Home / Romansa / TARO / BAGIAN 7 - Calon Sahabat Seumur Hidup

Share

BAGIAN 7 - Calon Sahabat Seumur Hidup

Suara celotehan Belsya dan Belzyo, anak Kak Dio dan Kak Umil menemani makan malam keluarga kami seperi biasanya. Ah, aku benar-benar merindukan rumah. Belsya dan Belzyo, dua keponakanku itu rasanya baru ditinggal beberapa hari saja pipinya makin menggembil menjadi-jadi. Nakalnya pun makin menjadi-jadi.

Tadi sore, ketika mobilku baru saja parkir di garasi, dua mahluk kecil itu langsung menodongku dengan tembak-tembakkan air. Mereka mengancam akan menembak apabila aku tidak mau membelikan mereka ice cream di minimarket terdekat. Jadilah harus kuturuti permintaan dua boss kecil itu.

“Bun, Elsya kapan masuk sekolah?” Belsya. Gadis mungil berusia empat tahun. Dia adalah makhluk mungil yang sok bijak di mataku. Bukan sekali dua kali dia berlagak sok dewasan dan menasihatiku. Belsya sudah sangat lancar bicara dan terkadang itu yang membuat orang rumah kelimpungan. Gadis itu selalu berceloteh tentang hal-hal baru yang ia temui. Belsya yang menyebut dirinya Elsya yang sudah sangat tidak sabar untuk bisa pergi sekolah sepeti kakanya, Belzyo yang tahun depan akan masuk TK. Sedangkan di awal tahun pelajaran yang sebentar lagi akan datang Belsya akan masuk play group di sekolah yang sama dengan kakak laki-lakinya.

“Belsya kan nggak jadi daftar sekolah.” Kataku jahil. Rasanya memang belum afdol apabila  belum membuat Belsya nangis sehari saja.

“Bun?” Belsya melirik ke arah bundanya dengan tatapan sedih seolah-olah bertanya apakah benar yang dikatakanku tadi.

“Belsya bawel sih. Jadinya sekolahnya nggak mau nerima. Coba kalo kayak kak Elzyo. Pasti diterima. Kak Elzyokan nggak sebawel Elsya.” Sebenarnya di anatara dua keponakanku itu sama bawelnya. Namun, Elzyo cenderung lebih tidak se-over Belsya dalam urus bawel membawel.

Kak Dio menghadiahiku pelototan tajam.  Raut wajah Belsya sudah menunjukkan tanda-tanda kalau sebentar lagi ia akan menangis sedih.

“Elsya bentar lagi kok masuk sekolahnya. Tante Lana boong aja.” Kata Bunda Elsya.

Bibir Elsya mengerucut. Dia mengarahkan tinju ke arah ku yang kusambut dengan tatapan takut yang dibuat buat. “Tante ini udah besar masih aja suka goda-goda anak kecil.” Perkataan gadis kecil itu sukses membuat semua yang ada di meja makan tertawa. Elzyo yang duduk di sebelah adiknya hanya menepuk nepuk punggung Elsya ringan. Ia mengambil satu potong salmon dan menaruhnya di piring Elsya. Melihat salmon yang ada di piringnya, Elsya tidak mau meladeni tantenya dan mulai menekuri salmonnya. Salmon. Makanan kesukaan keluarga Gitraja. 

“Lan, kondisi apartemen sama tempat praktekmu gimana? Udah beres semua?” Tanya Kak Umil. Walaupun dia hanya sebatas kakak ipar. Tapi aku tahu kalau dia benar-benar menyayangiku. Dia perhatian sekali pada kedua orangtuaku dan juga padaku. Pertanyaan Kak Umil mengingatkanku apabila aku harus menyampaikan prihal masalah Rakan pada mereka semua. Aku akan bercerita tentu saja. Tapi bingung bagaimana mengawalinya.

“Semua udah selesai kak. Tapi,”

“Kenapa, Lan? Ada masalah?” tanya ayah.

“Kemarin… kemarin..” Kak Dio yang melihatku tergugu langsung menelan makanannya dan siap untuk buka suara. “Kemarin Rakan datang ke apartemenku.” Aku menandaskan kalimat itu dengan cepat. Cerita ini tentu akan mengalir. Tapi mengawali cara agar cerita itu mengalir merupakan hal yang cukup sulit.

“APA?” bunda melotot hiteris. Dia sangat tidak suka dengan Rakan. Laki-laki tampan nan mapan yang dulu pernah diharapnya akan jadi menantu kesayangan. Dulu.

“Sebanarnya, sebelum Lana pindah ke tempat praktek dan apartemen yang baru dia juga udah pernah ngunjungin Lana.  Dia bilang kalau sebentar lagi Icha, istrinya, akan melahirkan. Dia suruh Lana untuk tunggu hasil test DNA.” Rahang Kak Dio jelas mengetat mendengar apa yang kukatakan. Rakan. Laki-laki yang dulu pernah dia anggap sebagai adik laki-lakinya. Laki-laki yang dulu dipercaya untuk menjagaku. Laki-laki yang dulu pernah dihajarnya sampai babak belur akibat menorehkan luka yang dalam di hati adik semata wayangnya.

Dari sudut mataku bisa kulihat Kak Umil yang langsung menggenggam tangan Dio. Kak Dio berbahaya kalau tengah emosi. Belzyo seolah tahu apabila perbincangan yang akan dilakukan tante dan semua keluarganya bisa membuat ayahnya marah dan memilih untuk mengajak Belsya bermain di kamar atas. Toh makanan mereka juga sudah habis duluan. Gadis kecil Belsya mengiyakan ajakan kakaknya hingga menyisakan aku, ayah dan bunda, serta Kak Umil dan Kak Dio.

“Bunda nggak mau kamu ada hubungan lagi dengan dia. Bunda nggak suka.” Nada bicara bunda kini memelan. Namun di tersirat kebencian yang mendalam di nada bicaranya.

“Bun. Jangan emosi berlebihan.”

“Kamu seharusnya langsung telfon kakak kalau ada masalah sepenting ini. Kamu nggak kenapa-napa, kan?” Tanya Kak Dio yang mencoba setenang mungkin.

“Aku nggak apa-apa kok, kak. Kebetulan pemilik apartemen di sebelah kamarku baik dan mau bantu aku. Waktu Rakan ke apartemen aku sempet bisa kabur.” Jelasku.

“Ya udah, sekarang langsung ke intinya aja dek. Dia minta kamu untuk nunggu hasil DNA anak Icha keluar, kan?” Inilah Kak Dio. Dia tidak pernah mau basa-basi. Langsung ke pokok permasalahannya. “Apa kamu masih mau kembali sama Rakan kalau nyatanya hasil tes DNA Icha benar-benar nunjukkin kalau anak yang dikandungnya bukan anak kakaknya Rakan?” Impuls-impuls di tubuhku seolah langsung bekerja dengan cepat mengartikan apa maksud dari pertanyaan Kak Dio. Aku tidak tahu. Kalau boleh jujur itulah jawaban yang kumiliki sekarang. Sekuat apapun aku memberontak dan berusaha menipu diriku kalau aku tidak peduli dengan hasil tes DNA itu, toh nyatanya aku masih kepikiran. Penasaran. Sejujurnya aku tidak tahu apakah arti tatapan Rakan terhadap Icha. Apa ia masih memiliki rasa atau tidak pada perempuan itu.

“Sampai kapanpun bunda nggak mau kalau laki-laki naif itu jadi menantu bunda. Bunda nggak akan pernah mau.” Tegasnya. Dalam sekejap bunda pergi meninggalkan meja makan. Membuat suasana meja makan menjadi hening dalam sekejap.

Bunda adalah sosok yang lemah lembut sebenarnya. Tapi, kalau menyangkut buah hatinya yang sudah disakiti, ia akan jadi makhluk yang sangat sensitif. Bunda tidak benci Rakan. Tapi, yang dirasakan bunda adalah kecewa. Kecewa yang sangat mendalam dan sulit untuk disembuhkan.

“Lebih baik kamu susulin bunda. Kita bicara masalah ini besok pagi.” Aku hanya menagguk mendengar perkataan ayah. Kuhabiskan air di gelasku dan bergegas menyusul bunda yang pergi kea rah gazebo di taman belakang.

Aku menempatkan dirinya di sebelah  bunda yang telah lebih dulu duduk di sana. Aku baru sadar walaupun wajah bunda kian hari kian menua, tapi ia tetap cantik dan awet muda. Mungki karena dari remaja bunda tidak pernah pakai kosmetik dari bahan kimia dan lebih memilih melakukan perawatan dengan bahan-bahan alami yang diraciknya sendiri. Also, never forget to use sunscreen.

“Bun.” Kuusap punggungnya. “Bunda nggak perlu takut bun. Rakan nggak akan jadi menantu bunda kok. Bunda jangan sedih ya.” Kataku meyakinkan. Mungkin hanya keajaiban yang bisa mengobati rasa kecewa bunda terhadap Rakan.

“Kamu tahu Lana, terkadang bunda khawatir dan takut tentang dirimu. Kamu anak gadis bunda satu-satunya. Bunda cuma berharap kamu mendapatkan laki-laki yang tepat. Laki-laki seperti kakakmu yang begitu menyayangi Kak Umil.” Bunda mengusap pucuk kepalaku. “Kamu sudah 25 tahun, Lan. Kamu bahkan belum punya kandidat.” Dulu aku punya, lebih tepatnya enam bulan yang lalu aku memiliki kandidat. Tapi, sekarang aku tidak punya. “Bunda khawatir sama kehidupan percintaan kamu. Bunda takut kamu jadi perawan tua.” Eh? Aku melihat bulir air mata yang menetes di sudut mata bunda. Dia pasti benar-benar menghawatirkan aku.

“Bunda jangan sok tahu deh. Aku udah punya kok, Bun. Bunda tenang aja.” Anak mana yang tega ibunya menangis hanya karena memikirkan anaknya yang takut jadi perawan tua. Lebih baik aku berbohong ketimbang melihat bunda menangis.

“Beneran?”Mata bunda sontak menunjukkan hingar bingar bahagia. Aduh, semoga aku nggak durhaka deh ya karena bohong sama bunda. “Kamu harus kenalin dia segera. Seenggaknya Kak Dio bisa kasih penilaian apa dia pantes jadi adik ipar Kak Dio dan jadi menantu ayah dan bunda.” Aku meringis mendengar ucapan bunda. Baru kali ini ia terlihat begitu ngebet. Mungkin ini efek kekhawatiran yang luar biasa padaku.

“Kan Lana baru kenal dia, bun. Masak langsung kucuk-kucuk bawa ke rumah. Dia aja belum pernah kenalin keluarganya ke Lana. Malu lah, Bun.”

“Kamu bener. Ya udah sabar dulu aja. Kamu banyak-banyak berdoa biar dia cepet kenalin kamu ke keluarganya. Sama didoain biar dipermudah jalannya kalau benar-benar jodohnya.” Aku menghela napas lega. Aku cuma mau bunda bahagia dan nggak perlu repot urusin percintaan aku yang bahkan belum jelas junstrungannya. “Tapi dia baik kan, Lan? Kerjanya apa? Ganteng? Bukan buaya darat kan? Nanti kamu diselingkuhin kalo buaya darat. Coba kamu deskripsiin secara fisik. Duh, bunda nggak sabar mau liat pacar kamu. Eh, kamu udah jadian, kan?” Kepalaku mendadak nyut-nyutan diberondong pertanyaan maha dahsyat dari bunda. Aku hanya menganguk menjawab pertanyaan terakhirnya.

“Dia…ganteng.” Aku mencoba berpikir lebih jauh. “Tinggi, dan matanya tajam, Bun.” Aku mengawang membayangkan pacar khayalanku. Naasnya seketika wajah Aksa muncul di benakku. Ah, dia. Kalau Aksa sepertinya pacarnya ada dimana mana.

“Professinya?” Tanganku refleks menggaruk kepala yang tidak gatal. Bayangan Aksa juga masih belum enyah. Pertanyaan bunda barusan membuatku jadi ingat kalau sampai sekarang aku belum tahu apa pekerjaan Aksa.

Aduh! Kenapa ini jadi seolah-olah kalau Aksa orangnya? Seolah-olah Aksa adalah pacar khayalanku.

“Bunda jangan nanya mulu ah. Aku malu.” Cih, pandai berakting kamu Lana. Aku hanya bisa mendengar kekehan geli bunda. Nasibku bagus karena perbincangan aku dan bunda dapat kami akhiri setelah mendengar teriakan Belsya dari kamar atas dan bergegas menuju ke sana. Pasti gadis mungil itu berulah.

***

“Tante! Ayo bangun! Ini udah jam setengah tujuh!”

Mataku yang tadi terpejam lagi selepas shalat subuh kini mau tidak mau terpaksa harus kubuka mendengar suara Belzyo yang meneriakiku di depan pintu kamar.

“Tante udah bangun!” pekikku tak kalah kuat.

“Cepetan turun, Tan. Di bawah ada temennya.” Aku hanya berdehem dengan kuat menjawab perintah Belzyo. Teman? Paling-paling itu Nina yang kesepian karena kutinggal. Jangan bilang dia ke sini pagi-pagi karena dia galau tentang acara lamaran dan pernikahannya.

Aku membasuh mukaku kembali dan mengganti bajuku dengan kemeja yang telah kusiapkan. Jangan tanya kenapa aku tidak mandi karena jawabannya adalah aku selalu mandi sebelum shalat subuh, terkecuali apabila aku sedang menstruasi atau malas yang berlebihan. Rambutku kubiarkan tergerai dan aku memoleskan sedikit make-up ke wajahku.

Kalau boleh berkata jujur, sebenarnya aku masih benar-benar mengantuk. Tapi, yah, aku tahu aku harus disiplin. Mana mungkin aku membiarkan pasien-pasienku menunggu terlalu lama hanya karena dokternya belum bangun. Lagi pula aku memang sudah biasa. Nanti ngantuknya juga hilang.

Suara orang mengobrol dengan cepat bisa kutangkap oleh telingaku. Tidak biasanya Kak Dio buka suara sebegitu ramainya pagi-pagi. Apa yang dibicarakannya dengan ayah dan Nina? Kakiku dengan cepat menuruni anak tangga dan perlahan melambat ketika aku mendapati seseorang yang duduk di meja makan bersama dengan yang lainnya. Bukan Nina? Tidak ada Nina di sana. Jadi, siapa tadi yang dimaksud temanku oleh Belzyo? Dia tentu saja laki-laki. Tampak belakang punggungnya terlihat tegap dan rambutnya mirip sesorang yang aku kenal.

“Itu tante!” ujar Belsya ketika ia mendapatiku yang terhenti di tanggal. Ucapannya membuat semuanya menoleh ke arahku. Termasuk laki laki ─ Aksa? Apakah mataku tidak salah lihat? Apa laki-laki yang ada di meja makan itu Aksa?

“Lana sini. Ini Aksa udah nunggu dari tadi.” Panggil bunda.

Aku hanya mengangguk dan masih bingung tentang bagaimana bisa Aksa sudah ada di rumahku. Bukannya kemarin dia bilang dia di Jakarta? Kursiku tepat diantara Belsya dan Belzyo sudah disiapkan seperti biasanya. Namun ada satu tangkai mawar putih di sana. Otakku masih berkemelut dan langsung  saja meletakkan mawar itu di meja. Ini beneran Aksa?

“Tante, itu bunganya dari Si Om Tinggi tante.” Lapor Belsya.

“Om Tinggi?” 

“Itu loh.” Jari Belsya terarah pada Aksa.

“Kamu kok nggak bilang dek kalau Aksa tetangga di apartemen kamu baru kamu?” tanya Kak Dio. Mataku beralih ke Aksa yang tengah tersenyum seolah-olah menertawakan kebingunganku. Dia mengedipkan sebelah matanya dan itu menyadarkanku kalau dia memang Aksa. Bukannya hantu atau apapun.

“Kamu ngapain di sini? Bukannya kemarin kamu bilang mau ke Jakarta?” lupakan pertanyaan Kak Dio karena yang terpenting sekarang adalah mengetahui kenapa Aksa bisa ada di sini, di rumahku.

“Aku mau kembaliin dompet kamu yang ketinggalan di kamarku.” Bunda dan ayah seketika tersedak setelah mendengar apa yang dikatakan Aksa. Sedangkan Kak Umil hampir saja menjatuhkan gelas di dekatnya. Tatapan penuh tanya berkoar dari mata Kak Dio. Ya ampun! Jangan bilang kalau mereka mengira aku macam-macam dengan Aksa.

“Tolong bunda, ayah, Kak Dio dan Kak Umil jangan pikir yang macem-macem ya. Lana nggak ngapa-ngapain kok di apartemen Aksa. Lana cuma numpang nginep.” Buru-buru aku menjelaskan. Masalahnya kalau mereka sampai mengira aku melakukan hal yang aneh-aneh bisa-bisa aku tidak dipercaya lagi untuk hidup sendiri.

“Kamu bilang belum mau ngajak dia ke sini karena kamu belum ketemu orang tuanya. Bunda kira hubungan kalian belum sejauh itu. Eh, ternyata kamu malah udah nginep di apartemennya Aksa.” Aku hanya bisa meringis dan mengaduh menggeleng-gelengkan kepalaku. Jelas bunda salah sangka. Dia pasti mengira kalau pacar khayalanku itu Aksa.

“Apartementnya terpisah Bun. Unit lain tapi masih punyanya Aksa.”

“Ayah percaya anak ayah kok. Kamu pasti nggak macem-macem.”  Ini tidak bisa dibiarkan. Mesti, kudu, dan harus dijelaskan sejelas-jelasnya.

“Ayah, Bunda. Lana pikir kalian salah orang. Aksa bukan pacar Lana.” Kataku takut takut.

“Bukan pacar kamu? Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau kamu udah ada calon?”

“Iya bun. Tapi..” suara bariton Aksa dengan cepat memotong ucapanku.

“Saya bukan pacar Lana tante. Tapi saya calon sahabat seumur hidupnya Lana.” Suara Aksa menggema bagaikan petir di musim hujan. Menukik hingga ke jantung.

Hening

Hening

Hening

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status