Home / Romansa / TARO / BAGIAN 6 - Dompet Tertinggal

Share

BAGIAN 6 - Dompet Tertinggal

Mataku mengerjap ketika sorot matahari mulai masuk melalui celah jendela kaca. Ah, tidur yang benar-benar nyenyak. Yah, meskipun aku harus tidur dengan menggunakan baju yang sama seperti yang aku pakai kemarin. Semalam, Aksa pamit untuk turun ke apartemennya. Katanya ia ingin memastikan apakah keadaan di depan apartemenku sudah benar-benar aman atau belum. Aku diizinkannya untuk menginap di sini, di apartemen yang katanya milik Aksa, apartemen yang so so tumblr!

Kusibakkan selimut nyaman tempatku menenggelamkan diri semalaman tadi. Jam dinding di kamar ini sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Tidak enak apabila aku berada di apartemen orang lain dan terlalu lama tertidur di sini.

Wajahku sudah basah karena selepas itu aku langsung menuju wastafel yang ada di kamar Aksa untuk cuci muka dan sikat gigi. Iya, di wastafelnya kutemukan sikat gigi yang masih baru dan masih tersegel. Aku pakai saja sikat giginya dan nanti pasti akan aku ganti.

“Selamat pagi, dok! Pasiennya sudah menunggu.” Aksa? Sejak kapan dia di sana?

“Cukup lama sampai bisa menyiapkan roti bakar.” Jawabnya.

Aku berjengit melihat Aksa yang sudah duduk manis sembari menikmati satu gelas minuman berwarna keunguan. Kalian  tahu? Ini pukul tujuh dan dia sudah rapih dengan balutan jas abu-abunya. GOSH!!

“Aku bangun kesiangan.” Kataku sembari berjalan mendekatinya. Benar apa yang dikatakan Nina, dari jarak yang cukup jauh sekalipun aku masih bisa mencium bau parfumnya. “Kenapa tidak membangunkanku?’ tanyaku.

“Tadi aku sempat ingin membangunkan. Tapi, tidurmu terlihat begitu nyenyak.” Perkatannya tidak kutanggapi. Tubuhku kujatuhkan begitu saja di kursi sebelahnya. “Mau taro?” Ah, iya, Taro! Itu minuman yang membawaku bertemu dengan Aksa.

“Bagaimana bisa ada Taro di sini?”

“Aku pecinta Taro. Ada banyak stock di lemari.” Iya menunjuk lemari di dekat kabin dapur. Astaga, orang ini tidak memiliki makanan di kulkasnya dan bisa-bisanya dia men-stock minuman Taro? Tapi memang tidak kupungkiri rasa taro memang nikmat. “Tunggu sebentar, akan aku buat.” Sepersekian detik berikutnya Aksa sudah menghilang dari hadapanku.

Selama beberapa menit aku fokus pada acara gossip selebrita pagi yang muncul di layar kaca. Sudah berapa lama ya aku tidak menonton acara gossip selebriti? Ternyata hidupku benar-benar membosankan sampai-sampai acara gossip di TV saja aku tidak tahu. Yah, meskipun nonton tayangan gossip di TV tidak memberikan manfaat sama sekali dan hanya akan menambah dosaku yang sudah cukup banya. Ghibah. Rasanya benar benar menyenangkan apabila mendengar gossip apalagi yang sedang menjadi trend. Astaghfirullah.

“Ini,” satu gelas taro mendarat di meja batu yang ada di depanku. Aksa kembali duduk di sebelahku dan menyeruput minumannya kembali. Ia terlihat begitu menikmati setiap tetes minuman taro  yang membasahi tenggorokkannya.

“Aku bahkan tidak tahu kalau permasalahanmu bahkan lebih kompleks dari sekedar mantan pacarmu yang ingin balik lagi menjalin hubungan denganmu.” Perkataannya sukses membuatku was-was.

“Maksudmu?”

“Maaf, mungkin ini terlalu pagi untuk membahas kedatangan Rakan.” Rakan. Bagaimana bisa ia tahu tentang Rakan? Bahkan tahu apabila nama laki-laki yang membuatku harus mengungsi ke apartement Aksa bernama Rakan.

“Kamu mencari tahunya?” tanyaku dengan suara yang agak kesal. Kalau itu memang benar terjadi maka aku akan benar-benar marah padanya.

Aksa menggelengkan kepalanya dan mendengus pelan. “Aku hanya bertanya. Dia membeberkan kisahmu panjang lebar. Sepertinya ia sedang mabuk. Mulutnya tercium bau alkohol.” Mabuk? Rakan mabuk? Ia bukan tipe laki-laki yang suka minum.

“Ia tidak suka minum, aku sangat tahu itu.” bantahku.

“Sepertinya dia begitu frustasi.” Aku hanya diam dan tidak menanggapi perkataan Aksa barusan. “Sepertinya kamu memang benar-benar harus menyelesaikan masalahmu terlebih dahulu. Jangan sampai ini menyakiti kalian berdua lebih dalam.” Arghhhh…..kenapa sulit sekali untuk hidup dengan tenang sih? “Diminum dulu.” Katanya.

Aku mengambil satu gelas taro yang telah dibuat oleh Aksa. Kuseruput minuman itu dengan lahap. Enak. Taro memang akan selalu jadi yang paling enak. Aku jatuh cinta saat pertama kali mencicipinya di café waktu itu. Tapi, sepertinya aku pernah minum taro dengan rasa yang sama. Rasanya sama dengan minuman Taro waktu itu. Apa memang semua rasa minuman taro sama?

***

Aku pamit untuk kembali ke apartemen. Tadi, sebelum pulang aku sempat bertanya mengapa Aksa sudah rapi dengan balutan jas abu-abu yang begitu terlihat pas di tubuhnya.

“Kamu mau kemana?”

“Mau pergi kerja.” Jawabnya singkat.

Aku hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya,  agak bingung aku dengan tampilan Aksa. Ah, di pertemuan pertama kami Aksa juga mengenakan setelan jas yang membuat ia jadi begitu tampan.

“Lebih baik malam ini kamu jangan menginap di apartemen kamu dulu. Menginap di sini saja. Rakan pasti akan kembali.”

“Aku memang berencana untuk pulang malam ini. Aku rindu rumah. Rindu masakan bunda.” Semalam aku memang sudah berencana untuk menginap di rumah beberapa malam ini. Tidak mau mengambil resiko untuk bertemu Rakan. Rasanya aku juga memang harus menceritakan hal ini pada orang rumah. Jadi, setidaknya akan ada banyak orang yang bisa membantu berpikir tentang apa yang sebaiknya kulakukan.

“Bagus kalau begitu. Aku akan pergi beberapa hari. Tapi, kalau ada apa-apa atau kalau Rakan macam-macam padamu, kamu bisa langsung menghubungiku.” Aku cukup tersentuh  dibuatnya, merasa diperhatikan atas ucapan Aksa barusan.

“Terimakasih. Aku akan baik-baik saja.” Penasaran. Itulah yang menggerogoti hati dan pikiranku saat ini. Aksa mau pergi kemana? “Pergi untuk urusan pekerjaan?” pertanyaan itu terlontar pada akhirnya.

“Iya. Ada beberapa hal yang harus aku urus di Jakarta.”

“Tentang barang-barang yang akan kamu jual?” perkataanku membuat Aksa tertawa. Mungkin dia tidak habis pikir kalau aku masih memikirkan barang-barang jualannya.

“Iya.” Jawab Aksa sembari terkekeh. “Aku mau mengurus surat sertifikasi halal.” dan tawanya pecah melihat ekspresi wajahku yang masam.

“Aku serius Aksa!”

“Jangan terlalu serius. Pekerjaanmu sudah menuntut banyak keseriusan.” Katanya sembari mengacak rambut panjang milikku yang tergerai tak karuan.

Aku tergugu dan tak mau melanjutkan. Mengacak rambut panjang merupakan hal yang sangat sering dilakukan Rakan dulu dan Aksa melakukannya. Orang yang bahkan baru dikenalnya beberapa hari.

“Aku mau pulang dulu.” Kuputuskan untuk segera bangkit dari kursi dan berlari kecil ke kamar tempat dimana ia tadi tertidur. “Terimakasih banyak karena telah menampungku malam ini.” kataku tulus.

“Anytime. Aku bahkan bersedia menampung dokter galak sepertimu setiap hari.” Ia terkekeh ringan.

Aku mengulum senyum acuh mendengar jawaban dari Aksa. “Jangan lupa obatnya dihabiskan. Coba ditelan. Makan buah dan sayur serta istirahat yang cukup. Jangan di lepas maskernya meskipun tidak nyaman dan jangan terlalu dekat kalau lagi berbicara dengan orang lain ” Kataku  mengingatkan, yang diingatkan mengangguk patuh dan tersenyum manis.

***

Aksa memutuskan untuk melihat kondisi kamar yang tadi ditempati Lana. Dugaannya sangat tepat. Perempuan itu pergi tanpa membereskan tempat tidur yang semalam dipinjamnya.

“Dasar malas.” Gumam Aksa pada dirinya sendiri.

Laki-laki itu tersenyum. Lanala Gitraja. Dokter galak yang membuatnya senang dan ingin terus menggodanya. Perempuan yang cantik yang sayangnya gagal move-on.

Aksa menyibakkan selimut dan menurunkan bantal berniat untuk merapikan tempat tidurnya yang sekarang sudah tercemar aroma parfum dokter galak itu. Matanya bagaikan mata Elang dengan sigap menangkap benda coklat yang terselip diantara bantal yang semalam dipakai Lana. Dompetnya tertinggal, iya dompet Lana.

***

Aksa memutuskan untuk melihat kondisi kamar yang tadi ditempati Lana. Dugaannya sangat tepat. Perempuan itu pergi tanpa membereskan tempat tidur yang semalam dipinjamnya.

“Dasar malas.” Gumam Aksa pada dirinya sendiri.

Laki-laki itu tersenyum. Lanala Gitraja. Dokter galak yang membuatnya senang dan ingin terus menggodanya. Perempuan yang cantik yang sayangnya gagal move-on.

Aksa menyibakkan selimut dan menurunkan bantal berniat untuk merapikan tempat tidurnya yang sekarang sudah tercemar aroma parfum dokter galak itu. Matanya bagaikan mata Elang dengan sigap menangkap benda coklat yang terselip diantara bantal yang semalam dipakai Lana. Dompetnya tertinggal, iya dompet Lana.

***

Aksa memutuskan untuk melihat kondisi kamar yang tadi ditempati Lana. Dugaannya sangat tepat. Perempuan itu pergi tanpa membereskan tempat tidur yang semalam dipinjamnya.

“Dasar malas.” Gumam Aksa pada dirinya sendiri.

Laki-laki itu tersenyum. Lanala Gitraja. Dokter galak yang membuatnya senang dan ingin terus menggodanya. Perempuan yang cantik yang sayangnya gagal move-on.

Aksa menyibakkan selimut dan menurunkan bantal berniat untuk merapikan tempat tidurnya yang sekarang sudah tercemar aroma parfum dokter galak itu. Matanya bagaikan mata Elang dengan sigap menangkap benda coklat yang terselip diantara bantal yang semalam dipakai Lana. Dompetnya tertinggal, iya dompet Lana.

***

 “Sepertinya kamu dengan Aksa benar-benar berjodoh. Kemajuan kalian sangat pesat. Dalam satu malam kamu bahkan bisa menginap di apartemennya.” Goda Nina.

Tadi aku datang terlambat. Sungguh itu bukanlah suatu kebiasaan yang dimiliki seorang dokter. Terkecuali, memang ada hal-hal mendadak yang lebih force majeur. Semua itu menyebabkan aku harus diintrogasi oleh Nina dengan sangat detail prihal keterlambatan sahabatnya itu. Alhasil, mengalirlah cerita panjang itu. Tentang Rakan yang tiba-tiba ada di depan pintu kamar Lana, juga Lana yang numpang menginap di apartemen Aksa.

“Terpaksa, Nin. Kalau bukan mendesak juga nggak akan menginap di sana.”

“Terpaksa? Apa berdekatan dengan Aksa bikin kamu lupa kalau masih ada aku?” Kenapa aku tidak kepikiran untuk menginap di aparteman Nina, sih? Toh hanya berjarak beberapa lantai.

Mungkin, semalam kekalutanku benar-benar di batas maksimal sampai-sampai tidak mengingat keberadaan Nina.

“Mungkin aku terlalu panik.”

“Bukan terlalu panik. Kamu terlalu terpesona dengan Aksa.” Nina tertawa mengejek. “Sungguh dusta yang luar biasa kalau kamu tidak mau bilang jika Aksa itu tampan.”

“Aku enggak bilang dia tidak tampan. Nenek-nenek buta juga tahu kalau Aksa itu tampan.” Nina hanya mendecak sebal mendengar ucapanku yang terkadang memang suka tidak jelas dan melantur.

“Orang buta tidak bisa lihat.” Aku terkekeh kecil mendengar ucapannya. Ku rogoh tasku untuk mencari dan memastikan kalau dompetku ada di sana. Soalnya, semalam aku mengeluarkannya saat berada di kamar apartement Aksa.

“Memangnya kenapa kalau dia tampan, huh? Dia memang tampan, apa ada masalah dengan ketampanannya?”

Oh God! You didn’t get the point miss!” decak Nina kesal. “Kenapa kamu tidak mencoba untuk berhubungan dengan dia? Dia mempesona. Bahkan lebih mempesona dari Rakan.”

“Kami berhubungan.” Mata Nina melebar mendengar apa yang kuucapkan. “Hubungan sebatas dokter dan pasien serta hubungan sebagai tetangga yang berteman.”

“Kamu tahu jelas kalau yang aku maksud bukan hubungan yang seperti itu, Dok.”

“Nin, aku bahkan baru kenal dia kemarin malam. Apa yang bisa diharapkan dari seseorang yang baru kita kenal dalam sehari?”

“Berharap kalau dia jodoh kita.” Kedua alisku bertaut mendengar kata-kata Nina. Tidak biasanya Nina bersikap serepot ini. Nina memang perhatian. Tapi sangat jarang dia mau angkat bicara dan mendorongku begitu keras untuk menjalin hubungan dengan seseorang. Jangankan menjalin hubungan, biasanya Nina bahkan tidak mau acuh dengan laki-laki yang tampan sekalipun. Meskipun ia akan tetap mendengarkan seluruh cerita panjangku tentang laki-laki tampan yang aku temui. Tapi dikasus ini? Nina seperti benar-benar memiliki poin plus plus untuk Aksa. Pasien sekaligus tetangga baru itu.

“Dompetku ketinggalan di kamar Aksa!” Kataku dengan nada yang cukup panik.

“Ssttt…. Jangan berisik. Nantikan bisa kamu ambil.”

“Masalahnya dia hari ini pergi ke Jakarta. Hari ini dan beberapa hari ke depan.”

“Coba di telfon.” Usul Nina. Aku bergegas mengambil ponselnya dan mencari di log panggilan masuk. Semalam, sewaktu Aksa menyuruhku untuk menyimpan nomornya, belum kulakukan.

Nina beranjak keluar ketika ia mendengar bunyi ting yang menandakan jika ada pasien yang datang ke klinik mereka.

“Hallo, Assalamualaikum.” Ini pertama kalinya aku mendengar Aksa mengucapkan salam. Ah, sopan sekali. Ini juga pertama kalinya  kudengar suara Aksa dari telfon.

“Waalaikumussalam. Ini..aku…” bingung. Itulah yang kurasakan saat ini. Padahal ini bukan perkara sulit. Cuma mau tanya apa Aksa lihat dompet yang tertinggal.

“Kamu pasti mau ambil dompet, kan?”

“Iya. Kamu dimana sekarang? Atau mungkin kamu titipin dompet aku ke satpam apartemen?” Semoga saja Aksa sedikit cerdas dan menitipkan dompet milikku di satpam. Secara, diakan mau pergi ke luar kota.

“Aku baru sampai di Jakarta.” Wow, cepat sekali sampainya. “Dompetku?”

“Aku bawa.” Jawa Aksa ringan.

Hell! Kenapa dia bawa dompetnya ke Jakarta?

“Kok? Kamu apa-apaan sih? Jadinya gimana ini?” Kataku geram. Nada bicaraku yang meninggi  membuat Nina kembali. Ia mengkode ke arahku untuk men-loud speaker pembicaraannya dengan Aksa.

NO!! BIG NO!! Gerakkan Nina yang bersiap untuk merampas ponsel dari tanganku membuatku mau tak mau menekan tombol loud-speaker agar Nina juga bisa mendengar apa yang dikatakan Aksa.

“Kalau aku sibuk cari kamu aku bisa ketinggalan pesawat.” Jelasnya. “Kamu kan hari ini mau pulang ke rumah bunda. Artinya kamu tidak akan makan di luar, tidak terlalu membutuhkan uang.” Sekuat tenaga aku berusaha menahan senyum akibat godaan Nina yang mesem-mesem mendengar apa yang diucapkan Aksa. Emm… tidak ada yang aneh memang. Hanya saja apa yang diucapkannya membuat kami terdengar seolah-olah pasangan yang…. Ah, sulit dijelaskan.  Kamu kan hari ini mau pulang ke rumah bunda. Kenapa dia harus bilang seperti itu?

“Kalau kamu lama di Jakarta nasibku bagaimana?” ujarku cepat dan dengan nada yang dibuat seolah-olah jauh lebih kesal dari sebelumnya.

“Nasibmu?” Ups! Sepertinya aku sudah salah bicara karena sekarang Nina sedang mengedipkan mata jahilnya.

“Nasibku tanpa dompetku.”

“Akan kuusahakan untuk pulang segera.”

“Ya sudah. Jangan dibuka-buka ya.”

“Dibuka-buka? Apanya yang dibuka?” hell yeah! Ugh !

“Dompetnya!!!” Kenapa dia suka sekali menggoda?

Nina tak tahan untuk menahan tawanya. Ia terbahak dengan keras tepat saat aku memutuskan sambungan telfon dengan Aksa.

Kenapa ada manusia seperti Aksa di dunia ini? Awal pertemuan kami dia memberikan kesan kalau dia jutek, tapi kesan gagah dan tampan memang sudah pasti tak bisa lepas dari dirinya. Ia berubah menjadi manusia menyebalkan, lalu sok ingin menjalin pertemanan yang baik, berubah manis, dan sekarang berubah menjadi menyebalkan dan….. dan tak bisa dikatakan.

“Besar ya pengaruh Aksa di hidupmu.” Nina memposisikan dirinya duduk di bed periksa.

“Maksudnya?”

“Aku bahkan lupa kapan terakhir kali raut wajahmu bisa berubah-ubah dalam sekejap. Perasaanmu juga pasti jumpalitan, kan?” tebak Nina dengan penuh percaya diri.

“Aku?” Pura-pura aku memeriksa laci meja. Jangan sampai mataku bersitatap dengan dia. “Aku kenapa memangnya?”

“Dalam hitungan bulan kamu pasti bisa jadi Lana yang seperti dulu lagi.” Nina bangkit dan berjalan mendekatiku yang masih sok sibuk dengan laci meja.

“Yang seperti dulu? Yang seperti apa maksudmu?”

“Kamu cari apa?”

“Aku…ini….mau cari….”

“Kita berteman bukan satu atau dua bulan, heh!” Nina mendekat dan menutup paksa laci meja. Untung tanganku tidak terjepit di sana. “Kenapa tidak bicara sambil menatap mataku. Gugup?” tanya Nina cengengesan.

“Gugup?” aku pura-pura bingung. “Kenapa mesti gugup? Memangnya aku kenapa?”  

“Kamu cari apa di laci meja?” Nina berusaha mengintimidasiku. Mungkin sebentar lagi dia akan tahu kalau akau sudah jadi pembohong yang ulung.

“Aku….aku cari…em…” Ah, kenapa hanya ada nota resep di laci meja ini?

 “Aku cari stetoskop.” Nina mencibir mendengar jawabanku. Tentu dia tahu kalau akau berbohong. Sejak kapan stetoskop ada di laci meja? Ewwhh.

“Kalah?” mau tak mau aku mengangguk dengan lesu. “Kamu jelas tahu apa yang aku bicarakan, kan?”

“Apa sih yang bisa diharapkan dari orang yang baru dikenal beberapa hari?” Aku tahu Nina sangat ingin aku kembali pada kehidupan awalku.

Menjadi Lana yang dulu. Yang menyusun mimpi-mimpi indahnya dengan seseorang. Curhat dan cerita secara mendetail tentang apa yang dilaluinya bersama seorang pria. Pria manapun. Bahkan saat  bersama Rakan, pria yang kutemui di mall dan tidak penting sekalipun akan jadi curhat menarik. Tapi sekarang? Lana membuat menginap di apartemen Aksa adalah hal biasa yang tidak patut dibahas tuntas dan tidak pantas jadi gossip hot yang harus didengarkan Nina.

Aku tahu itulah yang ada di kepalanya sekarang.

“Aku tidak pernah menyuruhmu berharap pada seseorang, pada laki-laki manapun. Jangan pernah berharap. Tapi, kenapa tidak coba jadi kamu yang dulu? Yang lebih periang dan lebih luwes dan tidak sekaku ini. Tidak salah kalau kamu mau senyum saat kamu dengar perkataan Aksa tadi. Kenapa kamu harus berusaha tahan napas saat kamu bisa jingkrak jingkrak kegirangan?” Nina tersenyum jahil. “Mana Lanaku yang punya rasa nano-nano?”

“Nin, aku baru putus dan itu akan sangat sulit.”

“Stop untuk beralibi, Lan. Kemarin bahkan kamu yang bilang kalau kamu sudah tidak apa-apa. Itu sudah enam bulan yang lalu. Fokus untuk hidupmu ke depan.” Nina menasihati. “Kalau nyatanya kamu memang masih ingin kembali pada Rakan, kamu pasti akan mendengarkan perkataannya. Kamu seharusnya akan menunggu hasil DNA itu.”

Nina benar. Mungkin, jika ada orang yang bertanya pada diriku sekarang, apakah aku masih mau kembali pada Rakan saat kebenaran itu datang? Jawabannya adalah aku tidak tahu. Aku tidak tahu hidupku akan berlanjut seperti apa. Rasanya aku sudah lupa akan harapan-harapan mawar merah di awal bulannya,  lupa rasa bahagia saat seseorang berkata mencintaiku,  juga lupa disambut dengan hangat di pagi harinya.

“Tidak perlu buru-buru. Perlahan namun pasti.” Kata Nina sebelum ia kembali ke mejanya di depan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status