Suara celotehan Belsya dan Belzyo, anak Kak Dio dan Kak Umil menemani makan malam keluarga kami seperi biasanya. Ah, aku benar-benar merindukan rumah. Belsya dan Belzyo, dua keponakanku itu rasanya baru ditinggal beberapa hari saja pipinya makin menggembil menjadi-jadi. Nakalnya pun makin menjadi-jadi.
Tadi sore, ketika mobilku baru saja parkir di garasi, dua mahluk kecil itu langsung menodongku dengan tembak-tembakkan air. Mereka mengancam akan menembak apabila aku tidak mau membelikan mereka ice cream di minimarket terdekat. Jadilah harus kuturuti permintaan dua boss kecil itu.
“Bun, Elsya kapan masuk sekolah?” Belsya. Gadis mungil berusia empat tahun. Dia adalah makhluk mungil yang sok bijak di mataku. Bukan sekali dua kali dia berlagak sok dewasan dan menasihatiku. Belsya sudah sangat lancar bicara dan terkadang itu yang membuat orang rumah kelimpungan. Gadis itu selalu berceloteh tentang hal-hal baru yang ia temui. Belsya yang menyebut dirinya Elsya yang sudah sangat tidak sabar untuk bisa pergi sekolah sepeti kakanya, Belzyo yang tahun depan akan masuk TK. Sedangkan di awal tahun pelajaran yang sebentar lagi akan datang Belsya akan masuk play group di sekolah yang sama dengan kakak laki-lakinya.
“Belsya kan nggak jadi daftar sekolah.” Kataku jahil. Rasanya memang belum afdol apabila belum membuat Belsya nangis sehari saja.
“Bun?” Belsya melirik ke arah bundanya dengan tatapan sedih seolah-olah bertanya apakah benar yang dikatakanku tadi.
“Belsya bawel sih. Jadinya sekolahnya nggak mau nerima. Coba kalo kayak kak Elzyo. Pasti diterima. Kak Elzyokan nggak sebawel Elsya.” Sebenarnya di anatara dua keponakanku itu sama bawelnya. Namun, Elzyo cenderung lebih tidak se-over Belsya dalam urus bawel membawel.
Kak Dio menghadiahiku pelototan tajam. Raut wajah Belsya sudah menunjukkan tanda-tanda kalau sebentar lagi ia akan menangis sedih.
“Elsya bentar lagi kok masuk sekolahnya. Tante Lana boong aja.” Kata Bunda Elsya.
Bibir Elsya mengerucut. Dia mengarahkan tinju ke arah ku yang kusambut dengan tatapan takut yang dibuat buat. “Tante ini udah besar masih aja suka goda-goda anak kecil.” Perkataan gadis kecil itu sukses membuat semua yang ada di meja makan tertawa. Elzyo yang duduk di sebelah adiknya hanya menepuk nepuk punggung Elsya ringan. Ia mengambil satu potong salmon dan menaruhnya di piring Elsya. Melihat salmon yang ada di piringnya, Elsya tidak mau meladeni tantenya dan mulai menekuri salmonnya. Salmon. Makanan kesukaan keluarga Gitraja.
“Lan, kondisi apartemen sama tempat praktekmu gimana? Udah beres semua?” Tanya Kak Umil. Walaupun dia hanya sebatas kakak ipar. Tapi aku tahu kalau dia benar-benar menyayangiku. Dia perhatian sekali pada kedua orangtuaku dan juga padaku. Pertanyaan Kak Umil mengingatkanku apabila aku harus menyampaikan prihal masalah Rakan pada mereka semua. Aku akan bercerita tentu saja. Tapi bingung bagaimana mengawalinya.
“Semua udah selesai kak. Tapi,”
“Kenapa, Lan? Ada masalah?” tanya ayah.
“Kemarin… kemarin..” Kak Dio yang melihatku tergugu langsung menelan makanannya dan siap untuk buka suara. “Kemarin Rakan datang ke apartemenku.” Aku menandaskan kalimat itu dengan cepat. Cerita ini tentu akan mengalir. Tapi mengawali cara agar cerita itu mengalir merupakan hal yang cukup sulit.
“APA?” bunda melotot hiteris. Dia sangat tidak suka dengan Rakan. Laki-laki tampan nan mapan yang dulu pernah diharapnya akan jadi menantu kesayangan. Dulu.
“Sebanarnya, sebelum Lana pindah ke tempat praktek dan apartemen yang baru dia juga udah pernah ngunjungin Lana. Dia bilang kalau sebentar lagi Icha, istrinya, akan melahirkan. Dia suruh Lana untuk tunggu hasil test DNA.” Rahang Kak Dio jelas mengetat mendengar apa yang kukatakan. Rakan. Laki-laki yang dulu pernah dia anggap sebagai adik laki-lakinya. Laki-laki yang dulu dipercaya untuk menjagaku. Laki-laki yang dulu pernah dihajarnya sampai babak belur akibat menorehkan luka yang dalam di hati adik semata wayangnya.
Dari sudut mataku bisa kulihat Kak Umil yang langsung menggenggam tangan Dio. Kak Dio berbahaya kalau tengah emosi. Belzyo seolah tahu apabila perbincangan yang akan dilakukan tante dan semua keluarganya bisa membuat ayahnya marah dan memilih untuk mengajak Belsya bermain di kamar atas. Toh makanan mereka juga sudah habis duluan. Gadis kecil Belsya mengiyakan ajakan kakaknya hingga menyisakan aku, ayah dan bunda, serta Kak Umil dan Kak Dio.
“Bunda nggak mau kamu ada hubungan lagi dengan dia. Bunda nggak suka.” Nada bicara bunda kini memelan. Namun di tersirat kebencian yang mendalam di nada bicaranya.
“Bun. Jangan emosi berlebihan.”
“Kamu seharusnya langsung telfon kakak kalau ada masalah sepenting ini. Kamu nggak kenapa-napa, kan?” Tanya Kak Dio yang mencoba setenang mungkin.
“Aku nggak apa-apa kok, kak. Kebetulan pemilik apartemen di sebelah kamarku baik dan mau bantu aku. Waktu Rakan ke apartemen aku sempet bisa kabur.” Jelasku.
“Ya udah, sekarang langsung ke intinya aja dek. Dia minta kamu untuk nunggu hasil DNA anak Icha keluar, kan?” Inilah Kak Dio. Dia tidak pernah mau basa-basi. Langsung ke pokok permasalahannya. “Apa kamu masih mau kembali sama Rakan kalau nyatanya hasil tes DNA Icha benar-benar nunjukkin kalau anak yang dikandungnya bukan anak kakaknya Rakan?” Impuls-impuls di tubuhku seolah langsung bekerja dengan cepat mengartikan apa maksud dari pertanyaan Kak Dio. Aku tidak tahu. Kalau boleh jujur itulah jawaban yang kumiliki sekarang. Sekuat apapun aku memberontak dan berusaha menipu diriku kalau aku tidak peduli dengan hasil tes DNA itu, toh nyatanya aku masih kepikiran. Penasaran. Sejujurnya aku tidak tahu apakah arti tatapan Rakan terhadap Icha. Apa ia masih memiliki rasa atau tidak pada perempuan itu.
“Sampai kapanpun bunda nggak mau kalau laki-laki naif itu jadi menantu bunda. Bunda nggak akan pernah mau.” Tegasnya. Dalam sekejap bunda pergi meninggalkan meja makan. Membuat suasana meja makan menjadi hening dalam sekejap.
Bunda adalah sosok yang lemah lembut sebenarnya. Tapi, kalau menyangkut buah hatinya yang sudah disakiti, ia akan jadi makhluk yang sangat sensitif. Bunda tidak benci Rakan. Tapi, yang dirasakan bunda adalah kecewa. Kecewa yang sangat mendalam dan sulit untuk disembuhkan.
“Lebih baik kamu susulin bunda. Kita bicara masalah ini besok pagi.” Aku hanya menagguk mendengar perkataan ayah. Kuhabiskan air di gelasku dan bergegas menyusul bunda yang pergi kea rah gazebo di taman belakang.
Aku menempatkan dirinya di sebelah bunda yang telah lebih dulu duduk di sana. Aku baru sadar walaupun wajah bunda kian hari kian menua, tapi ia tetap cantik dan awet muda. Mungki karena dari remaja bunda tidak pernah pakai kosmetik dari bahan kimia dan lebih memilih melakukan perawatan dengan bahan-bahan alami yang diraciknya sendiri. Also, never forget to use sunscreen.
“Bun.” Kuusap punggungnya. “Bunda nggak perlu takut bun. Rakan nggak akan jadi menantu bunda kok. Bunda jangan sedih ya.” Kataku meyakinkan. Mungkin hanya keajaiban yang bisa mengobati rasa kecewa bunda terhadap Rakan.
“Kamu tahu Lana, terkadang bunda khawatir dan takut tentang dirimu. Kamu anak gadis bunda satu-satunya. Bunda cuma berharap kamu mendapatkan laki-laki yang tepat. Laki-laki seperti kakakmu yang begitu menyayangi Kak Umil.” Bunda mengusap pucuk kepalaku. “Kamu sudah 25 tahun, Lan. Kamu bahkan belum punya kandidat.” Dulu aku punya, lebih tepatnya enam bulan yang lalu aku memiliki kandidat. Tapi, sekarang aku tidak punya. “Bunda khawatir sama kehidupan percintaan kamu. Bunda takut kamu jadi perawan tua.” Eh? Aku melihat bulir air mata yang menetes di sudut mata bunda. Dia pasti benar-benar menghawatirkan aku.
“Bunda jangan sok tahu deh. Aku udah punya kok, Bun. Bunda tenang aja.” Anak mana yang tega ibunya menangis hanya karena memikirkan anaknya yang takut jadi perawan tua. Lebih baik aku berbohong ketimbang melihat bunda menangis.
“Beneran?”Mata bunda sontak menunjukkan hingar bingar bahagia. Aduh, semoga aku nggak durhaka deh ya karena bohong sama bunda. “Kamu harus kenalin dia segera. Seenggaknya Kak Dio bisa kasih penilaian apa dia pantes jadi adik ipar Kak Dio dan jadi menantu ayah dan bunda.” Aku meringis mendengar ucapan bunda. Baru kali ini ia terlihat begitu ngebet. Mungkin ini efek kekhawatiran yang luar biasa padaku.
“Kan Lana baru kenal dia, bun. Masak langsung kucuk-kucuk bawa ke rumah. Dia aja belum pernah kenalin keluarganya ke Lana. Malu lah, Bun.”
“Kamu bener. Ya udah sabar dulu aja. Kamu banyak-banyak berdoa biar dia cepet kenalin kamu ke keluarganya. Sama didoain biar dipermudah jalannya kalau benar-benar jodohnya.” Aku menghela napas lega. Aku cuma mau bunda bahagia dan nggak perlu repot urusin percintaan aku yang bahkan belum jelas junstrungannya. “Tapi dia baik kan, Lan? Kerjanya apa? Ganteng? Bukan buaya darat kan? Nanti kamu diselingkuhin kalo buaya darat. Coba kamu deskripsiin secara fisik. Duh, bunda nggak sabar mau liat pacar kamu. Eh, kamu udah jadian, kan?” Kepalaku mendadak nyut-nyutan diberondong pertanyaan maha dahsyat dari bunda. Aku hanya menganguk menjawab pertanyaan terakhirnya.
“Dia…ganteng.” Aku mencoba berpikir lebih jauh. “Tinggi, dan matanya tajam, Bun.” Aku mengawang membayangkan pacar khayalanku. Naasnya seketika wajah Aksa muncul di benakku. Ah, dia. Kalau Aksa sepertinya pacarnya ada dimana mana.
“Professinya?” Tanganku refleks menggaruk kepala yang tidak gatal. Bayangan Aksa juga masih belum enyah. Pertanyaan bunda barusan membuatku jadi ingat kalau sampai sekarang aku belum tahu apa pekerjaan Aksa.
Aduh! Kenapa ini jadi seolah-olah kalau Aksa orangnya? Seolah-olah Aksa adalah pacar khayalanku.
“Bunda jangan nanya mulu ah. Aku malu.” Cih, pandai berakting kamu Lana. Aku hanya bisa mendengar kekehan geli bunda. Nasibku bagus karena perbincangan aku dan bunda dapat kami akhiri setelah mendengar teriakan Belsya dari kamar atas dan bergegas menuju ke sana. Pasti gadis mungil itu berulah.
***
“Tante! Ayo bangun! Ini udah jam setengah tujuh!”
Mataku yang tadi terpejam lagi selepas shalat subuh kini mau tidak mau terpaksa harus kubuka mendengar suara Belzyo yang meneriakiku di depan pintu kamar.
“Tante udah bangun!” pekikku tak kalah kuat.
“Cepetan turun, Tan. Di bawah ada temennya.” Aku hanya berdehem dengan kuat menjawab perintah Belzyo. Teman? Paling-paling itu Nina yang kesepian karena kutinggal. Jangan bilang dia ke sini pagi-pagi karena dia galau tentang acara lamaran dan pernikahannya.
Aku membasuh mukaku kembali dan mengganti bajuku dengan kemeja yang telah kusiapkan. Jangan tanya kenapa aku tidak mandi karena jawabannya adalah aku selalu mandi sebelum shalat subuh, terkecuali apabila aku sedang menstruasi atau malas yang berlebihan. Rambutku kubiarkan tergerai dan aku memoleskan sedikit make-up ke wajahku.
Kalau boleh berkata jujur, sebenarnya aku masih benar-benar mengantuk. Tapi, yah, aku tahu aku harus disiplin. Mana mungkin aku membiarkan pasien-pasienku menunggu terlalu lama hanya karena dokternya belum bangun. Lagi pula aku memang sudah biasa. Nanti ngantuknya juga hilang.
Suara orang mengobrol dengan cepat bisa kutangkap oleh telingaku. Tidak biasanya Kak Dio buka suara sebegitu ramainya pagi-pagi. Apa yang dibicarakannya dengan ayah dan Nina? Kakiku dengan cepat menuruni anak tangga dan perlahan melambat ketika aku mendapati seseorang yang duduk di meja makan bersama dengan yang lainnya. Bukan Nina? Tidak ada Nina di sana. Jadi, siapa tadi yang dimaksud temanku oleh Belzyo? Dia tentu saja laki-laki. Tampak belakang punggungnya terlihat tegap dan rambutnya mirip sesorang yang aku kenal.
“Itu tante!” ujar Belsya ketika ia mendapatiku yang terhenti di tanggal. Ucapannya membuat semuanya menoleh ke arahku. Termasuk laki laki ─ Aksa? Apakah mataku tidak salah lihat? Apa laki-laki yang ada di meja makan itu Aksa?
“Lana sini. Ini Aksa udah nunggu dari tadi.” Panggil bunda.
Aku hanya mengangguk dan masih bingung tentang bagaimana bisa Aksa sudah ada di rumahku. Bukannya kemarin dia bilang dia di Jakarta? Kursiku tepat diantara Belsya dan Belzyo sudah disiapkan seperti biasanya. Namun ada satu tangkai mawar putih di sana. Otakku masih berkemelut dan langsung saja meletakkan mawar itu di meja. Ini beneran Aksa?
“Tante, itu bunganya dari Si Om Tinggi tante.” Lapor Belsya.
“Om Tinggi?”
“Itu loh.” Jari Belsya terarah pada Aksa.
“Kamu kok nggak bilang dek kalau Aksa tetangga di apartemen kamu baru kamu?” tanya Kak Dio. Mataku beralih ke Aksa yang tengah tersenyum seolah-olah menertawakan kebingunganku. Dia mengedipkan sebelah matanya dan itu menyadarkanku kalau dia memang Aksa. Bukannya hantu atau apapun.
“Kamu ngapain di sini? Bukannya kemarin kamu bilang mau ke Jakarta?” lupakan pertanyaan Kak Dio karena yang terpenting sekarang adalah mengetahui kenapa Aksa bisa ada di sini, di rumahku.
“Aku mau kembaliin dompet kamu yang ketinggalan di kamarku.” Bunda dan ayah seketika tersedak setelah mendengar apa yang dikatakan Aksa. Sedangkan Kak Umil hampir saja menjatuhkan gelas di dekatnya. Tatapan penuh tanya berkoar dari mata Kak Dio. Ya ampun! Jangan bilang kalau mereka mengira aku macam-macam dengan Aksa.
“Tolong bunda, ayah, Kak Dio dan Kak Umil jangan pikir yang macem-macem ya. Lana nggak ngapa-ngapain kok di apartemen Aksa. Lana cuma numpang nginep.” Buru-buru aku menjelaskan. Masalahnya kalau mereka sampai mengira aku melakukan hal yang aneh-aneh bisa-bisa aku tidak dipercaya lagi untuk hidup sendiri.
“Kamu bilang belum mau ngajak dia ke sini karena kamu belum ketemu orang tuanya. Bunda kira hubungan kalian belum sejauh itu. Eh, ternyata kamu malah udah nginep di apartemennya Aksa.” Aku hanya bisa meringis dan mengaduh menggeleng-gelengkan kepalaku. Jelas bunda salah sangka. Dia pasti mengira kalau pacar khayalanku itu Aksa.
“Apartementnya terpisah Bun. Unit lain tapi masih punyanya Aksa.”
“Ayah percaya anak ayah kok. Kamu pasti nggak macem-macem.” Ini tidak bisa dibiarkan. Mesti, kudu, dan harus dijelaskan sejelas-jelasnya.
“Ayah, Bunda. Lana pikir kalian salah orang. Aksa bukan pacar Lana.” Kataku takut takut.
“Bukan pacar kamu? Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau kamu udah ada calon?”
“Iya bun. Tapi..” suara bariton Aksa dengan cepat memotong ucapanku.
“Saya bukan pacar Lana tante. Tapi saya calon sahabat seumur hidupnya Lana.” Suara Aksa menggema bagaikan petir di musim hujan. Menukik hingga ke jantung.
Hening
Hening
Hening
Tadi, Aksa kembali pamit untuk meneruskan perjalanannya kembali ke Jakarta. Cukup kaget juga karena dia kembali hanya untuk mengantarkan dompetku dengan berbekal kartu tanda penduduk yang ada di dalamnya. Aku cukup merasa terbohongi akibat pengakuannya. Ternyata dia sahabat Kak Dio selama kuliah di Bandung. Yah, meskipun berbeda jurusan dengan Kak Dio. “Ternyata dugaanku selama ini benar. Lana benar adikmu.” Kata Aksa. “Pasti karena namanya Gitraja, kan?” Kak Dio terkekeh. Nama keluarga memang menjadi identitas turun temurun. “Bukan.” Aku menekuri percakapan antara dua sahabat yang sudah lama terpisah itu. “Terus?” “Karena dulu, saat menceritakan Lana, aku bisa menangkap kesan bahwa Lana sangat sangat galak. Ternyata itu benar.” Setiap orang yang ada di meja makan tadi pagi terlihat begitu hangat menyambut Aksa. Mereka tertawa untuk hal-hal yang menurutku sangat sangat menyebalkan. Selepas Aksa mengatakan Saya bukan pacar L
Sekali lagi aku memastikan apabila resep yang telah aku baca tadi tidak salah. Keju 500 gram, susu 25 ml, tambah sedikti garam, daun sop dan daun bawang. Aroma yang dikeluarkan dari masakkan yang ada di depanku juga terlihat enak dan sama sekali tidak menimbulkan keraguan. Hmm.. kali ini aku cukup yakin apabila masakkanku ini akan enak. Sebenarnya, ada beberapa hal memalukan di dalam hidupku yang sangat jarang aku akui pada orang lain. Karena apa? Karena aku malu. Salah satunya adalah, di usiaku yang sudah 25 tahun aku bahkan belum bisa masak masakan rumah dengan tanganku sendiri tanpa bantuan dari bunda. Mungkin, bagi kalian yang menganggap aku sebagai wanita yang sibuk berkarir itu sangatlah biasa. Dengan gaji yang kuterima setiap bulannya mungkin cukup untuk membayar pembantu untuk memasak sehari-harinya. Tapi, beban moral yang aku terima tidak segampang itu. Apalagi jika ayah yang sudah berkoar dan membandingkan aku yang payah dalam hal memasak dengan menantu perempuan s
“Gimana nih hubungan dengan Mas Aksa? Ada kelanjutan?” Rentang waktunya sudah satu minggu dari hari dimana Nina dan Aksa yang datang ke apartemenku. Sejauh ini aku dan Aksa masih terus bertemu setiap hari. Dia selalu datang ke apartemenku malam-malam untuk minum obat. Satu minggu ini pula kalau tidak salah dia sudah makan malam bersamaku sebanyak empat kali. Oh, sejujurnya ini memang perkara yang tidak baik. Aku takut kalau-kalau jatuh hati dengan Aksa. Yah, bukannya apa-apa. Dia terlalu perfect. Mungkin memang tidak se sempurna yang aku bayangkan. Tapi, sejauh ini dia benar-benar mampu mengejutkanku. Dari mulai aku yang hanya tahu kalau dia adalah orang asing yang bernama Aksa, sampai aku yang tahu kalau Aksa bisa langsung diare karena makan sambal yang menurutku cupu abis. Tapi dengan kecupuan itu sekalipun, bagiku dia masih bisa disebut perfect. “Biasa aja.” Kalau diladeni pertanyaan Nina tentunya akan berakhir dengan kiat-kiat mendapatkan Aksa.
“Selamat siang, mba. Mau pesan apa?” Pertanyaannya membuatku melirik nama-nama menu yang tertulis di daftar menu minuman yang terpajang di dinding belakang. Keramaian di coffe shop yang baru buka tiga hari yang lalu ini membuatku benar-benar tidak nyaman. Coffe shop ini bagai dibanjiri pengunjung kampungan yang seolah tidak pernah menyesap rasa kopi, green tea, ataupun frapuccino serta teman-temannya itu. Hampir semua pengunjungnya adalah kaula muda. “Aku pesan taro polos tanpa topping dan satu crepes green tea.” Aku sedikit menggeser tubuhku setelah memberikan selembar uang lima puluh ribu rupiah pada sang pelayan. Sepertinya ini kunjungan pertama dan terakhirku ke coffe shop ini. Aku merasa terlalu tua berada diantara para remaja ini. Mungkin di ruangan ini akulah yang memiliki beban hidup yang paling banyak. Ah, lupakan. “Satu taro dan cerepes greentea, selamat menikmati dan jangan lupa berkunjung kembali.” Cepat kuraih
“Tempat praktek baru Mba Lana udah bisa dipersiapkan mulai besok mba. Tapi, untuk apartemen baru bisa ditempati mulai minggu depan karena kami harus memasang kitchen set dan melengkapi perabotannya terlebih dahulu. Ini buku desain interiornya. Mba Lana dan Mba Nina bisa memilih untuk apartemen kalian masing-masing.” Nina dengan semangat 45 mengambil buku yang berisikan model-model interior ruang untuk apartemen baru yang baru saja kami lunasi pembayarannya. Aku menyimpan kunci untuk tempat kecil yang tidak jauh dari tower kami yang kujadikan sebagai tempat praktek baru nanti. “Kalau untuk desain interior tempat praktek saya yang baru bagaimana, Pak?” “Kalau untuk tempat praktek Mba Lana tidak ada syarat bagi kami untuk membatu desain. Karena memang dari awal hanya apartemen yang desainnya bisa memilih sesuai keinginan, dan nanti kami yang kerjakan. Kalau Mba Lana mau kami tentu saja bisa bantu. Tapi ya pastinya ada ongkos tersendiri.” Aku tidak mau ambil rep
Aku agak kaget melihat Nina yang tergopoh-gopoh masuk ke ruanganku. “Mana pasien yang lain? Sudah habis?” tanyaku bingung. Tidak biasanya Nina masuk ke ruanganku saat kami tengah praktek. “Pasien tadi yang waktu itu aku ceritain ke kamu.” “Maksudnya?” “Itu pasien yang datang ke tempat praktek kita yang lama dan kita lagi tutup makan siang. Dia yang tampan dan harum itu loh, Lan.” Jadi Si Aksa yang dimaksud Nina? Oh, jadi yang dia maksud pergi ke dokter dan dokternya tutup itu saat ia pergi menemuiku di tempat praktekku yang lama? “Pantas. Tadi dia menyindirku. Aku baru paham maksudnya sekarang.” “Menyindir? Menyindir bagaimana?” “Husstt.. Udah ah jangan bahas pasien itu. Aku gak suka sama dia. Seenak-enaknya minta temenin aku pergi cek lab. Padahal kita sama sekali gak kenal. Asal kamu tau, Nin. Dia itu orang yang tempo hari kutabrak dan jasnya basah karena minuman Taro-ku. Perasaan tadi malem aku mimpi indah deh. Ketemu panger
“Kamu masih marah? Aku kan udah minta maaf.” Langkah kakiku hanya bisa kupercepat menuju parkiran. Aksa hanya dititipkan beberapa pot kecil yang nantinya harus ia isi dengan dahak, sputum kalau kami menyebutnya. Pot itu nantinya akan diantarkan kembali ke lab untuk diperiksakan. Aku sedari tadi hanya misuh misuh karena Aksa yang mengatakan hal tidak-tidak pada Bu Wenti. Tunangan? “Kenapa sih harus bilang begitu? Kalo dikira beneran gimana?” nanti kalau dikira orang aku sudah punya tunangan aku juga yang bisa malu. Sudah punya tunangan tapi kok tidak nikah-nikah. “Aku yang salah. Maafin ya.” Jujur aku pribadi agak amaze dengan Aksa yang mudah sekali mengucapkan kata maaf. Zaman sekarang banyak sekali orang yang jelas-jelas salah tapi gengsi banget untuk minta maaf. Tidak kugubris perkataan Aksa. Aku memilih diam. Mobilpun melaju menuju apartementku. Sejujurnya aku agak bingung karena Aksa sendiri tidak bertanya kemana ia harus mengantarku pulang. Mung
“Ada masalah apa kamu dengan laki-laki tadi?” tanya Aksa datar. Aku sangat yakin jika ia penasaran setengah mati karena ulahku tadi. Aku tidak tahu bagaimana bisa Rakan ada di depan pintu apartemenku. Untungnya tubuh Aksa yang tegak mampu menyembunyikanku dan kami bisa berbalik arah menuju lift kembali. Laki-laki itu cukup pintar untuk tahu kalau aku dan orang asing di depan kamar apertemenku sedang memiliki masalah. Aksa cukup pengertian dengan tidak menanyakan hal-hal yang kuyakini menggangu pikirannya saat kami sedang mencoba melarikan diri. Sekarang kami duduk di sebuah café yang ada di kawasan apartemen. Aku benar-benar berharap Rakan jengah menunggu di depan pintu apartemen dan pergi dari sana. Yah, meskipun aku tahu diriku tidak dalam keadaan yang aman lagi sekarang. Tapi setidaknya aku tidak mau bertemu dia untuk sekarang ini. Hatiku masih terlalu sakit. “Ada masalah apa kamu dengan laki-laki tadi?” Aksa mengulangi pertanyaannya. “Biasa. Ada orang asing yang