Home / Urban / TAKHTA BAYANGAN / Bab 1: Warisan di Balik Dinding

Share

TAKHTA BAYANGAN
TAKHTA BAYANGAN
Author: Zayba Almira

Bab 1: Warisan di Balik Dinding

Author: Zayba Almira
last update Last Updated: 2024-11-22 15:33:01

Di Kota Avalon, pagi selalu datang dengan kabut tipis yang menyelimuti jalan-jalan sempit. Kota ini tidak pernah tidur; siang hari milik para pebisnis dan pekerja, malamnya milik penjahat dan bayangan. Namun, di tengah hiruk pikuk itu, Dante Castellano hanyalah seorang mahasiswa biasa yang mencoba menjalani hidup sederhana.

Di luar apartemen kecilnya, klakson kendaraan beradu dengan langkah kaki orang-orang yang terburu-buru. Dante duduk di meja belajarnya, mengenakan kaos kusut dan kacamata bulat. Ia tenggelam dalam buku-buku hukum yang berserakan.

"Sudah pukul delapan pagi," gumamnya, menguap sambil merapikan rambut hitam yang berantakan.

Dante tidak pernah menyukai hidup yang mencolok. Ia menikmati kesunyian perpustakaan, kopi murah di kedai kecil, dan jarak dari apa pun yang berbau masalah. Namun, hari ini berbeda. Ponselnya bergetar, memunculkan nama yang sudah lama ia hindari: Damian.

"Kenapa dia meneleponku?" pikir Dante sambil menatap layar.

Ia menekan tombol jawab dengan enggan. "Halo?"

Suara berat di ujung sana terdengar serius. "Dante, kita perlu bicara. Segera."

Dante mengerutkan kening. Damian adalah tangan kanan ayahnya, Alaric Castellano. Pria itu jarang menghubunginya kecuali jika sesuatu yang serius terjadi. “Damian, aku sudah bilang, aku tidak ada hubungannya dengan urusan ayahku. Aku tidak peduli apa pun yang terjadi.”

Damian terdiam sejenak sebelum menjawab dengan nada dingin, "Ayahmu sudah mati, Dante."

Dunia Dante seakan berhenti berputar.

Sore itu, Dante menemukan dirinya di ruang tamu sebuah mansion besar di pinggiran Avalon. Tempat ini selalu terasa asing baginya, meskipun ia tahu setiap sudutnya. Rumah keluarga Castellano adalah simbol kekuasaan, tetapi juga tempat di mana ia kehilangan masa kecilnya.

Damian duduk di sofa besar, tubuhnya tegap dan mata tajamnya mengamati Dante. “Kematian ayahmu bukan kecelakaan. Ini serangan.”

Dante menghela napas berat. “Kenapa kau membawaku ke sini? Aku bukan bagian dari dunia ini, Damian. Ayahku yang memilih jalan itu, bukan aku.”

Damian mengangkat alis. “Kau pikir mereka akan membiarkanmu hidup bebas setelah ini? Kau adalah putranya, pewarisnya. Musuh-musuh Leviathan tidak peduli kau ingin hidup normal atau tidak. Kau adalah ancaman bagi mereka.”

Dante menatap Damian dengan penuh kebencian. “Aku tidak peduli! Aku tidak ingin ada hubungannya dengan Leviathan, dan aku pasti tidak ingin menjadi seperti Ayah!”

Damian mendekat, suaranya rendah namun penuh tekanan. “Leviathan sedang berada di ujung kehancuran. Kalau kau tidak mengambil alih, semua orang yang kau kenal akan menjadi target. Termasuk kau sendiri.”

Kata-kata Damian menggema di kepala Dante. Ia ingin berdebat, tetapi ia tahu ada kebenaran dalam apa yang dikatakan pria itu. Alaric Castellano bukan hanya seorang ayah baginya; ia adalah seorang raja dalam dunia kriminal. Selama bertahun-tahun, Alaric berhasil membangun kekaisaran gelap yang tidak bisa disentuh oleh hukum maupun musuh-musuhnya. Namun sekarang, sang raja telah jatuh, dan tahtanya kosong.

“Siapa yang membunuhnya?” tanya Dante akhirnya.

“Mungkin Viktor Koval. Mungkin musuh dari dalam. Itu tugasmu untuk mencari tahu,” jawab Damian.

Malam di apartemennya terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak seperti pengingat waktu yang terus berjalan. Dante duduk di sofa dengan kepala tertunduk, matanya tertuju pada secarik kertas yang diberikan Damian sebelum ia pergi.

Di kertas itu tertulis satu alamat: Gudang 17, Distrik Pelabuhan.

"Dante," suara Damian bergema di pikirannya. "Kalau kau ingin bertahan, kau harus mulai dari sini. Ada lebih banyak hal tentang ayahmu yang kau tidak tahu."

Dante membuang napas berat. Seumur hidupnya, ia berusaha menjauh dari bayang-bayang Alaric Castellano. Namun kini, dunia gelap yang ia hindari menyeretnya masuk tanpa ampun.

"Aku tidak punya pilihan," gumamnya. Ia meraih jaketnya dan meninggalkan apartemen.

Distrik Pelabuhan terkenal dengan reputasinya yang buruk. Jalanan gelap dan sepi, hanya diterangi oleh lampu jalan yang berkedip lemah. Dante menyembunyikan rasa gugupnya sambil melangkah.

Pintu besi tua itu berderit ketika ia membukanya. Di dalam, hanya ada kegelapan dan bau logam tua yang menyengat. Namun, ketika ia melangkah lebih dalam, lampu-lampu menyala secara otomatis, memperlihatkan sebuah ruangan luas penuh dengan meja-meja kayu dan papan tulis besar di dinding.

“Selamat datang, Dante.”

Suara itu datang dari seorang pria berjas hitam yang berdiri di sudut ruangan. Pria itu tinggi, kurus, dengan wajah dingin dan senyum kecil yang tampak seperti ejekan.

“Siapa kau?” tanya Dante waspada.

“Namaku Nikolai,” jawab pria itu. “Aku bekerja untuk ayahmu, dulu. Sekarang aku bekerja untukmu.”

Dante mengerutkan dahi. “Aku tidak meminta siapa pun untuk bekerja untukku.”

Nikolai tertawa kecil. “Mungkin tidak, tapi kau adalah Castellano terakhir. Itu berarti seluruh jaringan Leviathan sekarang adalah tanggung jawabmu. Dan kalau kau ingin tetap hidup, kau harus tahu apa yang kau miliki.”

Sebelum Dante bisa membalas, Nikolai berjalan ke papan tulis besar yang penuh dengan peta dan diagram. Ia menunjuk ke beberapa titik di peta Avalon.

“Ini adalah wilayah yang dikuasai Leviathan,” kata Nikolai. “Sejak kematian ayahmu, Viktor Koval dari Sangkar Besi telah menyerang gudang senjata kita di sini,” ia menunjuk Distrik Timur, “dan menghancurkan salah satu laboratorium kita di sini,” ia menunjuk Distrik Selatan.

Dante mengamati peta itu dengan bingung. “Dan aku harus peduli karena...?”

Nikolai menoleh dengan tatapan tajam. “Karena jika mereka berhasil merebut semuanya, kau bukan hanya kehilangan Leviathan. Kau kehilangan nyawamu. Ini adalah dunia ayahmu, Dante. Mau tidak mau, kau sekarang menjadi bagian darinya.”

Dante menghela napas. Ia merasa seperti terjebak di tengah permainan besar yang tidak pernah ia minta untuk dimainkan.

Namun, sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Nikolai melanjutkan. “Ada satu hal lagi. Sebelum kematiannya, ayahmu sedang menyelidiki pengkhianat dalam organisasi ini.”

Dante terkejut. “Pengkhianat?”

Nikolai mengangguk. “Seseorang dari dalam membantu Viktor. Dan aku yakin orang itu sekarang mengincar posisimu.”

Saat Nikolai berbicara, pikiran Dante melayang ke masa kecilnya, kembali ke hari-hari ketika ia masih seorang bocah polos yang memandang ayahnya dengan kekaguman sekaligus rasa takut.

Ia ingat bagaimana Alaric sering membawa Dante ke kantor pribadinya, sebuah ruangan besar yang penuh dengan buku-buku hukum dan peta dunia. "𝘋𝘶𝘯𝘪𝘢 𝘪𝘯𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘳𝘮𝘢𝘪𝘯𝘢𝘯 𝘤𝘢𝘵𝘶𝘳, 𝘋𝘢𝘯𝘵𝘦," ujar Alaric pada saat itu. “𝘋𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘤𝘢 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘩 𝘭𝘢𝘸𝘢𝘯𝘮𝘶"

Namun, Dante juga ingat malam-malam ketika suara tembakan dan teriakan menggema di luar rumah mereka. Ia akan bersembunyi di bawah selimut, memegang erat tangan ibunya sementara ayahnya keluar untuk ‘menangani sesuatu.’

“𝘋𝘶𝘯𝘪𝘢 𝘢𝘺𝘢𝘩𝘮𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬𝘮𝘶,” bisik ibunya pada saat itu.”𝘑𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘦𝘣𝘢𝘬 𝘥𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮𝘯𝘺𝘢, "

Kata-kata itu kini terasa seperti peringatan yang terlambat.

Sebelum meninggalkan gudang, Nikolai memberikan Dante sebuah ponsel burner. “Kalau kau ingin tahu lebih banyak, kau tahu cara menghubungiku.”

Namun, saat Dante melangkah keluar dari gudang, ia dikejutkan oleh sosok wanita yang berdiri di dekat mobilnya. Wanita itu mengenakan mantel panjang, dengan rambut cokelat panjang yang berkilau di bawah cahaya bulan.

“Dante Castellano?” tanyanya.

Dante membeku. “Siapa kau?”

Wanita itu tersenyum samar. “Namaku Elena. Aku seorang jurnalis.”

“Kalau kau jurnalis, kenapa kau tahu namaku?”

Elena mendekat, tatapannya penuh rasa ingin tahu. “Aku tahu lebih banyak tentang keluargamu daripada yang kau kira. Dan aku pikir kau ingin tahu kebenaran tentang kematian ayahmu.”

Kata-kata itu membuat Dante terkejut. Ia memandang Elena dengan curiga, tetapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatnya yakin bahwa ia tidak berbohong.

“Elena, kan?” gumam Dante. “Kenapa aku harus percaya padamu?”

Elena tersenyum kecil. “Karena kita punya musuh yang sama.”

Dante terdiam, mencoba mencerna informasi baru ini. Dalam waktu kurang dari 24 jam, hidupnya berubah drastis. Ia tidak hanya menghadapi ancaman dari luar, tetapi juga rahasia kelam yang mulai terungkap dari dalam dunia Leviathan.

“Kalau begitu, Elena,” kata Dante akhirnya. “Katakan apa yang kau tahu.”

Wanita itu mengangguk. “Tapi tidak di sini. Tempat ini tidak aman.”

Related chapters

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 2: Jejak dalam Kegelapan

    Langit malam di Distrik Avalon tertutup kabut tipis, menciptakan suasana kelam yang menyelimuti gedung-gedung tua di kawasan barat kota. Di dalam mobil yang melaju pelan, Dante duduk dengan gelisah. Pikirannya terus dihantui oleh pertemuannya dengan Damian dan informasi mengejutkan yang baru saja didapatnya. Di kursi kemudi, Elena tetap fokus pada jalan di depan, sesekali melirik Dante yang tampak tenggelam dalam pikirannya. “Kau baik-baik saja?” tanya Elena tiba-tiba, memecah kesunyian. Dante menghela napas panjang. “Aku tidak tahu harus bilang apa. Semuanya terasa... salah. Kau bilang ayahku dihancurkan dari dalam, dan sekarang aku berada di tengah permainan ini. Tapi aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.” Elena tersenyum tipis, tetapi ada nada serius dalam suaranya. “Kau ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi? Maka kau harus mulai membuka mata. Dunia ini tidak seindah yang kau pikirkan, Dante. Bahkan ayahmu pun tahu itu.” Dante tidak menjawab. Ia hanya

    Last Updated : 2024-11-22
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 3: Jejak yang Tertinggal

    Malam itu terasa semakin kelam seiring dengan semakin dekatnya Dante dengan dunia yang telah lama ia hindari. Dunia yang penuh dengan intrik, pengkhianatan, dan kekerasan. Namun, sekarang ia tidak punya pilihan selain melangkah lebih dalam. Baginya, ayahnya bukan sekadar sebuah kenangan, tetapi sebuah teka-teki yang harus ia pecahkan. Jika ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, ia harus menghadapi kenyataan yang tak terhindarkan. Di dalam kamar hotel yang sederhana, Elena duduk di depan meja, memeriksa dokumen-dokumen yang ia ambil dari markas rahasia. Dante berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan pikiran yang terus berputar. "Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Dante tanpa menoleh. Elena mengangkat kepala, menyipitkan matanya. "Kita menuju Raven's Nest. Tempat itu tidak akan mudah ditemukan, tapi aku tahu cara masuk." "Bagaimana kalau ada jebakan?" Dante berbalik dan memandang Elena. "Jika ada jebakan, kita harus siap," jawab Elena tegas. "Tapi, kita tidak punya ba

    Last Updated : 2024-11-22
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 4: Kebenaran yang Terungkap

    Dante berjalan dengan langkah mantap di sepanjang jalan yang ramai, meski hatinya masih terasa berdebar kencang. Setelah berhasil melarikan diri dari Raven’s Nest, hidupnya kini berada dalam ketegangan yang tak terhindarkan. Setiap detik terasa seperti petaka yang siap menghancurkan dirinya. Namun, di balik ketakutan itu, ada satu hal yang tidak bisa dia abaikan: kebenaran. Apa yang sebenarnya terjadi dengan ayahnya? Siapa yang benar-benar menginginkannya mati? Elena tetap berjalan di sampingnya, dengan langkah yang tenang dan penuh perhitungan. Sepertinya, wanita itu sudah terbiasa dengan dunia yang gelap ini, jauh lebih siap menghadapi bahaya yang selalu mengintai. Wajahnya yang dingin dan tenang justru memberikan kenyamanan bagi Dante yang masih merasa cemas. "Mereka pasti sudah tahu kita selamat," kata Elena, membuka percakapan. "Kita tidak bisa tinggal di sini terlalu lama. Kita harus bergerak." Dante menatapnya dengan tatapan serius. "Ke mana kita akan pergi?" "Ke tempat ya

    Last Updated : 2024-11-22
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 5: Hati yang Terpecah

    Dante dan Elena berlari menyusuri lorong-lorong sempit, merasakan jejak langkah kaki yang semakin dekat di belakang mereka. Keheningan malam itu terasa menyesakkan. Angin berhembus kencang, menyisir wajah mereka dengan dingin, namun hatinya jauh lebih dingin lagi. Setiap detik yang berlalu membawa mereka lebih dekat ke ancaman yang semakin jelas. Hanya ada satu tujuan dalam benak Dante: bertahan hidup. Tetapi saat ia menatap Elena di sampingnya, ia merasa ada lebih dari sekadar ancaman yang membayangi mereka. Ada kebenaran yang ingin ia pecahkan, sebuah rasa penasaran yang semakin menggerogoti hatinya. Setelah beberapa belokan tajam, mereka tiba di sebuah pintu yang tersembunyi di balik tumpukan barang-barang lama. Elena membuka pintu itu dengan cepat, menggenggam tangan Dante dengan erat. "Masuk," katanya tegas. Dante ragu sejenak, menatap ruang gelap di dalamnya. Mereka tak punya banyak pilihan. Elena sudah melangkah lebih dulu, dan Dante segera mengikuti, menutup pintu dengan le

    Last Updated : 2024-11-22
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 6: Percikan di Tengah Kegelapan

    Malam menyelimuti kota dengan gelap yang hampir sempurna. Langit tanpa bintang dan jalanan lengang terasa seperti sebuah pertanda buruk. Di sebuah gudang tua di pinggiran kota, suara-suara samar terdengar—bisikan penuh ketegangan dan langkah-langkah kaki yang berhati-hati. Di dalam, Dante berdiri memandangi papan penuh peta, dokumen, dan foto. Setiap potongan informasi terasa seperti teka-teki besar yang tidak sepenuhnya ia pahami. Elena berdiri di sampingnya, tangan terlipat dengan wajah tegang. "Ini semua hanya sebagian kecil," kata Elena sambil menunjuk ke salah satu peta. "The Codex mungkin saja disembunyikan di salah satu fasilitas ini. Tapi setiap lokasi adalah ancaman." Dante mengangguk pelan, tetapi pikirannya tidak sepenuhnya ada di situ. Sejak mengetahui bahwa dirinya adalah pewaris dari kekuatan besar—dan berbahaya—ia merasa seperti hidupnya telah diambil alih oleh sesuatu yang tidak pernah ia minta. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti melangkah ke jurang yang l

    Last Updated : 2024-11-23
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 7: Bayangan yang Lebih Gelap

    Pagi menyingsing dengan suasana muram. Dante berdiri di balkon sebuah rumah persembunyian yang terletak di pinggir kota, memandangi jalanan yang sepi. Matanya yang sembab menatap kosong, pikirannya kembali ke kejadian malam sebelumnya. Gudang itu hancur, Rafael lolos, dan Nina masih berada dalam ancaman. Elena datang menghampirinya, membawa secangkir kopi. "Kau tidak tidur sama sekali," katanya, meletakkan cangkir itu di meja kecil. "Aku tidak bisa," jawab Dante singkat. "Kepalaku dipenuhi oleh semua kemungkinan buruk. Rafael terus bermain-main denganku, dan aku selalu kalah." "Kita belum kalah," kata Elena dengan tegas, mencoba mengembalikan semangat Dante. "Kita masih di sini, dan kita masih punya kesempatan untuk membalikkannya." "Tapi dengan harga apa?" Dante menoleh padanya. "Berapa banyak lagi orang yang harus terjebak dalam permainan ini? Aku sudah kehilangan terlalu banyak, Elena." Elena mendekat, menatapnya dengan serius. "Justru karena itu kau tidak boleh menyerah. Kau

    Last Updated : 2024-11-25
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 8: Penghianatan yang Tak Terduga

    Malam di rumah persembunyian itu lebih sunyi dari biasanya, tetapi suasana tegang terasa jelas di udara. Dante duduk di ruang tamu, memeriksa dokumen yang mereka curi dari apartemen Rafael. Nama-nama di dalamnya bukan hanya sekutu Rafael, tetapi juga mencakup beberapa orang yang selama ini dianggap netral atau bahkan teman. "Aku tidak percaya mereka semua ada dalam daftar ini," gumam Dante, suaranya rendah tetapi penuh amarah. Elena yang duduk di sofa seberang mengamati wajah Dante yang tegang. "Kita tidak bisa hanya mengandalkan asumsi. Beberapa dari mereka mungkin dipaksa, atau bahkan dijebak oleh Rafael." "Tapi kita tidak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa mereka telah berkhianat," potong Dante. Matanya menatap salah satu nama dengan intensitas yang membuat Elena merasa tidak nyaman. "Siapa di daftar itu yang membuatmu gelisah?" tanya Elena, mendekat. Dante menggelengkan kepala, tetapi Elena menangkap kilatan emosi di matanya. "Dante, kalau ini soal seseorang yang kau kenal,

    Last Updated : 2024-11-26
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 9: Retakan di Antara Kita

    Malam di persembunyian terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena cuaca, tetapi karena ketegangan yang menggantung di udara. Dante duduk di sudut ruangan, menatap peta kota di depannya. Tangannya mengepal di atas meja, sementara pikirannya terus berputar mencari jawaban atas serangan mendadak tadi malam. Lorenzo berdiri di dekat jendela, wajahnya penuh kebingungan dan luka batinnya jelas terlihat. Di sisi lain, Elena mondar-mandir dengan raut wajah frustrasi, menggosok dahinya berulang kali. Semua orang terjebak dalam pikiran mereka sendiri, tetapi kebisuan itu akhirnya pecah oleh suara Elena. "Kita tidak bisa terus begini," katanya dengan nada tinggi, berhenti di tengah ruangan. "Ada yang harus dijelaskan. Kalau bukan oleh musuh di luar, maka oleh seseorang di antara kita." Dante mengangkat wajahnya perlahan, tatapannya dingin tetapi sarat emosi yang sulit ditebak. "Apa maksudmu, Elena?" Elena menatapnya balik tanpa rasa takut. "Aku tidak bisa mengabaikan ini, Dante. Lorenz

    Last Updated : 2024-11-27

Latest chapter

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 106

    Malam itu, langit dihiasi ribuan bintang yang berkelap-kelip, seakan menjadi saksi dari perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Dante berdiri di tepi tebing, menatap ke kejauhan. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di belakangnya, Elena dan Ayra berdiri dengan ekspresi berbeda—Ayra dengan tatapan lembut, sementara Elena menatap Dante dengan ragu. "Apa yang kita cari selama ini akhirnya ada di depan mata," ucap Ayra, suaranya nyaris seperti bisikan. Dia melirik Elena sebelum kembali menatap Dante. "Semua ini hanya tentang pilihan." Dante menarik napas panjang, dadanya terasa berat. Pilihan. Satu kata sederhana yang membawa beban tak terhingga. Semua kenangan, perjuangan, dan kehilangan selama perjalanan ini berputar di pikirannya. "Ini bukan hanya soal pilihan," jawab Dante akhirnya Dante berbalik, wajahnya diselimuti kerut keseriusan. Mata Elena dan Ayra saling bertemu, seperti ada yang mereka coba ungkapkan, namun belum sepenuhnya bis

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 100

    Mentari pagi memancarkan sinar hangatnya, menyusup di antara tirai jendela rumah Dante dan Ayra. Udara terasa segar, membawa harapan baru. Di meja makan, Ayra sudah sibuk menata sarapan. Aroma kopi bercampur dengan harum roti panggang memenuhi ruangan.Dante muncul dari lorong, mengenakan kaus santai dan celana pendek. Ia menghampiri Ayra, melingkarkan tangannya di pinggangnya dengan lembut. "Pagi, cantik," bisiknya dengan suara berat yang masih terasa hangat dari tidur.Ayra tersenyum, mengaduk teh di cangkirnya. "Pagi juga. Tidurmu nyenyak?""Nyenyak. Tapi aku lebih suka begini, bangun pagi dan melihatmu." Dante mencium pipi Ayra sekilas sebelum duduk di kursi meja makan.Ayra menggeleng, tawa kecilnya melayang di udara. "Kau tahu cara membuat hari seseorang jadi lebih cerah, ya?"Dante hanya tersenyum lebar, lalu mulai menyantap sarapannya. "Apa rencanamu hari ini?"Ayra duduk di depannya, menyesap teh hangat. "Aku ingin

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 99

    Langit malam menghamparkan taburan bintang yang membisikkan ketenangan. Dante berdiri di beranda rumahnya, memandang jauh ke cakrawala. Pikirannya melayang pada pertemuan terakhir antara Ayra dan Elena. Sebuah akhir yang damai, tetapi baginya, itu juga menjadi awal baru."Masih belum bisa tidur?" Ayra muncul dari balik pintu, membawakan secangkir teh hangat. Ia mengenakan sweater rajut yang longgar, rambutnya dibiarkan tergerai.Dante tersenyum kecil, menerima cangkir itu. "Aku hanya berpikir... tentang semua yang telah terjadi."Ayra berdiri di sampingnya, ikut memandang langit malam. "Kadang sulit dipercaya, bukan? Bahwa kita masih di sini, bersama, setelah semua yang kita lalui."Dante menatap Ayra, matanya mengandung kehangatan. "Aku selalu percaya kita bisa melewati semuanya, Ayra. Karena aku tahu... kau adalah rumahku."Ayra tertegun mendengar kata-kata itu. Ia menatap Dante, merasa hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan yang hang

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 98

    Angin pagi meniupkan kesejukan yang lembut saat Dante memarkir mobilnya di depan rumah Ayra. Langit masih pucat, pertanda matahari baru saja bangkit dari tidurnya. Dante keluar, membuka pintu untuk Ayra, yang tampak sedikit lelah tetapi tetap bersemangat. "Aku masih merasa seperti mimpi," Ayra berkata sambil melangkah keluar. Matanya menatap Dante dengan sorot bingung dan kagum. "Mimpi seperti apa?" Dante bertanya, menutup pintu mobil di belakangnya. "Bahwa aku bisa merasa begini... merasa cukup hanya dengan satu orang." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti gumaman, tetapi Dante mendengarnya jelas. Dante mendekat, menyentuh lengan Ayra dengan lembut. "Aku ingin kau tahu, aku juga merasa begitu. Dan aku akan memastikan kau selalu merasa cukup denganku." Ayra tersenyum kecil. "Aku percaya padamu." Langkah mereka menuju teras terasa seperti simbol dari awal yang baru. Tidak ada lagi beba

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 97

    Angin malam menyentuh wajah Dante saat ia berdiri di balkon kecil apartemennya. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat, tetapi pikirannya jauh dari kehangatan yang seharusnya dirasakannya. Cahaya lampu kota berkelap-kelip di bawah sana, membentuk pemandangan yang sepi meskipun penuh warna.Di belakangnya, suara langkah pelan mengisi keheningan. Ayra berdiri di ambang pintu balkon, mengenakan sweater oversize yang menggantung hingga lututnya. Matanya memancarkan keraguan, seakan langkah kecil itu memerlukan keberanian besar."Dante," suaranya hampir tenggelam dalam angin, tetapi Dante mendengarnya. Ia berbalik, pandangannya bertemu dengan mata cokelat Ayra yang dipenuhi pergolakan."Ada apa?" tanyanya lembut, menurunkan cangkir kopi ke meja kecil di sebelahnya.Ayra terdiam sesaat, menatap ke lantai sebelum mengangkat pandangannya kembali. "Aku... aku ingin kita bicara. Tentang semuanya."Dante menatapnya dengan penuh perhatian.

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 96

    Langit mendung menggantung, menyelimuti kota dengan suasana muram. Hujan yang turun sejak dini hari menciptakan genangan di sepanjang jalan, seperti memantulkan perasaan Dante yang masih diliputi kebimbangan.Dante duduk di ruang kerjanya, matanya menatap kosong layar komputer yang menyala di depannya. Deretan angka dan data yang biasa memberinya rasa aman kini hanya terlihat seperti simbol-simbol tak berarti. Suara hujan yang menghantam kaca jendela menjadi satu-satunya hal yang mengisi kesunyian ruangan.“Dante,” suara Ayra memecah lamunannya.Dia berdiri di ambang pintu, mengenakan sweater abu-abu yang kebesaran, rambutnya tergerai alami. Ada kekhawatiran dalam matanya yang cokelat pekat, seolah dia bisa melihat pergulatan yang bergejolak di dalam hati Dante.“Aku sudah memanggilmu tiga kali,” katanya, melangkah masuk.“Maaf.” Dante mengalihkan pandangan, menggosok pelipisnya dengan frustrasi. “Aku hanya—ada banyak hal di pikirank

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 95

    Langit mendung menggantung rendah, seolah meramalkan badai besar yang akan datang. Lembah di depan mereka memancarkan kesunyian yang mencekam, hanya diselingi suara angin yang berdesir melewati pepohonan. Dante berdiri di tepi jurang kecil, menatap pemandangan di depannya dengan mata tajam. Jauh di kejauhan, bangunan besar yang menjadi markas musuh tampak seperti bayangan kelabu di tengah kabut.Elena mendekat perlahan, membawa sebotol air untuk Dante. Ia tahu Dante sudah terlalu lama memandang ke arah itu tanpa beristirahat. “Kau harus menjaga energimu, Dante,” katanya lembut sambil menyerahkan botol itu.Dante menerimanya, tetapi ia tidak langsung meminumnya. “Markas itu… tampak lebih terjaga dari yang kuduga,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Elena memandang bangunan itu dengan mata yang tidak kalah serius. “Kita tahu ini tidak akan mudah. Tapi kita sudah sejauh ini. Tidak ada jalan kembali.”Dari kejauhan, Ayra duduk di atas sebata

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 94

    Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, menggigilkan tubuh Ayra yang masih lemah akibat perjalanan semalam. Ia berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu lemah di depan Dante dan Elena. Kedua orang itu kini tampak lebih tegas dalam gerakan mereka, seolah mereka sudah menetapkan tujuan yang jelas. Dante memimpin langkah, mengamati setiap sudut dengan saksama. Pepohonan lebat yang melingkupi mereka memberikan perlindungan sementara, tetapi tidak menghilangkan bahaya yang terus membayangi. “Berapa lama lagi kita akan sampai di tempat persembunyian itu?” Ayra bertanya dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kecemasan di balik kata-katanya. Dante menoleh sekilas, matanya tajam namun tetap teduh. “Tidak jauh lagi. Jika kita tetap bergerak tanpa berhenti, kita bisa sampai sebelum matahari terbenam.” Ayra mengangguk, meski tubuhnya sudah mulai kehilangan tenaga. Ia tidak ingin menjadi b

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 93

    Matahari perlahan merangkak naik, menyemburatkan cahaya lembut ke langit kelabu. Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, tetapi Dante tidak bergeming dari posisinya di puncak batu besar yang menghadap lembah. Tangannya menggenggam gagang belati kecil yang selalu ia bawa, seolah benda itu adalah jangkar terakhir dari kewarasan di tengah badai pikirannya. Di belakangnya, Ayra duduk dengan tangan terlipat di dada, punggungnya bersandar pada pohon besar. Ia tak berbicara sepatah kata pun sejak pertengkaran malam sebelumnya. Sinar matahari menyoroti wajahnya yang terlihat lelah tetapi tetap anggun, dengan mata yang memandang kosong ke depan. Sementara itu, Elena berdiri tak jauh dari keduanya, mengamati Dante dengan tatapan penuh tanya. Ia tahu, sejak pertemuan mereka pertama kali, ada luka yang selalu Dante sembunyikan di balik sikap tegasnya. Namun, luka itu kini tampak lebih jelas dari sebelumnya, seperti retakan kecil di kaca yang perlahan melebar.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status