Denting piano yang mengalun lembut memasuki gendang telinga Alina, membuat matanya mulai mengerjap karena memang wanita cantik itu tengah tidur. Alunan lembut yang memasuki telinga, disertai lagu yang sangat ia kenal.Lagu itu akan dinyanyikan oleh Melisa saat mengajaknya petak umpet, dan dia selalu berhasil menemukannya. Mata Alina memandangi karyawati nya yang memang sudah berjejer tidur dengan rapi. Sedangkan dentingan piano itu berasal dari lorong khusus alat musik berada. Ya, di lantai bawah.Ia melirik jam dinding dan menunjukkan pukul 2 dini hari. Di luar tengah hujan lebat, Alina kembali duduk tak ingin mendengarkan bunyi tuts piano, akan tetapi telinganya berkhianat dan masih bisa merangkap bunyi meski ia bersembunyi di balik bantal.-Aku tahu kamu bisa mendengarku Buka pintunyaAku hanya ingin bermain sedikit-Lagu yang sama dinyanyikan secara berulang. Ada yang berbeda saat Alina mendengarnya, tengkuknya meremang mendengarkan nada rendah nyanyian adiknya. Namun, dalam di
Kucuran keringat sudah membasahi lipatan tubuh Alina, tak terkecuali pelipis. Bahkan kepalanya sudah terasa panas dingin akibat keringat yang terus saja keluar. Petak umpet ini terasa seperti uji nyali, pikirnya. Membuat Alina selalu menerka-nerka dengan jantung berdebar, kapan adiknya akan menemukan keberadaan dirinya.Alina bersembunyi di ruangan kosong berisi beberapa barang masa kecilnya yang ia ambil saat akan keluar dari rumah mendiang ayahnya. Untuk mengabaikan resah di hati, Alina menyambar satu pigura yang berisi gambar dirinya dan sang ibu yang tengah tersenyum melihat ke arah kamera. Itu adalah foto saat pertama kali Alina merasakan piknik di taman.Matanya memanas memandang senyum ibunya. Sampai saat ini, Laura -- sang ibu -- masih belum ia ketahui dimana keberadaannya. Rasa rindu, benci dan sayang bercampur menjadi satu. Alina menekan dadanya yang terasa sesak, tenggorokan pun tercekat. Matanya mulai buram karena kaca-kaca yang rapuh itu mulai pecah, mengalir ke pipi memb
Mengatur napas karena baru saja terbangun dari mimpi yang sangat nyata, Alina duduk sambil memegangi kepala dan memandang sekeliling kamar, mencari keberadaan Rika dan karyawatinya. Pintu kamar mandi terbuka, Alina menoleh.”Rik, lo semalem maen petak umpet sama adek gue juga kan?”Rika yang tengah mengeringkan rambut melemparkan pandangan heran. ”Ngigo, lo? Kalo bangun tu langsung cuci muka.”Alina kembali merebahkan badan dan menatap langit-langit. Otaknya berpikir keras, berusaha menyangkal jika yang ia alami adalah mimpi. Alina kembali duduk, menatap ragu ke arah pintu. Pikirannya menyuruh untuk menghampiri Melisa di kamar dan menanyakannya langsung, akan tetapi, pikirannya yang lain berkata agar dirinya ke rumah Dipta.Kali ini, agaknya Alina memilih menuruti kata hatinya dulu untuk mencoba menemui Melisa di kamar. Alina bergegas keluar meninggalkan Rika yang memandangnya heran. Ketukan demi ketukan sudah Alina lakukan, akan tetapi, Melisa belum memberikan tanda pintu akan dibuka
Tidak bisa berpikir apa-apa lagi, Alina memilih kembali ke rumahnya untuk menemui Melisa, apa pun yang terjadi. Di dalam mobil, Alina hanya diam sambil memandangi jalanan yang macet. Rika hanya diam karena sejujurnya dirinya masih syok atas deretan minuman seperti pengganti nisan. Menimbang-nimbang untuk memberitahu sahabatnya, tapi Rika berpikir lagi untuk tidak membicarakannya sekarang.Setengah jam terjebak macet, mobil Rika bisa kembali meluncur di jalanan hingga sampai di rumah. Tanpa berkata-kata, Alina segera membuka pintu untuk mencari di mana Melisa berada.”Mana Melisa, Bi?” Rumini yang akan menaruh gelas kotor ke wastafel dicegat olehnya.”Di kamar kayaknya, Non.”Alina menaiki tangga. Rika dan Rumini berpandangan, dan memilih mengendap mengikuti Alina.Brak!Pintu terbuka, meski Alina merasa takut, ia akan coba tepis karena ini adalah masalah serius. Berbagai kejanggalan yang ia rasakan sudah tidak bisa dimaklumi lagi. Kamboja, pohon bambu, Dipta. Semuanya Alina ingin men
Bagian yang masih tersisa dari pembusukan jasad Melisa dibawa ke dalam truk yang ditimbun dengan barang-barang rumah. Dipta beralibi seperti akan pindahan, agar, jika iya bertemu dengan polisi pun tidak ada yang curiga. Semuanya sudah diperhitungkan secara matang.Clara menunggu di dekat pintu truk dengan perasaan tak menentu. Dipta masih belum keluar dari kamar, padahal sudah satu jam berlalu dan semua barang sudah dimuat. Ya, alih-alih untuk menyembunyikan peti berisi jasad Melisa, Clara dan Dipta memang berniat pergi dari kediaman yang sekarang.Semua anak buah Dipta sudah berdiri menunggu Dipta yang baru saja keluar menuruni anak tangga tak begitu tinggi. Sementara, Dipta memandangi rumah hasil kerja keras kedua orang tuanya ini dengan tatapan sendu. ”Rumahnya nggak dijual aja, Bos?” tanya Riko.”Nggak. Kalau dijual, gue harus ninggalin jejak nomor telepon.” Dipta menuju mobil merah kesayangannya, dan menggamit lengan Clara, tapi ditepis begitu saja oleh gadis bermata tajam itu.
Pukul 2 dini hari, Ardan masih duduk di balkon kamar tamu tanpa rasa kantuk sedikit pun. Kasus Melisa sudah ditutup karena ia sudah mencabut laporan, meski di sisi lain hatinya mengatakan agar tidak mencabutnya. Ada sesuatu yang janggal Ardan rasakan.Alina sudah tidur beberapa jam lalu ditemani oleh Rika yang juga masih menginap di rumah, sedangkan semua karyawan cafe sudah kembali ke tempatnya semula. Kepalanya ia sangga dengan tangan kanan dalam posisi miring menghadap halaman belakang. Taman kecil dengan kolam renang tak begitu luas dapat terlihat dari sini. Samar-samar, Ardan mendengar bunyi kecipak air di kolam renang yang ia yakini kosong, akan tetapi ia tidak begitu menghiraukan. Kreek ...Ardan menoleh, karena sempat mendengar bunyi kursi bergeser. Masih menatap ke arah yang sama, kursi kayu di sampingnya kembali bergeser sekitar 5 centimeter mendekat ke arahnya.Ardan tertawa, karena rasa takut terhadap hantu adalah hal yang paling bodoh menurutnya. Ardan bangkit menuruni
Clara terbangun karena mendengar sebuah pekikan Dipta di pagi buta seperti ini, bahkan suara barang pecah juga sangat mengganggu tidurnya. Clara merapatkan cardigan yang ia pakai karena semilir angin dari jendela terbuka membuatnya kedinginan. Gadis berperawakan kurus ini menemukan Dipta meringkuk di antara pintu kulkas yang terbuka, tangan lelaki yang ia cintai tengah menyibak udara kosong.”Jangan bunuh aku! Jangan!” Clara segera menghambur untuk memeluk Dipta yang bergetar ketakutan. Akhir-akhir ini kekasihnya itu kurang tidur dan kerap kali bermimpi buruk. Bahkan beberapa kali Dipta tidur sambil berjalan hampir menjatuhkan diri dari balkon.”Melisa! Melisa ada di sini, dia mau bu-bunuh aku,” racau Dipta.”Nggak ada, Dipta. Gue di sini.” Clara berbisik, mencoba memberi Dipta ketenangan dengan pelukan.Clara pun pernah bersitatap dengan Melisa di halaman belakang setelah pemakaman masal itu selesai. Wajahnya yang mengerikan dan tentu saja, hanya kalimat kematian yang muncul dari mu
Terasa bebannya terangkat, Dipta bersenandung mengelilingi rumah berniat untuk membuat api unggun sambil memanggang daging. Kayu-kayu kecil ia kumpulkan, ditemani Clara dan 7 anak buahnya. Sepulangnya dari rumah mbah Lanang, Dipta dan yang lain tidak mendapat semacam gangguan, bahkan wajah mengerikan Melisa sama sekali tak terlihat di sekeliling rumah. Dipta mengambil alih capitan daging dari tangan Clara yang tersenyum manis, Dipta mengecup pipinya yang merah karena blush on.”Bos, kenapa nggak dari awal aja kita ketemu mbah Lanang? Pasti Ijul dan yang lain nggak mati mengenaskan,” ujar Panji.”Gue juga nggak kepikiran,” sahut Clara.Semua tertawa terbahak-bahak menikmati senja yang menenangkan tanpa ada teror seperti yang sudah-sudah. Daging yang matang mulai dilahap oleh semuanya diganti lagi dengan potongan paprika dan udang yang sudah disusun sedemikian rupa dengan tusuk sate. ”Air dari mbah Lanang udah lu siram ke sekeliling rumah, Wo?” Panji bertanya pada rekannya. Jarwo berp
Baku tembak antara pengawal yang dibawa oleh Rose dengan sekawanan orang memakai jas tak terelakkan. Clara sudah bersimbah darah karena kepala Rose yang tertembak terus menerus mengucurkan darah. Clara hanya memejamkan mata, mencoba menerima jika ia akan dijemput oleh ajal saat itu juga. Tubuhnya gemetar hebat. Malaikat maut seakan mengintai hendak mencabut nyawa siapa pun yang ada di sana. Desing peluru telah berhenti. Clara masih memejamkan mata dan mulai berpikir, kali ini ia akan menjadi tawanan oleh orang berbeda. Tangan dan kakinya terbebas, Clara membuka mata dan mendapati sepasang mata yang ia kenali memindahkan jasad Rose. Lantai kayu ini berubah berwarna merah dan berbau anyir. Semua pengawal Rose telah kalah telak oleh anak buah Dipta. ”Kita mau ke mana?” Dipta terus saja menarik tangan Clara setelah ke luar dari rumah itu. Dipta menarik tangan Clara memasuki hutan yang masih lebat. Riko dan Panji membabat habis pohon yang menghalangi jalan dengan parang.”Kita ambil tu
Dunia benar - benar berjalan seperti apa yang diharapkan untuk penjahat besar. Mereka bahkan bisa mempermainkan seseorang seperti bidak catur yang digerakkan maju, atau mundur. Alina masih saja meringkuk, menatap kotak berisi jari mungil manusia yang ia perkirakan, adalah jemari beberapa bayi atau anak-anak.”Nyokap Erika udah pergi?” ujarnya bermonolog.Alina menyelinap diam-diam, sembari mengingat ucapan Erika tentang patung dan buku kuno yang ada di perpustakaan. Alina ingin mengetahui perihal ini. Ia ingin memperjelas, jika orang tua Erika tidak terlibat soal ini. Tangga ini meliuk seperti ular kobra yang menganga. Tidak tidur membuat otak Alina berhalusinasi. Rumah bercahaya temaram, dan beberapa ruangan tidak dinyalakan, membuat Alina merasa menggigil.”Tolong kami ....””Siapa itu?” Suara bisikan saat Alina sampai di tangga terakhir ia dengar. Suaranya serak, dan bergetar. Menoleh ke sana ke mari, tidak ada apa-apa. Meyakinkan diri, jika salah dengar, Alina kembali menapaki la
Kengerian yang dirasakan oleh Clara membuat sekujur tubuhnya terasa dingin. Dingin yang dirasakan tubuhnya bukan perihal pakaian yang telah ditanggalkan, tetapi perasaan takut yang kini hinggap ketika melihat wajah Melisa begitu ayu dalam balutan jasad yang masih hidup. Beruntung tali yang mengikatnya terlepas secara ajaib. Baju yang berserakan Clara punguti sebelum gadis berwajah sama persis dengan Melisa menyadari ia telah pergi. Clara bertelanjang kaki, bersahabat dengan kerikil dingin yang semakin menusuk. Ia sudah terbebas dari bangunan setengah jadi itu. Dikejauhan, terdengar olehnya teriakan dari gedung tinggi itu. Clara semakin mempercepat langkah.Brug!Baru saja menginjakkan kaki di jalan besar, sebuah mobil mengkilap hampir menabraknya. Clara tergelincir, bajunya yang sudah compang camping itu tidak bisa menahan p4ntatnya mendarat ke aspal. Clara mengaduh, dan mendengar mesin berhenti. ”Rose ....”Seorang wanita berwajah bule berdiri di hadapannya, mengernyit. Mungkin wan
Kepala ketiga wanita ini terasa ringan, bahkan tubuhnya merasa melayang. Sejak pocong berukuran besar itu menyuarakan mantera, asap keabuan seakan menyelimuti rumah ini hingga ketiga wanita itu pun tak sadarkan diri. Derak langkah segerombolan orang merangsek masuk, tak mengindahkan wajah-wajah seram yang masih berdiri di kiri kanan. Segerombolan orang itu tetap memanggul satu per satu tubuh si wanita.Gadis cantik berjubah merah turun dari mobil, membunyikan lonceng, membuat para wajah seram itu kembali ke tempat pengap di sana. Gadis ini hanya menampilkan ekspresi datar memandangi para lelaki tengah saling bahu membahu membawa ketiga wanita. Ini sudah hampir subuh. Segerombolan orang-orang ini seakan tidak merasakan kantuk. Mereka menyalakan obor untuk menerangi ruangan di lantai empat. Tidak ada satu pun kendaraan yang akan lewat pada area ini. Orang-orang ini bekerja tanpa suara, seolah sudah di luar kepala apa saja yang hendak dilakukan.”Alina?”Wajah Alina masih saja diam kare
***Ada saja hal yang seharusnya tidak perlu kita mengerti, meski sebagian dari dalam diri seakan mendengar bisikan untuk mencari tahu agar mengetahui. Sebagian besar memilih untuk mundur dibanding terlibat terlalu dalam.---Clara mendorong pintu yang terasa sangat berat, napasnya tak beraturan, keringatnya bercucuran. Hanya suara deru napasnya saja yang terdengar, dibarengi tapak langkah banyak orang di depan rumah. Clara sudah menutup tirai, dan tidak ingin membukanya hanya untuk menegaskan apa yang ada di benak. Sahut-sahutan suara memanggil namanya, tetapi Clara tetap saja diam meringkuk di balik pintu. Clara benar-benar dikuasai rasa takut. Sekelebat memori saat di hutan perawan itu kembali memenuhi kepala. Clara takut Melisa yang saat itu mengejarnya pun turut ada di antara banyaknya pocong yang tengah mengerubungi di depan rumah sewaan ini. Sudah 15 menit berlalu, langkah-langkah itu tak lagi sekeras tadi terdengar. Langkah kaki mulai terdengar menjauh dari pekarangan, tetapi
Ada saja hal yang tidak bisa dijelaskan dengan baik, seperti situasi yang dihadapi orang-orang yang memiliki pertanyaan besar perihal ... siapa gadis yang memiliki wajah begitu mirip dengan Melisa? 2 jam lalu, adalah 2 jam yang menegangkan. Alina berhasil lepas dari cengkraman tangan Melisa misterius itu karena Melisa yang melepasnya dan kembali pergi. Erika yang memilih mengemudi karena Alina beberapa kali menghirup inhaler dan udara yang terasa menipis. Erika merasa kasihan pada sahabatnya itu, karena ketika terserang panik dan takut, tubuhnya akan memberi respon dan berujung sesak napas. Ia sering kali meminta Alina untuk diam saja di rumah, akan tetapi rentetan masalah ini, sahabatnya itu tetap ingin bertanggungjawab dan tak mau melimpahkan segalanya pada Erika.”Lo udah lebih baik?” tanya Erika, sesekali ia melirik sahabatnya yang masih memegangi inhaler di tangan kiri.Alina tak kuasa menjawab, hanya mengangguk saja karena tengah menetralkan pernapasan. Inhaler kembali Alina hi
”Untung kita nggak mati konyol!” Dipta membuang puntung rokok ke sembarang arah. Clara hanya mengedikkan bahu. 7 bulan lalu, saat kebakaran villa, Dipta dan yang lainnya memang sudah pergi dari sana melalui bawah tanah. Karena satu-satunya jalan yang tidak akan terkena api hanya itu. Tulang yang sudah dibungkus dengan kain kafan tak mereka pikirkan. ”Alina udah berhasil bawa tulang adiknya, bukannya masalah kita impas?” tanya Clara. ”Buktinya Alin dan Rika nggak nyari kita.””Justru kata Mbah Lanang, Melisa masih belum dikubur. Rohnya masih belom tenang.””Yang terpenting polisi nggak ngendus masalah ini, kita aman,” ujar Clara.Dipta dan Clara tidak benar-benar menghindar, tidak pula memilih tempat terpencil seperti yang sudah-sudah. Bahkan Dipta kembali ke Jakarta, berbisnis barang haram dan wanita. Rumahnya yang dulu menjadi saksi darah Melisa yang mengalir, sudah ditinggalkan. Bahkan sudah hampir 1 tahun, rumahnya masih belum ada yang membeli. Bahkan beberapa orang yang menyewa,
Ternyata, hidup se-atap tidak menjamin untuk saling mengerti. Seperti halnya Alina, yang tidak tahu apa-apa tentang mendiang ayahnya. Kematian Melisa membuat hal yang sebelumnya bahkan tak pernah ada di benak, kini tersaji nyata. Alina masih terpekur di tempatnya, menerima setiap repetan yang keluar dari mulut wanita cantik berkerudung ini.Romo berulangkali meminta putrinya diam, tetapi begitulah putrinya. Rasa kehilangan dan rasa sakit membuat emosi Rara tak terkontrol dengan baik. Ia luapkan segalanya, dan lagi pun ia sudah menunggu moment ini untuk meluapkannya di hadapan Alina.Rapatnya pintu yang baru saja ditutup keras, Alina semakin menunduk. Erika hanya termangu di tempatnya, tidak mengerti untuk melakukan apa karena kata-kata Rara sepertinya benar. Alina mengambil napas panjang, menghembuskan perlahan untuk mengatur kata yang akan keluar.”Romo ... jika ada kesalahan yang dilakukan oleh mendiang ayah saya, saya sebagai anaknya meminta maaf sebesar-besarnya. Semua yang sudah
Tidak akan terasa menyakitkan, jika bukan orang terdekat yang memberi luka. Tetapi orang terdekatlah yang bisa membuat hal manis menjadi begitu menyakitkan setelah mengetahui seperti apa mereka yang sebenarnya. Cinta, kasih dan sudut pandang masing-masing akan seperti mata tombak yang siap menghunus ketika ternyata semua itu hanya kamuflase.”Kepala gue udah kayak diskotik. Brisik banget!” keluh Alina sembari memegangi kepala. Erika hanya diam, ia masih cukup berduka dengan kenyataan yang sangat membuatnya terkejut. Sekte? Pembunuhan? Hal itu saling berseliweran di kepala, menuntut jawab yang belum ia dapat jawabannya saat ini. Hatinya memintanya pulang untuk meminta jawaban dari kedua orang tuanya, tetapi logika berjalan untuk menunggu waktu yang tepat dan tidak boleh mengedepankan emosi.Hawa dingin yang disuguhkan di rumah Alina tidak membuat Erika menggigil. Bahkan sedari pulang dari cafe, jaket berbahan jeans itu sudah ia lepas dan disampirkan ke sofa. Pikirannya melayang jauh,