Aku agak kaget melihat Nina yang tergopoh-gopoh masuk ke ruanganku.
“Mana pasien yang lain? Sudah habis?” tanyaku bingung. Tidak biasanya Nina masuk ke ruanganku saat kami tengah praktek.
“Pasien tadi yang waktu itu aku ceritain ke kamu.”
“Maksudnya?”
“Itu pasien yang datang ke tempat praktek kita yang lama dan kita lagi tutup makan siang. Dia yang tampan dan harum itu loh, Lan.” Jadi Si Aksa yang dimaksud Nina? Oh, jadi yang dia maksud pergi ke dokter dan dokternya tutup itu saat ia pergi menemuiku di tempat praktekku yang lama?
“Pantas. Tadi dia menyindirku. Aku baru paham maksudnya sekarang.”
“Menyindir? Menyindir bagaimana?”
“Husstt.. Udah ah jangan bahas pasien itu. Aku gak suka sama dia. Seenak-enaknya minta temenin aku pergi cek lab. Padahal kita sama sekali gak kenal. Asal kamu tau, Nin. Dia itu orang yang tempo hari kutabrak dan jasnya basah karena minuman Taro-ku. Perasaan tadi malem aku mimpi indah deh. Ketemu pangeran berkuda putih. Eh, kenapa hari ini yang dateng malah dia?” Aku bersungut kesal. Dosa apa sih aku?
“Seriusan kamu? Wah tanda-tanda nih.” Nina meremas tangannya. Ekspresi wajahnya sulit diartikan.
“Tanda-tanda? Tanda-tanda apaan?”
“Tanda-tanda kalau kamu mungkin memang berjodoh dengan dia.” Baru saat aku ingin melempar pulpen yang ada di dekatku, Nina sudah lari tunggang langgang. “Jangan galak-galak, kita gak ada yang tahu takdir.” Takdir? Ya apa harus juga takdir membawaku berjodoh dengan Aksa.
***
“Sudah waktunya untuk tutup!” kepala Nina tersembul dari balik pintu dan menyerukan kata-kata yang kuanggap aneh. Jam yang bertengger di dinding kananku bahkan baru saja menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Jadwal kami tutup biasanya pukul delapan malam.
“Sedang ada janji dengan Rico?” tanyaku memastikan alasannya karena menyerukan himbauan untuk tutup.
“Ingat nona, bukan aku yang sedang membuat janji dengan seseorang, tapi kamu!” Ah, yang benar saja? Haruskah aku mengantarkan Aksa ke laboratorium? Aku bahkan tidak mengenalnya. “Kusarankan untuk membawanya ke lab biasanya saja.” Bola mataku hanya memutar sebal mendengar saran Nina. Menurutku Nina terlalu bersemangat.
“Sudah tahu! Gak mau juga aku pergi jauh jauh sama dia ” Jelasku. “Jadi? Apalagi yang kamu tunggu? Ayo bangkit dan bersiap. Jam tujuh akan datang beberapa menit lagi, dan aku yakin kalau kamu tahu mungkin Aksa sudah ada di depan sekarang.” Hah? Buru buru sekali.
“Sudah tahu!”
“Bagus kalau kamu sudah tahu. Lebih baik kamu telfon orang lab yang kamu kenal supaya kamu dan Si Tampan Aksa tidak perlu mengantri terlalu lama.”
“Si Tampan?”
“Apa?”
“Kamu panggil dia Si Tampan?”
“Apa yang salah dari panggilan itu? Toh, nyatanya dia benar tampan, kan?” Baiklah, nyatanya Aksa memang tampan. Jujur saja aku benci mengakuinya, akupun tak tahu alasannya.
***
Aku menghentak-hentakkan kakiku ke lantai untuk yang kesekian kalinya. Aku dan Nina sekarang seperti dua orang bodoh yang tengah menunggu di bangku plastik yang kami pinjam dari tukang parkir yang biasa berjaga di depan deretan ruko-ruko tempat aku praktek, menunggu Aksa yang sampai sekarang batang hidungnya belum kelihatan.
“Sekarang lihat? Dia pasti hanya bercanda, dan kita gak seharusnya ada di sini dan menunggu kedatangannya.” Suaraku nyaris memekik sangking sebalnya.
“Sabar sebantar bisa tidak?”
“TIDAK!”
“Ayolah Lan. Ini baru jam setengah delapan. Sebentar lagi dia pasti datang. Sabar sebentar.”
“Kenapa kamu yang terlalu bersemangat, huh? Well, mengapa tidak dicoba kalau kamu yang menemani Aksa ke lab?”
“Terus mengambil resiko jika rencana lamaran dan pernikahanku batal karena Rico cemburu?”
“Kita sama-sama tahu jika Rico bukan tipe laki-laki pecemburu.” Cibirku kesal.
“Itu tidak bisa dijadikan alasan. Aku sama sekali tidak ada minat untuk berurusan banyak dengan Aksa.” Ha! Dia saja tidak minat apalagi aku.
“Sama! Aku juga sama sekali tidak berminat berurusan lebih jauh dengannya.” Kalau bukan karena rasa bersalahku perkara minuman yang aku tumpahkan ke jasnya tempo hari mana mau aku menunggu dia di sini sekarang. Pekerjaanku ada banyak!
“Kenapa tidak? Menurutku dia baik untukmu.”
“Baik? Bagaimana bisa seorang Nina mengambil kesimpulan se-be-gi-tu cepat dalam menilai seseorang padahal kalian baru bertemu dua kali.” Dari zaman SMA-pun Nina memang bukanlah orang yang gegabah, terutama dalam urusan menilai seseorang.
“Baiklah, kamu tahu dengan jelas siapa temanmu ini. Aku gak tahu kenapa tapi hanya saja instingku mengatakan jika dia baik dan,” mataku sedikit mendelik memberi kode untuknya agar tidak melanjutkan apa yang telah ia mulai “kurasa dia cukup pantas menggantikan Rakan.” Hah? Apa hubungannya? “Dengar, bukan begitu maksudku….hah, aku yakin kamu tahu jelas bagaimana maksudku.” Nina mendesah bingung.
Aku tahu jelas apa maksudnya. Dia hanya tidak ingin aku berlarut dalam kesendirian yang terlalu lama. Usiaku 25 tahun dan sekarang aku bahkan tidak memiliki laki-laki yang bisa dijadikan kandidat sebagai calon suami. Usiaku bukan lagi usia dimana aku masih pantas ber-haha-hihi terlalu lama. Aku lebih pantas menjadi seorang ibu dan seorang istri. Aku tahu betul. Bunda sering mengingatkanku karenanya. Tidak, ayah dan bunda bukan tipe orangtua pemaksa dan pendesak yang kerap kali menanyakan kapan kamu membawa calon suamimu?
Kapan kamu akan menikah?
Umurmu sudah 25 tahun
Mereka sangat mengerti keadaanku. Apalagi pasca masalahku dengan Rakan. Mungkin mereka juga mengerti jika sekarang pendamping hidup bukan lagi menjadi prioritas dalam hidupku. Prioritasku sekarang adalah BAHAGIA.
“Tidak apa. Aku tahu kalau─”
“Selamat malam nona-nona. Maaf aku terlambat.” Perbincangan aku dan Ninapun tersentak oleh kedatangan si pemilik suara.
***
“Maaf aku datang terlambat.” Suara Aksa seolah mengenyahkan pikiran-pikiran kekaguman yang begitu mendalam akan setelah pakaiannya malam ini. Mungkin sebenarnya masalah itu bukan ditimbulkan dari pakaiannya. Tapi, wajahnya. Hanya orang buta dan gila yang mengatakan kalau Aksa tidak tampan. Aku kenapa sebenarnya? Kenapa harus terlalu sibuk mengurusi laki-laki ini? Tapi perpaduan kaos Marc Jacobes dan celana jeans yang dipakainya benar-benar terlihat pas dan menggugah selera. Tunggu! Selera? Selera apa? Ngaco. Astaghfirullahaladzim. Istighfar Lana.
“Hanya terlambat empat puluh menit. Lebih baik kalian berangkat sekarang.” Dengan semangat 45 Nina mengusir kami untuk segera jalan.
“Aku harap dokter Lana tidak marah karena sudah menunggu terlalu lama.”
“Lana sama sekali gak marah. Dia dalam keadaan baik dan begitu semangat untuk membantu. Ya kan, Lana?” Semangat dari hongkong. Nyatanya dan kelihatannya bergelung di sofa sambil menonton drama korea jauh lebih membahagiakan.
Kurasakan lenganku disikut oleh Nina dan hal itu mau tak mau membuatku bergumam mengiyakan. “Hmm,”
“Kalau gitu kami pergi dulu Nina. Terimakasih sudah mau menemani dia.” Kenapa mereka terlihat begitu akrab sih? Sedangkan aku? Aku terlihat seperti orang aneh di antara keduanya yang sama sekali tidak tertarik untuk bergabung.
Aksa mengabil langkah di depanku dan aku berjalan dibelakangnya mengikuti. Aku cukup kaget melihat ia membukakan pintu sebuah mobil Rubicon yang terparikir di depan ruko yang tak jauh dari tempat praktekku. Seharusnya aku sudah tahu kalau dia cukup kaya dan cukup mampu membeli sebuah Rubicon.
“Maaf aku terlambat,” ia memulai pembicaraan setelah mobil mulai melaju perlahan.
“Aku? Bukannya tadi siang kamu bicara dengan menggunakan kata saya” Kuberi penekanan pada kalimat terakhirku.
“Memangnya kenapa?”
“Sok asik”
“Di hari kamu menumpahkan minuman ke jasku seingatku kita bicara dengan menggunakan aku-kamu, ingat?” ah, aku-kamu saya-anda sudahlah.
“Oh iya, aku berniat mengantarkanmu ke lab sebagai rasa permohonan maaf. Hanya sekali, aku mengantarmu hanya sekali ini saja.” Jelasku.
“Setega itukah? Aku bahkan tidak tahu apa-apa tentang laboratorium.”
“Kamu sudah tua dan cukup umur untuk bisa bertanya kepada orang asing jika kamu tidak mengetahui sesuatu.” Aku mendengus sebal, dan aku bisa mendengar kekehannya. Tampan, tapi aneh.
“Ke lab mana kita?” tanyanya.
“Ke Jarska lab.” Kataku singkat. Dia hanya mengangguk mengiyakan dan mulai kurasakan mobil berjalan lebih cepat dari sebelumnya.
Jarska merupakan laboratorium yang cukup terkenal dan sangat lengkap dan tidak terlalu jauh dari tempat praktekku. Dokter umum yang bekerja di lab ini juga salah seorang temanku semasa pendidikan dokter umum.
“Parkir saja di parkiran dokter.” Aksa mengikuti instruksiku dan memarkirkan mobilnya di deretan mobil-mobil yang bisa dipastikan milik dokter-dokter yang bekerja di Jarska.
Kami turun dari mobil dan melangkah masuk. “Dokter Lana? Apa kabar?” Seru Bu Wenti. Beliau merupakan analis senior. Dulu semasa aku coass beliau bekerja di rumah sakit yang sama denganku. Aku si coass keset dan Bu Wenti petugas lab yang baik hati, begitu kami menjulukinya. Dia menyapaku ketika kami sedang mendaftar dan Aksa yang ada di sebelahku tengah sibuk mendaftarkan diri. Sebelumnya aku sudah menyebutkan pemeriksaan apa yang ingin kulakukan.
“Bu Wenti. Aku baik. Ibu gimana? Baru mau pulang?”
“Seperti yang dokter lihat sekarang. Iya, dok mau pulang hehehe. Siapa yang mau cek lab?” Pertanyaan Bu Wenti seolah tidak tepat. Matanya yang melirik ke arah Aksa seolah ingin bertanya siapa ini dok?
“Teman sekaligus pasien hehehe.” Jujur aku tidak berniat melanjutkan percakapan ini lebih lanjut. Bingung harus menjelaskannya bagaimana pada Bu Wenti.
“Pacarnya Dokter Lana ya?” Apa aku bilang? Percakapan ini memang sudah harus diakhiri sebelum ada berita simpang siur yang muncul. Padahal aku sudah bilang kalau ini temanku.
“Bukan lah, Bu. Bu Wenti ada-ada aja.”
“Hahaha, saya juga berpikir bukan. Soalnya kan seinget saya muka pacarnya dokter yang suka anter jemput dulu beda dari yang sekarang. Mas yang ini lebih ganteng.” Jah! “Siapa dok nama pacar yang dulu? Ak..Akan? Arkan?─”
“Rakan.” Aku membenarkan ingatan Bu Wenti yang samar.
“Ah, iya. Rakan. Dia apa kabar?” Please, tidak bisakah kita membicarakan hal lain?
“Kami sudah putus. Dia juga sudah menikah sekarang bu.” Bisa kulihat jika raut wajah Bu Wenti menimbulkan ekspresi tak enak. Mungkin ia merasa bersalah karena menyinggung masa laluku.
“Maa─”
“Gak perlu minta maaf, Bu. Mungkin dia bukan yang terbaik.” Seulas senyum yang terlalu kentara jika aku membuatnya dengan susah payah tersungging.
“Selamat malam.” Suara Aksa kini nimbrung di tengah percakapanku dan Bu Wenti. Dasar, sok asik.
“Malam.” Jawab Bu Wenti ramah.
“Bu, daftarnya udah selsai nih. Saya duluan ya.”
“Iya. Hati-hati dokter. Kalau ada waktu mampir-mampir ke sini. Temannya juga boleh ikut kalau ada waktu.” Bu Wenti sekalipun bahkan tertarik dengan pesona Aksa. Dan laki-laki itu hanya tersenyum menanggapi dan melirik dengan tatapan aneh ke arahku.
“Dia gak bisa dibawa kemana-mana bu. Laki-laki ini udah punya tunangan. Bisa-bisa gawat kalau ada perempuan yang nyantol.” Tawaku renyah. Semoga dengan mengatakan hal seperti itu Bu Wenti tidak berpikir untuk menjadikan Aksa sebagai hiburan.
“Wah, masnya udah punya tunangan ya? Sayang banget. Tuh liatin, petugas labnya pada kecewa.” Perempuan-perempuan yang dari tadi sok sibuk sementara mata mereka mencuri lirik ke arah Aksa terlihat kikuk.
“Wah maaf. Saya sudah punya tunangan. Bisa-bisa tunangan saya marah kalau saya deket-deket dengan perempuan lain.” He? Ternyata dia memang sudah punya tunangan?
Lana, Aksa itu super duper tampan. Sangat mustahil jika ia belum memiliki wanita pendamping. Entah itu pacar ataupun tunangan, bahkan mungkin istri.
“Tapi kalau kenalan tidak apa kan?”
“Kalo kenalan gak apa-apa, Bu. Nama saya Aksa.” Tangannya yang terlihat begitu kokoh menjabat tangan Bu Wenti yang nyaris keriput dimakan usia.
“Temannya Dokter Lana, ya?”
“Lana gak bilang? Saya bukan temannya. Saya tunangan Dokter Lana.” WHAT?!
***
“Kamu masih marah? Aku kan udah minta maaf.” Langkah kakiku hanya bisa kupercepat menuju parkiran. Aksa hanya dititipkan beberapa pot kecil yang nantinya harus ia isi dengan dahak, sputum kalau kami menyebutnya. Pot itu nantinya akan diantarkan kembali ke lab untuk diperiksakan. Aku sedari tadi hanya misuh misuh karena Aksa yang mengatakan hal tidak-tidak pada Bu Wenti. Tunangan? “Kenapa sih harus bilang begitu? Kalo dikira beneran gimana?” nanti kalau dikira orang aku sudah punya tunangan aku juga yang bisa malu. Sudah punya tunangan tapi kok tidak nikah-nikah. “Aku yang salah. Maafin ya.” Jujur aku pribadi agak amaze dengan Aksa yang mudah sekali mengucapkan kata maaf. Zaman sekarang banyak sekali orang yang jelas-jelas salah tapi gengsi banget untuk minta maaf. Tidak kugubris perkataan Aksa. Aku memilih diam. Mobilpun melaju menuju apartementku. Sejujurnya aku agak bingung karena Aksa sendiri tidak bertanya kemana ia harus mengantarku pulang. Mung
“Ada masalah apa kamu dengan laki-laki tadi?” tanya Aksa datar. Aku sangat yakin jika ia penasaran setengah mati karena ulahku tadi. Aku tidak tahu bagaimana bisa Rakan ada di depan pintu apartemenku. Untungnya tubuh Aksa yang tegak mampu menyembunyikanku dan kami bisa berbalik arah menuju lift kembali. Laki-laki itu cukup pintar untuk tahu kalau aku dan orang asing di depan kamar apertemenku sedang memiliki masalah. Aksa cukup pengertian dengan tidak menanyakan hal-hal yang kuyakini menggangu pikirannya saat kami sedang mencoba melarikan diri. Sekarang kami duduk di sebuah café yang ada di kawasan apartemen. Aku benar-benar berharap Rakan jengah menunggu di depan pintu apartemen dan pergi dari sana. Yah, meskipun aku tahu diriku tidak dalam keadaan yang aman lagi sekarang. Tapi setidaknya aku tidak mau bertemu dia untuk sekarang ini. Hatiku masih terlalu sakit. “Ada masalah apa kamu dengan laki-laki tadi?” Aksa mengulangi pertanyaannya. “Biasa. Ada orang asing yang
Mataku mengerjap ketika sorot matahari mulai masuk melalui celah jendela kaca. Ah, tidur yang benar-benar nyenyak. Yah, meskipun aku harus tidur dengan menggunakan baju yang sama seperti yang aku pakai kemarin. Semalam, Aksa pamit untuk turun ke apartemennya. Katanya ia ingin memastikan apakah keadaan di depan apartemenku sudah benar-benar aman atau belum. Aku diizinkannya untuk menginap di sini, di apartemen yang katanya milik Aksa, apartemen yang so so tumblr! Kusibakkan selimut nyaman tempatku menenggelamkan diri semalaman tadi. Jam dinding di kamar ini sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Tidak enak apabila aku berada di apartemen orang lain dan terlalu lama tertidur di sini. Wajahku sudah basah karena selepas itu aku langsung menuju wastafel yang ada di kamar Aksa untuk cuci muka dan sikat gigi. Iya, di wastafelnya kutemukan sikat gigi yang masih baru dan masih tersegel. Aku pakai saja sikat giginya dan nanti pasti akan aku ganti. “Selamat pagi,
Suara celotehan Belsya dan Belzyo, anak Kak Dio dan Kak Umil menemani makan malam keluarga kami seperi biasanya. Ah, aku benar-benar merindukan rumah. Belsya dan Belzyo, dua keponakanku itu rasanya baru ditinggal beberapa hari saja pipinya makin menggembil menjadi-jadi. Nakalnya pun makin menjadi-jadi. Tadi sore, ketika mobilku baru saja parkir di garasi, dua mahluk kecil itu langsung menodongku dengan tembak-tembakkan air. Mereka mengancam akan menembak apabila aku tidak mau membelikan mereka ice cream di minimarket terdekat. Jadilah harus kuturuti permintaan dua boss kecil itu. “Bun, Elsya kapan masuk sekolah?” Belsya. Gadis mungil berusia empat tahun. Dia adalah makhluk mungil yang sok bijak di mataku. Bukan sekali dua kali dia berlagak sok dewasan dan menasihatiku. Belsya sudah sangat lancar bicara dan terkadang itu yang membuat orang rumah kelimpungan. Gadis itu selalu berceloteh tentang hal-hal baru yang ia temui. Belsya
Tadi, Aksa kembali pamit untuk meneruskan perjalanannya kembali ke Jakarta. Cukup kaget juga karena dia kembali hanya untuk mengantarkan dompetku dengan berbekal kartu tanda penduduk yang ada di dalamnya. Aku cukup merasa terbohongi akibat pengakuannya. Ternyata dia sahabat Kak Dio selama kuliah di Bandung. Yah, meskipun berbeda jurusan dengan Kak Dio. “Ternyata dugaanku selama ini benar. Lana benar adikmu.” Kata Aksa. “Pasti karena namanya Gitraja, kan?” Kak Dio terkekeh. Nama keluarga memang menjadi identitas turun temurun. “Bukan.” Aku menekuri percakapan antara dua sahabat yang sudah lama terpisah itu. “Terus?” “Karena dulu, saat menceritakan Lana, aku bisa menangkap kesan bahwa Lana sangat sangat galak. Ternyata itu benar.” Setiap orang yang ada di meja makan tadi pagi terlihat begitu hangat menyambut Aksa. Mereka tertawa untuk hal-hal yang menurutku sangat sangat menyebalkan. Selepas Aksa mengatakan Saya bukan pacar L
Sekali lagi aku memastikan apabila resep yang telah aku baca tadi tidak salah. Keju 500 gram, susu 25 ml, tambah sedikti garam, daun sop dan daun bawang. Aroma yang dikeluarkan dari masakkan yang ada di depanku juga terlihat enak dan sama sekali tidak menimbulkan keraguan. Hmm.. kali ini aku cukup yakin apabila masakkanku ini akan enak. Sebenarnya, ada beberapa hal memalukan di dalam hidupku yang sangat jarang aku akui pada orang lain. Karena apa? Karena aku malu. Salah satunya adalah, di usiaku yang sudah 25 tahun aku bahkan belum bisa masak masakan rumah dengan tanganku sendiri tanpa bantuan dari bunda. Mungkin, bagi kalian yang menganggap aku sebagai wanita yang sibuk berkarir itu sangatlah biasa. Dengan gaji yang kuterima setiap bulannya mungkin cukup untuk membayar pembantu untuk memasak sehari-harinya. Tapi, beban moral yang aku terima tidak segampang itu. Apalagi jika ayah yang sudah berkoar dan membandingkan aku yang payah dalam hal memasak dengan menantu perempuan s
“Gimana nih hubungan dengan Mas Aksa? Ada kelanjutan?” Rentang waktunya sudah satu minggu dari hari dimana Nina dan Aksa yang datang ke apartemenku. Sejauh ini aku dan Aksa masih terus bertemu setiap hari. Dia selalu datang ke apartemenku malam-malam untuk minum obat. Satu minggu ini pula kalau tidak salah dia sudah makan malam bersamaku sebanyak empat kali. Oh, sejujurnya ini memang perkara yang tidak baik. Aku takut kalau-kalau jatuh hati dengan Aksa. Yah, bukannya apa-apa. Dia terlalu perfect. Mungkin memang tidak se sempurna yang aku bayangkan. Tapi, sejauh ini dia benar-benar mampu mengejutkanku. Dari mulai aku yang hanya tahu kalau dia adalah orang asing yang bernama Aksa, sampai aku yang tahu kalau Aksa bisa langsung diare karena makan sambal yang menurutku cupu abis. Tapi dengan kecupuan itu sekalipun, bagiku dia masih bisa disebut perfect. “Biasa aja.” Kalau diladeni pertanyaan Nina tentunya akan berakhir dengan kiat-kiat mendapatkan Aksa.
“Selamat siang, mba. Mau pesan apa?” Pertanyaannya membuatku melirik nama-nama menu yang tertulis di daftar menu minuman yang terpajang di dinding belakang. Keramaian di coffe shop yang baru buka tiga hari yang lalu ini membuatku benar-benar tidak nyaman. Coffe shop ini bagai dibanjiri pengunjung kampungan yang seolah tidak pernah menyesap rasa kopi, green tea, ataupun frapuccino serta teman-temannya itu. Hampir semua pengunjungnya adalah kaula muda. “Aku pesan taro polos tanpa topping dan satu crepes green tea.” Aku sedikit menggeser tubuhku setelah memberikan selembar uang lima puluh ribu rupiah pada sang pelayan. Sepertinya ini kunjungan pertama dan terakhirku ke coffe shop ini. Aku merasa terlalu tua berada diantara para remaja ini. Mungkin di ruangan ini akulah yang memiliki beban hidup yang paling banyak. Ah, lupakan. “Satu taro dan cerepes greentea, selamat menikmati dan jangan lupa berkunjung kembali.” Cepat kuraih