Alina masih diam sambil mengaduk kopi yang sudah dingin, pandangannya mengarah ke laptop yang tak menyala. Kali ini, Alina merasa tidak enak badan karena semalam saat di rumah Dipta, kehujanan. Alina pun tidak bertemu dengan Dipta, justru kali ini ia malah merasa sedikit demam.
”Gue kan udah ngomong 10 hari lagi ke sana, mungkin Melisa lagi dibawa jalan sama Dipta?” Alina bermonolog. Sebenarnya ia hanya ingin meyakinkan dirinya sendiri.”Terus ... apa maksud Melisa?” Kepalanya bertambah pening memikirkan itu semua, bahkan praduga Melisa hantu membuatnya bergidik. ”Kalo Melisa mati, ntar gue ikut keseret ke penjara!” Alina menggeleng, ia bertekad untuk ke rumah Dipta lagi 3 hari ke depan, karena saat ini ia sedang tidak sehat.Untuk mengalihkan pikirannya dari hal rumit, Alina memilih berdiri sambil membawa cangkir kopi yang sudah dingin ke tempat barista.”Ganti yang panas, jangan pake gula.””Lo kenapa sih, Lin?””Rika?”Alina segera menarik tangan Rika untuk masuk ke ruangannya, ia melupakan kopi pahit yang ditunggu. Ia merasa ingin bercerita pada Rika, akan tetapi Alina tidak yakin akan mengatakannya karena Rika bisa saja mengatakan pada Ardan. Namun, memendam semuanya sendiri dengan prasangka buruk yang selalu datang di otaknya, Alina tidak bisa.Rika menghempaskan tangannya yang dipegang kuat oleh Alina, sebelumnya. Ia memandang sahabatnya dengan tatapan menyipit.”Lo kenapa? Aneh banget tau nggak, kek habis bu-nuh orang aja.”Kata-kata spontan yang diucapkan sahabatnya membuat Alina pias. Jika memang Dipta sudah melakukan pembu-nuhan, itu artinya ia juga sama menjadi pembu-nuh? Kini rasa ragu untuk bercerita pada Rika semakin besar. Alina memilih duduk di kursi empuknya hingga kursi itu berderit.”Heh, seriusan. Lo kenapa?”Rika memandangi wajah pucat sahabatnya. Kacamata yang ia pakai bahkan dibuka agar melihat dengan jelas wajah Alina.”Lo mau ke rumah gue nggak?” Bukan tanpa alasan, Alina meminta Rika ke rumah hanya untuk menguatkan dugaannya saja.”Lah, ngapain? Emang lo tetep gaji gue kalo nggak kerja hari ini dan malah nonton di rumah lo?” ucap Rika sarkas.”Ya ampun, Rika. Emang gue sepelit itu? Udah, ayo kita ke rumah gue.”Saat Alina hendak bangkit, Rika justru mencegahnya membuat Alina kembali duduk sambil menatap lekat Rika.”Gue mau ke rumah lo, tapi gue juga ada yang mau diomongin.” Alina menatap seksama pada Rika, dan menunggu ia melanjutkannya. ”Beberapa hari lalu, lo ngasih ke gue pesan dari nomor yang jumlahnya cuma 5 angka, kan? Ternyata, jam 1 dini hari gue pun dapet pesan itu dari nomor yang sama, Lin.”Alina mereguk ludah dengan susah payah, ia tetap diam menunggu lanjutan cerita Rika.”Gue nggak tau itu nomor dari siapa tau nomor gue, tapi pas gue buka, cuma ada pesan suara sekitar 5 detik gitu. Gue kesel sih, soalnya yang di pesan itu cuma kedenger orang teriak dan suara air.” Rika menatap langit-langit ruangan Alina. Rika bangkit setelah mengingat sesuatu.”Dia juga ngirimin gue gambar, Lin!” Sorak suara Rika membuat Alina kaget, tak urung juga Alina ikut mendekat untuk melihat ponsel milik Rika itu.Seorang wanita hanya terlihat bagian punggungnya, di mana bagian badan berada di bathtub yang airnya tumpah ruah. Punggung wanita itu banyak luka goresan. Alina memperbesar foto itu, memperhatikan area kamar mandi yang luas, seperti ia pernah melihatnya.***Brak! Brak! Brak!”Awas aja kalo nggak di rumah.” Alina menggedor-gedor pintu rumah Dipta yang memang masih terlihat sepi. Firasatnya mengatakan jika Dipta pergi untuk menghindar darinya.”Dipta! Keluar!” pekik Alina lantang.Ia tidak mau terjadi hal yang fatal pada Melisa, dan jika Dipta meminta uang 100 juta itu, Alina siap karena memang uangnya tidak terpakai sama sekali. Setelah menerima uang itu, hati kecilnya seakan menolak meski egonya sangat besar, sebesar rasa bencinya terhadap Sintia.Ibu tirinya mungkin bisa menodongkan pisau dapur padanya saat Alina membantah ucapannya, atau Alina mengadu pada ayahnya. Tapi Alina masih memiliki nurani untuk menyelamatkan Melisa dari lembah hitam milik Dipta. Iya, Alina marah. Bahkan jika kehormatan Melisa sudah terenggut, ia akan tertawa terbahak-bahak di hadapan Melisa, tapi melihat foto di ponsel Rika. Alina menggeleng untuk mengusir pikiran buruk yang terjadi.”Bedebah! Keluar!”Badan yang sedang tidak sehat kini mulai menggigil, bahkan tenggorokan mulai terasa gatal dan kering. Alina berjanji akan kemari di hari ke 10 seperti ucapannya tempo hari. Ia memilih pulang saja dan memberanikan diri untuk bertemu dengan Melisa.40 menit kemudian, Alina sudah sampai di rumah. Motor Ardan masih belum ada, tandanya suaminya belum pulang. Alina mereguk ludah dengan susah payah seraya bangkit menuju rumah. Ada rasa takut saat hendak membuka pintu, terlintas bayangan makhluk mengerikan di kamar Melisa.”Tapi kalau gue takut terus gimana gue tau,” ujarnya. Alina meraih kenop dan matanya membulat karena Melisa tengah berdiri di antara ruang tengah dan dapur. Baju yang dikenakan Melisa hanya dress selutut berwarna hitam yang di bagian lengannya terdapat kain transparan. Satu hal yang Alina sadari, sejak kepulangan Melisa, baju yang ia pakai hanya satu warna.Alina melangkah untuk menuju dapur, yang artinya harus melewati tubuh Melisa yang berada di tengah ruangan.”Teteh ....”Napasnya tercekat mendengar Melisa memanggil. Alina menoleh, akan tetapi Melisa masih berdiri di tempat yang sama. Yaitu, memunggungi Alina yang kini berada di dapur.”Kenapa teteh tega ....”Isak tangis Melisa membuat Alina membeku. Tangis yang ia dengar sama persis seperti isakan yang ia dengar didekat gundukan yang berada di antara bunga kamboja dan pohon bambu.”Kamu bukan Melisa!” bentak Alina, tanpa memutar tubuhnya dari kulkas yang terbuka semakin menambah dingin udara di sekeliling. ”Kalo kamu memang benar Melisa, harusnya kamu nggak hilang saat aku lihat di kaca. Sedangkan kamu? Entah makhluk apa kamu! Pergi dari rumahku!”Badan Alina bergetar, ia menahan takut dan mencoba berani.”Teh ... aku di sini. Aku kedinginan.”Klek!”Alina!”Ardan segera berlari menuju Alina yang berhadapan dengan kulkas di posisi sesak napas. Tangannya bergetar, begitu juga bibirnya. Ardan menggendong istrinya menuju kamar, saat berhadapan dengan kamar Melisa terdengar kaca pecah. Ardan tidak memperdulikan dulu, kali ini ia harus fokus terhadap Alina.”Minum obatnya dulu, jangan panik,” ucap Ardan sambil memberikan satu tablet pada Alina.”Kamu kenapa lagi, Lin?”Alina memilih bungkam, karena untuk mengatakannya pun Ardan tak akan percaya. Dan jika pun percaya, ini akan semakin membuatnya sulit.”Kamu istirahat dulu, aku mau ke kamar Melisa, tadi aku denger ada yang pecah di sana,” ucap Ardan seraya berdiri.Alina menarik kuat-kuat lengan suaminya agar tidak kemana-mana dengan tatapan memohon. ”Aku berantem sama Melisa, Mas. Aku takut sama dia,” racaunya.Ardan mengelus lembut rambut istrinya seraya memperbaiki duduknya. ”Kamu kan dari tadi sendirian di depan kulkas, Lin?”Mata Alina membesar. Alina duduk untuk menatap manik hitam suaminya. ”Se-sendiri?”Ardan mengangguk, kemudian memilih pergi dari kamar untuk menuju kamar adik iparnya yang sudah dianggap seperti adik kandung sendiri. Ardan mengetuk pintu, berharap perang dingin antara Melisa dan Alina bisa diselesaikan baik-baik seperti sebelumnya.Sebelum Melisa hilang, meski Alina setiap hari mencaci Melisa dengan kata-kata kasar, Melisa tetap riang dan bercerita banyak. Bahkan Melisa seakan tak memperdulikan cacian itu, Melisa dengan tegar tetap memperlakukan semua orang dengan baik.Sudah beberapa ketukan, Ardan masih berada di depan pintu sayup-sayup mendengar isak tangis. Tangannya semakin mengetuk pintu itu agar segera terbuka.”Mel, kamu nggak pa-pa?”Hening.”Mel ....”Kemudian Ardan kembali mengetuk karena rasa khawatir terhadap Melisa yang terdengar menangis.”Mel, buka dulu. Kamu kenapa? Sini cerita sama Kak Ardan. Jangan masukkan ke hati omongan Teteh. Mel?””Mel, Kak Ardan tinggal ya. Jangan nangis terus, udah malem.” Kemudian Ardan berbalik ke kamarnya. Ardan menatap Alina yang masih berada di posisi sama.”Lin, coba cari pembantu buat nemenin Melisa di rumah, sekalian juga kan kita ada yang bantu?”Alina menegakkan badan. Pembantu? Menemani Melisa? Kepalanya seketika pusing.”Kasihan pembantunya, Mas!””Aku mau ada proyek dan nggak pulang 10 hari, Lin. Bukannya lebih baik ada pembantu di rumah ini?”Mendengar Ardan hendak pergi selama 10 hari membuat Alina segera mengiyakan dan akan mencari asisten rumah tangga.Keesokan harinya, Ardan benar-benar pergi dengan membawa beberapa baju dalam koper. Taxi sudah menunggu saat pagi buta untuk mengantar Ardan ke bandara. Alina hanya tersenyum dan melambaikan tangan saja hingga taxi yang dinaiki Ardan tak lagi terlihat.Alina duduk di sofa panjang yang berhadapan dengan televisi. Menyalakan benda persegi itu untuk sekedar menemaninya saja agar tidak begitu sepi di bawah sendirian. Kerongkongannya terasa kering, Alina berjalan menuju kulkas untuk mengambil susu. Setelah mengambilnya, ia hendak kembali duduk di sofa, akan tetapi matanya membelalak karena Melisa sudah duduk di sana dengan gaun tidur berwarna putih polos.Kepala Alina mulai berkedut, ia mensugesti dirinya sendiri agar tidak panik yang berakhir sesak napas. Alina segera menghabiskan susunya dengan susah payah. Semerbak bau bangkai dan wangi bunga kamboja menusuk indera penciuman.”Tolong aku, Teh. Aku di bawah pohon kamboja, didekat pohon bambu.””Berhenti bicara omong kosong!” pekik Alina sambil menatap wajah datar Melisa. ”Aku udah jual kamu ke Dipta untuk sebulan ke depan, kenapa kamu malah pulang?!”Melisa menatap Alina dengan pandangan terluka. ”Dia jahat, Teteh.” Kali ini Melisa berdiri, tapi Alina merasa gadis itu semakin tinggi saat semakin mendekat padanya. Bahkan menurut Alina, Melisa seperti melayang.”Lihat tanganku ....” Melisa mengulurkan tangannya, di depan Alina. Alina dapat melihat beberapa bekas sundutan ro-kok dan cambuk menghiasi kulit pucatnya. ”Ini bukan urusanku! Apa kamu lupa, ibumu pernah menganiaya aku lebih dari lukamu?!”Tangis itu lolos dari sudut mata Alina. Ia masih ingat, Sintia datang tergopoh-gopoh saat dirinya belajar, saat itu, Baskoro--Ayahnya baru saja pergi untuk perjalanan bisnis. Sintia datang membawa nampan dan langsung menghantamkan benda itu ke kepala Alina hingga mengaduh, hanya karena dimarahi oleh Baskoro setelah Alina mengadu dengan siksaan yang dia terima.”Pintar kamu ya, adu
”Apa itu, Bi?”Alina masih di tangga, melihat plastik berukuran cukup besar ditenteng oleh Rumini. Bau menyengat dari dalam plastik membuat perut Alina terasa diaduk-aduk. ”Tikus mati, Non.”Alina segera lari ke kamarnya, tapi berkali-kali ia mencoba masuk, tidak bisa. Kamarnya terkunci! Alina panik, karena sedari tadi ia tidak berada di kamar dan kunci kamar selalu menempel di lubang kuncinya. Rumini kembali lagi, melihat Alina dengan wajah ditekuk tengah berusaha membuka pintu.”Kenapa, Non?””Ini, Bi, kenapa nggak bisa dibuka? Aku mau pergi ambil baju, padahal dari tadi aku ada di bawah nggak ke atas, pintu juga selalu aku buka,” ucap Alina.Rumini tertegun, ”Bukannya Non Alina dari tadi di kamar dan bolehin saya masuk buat bebersih?”Alina menggerakkan kenopnya dengan cepat. ”Apaan, sih, Bi. Dari tadi aku di bawah.” Karena kesal, Alina memilih segera pergi saja dari rumah untuk menuju cafe miliknya.Lirih, namun Rumini masih mendengar, Melisa tertawa kecil dengan tawa yang menuru
Malam ini, tepatnya di villa yang ditempati Dipta terasa sangat dingin. Bahkan perapian sudah dinyalakan untuk memberi rasa hangat, tapi rasa dingin tetap saja dominan menyelimuti. Sudah 4 jam sejak kepergian Ijul, Dipta hanya menghabiskan waktu dengan merokok karena untuk tidur, ia kesulitan. Insomnia, selalu mengganggunya.Lamat-lamat pikirannya melayang pada saat Melisa datang ke rumah. Gadis berperawakan mungil itu terlihat sangat cantik dengan mata besarnya. Gadis itu hanya tahu, jika Alina mengirimnya ke rumah Dipta untuk bekerja menebus semua kesalahan yang ibunya perbuat. Gadis malang, pada malam naas itu, sesuatu yang besar terjadi. Dipta mengacak rambut yang sebenarnya tidak gatal, ia berteriak karena frustasi.Bayangan tatapan memohon dari mata besarnya seakan menghantui Dipta kemana pun ia pergi. Pesan-pesan misterius yang ia dapatkan membuat Dipta tak lagi memegang ponsel. Dipta menyandarkan kepalanya ke sofa, menatap perapian dengan api yang tak membuatnya hangat. ”Anj-
Cafe berjalan sangat baik, Alina tersenyum puas karena banyak pembeli yang memilih cafenya dibanding cafe yang berada di sekitar. Meski ia pun cukup sibuk, tapi Alina menikmati kesibukan ini untuk mengalihkan pikirannya dari kasus Dipta. Yah, berbicara untuk mengalihkan, kini Alina menghembuskan napas karena pikirannya justru tertuju pada rekannya itu yang sudah sulit dihubungi.”Ada hal yang mengganjal pikiranku, tapi aku nggak bisa dapet jawabannya karena Dipta nggak tau di mana.”Bukan tanpa alasan, Alina sudah mencari tahu keberadaan Dipta melalui teman-temannya, tapi tetap tidak ada yang mengetahui. Bahkan temannya pun ikut menjelaskan, jika nomor Dipta sudah hampir seminggu tidak aktif. Kini semuanya terasa buntu, Alina merasa tidak bisa menemukan jawaban. Otaknya menyuruh Alina untuk berbicara pada Melisa, tapi ada sedikit penolakan di hatinya, yang berkata jika Alina tidak bisa mengorek informasi apapun dari Melisa.Bahkan kesibukan yang ia lakoni sekarang tidak bisa membuatny
Esoknya, Alina mengetuk pintu rumah. Alina memilih duduk sambil meminum air mineral yang ia bawa. Rika perlahan turun dari mobil melihat Alina tetap duduk di teras.”Ya Allah, Non. Kenapa baru pulang sekarang?” Rumini segera duduk di hadapan Alina yang terkejut. Matanya menyipit melihat sekeliling mata asisten rumah tangganya yang menghitam, seperti tidak tidur semalaman. ”Non Meli.” Rumini sudah berderai air mata, tubuhnya gemetar. ”Jangan tinggalin bibi sendirian, Non. Bibi takut di rumah.”Kemudian Rumini menceritakan perihal Melisa yang tertawa dengan kepala terbalik. Bahkan semalaman Rumini merasa diteror dan membuatnya tidak bisa tidur dengan baik. Alina menghembuskan napas, begitu juga Rika yang tak percaya atas apa yang ia dengar.”Apa adek lo punya kelainan, Lin? Maaf, kita nggak ngomong masalah hantu kan?” timpal Rika.Alina dan Rumini berpandangan. ”Bukan gitu, Rik. Dia aneh sejak pulang dari rumah Dipta seminggu yang lalu.””Bukan kita doang, Non, yang bilang non Meli an
Alina hanya bergeming menatap nanar pada Yosua. Bagaimana bisa lelaki lajang di hadapannya berkata seperti itu, sedangkan beberapa kali Alina melewati tangga, tapi Melisa tidak ada di tempat yang Yosua katakan? Bahkan, pintu kamarnya pun tertutup rapat. ”Dia bukan adik ibu yang saya kenal.” Yosua berbicara lagi dengan nada yang lebih rendah sambil menunduk. Lelaki itu bangkit meninggalkan Alina, saat Rika mencolek lengan bosnya itu, menyuruhnya untuk menunaikan shalat Isya.Beberapa karyawan yang seiman mulai ada di tempatnya untuk melaksanakan shalat. Alina menatap nanar mukenah yang dibawa Rumini, betapa sangat lama ia tidak menyentuh kain halus itu. Tanpa ragu, Alina mengambilnya dari tangan Rumini dan mengambil tempat di samping Rika.Sepanjang shalat, bau terbakar tercium begitu pekat bercampur aroma bunga sedap malam. Rika merasakan perubahan kamboja ke bunga sedap malam dengan perasaan aneh. Hal seperti ini pernah ia rasakan di rumah masa kecilnya, dulu. Di mana pamannya baru
Denting piano yang mengalun lembut memasuki gendang telinga Alina, membuat matanya mulai mengerjap karena memang wanita cantik itu tengah tidur. Alunan lembut yang memasuki telinga, disertai lagu yang sangat ia kenal.Lagu itu akan dinyanyikan oleh Melisa saat mengajaknya petak umpet, dan dia selalu berhasil menemukannya. Mata Alina memandangi karyawati nya yang memang sudah berjejer tidur dengan rapi. Sedangkan dentingan piano itu berasal dari lorong khusus alat musik berada. Ya, di lantai bawah.Ia melirik jam dinding dan menunjukkan pukul 2 dini hari. Di luar tengah hujan lebat, Alina kembali duduk tak ingin mendengarkan bunyi tuts piano, akan tetapi telinganya berkhianat dan masih bisa merangkap bunyi meski ia bersembunyi di balik bantal.-Aku tahu kamu bisa mendengarku Buka pintunyaAku hanya ingin bermain sedikit-Lagu yang sama dinyanyikan secara berulang. Ada yang berbeda saat Alina mendengarnya, tengkuknya meremang mendengarkan nada rendah nyanyian adiknya. Namun, dalam di
Kucuran keringat sudah membasahi lipatan tubuh Alina, tak terkecuali pelipis. Bahkan kepalanya sudah terasa panas dingin akibat keringat yang terus saja keluar. Petak umpet ini terasa seperti uji nyali, pikirnya. Membuat Alina selalu menerka-nerka dengan jantung berdebar, kapan adiknya akan menemukan keberadaan dirinya.Alina bersembunyi di ruangan kosong berisi beberapa barang masa kecilnya yang ia ambil saat akan keluar dari rumah mendiang ayahnya. Untuk mengabaikan resah di hati, Alina menyambar satu pigura yang berisi gambar dirinya dan sang ibu yang tengah tersenyum melihat ke arah kamera. Itu adalah foto saat pertama kali Alina merasakan piknik di taman.Matanya memanas memandang senyum ibunya. Sampai saat ini, Laura -- sang ibu -- masih belum ia ketahui dimana keberadaannya. Rasa rindu, benci dan sayang bercampur menjadi satu. Alina menekan dadanya yang terasa sesak, tenggorokan pun tercekat. Matanya mulai buram karena kaca-kaca yang rapuh itu mulai pecah, mengalir ke pipi memb
Baku tembak antara pengawal yang dibawa oleh Rose dengan sekawanan orang memakai jas tak terelakkan. Clara sudah bersimbah darah karena kepala Rose yang tertembak terus menerus mengucurkan darah. Clara hanya memejamkan mata, mencoba menerima jika ia akan dijemput oleh ajal saat itu juga. Tubuhnya gemetar hebat. Malaikat maut seakan mengintai hendak mencabut nyawa siapa pun yang ada di sana. Desing peluru telah berhenti. Clara masih memejamkan mata dan mulai berpikir, kali ini ia akan menjadi tawanan oleh orang berbeda. Tangan dan kakinya terbebas, Clara membuka mata dan mendapati sepasang mata yang ia kenali memindahkan jasad Rose. Lantai kayu ini berubah berwarna merah dan berbau anyir. Semua pengawal Rose telah kalah telak oleh anak buah Dipta. ”Kita mau ke mana?” Dipta terus saja menarik tangan Clara setelah ke luar dari rumah itu. Dipta menarik tangan Clara memasuki hutan yang masih lebat. Riko dan Panji membabat habis pohon yang menghalangi jalan dengan parang.”Kita ambil tu
Dunia benar - benar berjalan seperti apa yang diharapkan untuk penjahat besar. Mereka bahkan bisa mempermainkan seseorang seperti bidak catur yang digerakkan maju, atau mundur. Alina masih saja meringkuk, menatap kotak berisi jari mungil manusia yang ia perkirakan, adalah jemari beberapa bayi atau anak-anak.”Nyokap Erika udah pergi?” ujarnya bermonolog.Alina menyelinap diam-diam, sembari mengingat ucapan Erika tentang patung dan buku kuno yang ada di perpustakaan. Alina ingin mengetahui perihal ini. Ia ingin memperjelas, jika orang tua Erika tidak terlibat soal ini. Tangga ini meliuk seperti ular kobra yang menganga. Tidak tidur membuat otak Alina berhalusinasi. Rumah bercahaya temaram, dan beberapa ruangan tidak dinyalakan, membuat Alina merasa menggigil.”Tolong kami ....””Siapa itu?” Suara bisikan saat Alina sampai di tangga terakhir ia dengar. Suaranya serak, dan bergetar. Menoleh ke sana ke mari, tidak ada apa-apa. Meyakinkan diri, jika salah dengar, Alina kembali menapaki la
Kengerian yang dirasakan oleh Clara membuat sekujur tubuhnya terasa dingin. Dingin yang dirasakan tubuhnya bukan perihal pakaian yang telah ditanggalkan, tetapi perasaan takut yang kini hinggap ketika melihat wajah Melisa begitu ayu dalam balutan jasad yang masih hidup. Beruntung tali yang mengikatnya terlepas secara ajaib. Baju yang berserakan Clara punguti sebelum gadis berwajah sama persis dengan Melisa menyadari ia telah pergi. Clara bertelanjang kaki, bersahabat dengan kerikil dingin yang semakin menusuk. Ia sudah terbebas dari bangunan setengah jadi itu. Dikejauhan, terdengar olehnya teriakan dari gedung tinggi itu. Clara semakin mempercepat langkah.Brug!Baru saja menginjakkan kaki di jalan besar, sebuah mobil mengkilap hampir menabraknya. Clara tergelincir, bajunya yang sudah compang camping itu tidak bisa menahan p4ntatnya mendarat ke aspal. Clara mengaduh, dan mendengar mesin berhenti. ”Rose ....”Seorang wanita berwajah bule berdiri di hadapannya, mengernyit. Mungkin wan
Kepala ketiga wanita ini terasa ringan, bahkan tubuhnya merasa melayang. Sejak pocong berukuran besar itu menyuarakan mantera, asap keabuan seakan menyelimuti rumah ini hingga ketiga wanita itu pun tak sadarkan diri. Derak langkah segerombolan orang merangsek masuk, tak mengindahkan wajah-wajah seram yang masih berdiri di kiri kanan. Segerombolan orang itu tetap memanggul satu per satu tubuh si wanita.Gadis cantik berjubah merah turun dari mobil, membunyikan lonceng, membuat para wajah seram itu kembali ke tempat pengap di sana. Gadis ini hanya menampilkan ekspresi datar memandangi para lelaki tengah saling bahu membahu membawa ketiga wanita. Ini sudah hampir subuh. Segerombolan orang-orang ini seakan tidak merasakan kantuk. Mereka menyalakan obor untuk menerangi ruangan di lantai empat. Tidak ada satu pun kendaraan yang akan lewat pada area ini. Orang-orang ini bekerja tanpa suara, seolah sudah di luar kepala apa saja yang hendak dilakukan.”Alina?”Wajah Alina masih saja diam kare
***Ada saja hal yang seharusnya tidak perlu kita mengerti, meski sebagian dari dalam diri seakan mendengar bisikan untuk mencari tahu agar mengetahui. Sebagian besar memilih untuk mundur dibanding terlibat terlalu dalam.---Clara mendorong pintu yang terasa sangat berat, napasnya tak beraturan, keringatnya bercucuran. Hanya suara deru napasnya saja yang terdengar, dibarengi tapak langkah banyak orang di depan rumah. Clara sudah menutup tirai, dan tidak ingin membukanya hanya untuk menegaskan apa yang ada di benak. Sahut-sahutan suara memanggil namanya, tetapi Clara tetap saja diam meringkuk di balik pintu. Clara benar-benar dikuasai rasa takut. Sekelebat memori saat di hutan perawan itu kembali memenuhi kepala. Clara takut Melisa yang saat itu mengejarnya pun turut ada di antara banyaknya pocong yang tengah mengerubungi di depan rumah sewaan ini. Sudah 15 menit berlalu, langkah-langkah itu tak lagi sekeras tadi terdengar. Langkah kaki mulai terdengar menjauh dari pekarangan, tetapi
Ada saja hal yang tidak bisa dijelaskan dengan baik, seperti situasi yang dihadapi orang-orang yang memiliki pertanyaan besar perihal ... siapa gadis yang memiliki wajah begitu mirip dengan Melisa? 2 jam lalu, adalah 2 jam yang menegangkan. Alina berhasil lepas dari cengkraman tangan Melisa misterius itu karena Melisa yang melepasnya dan kembali pergi. Erika yang memilih mengemudi karena Alina beberapa kali menghirup inhaler dan udara yang terasa menipis. Erika merasa kasihan pada sahabatnya itu, karena ketika terserang panik dan takut, tubuhnya akan memberi respon dan berujung sesak napas. Ia sering kali meminta Alina untuk diam saja di rumah, akan tetapi rentetan masalah ini, sahabatnya itu tetap ingin bertanggungjawab dan tak mau melimpahkan segalanya pada Erika.”Lo udah lebih baik?” tanya Erika, sesekali ia melirik sahabatnya yang masih memegangi inhaler di tangan kiri.Alina tak kuasa menjawab, hanya mengangguk saja karena tengah menetralkan pernapasan. Inhaler kembali Alina hi
”Untung kita nggak mati konyol!” Dipta membuang puntung rokok ke sembarang arah. Clara hanya mengedikkan bahu. 7 bulan lalu, saat kebakaran villa, Dipta dan yang lainnya memang sudah pergi dari sana melalui bawah tanah. Karena satu-satunya jalan yang tidak akan terkena api hanya itu. Tulang yang sudah dibungkus dengan kain kafan tak mereka pikirkan. ”Alina udah berhasil bawa tulang adiknya, bukannya masalah kita impas?” tanya Clara. ”Buktinya Alin dan Rika nggak nyari kita.””Justru kata Mbah Lanang, Melisa masih belum dikubur. Rohnya masih belom tenang.””Yang terpenting polisi nggak ngendus masalah ini, kita aman,” ujar Clara.Dipta dan Clara tidak benar-benar menghindar, tidak pula memilih tempat terpencil seperti yang sudah-sudah. Bahkan Dipta kembali ke Jakarta, berbisnis barang haram dan wanita. Rumahnya yang dulu menjadi saksi darah Melisa yang mengalir, sudah ditinggalkan. Bahkan sudah hampir 1 tahun, rumahnya masih belum ada yang membeli. Bahkan beberapa orang yang menyewa,
Ternyata, hidup se-atap tidak menjamin untuk saling mengerti. Seperti halnya Alina, yang tidak tahu apa-apa tentang mendiang ayahnya. Kematian Melisa membuat hal yang sebelumnya bahkan tak pernah ada di benak, kini tersaji nyata. Alina masih terpekur di tempatnya, menerima setiap repetan yang keluar dari mulut wanita cantik berkerudung ini.Romo berulangkali meminta putrinya diam, tetapi begitulah putrinya. Rasa kehilangan dan rasa sakit membuat emosi Rara tak terkontrol dengan baik. Ia luapkan segalanya, dan lagi pun ia sudah menunggu moment ini untuk meluapkannya di hadapan Alina.Rapatnya pintu yang baru saja ditutup keras, Alina semakin menunduk. Erika hanya termangu di tempatnya, tidak mengerti untuk melakukan apa karena kata-kata Rara sepertinya benar. Alina mengambil napas panjang, menghembuskan perlahan untuk mengatur kata yang akan keluar.”Romo ... jika ada kesalahan yang dilakukan oleh mendiang ayah saya, saya sebagai anaknya meminta maaf sebesar-besarnya. Semua yang sudah
Tidak akan terasa menyakitkan, jika bukan orang terdekat yang memberi luka. Tetapi orang terdekatlah yang bisa membuat hal manis menjadi begitu menyakitkan setelah mengetahui seperti apa mereka yang sebenarnya. Cinta, kasih dan sudut pandang masing-masing akan seperti mata tombak yang siap menghunus ketika ternyata semua itu hanya kamuflase.”Kepala gue udah kayak diskotik. Brisik banget!” keluh Alina sembari memegangi kepala. Erika hanya diam, ia masih cukup berduka dengan kenyataan yang sangat membuatnya terkejut. Sekte? Pembunuhan? Hal itu saling berseliweran di kepala, menuntut jawab yang belum ia dapat jawabannya saat ini. Hatinya memintanya pulang untuk meminta jawaban dari kedua orang tuanya, tetapi logika berjalan untuk menunggu waktu yang tepat dan tidak boleh mengedepankan emosi.Hawa dingin yang disuguhkan di rumah Alina tidak membuat Erika menggigil. Bahkan sedari pulang dari cafe, jaket berbahan jeans itu sudah ia lepas dan disampirkan ke sofa. Pikirannya melayang jauh,