardan. Dahi dan alisnya berkerut.

”Maaf, Pak Ardan jika kabar dari kami kurang meng-enakan. Tapi saya memiliki satu pertanyaan lagi, apakah ananda Melisa memiliki pacar? Karena bisa jadi lelaki yang mengantar dan menjemput ananda Melisa adalah pacarnya.”

Ardan menggeleng.

”Baik, Pak. Kabar selanjutnya akan kami laporkan sedetail mungkin.”

Ardan berpamitan dengan polisi, bahkan ia melupakan Melisa yang sudah ada di rumah. Ardan bersiap pergi dari kantor polisi menuju kantornya karena pekerjaannya belum selesai.

***

Di rumahnya, Alina tengah menimbang untuk keluar dari kamar karena perutnya merasa lapar. Sedari pagi sampai kini matahari tengah terik-teriknya, Alina masih takut untuk ke bawah dan berhadapan dengan Melisa.

”Ya ampun, tapi gue laper,” gumamnya sambil meremas perut.

Alina menghela napas, mengumpulkan keberanian sambil mulai berdiri dan menghadap pintu bersiap memutar kenop. Alina memutarnya sedikit demi sedikit agar tidak menimbulkan derit.

Hening.

Bahkan dari kamar adiknya pun tidak ada bunyi apapun. Alina segera berlari menuruni tangga dan segera melompat ke sofa. Senyum kemenangan menghiasi bibir Alina karena Melisa ternyata tidak ada di mana pun.

Alina mulai berjalan santai menuju dapur dan membuka tudung saji, berharap suaminya membuatkannya sarapan.

”Ih, biasanya juga ada sarapan,” gerutunya, karena Alina tidak menemukan sarapan yang tersaji seperti biasa. Alina menuju ke kulkas memerika ada bahan makanan apa yang bisa diolah.

Matanya tak sengaja melihat sandwich yang masih baru, tapi agaknya dibuang ke tempat sampah. Alina merasa sangat marah dan menyambar ponselnya yang berada di meja makan untuk menelfon Ardan.

Matanya membesar, karena nyatanya Ardan justru pulang dengan wajah kesal. Alina menghentakkan kakinya sambil menatap Ardan yang tengah menaiki tangga kemudian menuju ke kamar Melisa.

Braak!

”Mana Melisa?!”

Tampang Ardan begitu mengerikan saat ini, rasanya ingin melahap siapa pun yang membuatnya marah.

”Nggak tau! Aku baru bangun.”

”Kamu ini kakak macam apa, adekmu jadi pela-cur di luaran kamu nggak tau?!” Suara Ardan meninggi. ”Apa karena nafkahku yang terbagi untuk jatah bulanan Melisa, kamu nyuruh dia jual diri?!”

Bab terkait

  • TEH ... AKU DI SINI   5. Gundukan Tanah

    Alina bergeming di tempatnya mendengar penuturan Ardan. Jual diri? Alina memang menjualnya pada Dipta, tapi untuk menemaninya saja, Alina tidak berpikir sejauh itu jika adik tirinya akan disuruh menjadi kupu-kupu malam. Ardan agaknya semakin emosi melihat istrinya hanya diam dengan mulut menganga, ia semakin mengacak rambutnya karena begitu emosi.”Apa?! Apa sebenarnya kamu juga udah tau tentang ini?!” Mata Ardan memerah karena emosi, bahkan urat lehernya tercetak jelas.Alina mengerjap sambil mengatur napas. ”Nggak, Mas. Kalo aku tau, nggak mungkin aku biarin Meli di luaran?” Ya, Alina memang berniat menyangkalnya karena tidak ingin menjadi sasaran emosi atau paling fatal rumah tangganya terancam jika mengiyakan.Ardan tak sabar segera menaiki tangga hendak menuju kamar adik iparnya. Ia pulang lebih cepat, bahkan Ardan harus meminta izin pulang cepat karena pikirannya terganggu. Isi kepalanya hanya dipenuhi oleh Melisa yang seharusnya masih sekolah malah menjual diri di jalanan.Brak

  • TEH ... AKU DI SINI   6. Tolong Aku ...

    Alina masih diam sambil mengaduk kopi yang sudah dingin, pandangannya mengarah ke laptop yang tak menyala. Kali ini, Alina merasa tidak enak badan karena semalam saat di rumah Dipta, kehujanan. Alina pun tidak bertemu dengan Dipta, justru kali ini ia malah merasa sedikit demam.”Gue kan udah ngomong 10 hari lagi ke sana, mungkin Melisa lagi dibawa jalan sama Dipta?” Alina bermonolog. Sebenarnya ia hanya ingin meyakinkan dirinya sendiri.”Terus ... apa maksud Melisa?” Kepalanya bertambah pening memikirkan itu semua, bahkan praduga Melisa hantu membuatnya bergidik. ”Kalo Melisa mati, ntar gue ikut keseret ke penjara!” Alina menggeleng, ia bertekad untuk ke rumah Dipta lagi 3 hari ke depan, karena saat ini ia sedang tidak sehat.Untuk mengalihkan pikirannya dari hal rumit, Alina memilih berdiri sambil membawa cangkir kopi yang sudah dingin ke tempat barista. ”Ganti yang panas, jangan pake gula.””Lo kenapa sih, Lin?” ”Rika?” Alina segera menarik tangan Rika untuk masuk ke ruangannya,

  • TEH ... AKU DI SINI   7. Bangkai Tikus

    ”Berhenti bicara omong kosong!” pekik Alina sambil menatap wajah datar Melisa. ”Aku udah jual kamu ke Dipta untuk sebulan ke depan, kenapa kamu malah pulang?!”Melisa menatap Alina dengan pandangan terluka. ”Dia jahat, Teteh.” Kali ini Melisa berdiri, tapi Alina merasa gadis itu semakin tinggi saat semakin mendekat padanya. Bahkan menurut Alina, Melisa seperti melayang.”Lihat tanganku ....” Melisa mengulurkan tangannya, di depan Alina. Alina dapat melihat beberapa bekas sundutan ro-kok dan cambuk menghiasi kulit pucatnya. ”Ini bukan urusanku! Apa kamu lupa, ibumu pernah menganiaya aku lebih dari lukamu?!”Tangis itu lolos dari sudut mata Alina. Ia masih ingat, Sintia datang tergopoh-gopoh saat dirinya belajar, saat itu, Baskoro--Ayahnya baru saja pergi untuk perjalanan bisnis. Sintia datang membawa nampan dan langsung menghantamkan benda itu ke kepala Alina hingga mengaduh, hanya karena dimarahi oleh Baskoro setelah Alina mengadu dengan siksaan yang dia terima.”Pintar kamu ya, adu

  • TEH ... AKU DI SINI   8. Menuntut Balas

    ”Apa itu, Bi?”Alina masih di tangga, melihat plastik berukuran cukup besar ditenteng oleh Rumini. Bau menyengat dari dalam plastik membuat perut Alina terasa diaduk-aduk. ”Tikus mati, Non.”Alina segera lari ke kamarnya, tapi berkali-kali ia mencoba masuk, tidak bisa. Kamarnya terkunci! Alina panik, karena sedari tadi ia tidak berada di kamar dan kunci kamar selalu menempel di lubang kuncinya. Rumini kembali lagi, melihat Alina dengan wajah ditekuk tengah berusaha membuka pintu.”Kenapa, Non?””Ini, Bi, kenapa nggak bisa dibuka? Aku mau pergi ambil baju, padahal dari tadi aku ada di bawah nggak ke atas, pintu juga selalu aku buka,” ucap Alina.Rumini tertegun, ”Bukannya Non Alina dari tadi di kamar dan bolehin saya masuk buat bebersih?”Alina menggerakkan kenopnya dengan cepat. ”Apaan, sih, Bi. Dari tadi aku di bawah.” Karena kesal, Alina memilih segera pergi saja dari rumah untuk menuju cafe miliknya.Lirih, namun Rumini masih mendengar, Melisa tertawa kecil dengan tawa yang menuru

  • TEH ... AKU DI SINI   9. Rumor

    Malam ini, tepatnya di villa yang ditempati Dipta terasa sangat dingin. Bahkan perapian sudah dinyalakan untuk memberi rasa hangat, tapi rasa dingin tetap saja dominan menyelimuti. Sudah 4 jam sejak kepergian Ijul, Dipta hanya menghabiskan waktu dengan merokok karena untuk tidur, ia kesulitan. Insomnia, selalu mengganggunya.Lamat-lamat pikirannya melayang pada saat Melisa datang ke rumah. Gadis berperawakan mungil itu terlihat sangat cantik dengan mata besarnya. Gadis itu hanya tahu, jika Alina mengirimnya ke rumah Dipta untuk bekerja menebus semua kesalahan yang ibunya perbuat. Gadis malang, pada malam naas itu, sesuatu yang besar terjadi. Dipta mengacak rambut yang sebenarnya tidak gatal, ia berteriak karena frustasi.Bayangan tatapan memohon dari mata besarnya seakan menghantui Dipta kemana pun ia pergi. Pesan-pesan misterius yang ia dapatkan membuat Dipta tak lagi memegang ponsel. Dipta menyandarkan kepalanya ke sofa, menatap perapian dengan api yang tak membuatnya hangat. ”Anj-

  • TEH ... AKU DI SINI   10. Urban Legend

    Cafe berjalan sangat baik, Alina tersenyum puas karena banyak pembeli yang memilih cafenya dibanding cafe yang berada di sekitar. Meski ia pun cukup sibuk, tapi Alina menikmati kesibukan ini untuk mengalihkan pikirannya dari kasus Dipta. Yah, berbicara untuk mengalihkan, kini Alina menghembuskan napas karena pikirannya justru tertuju pada rekannya itu yang sudah sulit dihubungi.”Ada hal yang mengganjal pikiranku, tapi aku nggak bisa dapet jawabannya karena Dipta nggak tau di mana.”Bukan tanpa alasan, Alina sudah mencari tahu keberadaan Dipta melalui teman-temannya, tapi tetap tidak ada yang mengetahui. Bahkan temannya pun ikut menjelaskan, jika nomor Dipta sudah hampir seminggu tidak aktif. Kini semuanya terasa buntu, Alina merasa tidak bisa menemukan jawaban. Otaknya menyuruh Alina untuk berbicara pada Melisa, tapi ada sedikit penolakan di hatinya, yang berkata jika Alina tidak bisa mengorek informasi apapun dari Melisa.Bahkan kesibukan yang ia lakoni sekarang tidak bisa membuatny

  • TEH ... AKU DI SINI   11. Curiga

    Esoknya, Alina mengetuk pintu rumah. Alina memilih duduk sambil meminum air mineral yang ia bawa. Rika perlahan turun dari mobil melihat Alina tetap duduk di teras.”Ya Allah, Non. Kenapa baru pulang sekarang?” Rumini segera duduk di hadapan Alina yang terkejut. Matanya menyipit melihat sekeliling mata asisten rumah tangganya yang menghitam, seperti tidak tidur semalaman. ”Non Meli.” Rumini sudah berderai air mata, tubuhnya gemetar. ”Jangan tinggalin bibi sendirian, Non. Bibi takut di rumah.”Kemudian Rumini menceritakan perihal Melisa yang tertawa dengan kepala terbalik. Bahkan semalaman Rumini merasa diteror dan membuatnya tidak bisa tidur dengan baik. Alina menghembuskan napas, begitu juga Rika yang tak percaya atas apa yang ia dengar.”Apa adek lo punya kelainan, Lin? Maaf, kita nggak ngomong masalah hantu kan?” timpal Rika.Alina dan Rumini berpandangan. ”Bukan gitu, Rik. Dia aneh sejak pulang dari rumah Dipta seminggu yang lalu.””Bukan kita doang, Non, yang bilang non Meli an

  • TEH ... AKU DI SINI   12. Ular Weling

    Alina hanya bergeming menatap nanar pada Yosua. Bagaimana bisa lelaki lajang di hadapannya berkata seperti itu, sedangkan beberapa kali Alina melewati tangga, tapi Melisa tidak ada di tempat yang Yosua katakan? Bahkan, pintu kamarnya pun tertutup rapat. ”Dia bukan adik ibu yang saya kenal.” Yosua berbicara lagi dengan nada yang lebih rendah sambil menunduk. Lelaki itu bangkit meninggalkan Alina, saat Rika mencolek lengan bosnya itu, menyuruhnya untuk menunaikan shalat Isya.Beberapa karyawan yang seiman mulai ada di tempatnya untuk melaksanakan shalat. Alina menatap nanar mukenah yang dibawa Rumini, betapa sangat lama ia tidak menyentuh kain halus itu. Tanpa ragu, Alina mengambilnya dari tangan Rumini dan mengambil tempat di samping Rika.Sepanjang shalat, bau terbakar tercium begitu pekat bercampur aroma bunga sedap malam. Rika merasakan perubahan kamboja ke bunga sedap malam dengan perasaan aneh. Hal seperti ini pernah ia rasakan di rumah masa kecilnya, dulu. Di mana pamannya baru

Bab terbaru

  • TEH ... AKU DI SINI   46. Pengorbanan dan Berkorban

    Baku tembak antara pengawal yang dibawa oleh Rose dengan sekawanan orang memakai jas tak terelakkan. Clara sudah bersimbah darah karena kepala Rose yang tertembak terus menerus mengucurkan darah. Clara hanya memejamkan mata, mencoba menerima jika ia akan dijemput oleh ajal saat itu juga. Tubuhnya gemetar hebat. Malaikat maut seakan mengintai hendak mencabut nyawa siapa pun yang ada di sana. Desing peluru telah berhenti. Clara masih memejamkan mata dan mulai berpikir, kali ini ia akan menjadi tawanan oleh orang berbeda. Tangan dan kakinya terbebas, Clara membuka mata dan mendapati sepasang mata yang ia kenali memindahkan jasad Rose. Lantai kayu ini berubah berwarna merah dan berbau anyir. Semua pengawal Rose telah kalah telak oleh anak buah Dipta. ”Kita mau ke mana?” Dipta terus saja menarik tangan Clara setelah ke luar dari rumah itu. Dipta menarik tangan Clara memasuki hutan yang masih lebat. Riko dan Panji membabat habis pohon yang menghalangi jalan dengan parang.”Kita ambil tu

  • TEH ... AKU DI SINI   45. Sahutan Pistol

    Dunia benar - benar berjalan seperti apa yang diharapkan untuk penjahat besar. Mereka bahkan bisa mempermainkan seseorang seperti bidak catur yang digerakkan maju, atau mundur. Alina masih saja meringkuk, menatap kotak berisi jari mungil manusia yang ia perkirakan, adalah jemari beberapa bayi atau anak-anak.”Nyokap Erika udah pergi?” ujarnya bermonolog.Alina menyelinap diam-diam, sembari mengingat ucapan Erika tentang patung dan buku kuno yang ada di perpustakaan. Alina ingin mengetahui perihal ini. Ia ingin memperjelas, jika orang tua Erika tidak terlibat soal ini. Tangga ini meliuk seperti ular kobra yang menganga. Tidak tidur membuat otak Alina berhalusinasi. Rumah bercahaya temaram, dan beberapa ruangan tidak dinyalakan, membuat Alina merasa menggigil.”Tolong kami ....””Siapa itu?” Suara bisikan saat Alina sampai di tangga terakhir ia dengar. Suaranya serak, dan bergetar. Menoleh ke sana ke mari, tidak ada apa-apa. Meyakinkan diri, jika salah dengar, Alina kembali menapaki la

  • TEH ... AKU DI SINI   44. Semakin Tidak Mengerti

    Kengerian yang dirasakan oleh Clara membuat sekujur tubuhnya terasa dingin. Dingin yang dirasakan tubuhnya bukan perihal pakaian yang telah ditanggalkan, tetapi perasaan takut yang kini hinggap ketika melihat wajah Melisa begitu ayu dalam balutan jasad yang masih hidup. Beruntung tali yang mengikatnya terlepas secara ajaib. Baju yang berserakan Clara punguti sebelum gadis berwajah sama persis dengan Melisa menyadari ia telah pergi. Clara bertelanjang kaki, bersahabat dengan kerikil dingin yang semakin menusuk. Ia sudah terbebas dari bangunan setengah jadi itu. Dikejauhan, terdengar olehnya teriakan dari gedung tinggi itu. Clara semakin mempercepat langkah.Brug!Baru saja menginjakkan kaki di jalan besar, sebuah mobil mengkilap hampir menabraknya. Clara tergelincir, bajunya yang sudah compang camping itu tidak bisa menahan p4ntatnya mendarat ke aspal. Clara mengaduh, dan mendengar mesin berhenti. ”Rose ....”Seorang wanita berwajah bule berdiri di hadapannya, mengernyit. Mungkin wan

  • TEH ... AKU DI SINI   43. Menjadi Tawanan

    Kepala ketiga wanita ini terasa ringan, bahkan tubuhnya merasa melayang. Sejak pocong berukuran besar itu menyuarakan mantera, asap keabuan seakan menyelimuti rumah ini hingga ketiga wanita itu pun tak sadarkan diri. Derak langkah segerombolan orang merangsek masuk, tak mengindahkan wajah-wajah seram yang masih berdiri di kiri kanan. Segerombolan orang itu tetap memanggul satu per satu tubuh si wanita.Gadis cantik berjubah merah turun dari mobil, membunyikan lonceng, membuat para wajah seram itu kembali ke tempat pengap di sana. Gadis ini hanya menampilkan ekspresi datar memandangi para lelaki tengah saling bahu membahu membawa ketiga wanita. Ini sudah hampir subuh. Segerombolan orang-orang ini seakan tidak merasakan kantuk. Mereka menyalakan obor untuk menerangi ruangan di lantai empat. Tidak ada satu pun kendaraan yang akan lewat pada area ini. Orang-orang ini bekerja tanpa suara, seolah sudah di luar kepala apa saja yang hendak dilakukan.”Alina?”Wajah Alina masih saja diam kare

  • TEH ... AKU DI SINI   42. Pembawa Obor

    ***Ada saja hal yang seharusnya tidak perlu kita mengerti, meski sebagian dari dalam diri seakan mendengar bisikan untuk mencari tahu agar mengetahui. Sebagian besar memilih untuk mundur dibanding terlibat terlalu dalam.---Clara mendorong pintu yang terasa sangat berat, napasnya tak beraturan, keringatnya bercucuran. Hanya suara deru napasnya saja yang terdengar, dibarengi tapak langkah banyak orang di depan rumah. Clara sudah menutup tirai, dan tidak ingin membukanya hanya untuk menegaskan apa yang ada di benak. Sahut-sahutan suara memanggil namanya, tetapi Clara tetap saja diam meringkuk di balik pintu. Clara benar-benar dikuasai rasa takut. Sekelebat memori saat di hutan perawan itu kembali memenuhi kepala. Clara takut Melisa yang saat itu mengejarnya pun turut ada di antara banyaknya pocong yang tengah mengerubungi di depan rumah sewaan ini. Sudah 15 menit berlalu, langkah-langkah itu tak lagi sekeras tadi terdengar. Langkah kaki mulai terdengar menjauh dari pekarangan, tetapi

  • TEH ... AKU DI SINI   41. Bermuka dua

    Ada saja hal yang tidak bisa dijelaskan dengan baik, seperti situasi yang dihadapi orang-orang yang memiliki pertanyaan besar perihal ... siapa gadis yang memiliki wajah begitu mirip dengan Melisa? 2 jam lalu, adalah 2 jam yang menegangkan. Alina berhasil lepas dari cengkraman tangan Melisa misterius itu karena Melisa yang melepasnya dan kembali pergi. Erika yang memilih mengemudi karena Alina beberapa kali menghirup inhaler dan udara yang terasa menipis. Erika merasa kasihan pada sahabatnya itu, karena ketika terserang panik dan takut, tubuhnya akan memberi respon dan berujung sesak napas. Ia sering kali meminta Alina untuk diam saja di rumah, akan tetapi rentetan masalah ini, sahabatnya itu tetap ingin bertanggungjawab dan tak mau melimpahkan segalanya pada Erika.”Lo udah lebih baik?” tanya Erika, sesekali ia melirik sahabatnya yang masih memegangi inhaler di tangan kiri.Alina tak kuasa menjawab, hanya mengangguk saja karena tengah menetralkan pernapasan. Inhaler kembali Alina hi

  • TEH ... AKU DI SINI   40. Siapa dia?

    ”Untung kita nggak mati konyol!” Dipta membuang puntung rokok ke sembarang arah. Clara hanya mengedikkan bahu. 7 bulan lalu, saat kebakaran villa, Dipta dan yang lainnya memang sudah pergi dari sana melalui bawah tanah. Karena satu-satunya jalan yang tidak akan terkena api hanya itu. Tulang yang sudah dibungkus dengan kain kafan tak mereka pikirkan. ”Alina udah berhasil bawa tulang adiknya, bukannya masalah kita impas?” tanya Clara. ”Buktinya Alin dan Rika nggak nyari kita.””Justru kata Mbah Lanang, Melisa masih belum dikubur. Rohnya masih belom tenang.””Yang terpenting polisi nggak ngendus masalah ini, kita aman,” ujar Clara.Dipta dan Clara tidak benar-benar menghindar, tidak pula memilih tempat terpencil seperti yang sudah-sudah. Bahkan Dipta kembali ke Jakarta, berbisnis barang haram dan wanita. Rumahnya yang dulu menjadi saksi darah Melisa yang mengalir, sudah ditinggalkan. Bahkan sudah hampir 1 tahun, rumahnya masih belum ada yang membeli. Bahkan beberapa orang yang menyewa,

  • TEH ... AKU DI SINI   39. Jejak Kaki

    Ternyata, hidup se-atap tidak menjamin untuk saling mengerti. Seperti halnya Alina, yang tidak tahu apa-apa tentang mendiang ayahnya. Kematian Melisa membuat hal yang sebelumnya bahkan tak pernah ada di benak, kini tersaji nyata. Alina masih terpekur di tempatnya, menerima setiap repetan yang keluar dari mulut wanita cantik berkerudung ini.Romo berulangkali meminta putrinya diam, tetapi begitulah putrinya. Rasa kehilangan dan rasa sakit membuat emosi Rara tak terkontrol dengan baik. Ia luapkan segalanya, dan lagi pun ia sudah menunggu moment ini untuk meluapkannya di hadapan Alina.Rapatnya pintu yang baru saja ditutup keras, Alina semakin menunduk. Erika hanya termangu di tempatnya, tidak mengerti untuk melakukan apa karena kata-kata Rara sepertinya benar. Alina mengambil napas panjang, menghembuskan perlahan untuk mengatur kata yang akan keluar.”Romo ... jika ada kesalahan yang dilakukan oleh mendiang ayah saya, saya sebagai anaknya meminta maaf sebesar-besarnya. Semua yang sudah

  • TEH ... AKU DI SINI   38. Romo Kusumo

    Tidak akan terasa menyakitkan, jika bukan orang terdekat yang memberi luka. Tetapi orang terdekatlah yang bisa membuat hal manis menjadi begitu menyakitkan setelah mengetahui seperti apa mereka yang sebenarnya. Cinta, kasih dan sudut pandang masing-masing akan seperti mata tombak yang siap menghunus ketika ternyata semua itu hanya kamuflase.”Kepala gue udah kayak diskotik. Brisik banget!” keluh Alina sembari memegangi kepala. Erika hanya diam, ia masih cukup berduka dengan kenyataan yang sangat membuatnya terkejut. Sekte? Pembunuhan? Hal itu saling berseliweran di kepala, menuntut jawab yang belum ia dapat jawabannya saat ini. Hatinya memintanya pulang untuk meminta jawaban dari kedua orang tuanya, tetapi logika berjalan untuk menunggu waktu yang tepat dan tidak boleh mengedepankan emosi.Hawa dingin yang disuguhkan di rumah Alina tidak membuat Erika menggigil. Bahkan sedari pulang dari cafe, jaket berbahan jeans itu sudah ia lepas dan disampirkan ke sofa. Pikirannya melayang jauh,

DMCA.com Protection Status