Home / Romansa / TARO / BAGIAN 3 - Tunangan Dokter Lana

Share

BAGIAN 3 - Tunangan Dokter Lana

Aku agak kaget melihat Nina yang tergopoh-gopoh masuk ke ruanganku.

“Mana pasien yang lain? Sudah habis?” tanyaku bingung. Tidak biasanya Nina masuk ke ruanganku saat kami tengah praktek.

“Pasien tadi yang waktu itu aku ceritain ke kamu.”

“Maksudnya?”

“Itu pasien yang datang ke tempat praktek kita yang lama dan kita lagi tutup makan siang. Dia yang tampan dan harum itu loh, Lan.” Jadi Si Aksa yang dimaksud Nina? Oh, jadi yang dia maksud pergi ke dokter dan dokternya tutup itu saat ia pergi menemuiku di tempat praktekku yang lama?

“Pantas. Tadi dia menyindirku. Aku baru paham maksudnya sekarang.”

“Menyindir? Menyindir bagaimana?”

“Husstt.. Udah ah jangan bahas pasien itu. Aku gak suka sama dia. Seenak-enaknya minta temenin aku pergi cek lab. Padahal kita sama sekali gak kenal. Asal kamu tau, Nin. Dia itu orang yang tempo hari kutabrak dan jasnya basah karena minuman Taro-ku. Perasaan tadi malem aku mimpi indah deh. Ketemu pangeran berkuda putih. Eh, kenapa hari ini yang dateng malah dia?” Aku bersungut kesal. Dosa apa sih aku?

“Seriusan kamu? Wah tanda-tanda nih.” Nina meremas tangannya. Ekspresi wajahnya sulit diartikan.

“Tanda-tanda? Tanda-tanda apaan?”

“Tanda-tanda kalau kamu mungkin memang berjodoh dengan dia.” Baru saat aku ingin melempar pulpen yang ada di dekatku, Nina sudah lari tunggang langgang. “Jangan galak-galak, kita gak ada yang tahu takdir.” Takdir? Ya apa harus juga takdir membawaku berjodoh dengan Aksa.

***

“Sudah waktunya untuk tutup!” kepala Nina tersembul dari balik pintu dan menyerukan kata-kata yang kuanggap aneh. Jam yang bertengger di dinding kananku bahkan baru saja menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Jadwal kami tutup biasanya pukul delapan malam.

“Sedang ada janji dengan Rico?” tanyaku memastikan alasannya karena menyerukan himbauan untuk tutup.

“Ingat nona, bukan aku yang sedang membuat janji dengan seseorang, tapi kamu!” Ah, yang benar saja? Haruskah aku mengantarkan Aksa ke laboratorium? Aku bahkan tidak mengenalnya. “Kusarankan untuk membawanya ke lab biasanya saja.” Bola mataku hanya memutar sebal mendengar saran Nina. Menurutku Nina terlalu bersemangat.

“Sudah tahu! Gak mau juga aku pergi jauh jauh sama dia ” Jelasku. “Jadi? Apalagi yang kamu tunggu? Ayo bangkit dan bersiap. Jam tujuh akan datang beberapa menit lagi, dan aku yakin kalau kamu tahu mungkin Aksa sudah ada di depan sekarang.” Hah? Buru buru sekali.

“Sudah tahu!”

“Bagus kalau kamu sudah tahu. Lebih baik kamu telfon orang lab yang kamu kenal supaya kamu dan Si Tampan Aksa tidak perlu mengantri terlalu lama.”

“Si Tampan?”

“Apa?”

“Kamu panggil dia Si Tampan?”

“Apa yang salah dari panggilan itu? Toh, nyatanya dia benar tampan, kan?” Baiklah, nyatanya Aksa memang tampan. Jujur saja aku benci mengakuinya, akupun tak tahu alasannya.

***

Aku menghentak-hentakkan kakiku ke lantai untuk yang kesekian kalinya. Aku dan Nina sekarang seperti dua orang bodoh yang tengah menunggu di bangku plastik yang kami pinjam dari tukang parkir yang biasa berjaga di depan deretan ruko-ruko tempat aku praktek, menunggu Aksa yang sampai sekarang batang hidungnya belum kelihatan.

“Sekarang lihat? Dia pasti hanya bercanda, dan kita gak seharusnya ada di sini dan menunggu kedatangannya.” Suaraku nyaris memekik sangking sebalnya.

“Sabar sebantar bisa tidak?”

“TIDAK!”

“Ayolah Lan. Ini baru jam setengah delapan. Sebentar lagi dia pasti datang. Sabar sebentar.”

“Kenapa kamu yang terlalu bersemangat, huh? Well, mengapa tidak dicoba kalau kamu yang menemani Aksa ke lab?”

“Terus mengambil resiko jika rencana lamaran dan pernikahanku batal karena Rico cemburu?”

“Kita sama-sama tahu jika Rico bukan tipe laki-laki pecemburu.” Cibirku kesal.

“Itu tidak bisa dijadikan alasan. Aku sama sekali tidak ada minat untuk berurusan banyak dengan Aksa.” Ha! Dia saja tidak minat apalagi aku.

“Sama! Aku juga sama sekali tidak berminat berurusan lebih jauh dengannya.” Kalau bukan karena rasa bersalahku perkara minuman yang aku tumpahkan ke jasnya tempo hari mana mau aku menunggu dia di sini sekarang. Pekerjaanku ada banyak!

“Kenapa tidak? Menurutku dia baik untukmu.”

“Baik? Bagaimana bisa seorang Nina mengambil kesimpulan se-be-gi-tu cepat dalam menilai seseorang padahal kalian baru bertemu dua kali.” Dari zaman SMA-pun Nina memang bukanlah orang yang gegabah, terutama dalam urusan menilai seseorang.

“Baiklah, kamu tahu dengan jelas siapa temanmu ini. Aku gak tahu kenapa tapi hanya saja instingku mengatakan jika dia baik dan,” mataku sedikit mendelik memberi kode untuknya agar tidak melanjutkan apa yang telah ia mulai “kurasa dia cukup pantas menggantikan Rakan.” Hah? Apa hubungannya? “Dengar, bukan begitu maksudku….hah, aku yakin kamu tahu jelas bagaimana maksudku.” Nina mendesah bingung.

Aku tahu jelas apa maksudnya. Dia hanya tidak ingin aku berlarut dalam kesendirian yang terlalu lama. Usiaku 25 tahun dan sekarang aku bahkan tidak memiliki laki-laki yang bisa dijadikan kandidat sebagai calon suami. Usiaku bukan lagi usia dimana aku masih pantas ber-haha-hihi terlalu lama. Aku lebih pantas menjadi seorang ibu dan seorang istri. Aku tahu betul. Bunda sering mengingatkanku karenanya. Tidak, ayah dan bunda bukan tipe orangtua pemaksa dan pendesak yang kerap kali menanyakan kapan kamu membawa calon suamimu?

Kapan kamu akan menikah?

Umurmu sudah 25 tahun

Mereka sangat mengerti keadaanku. Apalagi pasca masalahku dengan Rakan. Mungkin mereka juga mengerti jika sekarang pendamping hidup bukan lagi menjadi prioritas dalam hidupku. Prioritasku sekarang adalah BAHAGIA.

“Tidak apa. Aku tahu kalau─”

“Selamat malam nona-nona. Maaf aku terlambat.” Perbincangan aku dan Ninapun tersentak oleh kedatangan si pemilik suara.

***

“Maaf aku datang terlambat.” Suara Aksa seolah mengenyahkan pikiran-pikiran kekaguman yang begitu mendalam akan setelah pakaiannya malam ini. Mungkin sebenarnya masalah itu bukan ditimbulkan dari pakaiannya. Tapi, wajahnya. Hanya orang buta dan gila yang mengatakan kalau Aksa tidak tampan. Aku kenapa sebenarnya? Kenapa harus terlalu sibuk mengurusi laki-laki ini? Tapi perpaduan kaos Marc Jacobes dan celana jeans yang dipakainya benar-benar terlihat pas dan menggugah selera. Tunggu! Selera? Selera apa? Ngaco. Astaghfirullahaladzim. Istighfar Lana.

“Hanya terlambat empat puluh menit. Lebih baik kalian berangkat sekarang.” Dengan semangat 45 Nina mengusir kami untuk segera jalan.

“Aku harap dokter Lana tidak marah karena sudah menunggu terlalu lama.”

“Lana sama sekali gak marah. Dia dalam keadaan baik dan begitu semangat untuk membantu. Ya kan, Lana?” Semangat dari hongkong. Nyatanya dan kelihatannya bergelung di sofa sambil menonton drama korea jauh lebih membahagiakan.

Kurasakan lenganku disikut oleh Nina dan hal itu mau tak mau membuatku bergumam mengiyakan. “Hmm,”

“Kalau gitu kami pergi dulu Nina. Terimakasih sudah mau menemani dia.” Kenapa mereka terlihat begitu akrab sih? Sedangkan aku? Aku terlihat seperti orang aneh di antara keduanya yang sama sekali tidak tertarik untuk bergabung.

Aksa mengabil langkah di depanku dan aku berjalan dibelakangnya mengikuti. Aku cukup kaget melihat ia membukakan pintu sebuah mobil Rubicon yang terparikir di depan ruko yang tak jauh dari tempat praktekku. Seharusnya aku sudah tahu kalau dia cukup kaya dan cukup mampu membeli sebuah Rubicon.

“Maaf aku terlambat,” ia memulai pembicaraan setelah mobil mulai melaju perlahan.

“Aku? Bukannya tadi siang kamu bicara dengan menggunakan kata saya” Kuberi penekanan pada kalimat terakhirku.

“Memangnya kenapa?”

“Sok asik”

“Di hari kamu menumpahkan minuman ke jasku seingatku kita bicara dengan menggunakan aku-kamu, ingat?” ah, aku-kamu saya-anda sudahlah.

“Oh iya, aku berniat mengantarkanmu ke lab sebagai rasa permohonan maaf. Hanya sekali, aku mengantarmu hanya sekali ini saja.” Jelasku.

“Setega itukah? Aku bahkan tidak tahu apa-apa tentang laboratorium.”

“Kamu sudah tua dan cukup umur untuk bisa bertanya kepada orang asing jika kamu tidak mengetahui sesuatu.” Aku mendengus sebal, dan aku bisa mendengar kekehannya. Tampan, tapi aneh.

“Ke lab mana kita?” tanyanya.

“Ke Jarska lab.” Kataku singkat. Dia hanya mengangguk mengiyakan dan mulai kurasakan mobil berjalan lebih cepat dari sebelumnya.

Jarska merupakan laboratorium yang cukup terkenal dan sangat lengkap dan tidak terlalu jauh dari tempat praktekku. Dokter umum yang bekerja di lab ini juga salah seorang temanku semasa pendidikan dokter umum.

“Parkir saja di parkiran dokter.” Aksa mengikuti instruksiku dan memarkirkan mobilnya di deretan mobil-mobil yang bisa dipastikan milik dokter-dokter yang bekerja di Jarska.

Kami turun dari mobil dan melangkah masuk. “Dokter Lana? Apa kabar?” Seru Bu Wenti. Beliau merupakan analis senior. Dulu semasa aku coass beliau bekerja di rumah sakit yang sama denganku. Aku si coass keset dan Bu Wenti petugas lab yang baik hati, begitu kami menjulukinya. Dia menyapaku ketika kami sedang mendaftar dan Aksa yang ada di sebelahku tengah sibuk mendaftarkan diri. Sebelumnya aku sudah menyebutkan pemeriksaan apa yang ingin kulakukan.

“Bu Wenti. Aku baik. Ibu gimana? Baru mau pulang?”

“Seperti yang dokter lihat sekarang. Iya, dok mau pulang hehehe. Siapa yang mau cek lab?” Pertanyaan Bu Wenti seolah tidak tepat. Matanya yang melirik ke arah Aksa seolah ingin bertanya siapa ini dok?

“Teman sekaligus pasien hehehe.” Jujur aku tidak berniat melanjutkan percakapan ini lebih lanjut. Bingung harus menjelaskannya bagaimana pada Bu Wenti.

“Pacarnya Dokter Lana ya?” Apa aku bilang? Percakapan ini memang sudah harus diakhiri sebelum ada berita simpang siur yang muncul. Padahal aku sudah bilang kalau ini temanku.

“Bukan lah, Bu. Bu Wenti ada-ada aja.”

“Hahaha, saya juga berpikir bukan. Soalnya kan seinget saya muka pacarnya dokter yang suka anter jemput dulu beda dari yang sekarang. Mas yang ini lebih ganteng.” Jah! “Siapa dok nama  pacar yang dulu? Ak..Akan? Arkan?─”

“Rakan.” Aku membenarkan ingatan Bu Wenti yang samar.

“Ah, iya. Rakan. Dia apa kabar?” Please, tidak bisakah kita membicarakan hal lain?

“Kami sudah putus. Dia juga sudah menikah sekarang bu.” Bisa kulihat jika raut wajah Bu Wenti menimbulkan ekspresi tak enak. Mungkin ia merasa bersalah karena menyinggung masa laluku.

“Maa─”

“Gak perlu minta maaf, Bu. Mungkin dia bukan yang terbaik.” Seulas senyum yang terlalu kentara jika aku membuatnya dengan susah payah tersungging.

“Selamat malam.” Suara Aksa kini nimbrung di tengah percakapanku dan Bu Wenti. Dasar, sok asik.

“Malam.” Jawab Bu Wenti ramah.

“Bu, daftarnya udah selsai nih. Saya duluan ya.”

“Iya. Hati-hati dokter. Kalau ada waktu mampir-mampir ke sini. Temannya juga boleh ikut kalau ada waktu.” Bu Wenti sekalipun bahkan tertarik dengan pesona Aksa. Dan laki-laki itu hanya tersenyum menanggapi dan melirik dengan tatapan aneh ke arahku.

“Dia gak bisa dibawa kemana-mana bu. Laki-laki ini udah punya tunangan. Bisa-bisa gawat kalau ada perempuan yang nyantol.” Tawaku renyah. Semoga dengan mengatakan hal seperti itu Bu Wenti tidak berpikir untuk menjadikan Aksa sebagai hiburan.

“Wah, masnya udah punya tunangan ya? Sayang banget. Tuh liatin, petugas labnya pada kecewa.” Perempuan-perempuan yang dari tadi sok sibuk sementara mata mereka mencuri lirik ke arah Aksa terlihat kikuk.

“Wah maaf. Saya sudah punya tunangan. Bisa-bisa tunangan saya marah kalau saya deket-deket dengan perempuan lain.” He? Ternyata dia memang sudah punya tunangan?

Lana, Aksa itu super duper tampan. Sangat mustahil jika ia belum memiliki wanita pendamping. Entah itu pacar ataupun tunangan, bahkan mungkin istri.

“Tapi kalau kenalan tidak apa kan?”

“Kalo kenalan gak apa-apa, Bu. Nama saya Aksa.” Tangannya yang terlihat begitu kokoh menjabat tangan Bu Wenti yang nyaris keriput dimakan usia.

“Temannya Dokter Lana, ya?”

“Lana gak bilang? Saya bukan temannya. Saya tunangan Dokter Lana.” WHAT?!

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status