Alina bergeming di tempatnya mendengar penuturan Ardan. Jual diri? Alina memang menjualnya pada Dipta, tapi untuk menemaninya saja, Alina tidak berpikir sejauh itu jika adik tirinya akan disuruh menjadi kupu-kupu malam. Ardan agaknya semakin emosi melihat istrinya hanya diam dengan mulut menganga, ia semakin mengacak rambutnya karena begitu emosi.
”Apa?! Apa sebenarnya kamu juga udah tau tentang ini?!” Mata Ardan memerah karena emosi, bahkan urat lehernya tercetak jelas.Alina mengerjap sambil mengatur napas. ”Nggak, Mas. Kalo aku tau, nggak mungkin aku biarin Meli di luaran?” Ya, Alina memang berniat menyangkalnya karena tidak ingin menjadi sasaran emosi atau paling fatal rumah tangganya terancam jika mengiyakan.Ardan tak sabar segera menaiki tangga hendak menuju kamar adik iparnya. Ia pulang lebih cepat, bahkan Ardan harus meminta izin pulang cepat karena pikirannya terganggu. Isi kepalanya hanya dipenuhi oleh Melisa yang seharusnya masih sekolah malah menjual diri di jalanan.Brak! Brak! Brak!Tangan Ardan dengan cepat menggedor pintu kamar Melisa. Jam menunjukkan pukul 15.24, dan sudah hampir 5 menit Ardan berdiri di depan kamar, tapi tetap tidak dibuka. Bahkan kamar Melisa seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan.”Melisa! Buka pintunya!” pekik Ardan beberapa kali.Ctek!Mata Alina membesar mendengar kenop pintu diputar, pintunya berderit saat perlahan terbuka. Alina mundur beberapa langkah, ia sungguh takut melihat kaca lemari Melisa yang memperlihatkan Melisa menjadi seorang makhluk menyeramkan.Melisa keluar berhadapan dengan Ardan, memakai baju serba hitam. Melisa mendongak menatap Ardan, kemudian beralih pandangan ke arah Alina.”Turun! Kakak mau ngomong.”Ardan segera menuruni tangga, Alina segera menyamai langkah dengan Ardan karena takut untuk bersama dengan Melisa di belakang. Ardan dan Alina menunggu di meja makan, Melisa tertinggal jauh dengan langkah kaki yang sangat lamban. Rahang Ardan mengeras menatap adik iparnya yang baru saja duduk berhadapan dengannya.”Ke mana aja kamu selama seminggu kemarin?” Pertanyaan dari Ardan mulai dilontarkan. Alina dapat melihat bagian bibir adiknya menyungging senyum miring sambil menatapnya.”Jawab!”Kepala Melisa miring, ia mulai terkekeh dan tetap menatap Alina yang sudah bergetar ketakutan.”Aku ada di bawah pohon kamboja, dikelilingi kebun bambu lebat.” Kemudian Melisa tertawa nyaring.Alina bergidik, bayangan mengerikan yang ia lihat kemarin seakan mempertegas jika Melisa sebenarnya sudah menjadi hantu, hanya saja ia tidak bisa mengatakan kebenarannya jika adik tirinya itu sudah mati.”Ngomong apa kamu?!” Ardan berkerut mendengar jawaban iparnya. ”Jangan berbelit-belit, Melisa!”Namun Melisa hanya tertawa tanpa menggubris perkataan Ardan. Melisa justru mendorong kursinya sambil berdiri, ia memilih menaiki tangga hingga terdengar bunyi pintu tertutup di lantai atas, mengabaikan Ardan yang tak berkedip karena menurutnya Melisa berubah.***Alina berniat ke rumah Dipta setelah memastikan Ardan sudah tidur. Jam menunjukkan pukul 8 malam, Alina berjalan mengendap saat melewati kamar Melisa. Ia bahkan sampai menahan napas karena takut Melisa keluar.Ctek!Mata Alina membulat karena kenop pintu Melisa memutar. Ia segera berlari menuruni tangga dengan napas tersengal-sengal. Tubuhnya luruh karena lega sambil bersandar ke tembok, matanya memejam karena Melisa tidak melihatnya.Saat malam tiba dan penghuni rumah sudah berada di kamar, keadaan lantai bawah hanya dari lampu kristal menjadikan cahaya di ruangan berbentuk persegi panjang ini remang-remang. Alina hendak bangkit dari duduknya, matanya terbuka, ada sepasang kaki telanjang berdiri di hadapannya. Kaki-kaki itu membiru seperti lama sekali berada di air. Deru napas Alina saling berkejaran.Melisa tengah menatap datar Alina yang baru saja mendongak ke arahnya. Baju yang dikenakan Melisa sama seperti pertama kali pulang setelah hilang seminggu. Baju basah dan lusuh dengan air kecokelatan menetes.”Ka-kamu ngapain,” ucap Alina, nyalinya ciut berhadapan dengan Melisa.”Teteh, aku ikut.”Suara datar dari Melisa membuat Alina menyadari, memang ada yang tidak beres pada adik tirinya. Bahkan saat ia terlalu dekat dengan Melisa, akan tercium aroma tak sedap seperti bangkai.”Ambil aku diantara pohon bambu, Teh.”Alina berdiri dan mendorong Melisa, namun tidak ada yang terjadi, Melisa tetap berdiri tegak.”Kamu bukan Melisa! Melisa ada di rumah Dipta!” pekik Alina. Ia mengumpulkan keberanian yang tersisa.Melisa hanya menyungging senyum di hadapan Alina, senyuman yang tampak mengerikan menurutnya. Alina segera bergegas menuju rumah Dipta, mengabaikan keberadaan Melisa dengan kepala miring ke mana pun Alina melangkah.Mesin mobil dinyalakan, kemudian Alina segera menginjak pedal gas. Sepanjang jalan, ia terus berpikir mencoba menggunakan logika. Akan tetapi, hatinya terus berkata jika Melisa bukanlah Melisa yang sebenarnya. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang buruk, yang terjadi pada adik tirinya.Jalanan lengang kali ini hingga Alina tak terjebak macet seperti biasanya. 10 meter lagi, ia akan sampai di halaman rumah Dipta. Mobilnya berbelok dan berhenti di depan rumah Dipta, Alina segera turun. Alina menatap sekelilingnya, rumah mewah yang ditempati Dipta terlihat sepi.Alina menggedor pintu, meneriaki nama temannya. Bel pun sudah beberapa kali dipencet, tetap saja, tidak ada yang membuka pintu. Alina memilih duduk di kursi yang ada di depan rumah, hingga matanya menyipit melihat pohon bunga kamboja di samping rumah nampak berbunga lebat.”Pohon kamboja?” gumamnya. Langkahnya mulai mendekati pohon kamboja, tapi karena di area yang ia dekati sangat gelap, Alina mengambil ponsel untuk menyalakan senter.”Aku ada di bawah pohon kamboja, dikelilingi kebun bambu lebat.”Kata-kata Melisa pagi tadi membuat Alina berpikir, ”Apa kamboja yang dimaksud Melisa itu di sini? Tapi ... mana kebun bambu yang dia bilang?”Alina semakin melangkah maju, ponselnya dia arahkan ke arah pohon kamboja yang tumbuh subur. Binatang malam terdengar saling bersahutan, bahkan anjing tetangga menyalak seperti ke arahnya.”Apaan, sih,” gumamnya acuh. Ia berjalan sudah hampir ke belakang rumah, bunyi gesekan daun membuat Alina kembali mengarahkan senter dan terlihat, hamparan kebun bambu lebat di belakang rumah Dipta.”Rumah sih udah mewah, tapi bikinnya malah di kampung gini,” ocehnya.Dug!Alina terjerembab, ponselnya jatuh. ”Apaan, sih? Gue kesandung apaan.” Ia merangkak mengambil ponsel, Alina mulai berdiri dan menepuk baju dan celana jeans-nya yang kotor terkena tanah.”Gundukan apa ini? Kayak kuburan.” Ia berjongkok, mengamati gundukan di hadapannya. Tengkuknya tiba-tiba terasa dingin, indera pendengarannya menajam. Bambu yang semula tenang kini saling berderit karena bergesekan.”Hah, apa itu, apa itu,” ujar Alina, napasnya memburu. Sayup-sayup telinganya mendengar isak tangis yang terasa dekat, namun ia tidak tahu tepatnya di mana. Terkadang bunyi tangisan itu terasa ada di belakangnya, akan tetapi saat Alina memutar badan, tangisan itu berpindah.Ponselnya berbunyi, ia mendapat pesan di aplikasi hijau. Pesan yang sama dari nomor yang berjumlah 5 angka itu. Tangannya bergetar saat menyentuh tanda hijau untuk memutar pesan suara.”Aku ada di bawahmu.”Alina masih diam sambil mengaduk kopi yang sudah dingin, pandangannya mengarah ke laptop yang tak menyala. Kali ini, Alina merasa tidak enak badan karena semalam saat di rumah Dipta, kehujanan. Alina pun tidak bertemu dengan Dipta, justru kali ini ia malah merasa sedikit demam.”Gue kan udah ngomong 10 hari lagi ke sana, mungkin Melisa lagi dibawa jalan sama Dipta?” Alina bermonolog. Sebenarnya ia hanya ingin meyakinkan dirinya sendiri.”Terus ... apa maksud Melisa?” Kepalanya bertambah pening memikirkan itu semua, bahkan praduga Melisa hantu membuatnya bergidik. ”Kalo Melisa mati, ntar gue ikut keseret ke penjara!” Alina menggeleng, ia bertekad untuk ke rumah Dipta lagi 3 hari ke depan, karena saat ini ia sedang tidak sehat.Untuk mengalihkan pikirannya dari hal rumit, Alina memilih berdiri sambil membawa cangkir kopi yang sudah dingin ke tempat barista. ”Ganti yang panas, jangan pake gula.””Lo kenapa sih, Lin?” ”Rika?” Alina segera menarik tangan Rika untuk masuk ke ruangannya,
”Berhenti bicara omong kosong!” pekik Alina sambil menatap wajah datar Melisa. ”Aku udah jual kamu ke Dipta untuk sebulan ke depan, kenapa kamu malah pulang?!”Melisa menatap Alina dengan pandangan terluka. ”Dia jahat, Teteh.” Kali ini Melisa berdiri, tapi Alina merasa gadis itu semakin tinggi saat semakin mendekat padanya. Bahkan menurut Alina, Melisa seperti melayang.”Lihat tanganku ....” Melisa mengulurkan tangannya, di depan Alina. Alina dapat melihat beberapa bekas sundutan ro-kok dan cambuk menghiasi kulit pucatnya. ”Ini bukan urusanku! Apa kamu lupa, ibumu pernah menganiaya aku lebih dari lukamu?!”Tangis itu lolos dari sudut mata Alina. Ia masih ingat, Sintia datang tergopoh-gopoh saat dirinya belajar, saat itu, Baskoro--Ayahnya baru saja pergi untuk perjalanan bisnis. Sintia datang membawa nampan dan langsung menghantamkan benda itu ke kepala Alina hingga mengaduh, hanya karena dimarahi oleh Baskoro setelah Alina mengadu dengan siksaan yang dia terima.”Pintar kamu ya, adu
”Apa itu, Bi?”Alina masih di tangga, melihat plastik berukuran cukup besar ditenteng oleh Rumini. Bau menyengat dari dalam plastik membuat perut Alina terasa diaduk-aduk. ”Tikus mati, Non.”Alina segera lari ke kamarnya, tapi berkali-kali ia mencoba masuk, tidak bisa. Kamarnya terkunci! Alina panik, karena sedari tadi ia tidak berada di kamar dan kunci kamar selalu menempel di lubang kuncinya. Rumini kembali lagi, melihat Alina dengan wajah ditekuk tengah berusaha membuka pintu.”Kenapa, Non?””Ini, Bi, kenapa nggak bisa dibuka? Aku mau pergi ambil baju, padahal dari tadi aku ada di bawah nggak ke atas, pintu juga selalu aku buka,” ucap Alina.Rumini tertegun, ”Bukannya Non Alina dari tadi di kamar dan bolehin saya masuk buat bebersih?”Alina menggerakkan kenopnya dengan cepat. ”Apaan, sih, Bi. Dari tadi aku di bawah.” Karena kesal, Alina memilih segera pergi saja dari rumah untuk menuju cafe miliknya.Lirih, namun Rumini masih mendengar, Melisa tertawa kecil dengan tawa yang menuru
Malam ini, tepatnya di villa yang ditempati Dipta terasa sangat dingin. Bahkan perapian sudah dinyalakan untuk memberi rasa hangat, tapi rasa dingin tetap saja dominan menyelimuti. Sudah 4 jam sejak kepergian Ijul, Dipta hanya menghabiskan waktu dengan merokok karena untuk tidur, ia kesulitan. Insomnia, selalu mengganggunya.Lamat-lamat pikirannya melayang pada saat Melisa datang ke rumah. Gadis berperawakan mungil itu terlihat sangat cantik dengan mata besarnya. Gadis itu hanya tahu, jika Alina mengirimnya ke rumah Dipta untuk bekerja menebus semua kesalahan yang ibunya perbuat. Gadis malang, pada malam naas itu, sesuatu yang besar terjadi. Dipta mengacak rambut yang sebenarnya tidak gatal, ia berteriak karena frustasi.Bayangan tatapan memohon dari mata besarnya seakan menghantui Dipta kemana pun ia pergi. Pesan-pesan misterius yang ia dapatkan membuat Dipta tak lagi memegang ponsel. Dipta menyandarkan kepalanya ke sofa, menatap perapian dengan api yang tak membuatnya hangat. ”Anj-
Cafe berjalan sangat baik, Alina tersenyum puas karena banyak pembeli yang memilih cafenya dibanding cafe yang berada di sekitar. Meski ia pun cukup sibuk, tapi Alina menikmati kesibukan ini untuk mengalihkan pikirannya dari kasus Dipta. Yah, berbicara untuk mengalihkan, kini Alina menghembuskan napas karena pikirannya justru tertuju pada rekannya itu yang sudah sulit dihubungi.”Ada hal yang mengganjal pikiranku, tapi aku nggak bisa dapet jawabannya karena Dipta nggak tau di mana.”Bukan tanpa alasan, Alina sudah mencari tahu keberadaan Dipta melalui teman-temannya, tapi tetap tidak ada yang mengetahui. Bahkan temannya pun ikut menjelaskan, jika nomor Dipta sudah hampir seminggu tidak aktif. Kini semuanya terasa buntu, Alina merasa tidak bisa menemukan jawaban. Otaknya menyuruh Alina untuk berbicara pada Melisa, tapi ada sedikit penolakan di hatinya, yang berkata jika Alina tidak bisa mengorek informasi apapun dari Melisa.Bahkan kesibukan yang ia lakoni sekarang tidak bisa membuatny
Esoknya, Alina mengetuk pintu rumah. Alina memilih duduk sambil meminum air mineral yang ia bawa. Rika perlahan turun dari mobil melihat Alina tetap duduk di teras.”Ya Allah, Non. Kenapa baru pulang sekarang?” Rumini segera duduk di hadapan Alina yang terkejut. Matanya menyipit melihat sekeliling mata asisten rumah tangganya yang menghitam, seperti tidak tidur semalaman. ”Non Meli.” Rumini sudah berderai air mata, tubuhnya gemetar. ”Jangan tinggalin bibi sendirian, Non. Bibi takut di rumah.”Kemudian Rumini menceritakan perihal Melisa yang tertawa dengan kepala terbalik. Bahkan semalaman Rumini merasa diteror dan membuatnya tidak bisa tidur dengan baik. Alina menghembuskan napas, begitu juga Rika yang tak percaya atas apa yang ia dengar.”Apa adek lo punya kelainan, Lin? Maaf, kita nggak ngomong masalah hantu kan?” timpal Rika.Alina dan Rumini berpandangan. ”Bukan gitu, Rik. Dia aneh sejak pulang dari rumah Dipta seminggu yang lalu.””Bukan kita doang, Non, yang bilang non Meli an
Alina hanya bergeming menatap nanar pada Yosua. Bagaimana bisa lelaki lajang di hadapannya berkata seperti itu, sedangkan beberapa kali Alina melewati tangga, tapi Melisa tidak ada di tempat yang Yosua katakan? Bahkan, pintu kamarnya pun tertutup rapat. ”Dia bukan adik ibu yang saya kenal.” Yosua berbicara lagi dengan nada yang lebih rendah sambil menunduk. Lelaki itu bangkit meninggalkan Alina, saat Rika mencolek lengan bosnya itu, menyuruhnya untuk menunaikan shalat Isya.Beberapa karyawan yang seiman mulai ada di tempatnya untuk melaksanakan shalat. Alina menatap nanar mukenah yang dibawa Rumini, betapa sangat lama ia tidak menyentuh kain halus itu. Tanpa ragu, Alina mengambilnya dari tangan Rumini dan mengambil tempat di samping Rika.Sepanjang shalat, bau terbakar tercium begitu pekat bercampur aroma bunga sedap malam. Rika merasakan perubahan kamboja ke bunga sedap malam dengan perasaan aneh. Hal seperti ini pernah ia rasakan di rumah masa kecilnya, dulu. Di mana pamannya baru
Denting piano yang mengalun lembut memasuki gendang telinga Alina, membuat matanya mulai mengerjap karena memang wanita cantik itu tengah tidur. Alunan lembut yang memasuki telinga, disertai lagu yang sangat ia kenal.Lagu itu akan dinyanyikan oleh Melisa saat mengajaknya petak umpet, dan dia selalu berhasil menemukannya. Mata Alina memandangi karyawati nya yang memang sudah berjejer tidur dengan rapi. Sedangkan dentingan piano itu berasal dari lorong khusus alat musik berada. Ya, di lantai bawah.Ia melirik jam dinding dan menunjukkan pukul 2 dini hari. Di luar tengah hujan lebat, Alina kembali duduk tak ingin mendengarkan bunyi tuts piano, akan tetapi telinganya berkhianat dan masih bisa merangkap bunyi meski ia bersembunyi di balik bantal.-Aku tahu kamu bisa mendengarku Buka pintunyaAku hanya ingin bermain sedikit-Lagu yang sama dinyanyikan secara berulang. Ada yang berbeda saat Alina mendengarnya, tengkuknya meremang mendengarkan nada rendah nyanyian adiknya. Namun, dalam di
Baku tembak antara pengawal yang dibawa oleh Rose dengan sekawanan orang memakai jas tak terelakkan. Clara sudah bersimbah darah karena kepala Rose yang tertembak terus menerus mengucurkan darah. Clara hanya memejamkan mata, mencoba menerima jika ia akan dijemput oleh ajal saat itu juga. Tubuhnya gemetar hebat. Malaikat maut seakan mengintai hendak mencabut nyawa siapa pun yang ada di sana. Desing peluru telah berhenti. Clara masih memejamkan mata dan mulai berpikir, kali ini ia akan menjadi tawanan oleh orang berbeda. Tangan dan kakinya terbebas, Clara membuka mata dan mendapati sepasang mata yang ia kenali memindahkan jasad Rose. Lantai kayu ini berubah berwarna merah dan berbau anyir. Semua pengawal Rose telah kalah telak oleh anak buah Dipta. ”Kita mau ke mana?” Dipta terus saja menarik tangan Clara setelah ke luar dari rumah itu. Dipta menarik tangan Clara memasuki hutan yang masih lebat. Riko dan Panji membabat habis pohon yang menghalangi jalan dengan parang.”Kita ambil tu
Dunia benar - benar berjalan seperti apa yang diharapkan untuk penjahat besar. Mereka bahkan bisa mempermainkan seseorang seperti bidak catur yang digerakkan maju, atau mundur. Alina masih saja meringkuk, menatap kotak berisi jari mungil manusia yang ia perkirakan, adalah jemari beberapa bayi atau anak-anak.”Nyokap Erika udah pergi?” ujarnya bermonolog.Alina menyelinap diam-diam, sembari mengingat ucapan Erika tentang patung dan buku kuno yang ada di perpustakaan. Alina ingin mengetahui perihal ini. Ia ingin memperjelas, jika orang tua Erika tidak terlibat soal ini. Tangga ini meliuk seperti ular kobra yang menganga. Tidak tidur membuat otak Alina berhalusinasi. Rumah bercahaya temaram, dan beberapa ruangan tidak dinyalakan, membuat Alina merasa menggigil.”Tolong kami ....””Siapa itu?” Suara bisikan saat Alina sampai di tangga terakhir ia dengar. Suaranya serak, dan bergetar. Menoleh ke sana ke mari, tidak ada apa-apa. Meyakinkan diri, jika salah dengar, Alina kembali menapaki la
Kengerian yang dirasakan oleh Clara membuat sekujur tubuhnya terasa dingin. Dingin yang dirasakan tubuhnya bukan perihal pakaian yang telah ditanggalkan, tetapi perasaan takut yang kini hinggap ketika melihat wajah Melisa begitu ayu dalam balutan jasad yang masih hidup. Beruntung tali yang mengikatnya terlepas secara ajaib. Baju yang berserakan Clara punguti sebelum gadis berwajah sama persis dengan Melisa menyadari ia telah pergi. Clara bertelanjang kaki, bersahabat dengan kerikil dingin yang semakin menusuk. Ia sudah terbebas dari bangunan setengah jadi itu. Dikejauhan, terdengar olehnya teriakan dari gedung tinggi itu. Clara semakin mempercepat langkah.Brug!Baru saja menginjakkan kaki di jalan besar, sebuah mobil mengkilap hampir menabraknya. Clara tergelincir, bajunya yang sudah compang camping itu tidak bisa menahan p4ntatnya mendarat ke aspal. Clara mengaduh, dan mendengar mesin berhenti. ”Rose ....”Seorang wanita berwajah bule berdiri di hadapannya, mengernyit. Mungkin wan
Kepala ketiga wanita ini terasa ringan, bahkan tubuhnya merasa melayang. Sejak pocong berukuran besar itu menyuarakan mantera, asap keabuan seakan menyelimuti rumah ini hingga ketiga wanita itu pun tak sadarkan diri. Derak langkah segerombolan orang merangsek masuk, tak mengindahkan wajah-wajah seram yang masih berdiri di kiri kanan. Segerombolan orang itu tetap memanggul satu per satu tubuh si wanita.Gadis cantik berjubah merah turun dari mobil, membunyikan lonceng, membuat para wajah seram itu kembali ke tempat pengap di sana. Gadis ini hanya menampilkan ekspresi datar memandangi para lelaki tengah saling bahu membahu membawa ketiga wanita. Ini sudah hampir subuh. Segerombolan orang-orang ini seakan tidak merasakan kantuk. Mereka menyalakan obor untuk menerangi ruangan di lantai empat. Tidak ada satu pun kendaraan yang akan lewat pada area ini. Orang-orang ini bekerja tanpa suara, seolah sudah di luar kepala apa saja yang hendak dilakukan.”Alina?”Wajah Alina masih saja diam kare
***Ada saja hal yang seharusnya tidak perlu kita mengerti, meski sebagian dari dalam diri seakan mendengar bisikan untuk mencari tahu agar mengetahui. Sebagian besar memilih untuk mundur dibanding terlibat terlalu dalam.---Clara mendorong pintu yang terasa sangat berat, napasnya tak beraturan, keringatnya bercucuran. Hanya suara deru napasnya saja yang terdengar, dibarengi tapak langkah banyak orang di depan rumah. Clara sudah menutup tirai, dan tidak ingin membukanya hanya untuk menegaskan apa yang ada di benak. Sahut-sahutan suara memanggil namanya, tetapi Clara tetap saja diam meringkuk di balik pintu. Clara benar-benar dikuasai rasa takut. Sekelebat memori saat di hutan perawan itu kembali memenuhi kepala. Clara takut Melisa yang saat itu mengejarnya pun turut ada di antara banyaknya pocong yang tengah mengerubungi di depan rumah sewaan ini. Sudah 15 menit berlalu, langkah-langkah itu tak lagi sekeras tadi terdengar. Langkah kaki mulai terdengar menjauh dari pekarangan, tetapi
Ada saja hal yang tidak bisa dijelaskan dengan baik, seperti situasi yang dihadapi orang-orang yang memiliki pertanyaan besar perihal ... siapa gadis yang memiliki wajah begitu mirip dengan Melisa? 2 jam lalu, adalah 2 jam yang menegangkan. Alina berhasil lepas dari cengkraman tangan Melisa misterius itu karena Melisa yang melepasnya dan kembali pergi. Erika yang memilih mengemudi karena Alina beberapa kali menghirup inhaler dan udara yang terasa menipis. Erika merasa kasihan pada sahabatnya itu, karena ketika terserang panik dan takut, tubuhnya akan memberi respon dan berujung sesak napas. Ia sering kali meminta Alina untuk diam saja di rumah, akan tetapi rentetan masalah ini, sahabatnya itu tetap ingin bertanggungjawab dan tak mau melimpahkan segalanya pada Erika.”Lo udah lebih baik?” tanya Erika, sesekali ia melirik sahabatnya yang masih memegangi inhaler di tangan kiri.Alina tak kuasa menjawab, hanya mengangguk saja karena tengah menetralkan pernapasan. Inhaler kembali Alina hi
”Untung kita nggak mati konyol!” Dipta membuang puntung rokok ke sembarang arah. Clara hanya mengedikkan bahu. 7 bulan lalu, saat kebakaran villa, Dipta dan yang lainnya memang sudah pergi dari sana melalui bawah tanah. Karena satu-satunya jalan yang tidak akan terkena api hanya itu. Tulang yang sudah dibungkus dengan kain kafan tak mereka pikirkan. ”Alina udah berhasil bawa tulang adiknya, bukannya masalah kita impas?” tanya Clara. ”Buktinya Alin dan Rika nggak nyari kita.””Justru kata Mbah Lanang, Melisa masih belum dikubur. Rohnya masih belom tenang.””Yang terpenting polisi nggak ngendus masalah ini, kita aman,” ujar Clara.Dipta dan Clara tidak benar-benar menghindar, tidak pula memilih tempat terpencil seperti yang sudah-sudah. Bahkan Dipta kembali ke Jakarta, berbisnis barang haram dan wanita. Rumahnya yang dulu menjadi saksi darah Melisa yang mengalir, sudah ditinggalkan. Bahkan sudah hampir 1 tahun, rumahnya masih belum ada yang membeli. Bahkan beberapa orang yang menyewa,
Ternyata, hidup se-atap tidak menjamin untuk saling mengerti. Seperti halnya Alina, yang tidak tahu apa-apa tentang mendiang ayahnya. Kematian Melisa membuat hal yang sebelumnya bahkan tak pernah ada di benak, kini tersaji nyata. Alina masih terpekur di tempatnya, menerima setiap repetan yang keluar dari mulut wanita cantik berkerudung ini.Romo berulangkali meminta putrinya diam, tetapi begitulah putrinya. Rasa kehilangan dan rasa sakit membuat emosi Rara tak terkontrol dengan baik. Ia luapkan segalanya, dan lagi pun ia sudah menunggu moment ini untuk meluapkannya di hadapan Alina.Rapatnya pintu yang baru saja ditutup keras, Alina semakin menunduk. Erika hanya termangu di tempatnya, tidak mengerti untuk melakukan apa karena kata-kata Rara sepertinya benar. Alina mengambil napas panjang, menghembuskan perlahan untuk mengatur kata yang akan keluar.”Romo ... jika ada kesalahan yang dilakukan oleh mendiang ayah saya, saya sebagai anaknya meminta maaf sebesar-besarnya. Semua yang sudah
Tidak akan terasa menyakitkan, jika bukan orang terdekat yang memberi luka. Tetapi orang terdekatlah yang bisa membuat hal manis menjadi begitu menyakitkan setelah mengetahui seperti apa mereka yang sebenarnya. Cinta, kasih dan sudut pandang masing-masing akan seperti mata tombak yang siap menghunus ketika ternyata semua itu hanya kamuflase.”Kepala gue udah kayak diskotik. Brisik banget!” keluh Alina sembari memegangi kepala. Erika hanya diam, ia masih cukup berduka dengan kenyataan yang sangat membuatnya terkejut. Sekte? Pembunuhan? Hal itu saling berseliweran di kepala, menuntut jawab yang belum ia dapat jawabannya saat ini. Hatinya memintanya pulang untuk meminta jawaban dari kedua orang tuanya, tetapi logika berjalan untuk menunggu waktu yang tepat dan tidak boleh mengedepankan emosi.Hawa dingin yang disuguhkan di rumah Alina tidak membuat Erika menggigil. Bahkan sedari pulang dari cafe, jaket berbahan jeans itu sudah ia lepas dan disampirkan ke sofa. Pikirannya melayang jauh,