Truk yang ditumpangi semua orang tiba-tiba saja berhenti. Panji yang mengemudi berteriak, jika mesinnya tidak bisa menyala, sedangkan bensin masih dalam keadaan penuh. Clara masih menutupi wajah karena sosok berwajah hitam legam itu berdiri di atas kepala truk sambil terus tertawa.”Pergi setan g*blok!” Jerry berteriak, terus memaki sekitar. Dipta sudah lemas tak berdaya dan hanya berkata lirih meminta tolong. Mesin berangsur-angsur menyala, truk kembali berjalan di atas jalan bebatuan. Setengah jam dalam keadaan seperti ini, akhirnya mereka sampai di depan gubuk mbah Lanang.Panji, Riko dan Jerry saling memapah Dipta. Sedangkan anak buah yang lain menunggu di truk. Clara mengetuk pintu mbah Lanang sambil berteriak agar cepat dibuka. ”Buka aja pintunya, Clara.”Mereka semua menoleh, ternyata mbah Lanang menghampiri dari samping gubuknya sambil memegangi ayam berbulu hitam. Ayam itu ia letakkan, dan ikut masuk dengan yang lain. Dipta ditaruh di atas karpet tipis, Clara menerima kain
Rumini berteriak karena sedetik setelahnya tubuh Alina terpelanting menabrak lukisan besar hingga lukisan itu jatuh. Beruntung dalam bingkai lukisan itu tak terdapat kaca, sehingga tubuh Alina hanya terkena kayu lukisan. Hidung Alina berdarah karena begitu kerasnya menghantam lantai, sedangkan mulutnya dipenuhi darah karena hantaman keras dibagian belakang tubuhnya.Sosok yang mengaku Melisa ini hanya diam, melayang, hingga ujung gaun merahnya melayang di atas lantai. Matanya hitam, tak secuil pun memancarkan rasa kasih melihat kakaknya ia siksa. ”Tolong! Tolong! Pak Ardaaan!”Rumini melolong, berteriak, tetapi Ardan yang berada di kamar seakan tuli. Rumini berlari menuju Alina, memapahnya untuk berdiri dan berjalan keluar rumah. Tetapi, kekuatan yang bahkan sama sekali tak terlihat ini membuat Alina kembali jatuh telungkup dan tubuh Alina terseret hingga jatuh ke air kolam.”Pak Ardan! Pak Ardaaan!”Rumini kembali berteriak. Alina kepayahan menuju tangga kolam renang agar memudahkan
Dipta duduk termenung di halaman belakang, otaknya berkelana pada sore penuh gairah dengan Clara. Meski akhirnya, itu bukan kekasihnya yang sebenarnya. Dipta merutuki kebodohan karena dari gerakan sensual yang dibuat kekasihnya itu memang sangat berbeda. Kaku, dan wajahnya begitu dingin, bahkan seluruh kamarnya berbau kembang kamboja. Dipta yang terbuai gairah seakan lupa, otaknya membeku karena kenikmatan yang disuguhkan membuat akalnya tidak bisa berpikir.”Shit! Harusnya gue nggak setujuin tawaran Alina pas mau jual adeknya ke gue,” umpat Dipta. Meski tak ia pungkiri, kali pertama ia melihat wajah Melisa saat berkunjung ke rumah rekannya itu, Dipta langsung jatuh hati. Tergiur karena masih dalam keadaan virgin, Dipta menyetujui tanpa berpikir panjang dan itulah mengapa ia berani membayar mahal. Lelaki ini masih teringat kala pertama kali Melisa dibawa paksa ke rumahnya untuk diiming-imingi bekerja untuk membayar budi pada Alina, wajahnya tersenyum manis. Tetapi kenyataan yang mena
Hari ini, Alina dapat tersenyum lega karena dokter mengizinkan pulang karena asmanya pun tidak kembali kambuh. Pernapasannya mulai membaik dan hanya membutuhkan istirahat juga tidak bekerja berat. Tanpa menunggu suaminya untuk menjemput, Alina menaiki mobil Erika yang sudah menunggu. ”Kapan orang suruhan lo bakal ngasih info?””Kemungkinan besok, ya. Orang-orang sewaan gue terjun hari ini ke lokasi.” Kemudian Erika memberikan ponsel pada Alina, ”Lo harus pake hp ini, biar Ardan nggak curiga.”Alina menerima ponsel dari tangan Erika karena memang ada benarnya. Mimpi Ardan seperti sebuah firasat, jika cepat atau lambat, suaminya pun pasti akan mengetahui kebusukannya. ”Gue kadang takut.”Erika menoleh. ”Kenapa? Apa Meli ngeliatin mukanya yang jadi hantu?””Non, maaf Bibi potong.” Rumini menghela napas, ”Tiap malem, Bibi nggak bisa tidur karena di pintu kamar Bibi, Non Meli duduk meringkuk sambil liatin Bibi tidur.”Wanita paruh baya itu gelisah, bibirnya bergetar. Ia masih saja ingat
Jerry berteriak dan menghentikan sepeda motor. Lelaki ini begitu tertekan, udara yang ia hirup seakan menipis. Orang-orang yang berada di depan rumah mereka berubah kian memucat, wajahnya sangat putih sedangkan bibirnya melebar hingga ke telinga. Darah mulai mengucur dari semua lubang yang ada di kepala. Teriakan itu masih menggema, Jerry sudah menangis.”Ampuuun. Ampuuun.”Kedua tangan Jerry ia tangkupkan, ia berlutut untuk memohon ampun pada penghuni antah berantah itu. Cukup lama Jerry menyuarakan suara putus asanya, bahunya ditepuk oleh seseorang. Meski ragu, akan tetapi tubuhnya seakan menuruti keinginan seseorang yang menepuknya. Bahkan Jerry tidak bisa mengontrol anggota tubuhnya untuk menolak.Jerry merasa ada harapan karena di hadapannya kini terlihat makhluk yang sangat manusiawi karena bentuknya memang manusia biasa. Bahkan senyum lelaki paruh baya itu sangat teduh. Jerry dapat merasakan atmosfer yang berbeda dari lelaki ini.”Ini bukan tempatmu.”Jerry semakin kebingungan
”Kita nggak bisa buru-buru gini, Lin. Lo tenangin diri dulu.”Erika menarik lengan sahabatnya agar kembali duduk. Rumini mengecek lemari pendingin untuk mengambil air minum untuk majikannya. Alina meneguk minuman yang diberi oleh Rumini, ia mengatur napasnya, kemudian menangis sambil menangkupkan wajah. ”Gue nggak pernah ngerasa diinginkan.” Dengan pandangan nanar, Alina berbicara. ”Liburan beberapa hari lalu, gue ketemu ibu. Dia belom mati kayak yang bude bilang. She looks happy sama suami barunya.” Kemudian tertawa menyedihkan. Alina tertawa, akan tetapi matanya terus saja bercucuran air mata.Erika mengusap lengan Alina, sedangkan Ardan baru mengetahui ini. Ia merutuki dirinya sendiri karena nyatanya, istrinya itu tidak merasa aman dan nyaman untuk membagi setiap resah yang ia rasakan. Alina benar, ia sendirian meski berdua dalam ikatan pernikahan.”Sekarang di pernikahan ini, gue juga nggak diinginkan. Suami gue lebih peduli sama adik tiri kesayangan. Pagi gue kerja sampe malem h
Dipta tengah berada di ruang kerjanya dan mendapati pintu diketuk dengan sangat keras. Melihat seorang gadis di depan pintu, mata Dipta terbelalak. Ia mengetahui siapa gadis di hadapannya. Sahabat Alina! Erika memandang Dipta dengan pandangan datar, menendang pintu yang terbuka separuh. ”Gue nggak pinter basa-basi, tapi lebih baik lo kasih tau di mana Melisa berada.” Suara Erika dingin, sedingin tatapannya. Dipta mereguk ludah, kemudian tertawa terbahak-bahak yang dipaksakan. ”Tikus kecil itu udah kabur 2 bulan lalu dan udah nggak ada sangkut-pautnya sama gue,” jawab Dipta. Erika bangkit dari duduknya, memandangi Dipta dari bawah ke atas kemudian mengeluarkan belati kecil dari dalam jaketnya. Erika menancapkan belati itu ke dalam paha kanan Dipta hingga lelaki itu mengerang kesakitan.”Di mana Melisa!” pekik Erika. Bug!Erika menendang kemaluan Dipta, kemudian mengambil kunci ruang kerja Dipta dan mengunci lelaki itu dari luar. Erika terjatuh saat sedang menyusuri lorong, Clara a
Ketiga wanita beda generasi ini saling berusaha menopang satu sama lain. Sepanjang jalan mereka saling menangis memikirkan nyawanya tak melayang saja sudah cukup membuat mereka bersyukur. Erika mendorong Alina dan Rumini hingga berguling sekitar 2 meter. Derak langkah beberapa orang membuat Erika curiga akan membahayakan dirinya dan yang lain. ”Sisir lokasi ini, cari Alina dan yang lain sampai ketemu. Mati atau hidup, harus dibawa ke sini!”Ardan berkacak pinggang, rahangnya mengeras. Ketiga wanita itu sama sekali tidak menyangka ucapan Ardan setelahnya.”Tenang, Mel. Aa yang akan balesin sakit hati kamu,” gumam Ardan. Kemudian berlari menuju villa yang masih mengepulkan asap.Ketiga wanita itu segera berlari tunggang langgang sambil menjauh dari orang-orang Ardan. Alina tak habis pikir dengan Ardan, dari mana uang yang ia dapatkan untuk membayar 10 orang itu? Sedangkan Ardan tidak memiliki jabatan penting di kantor. Alina berpikir keras, dirinya merasakan signal bahaya dari Ardan. W