Beranda / Urban / TAKHTA BAYANGAN / Bab 8: Penghianatan yang Tak Terduga

Share

Bab 8: Penghianatan yang Tak Terduga

Penulis: Zayba Almira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-26 16:05:05

Malam di rumah persembunyian itu lebih sunyi dari biasanya, tetapi suasana tegang terasa jelas di udara. Dante duduk di ruang tamu, memeriksa dokumen yang mereka curi dari apartemen Rafael. Nama-nama di dalamnya bukan hanya sekutu Rafael, tetapi juga mencakup beberapa orang yang selama ini dianggap netral atau bahkan teman.

"Aku tidak percaya mereka semua ada dalam daftar ini," gumam Dante, suaranya rendah tetapi penuh amarah.

Elena yang duduk di sofa seberang mengamati wajah Dante yang tegang. "Kita tidak bisa hanya mengandalkan asumsi. Beberapa dari mereka mungkin dipaksa, atau bahkan dijebak oleh Rafael."

"Tapi kita tidak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa mereka telah berkhianat," potong Dante. Matanya menatap salah satu nama dengan intensitas yang membuat Elena merasa tidak nyaman.

"Siapa di daftar itu yang membuatmu gelisah?" tanya Elena, mendekat.

Dante menggelengkan kepala, tetapi Elena menangkap kilatan emosi di matanya. "Dante, kalau ini soal seseorang yang kau kenal, kita perlu membicarakannya."

Dante akhirnya menyerahkan kertas itu kepada Elena. Jarinya menunjuk pada salah satu nama di tengah daftar: Lorenzo De Luca.

Elena tertegun. "Lorenzo? Kau pikir dia berkhianat?"

"Aku tidak tahu," jawab Dante dengan nada frustrasi. "Tapi namanya ada di sini. Itu cukup untuk membuatku bertanya-tanya."

"Dia sudah berada di sisimu sejak awal," kata Elena mencoba menenangkan. "Kita harus memastikan sebelum membuat tuduhan. Kalau tidak, kita hanya akan menghancurkan tim kita dari dalam."

Dante tahu Elena benar, tetapi hatinya masih dipenuhi keraguan. Lorenzo adalah orang yang ia percayai, orang yang selalu berdiri di sisinya sejak mereka mulai melawan Rafael. Tetapi nama itu, tertulis dengan jelas di dokumen Rafael, mengganggu pikirannya.

---

Keesokan harinya, Dante memutuskan untuk mengawasi Lorenzo dengan lebih cermat. Ia meminta Elena untuk membantunya menyelidiki tanpa membuat Lorenzo curiga.

"Bagaimana kita akan melakukannya?" tanya Elena.

"Dia akan pergi ke pertemuan malam ini," jawab Dante. "Katanya untuk bertemu dengan salah satu informannya. Aku ingin tahu siapa yang sebenarnya dia temui."

Malam itu, Dante dan Elena mengikuti Lorenzo secara diam-diam. Pria itu terlihat santai, berjalan menuju sebuah bar kecil di sudut kota yang tampak biasa saja. Namun, Dante tahu tidak ada tempat yang benar-benar 'biasa' di kota ini, terutama dalam dunia bayangan yang mereka jalani.

Lorenzo masuk ke bar, dan Dante serta Elena menunggu di luar. Tak lama kemudian, Lorenzo terlihat berbicara dengan seorang pria yang wajahnya tidak asing bagi Dante.

"Dia bicara dengan salah satu orang Rafael," bisik Dante dengan rahang mengeras.

"Tenang dulu," kata Elena sambil menarik lengannya. "Kita tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Jangan langsung membuat kesimpulan."

Namun, ketika Lorenzo menyerahkan sebuah amplop tebal kepada pria itu, amarah Dante semakin memuncak. "Itu cukup bagi aku," katanya sebelum berjalan menuju bar.

"Dante, tunggu!" bisik Elena, tetapi Dante sudah terlalu marah untuk mendengar.

---

Dante masuk ke bar dengan langkah berat, membuat semua orang di dalamnya menoleh. Lorenzo yang sedang berbicara dengan pria itu tampak terkejut saat melihat Dante.

"Dante," katanya dengan nada bingung. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku yang seharusnya bertanya," jawab Dante dengan nada dingin. "Apa yang kau lakukan dengan orang Rafael?"

Lorenzo terlihat gelisah, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Ini bukan seperti yang kau pikirkan."

"Bukan seperti yang kupikirkan?" Dante mengangkat alisnya. "Kau bertemu dengan musuh kita di tempat tersembunyi dan menyerahkan amplop kepadanya. Jelaskan padaku, Lorenzo, apa yang sebenarnya terjadi?"

Pria yang bersama Lorenzo mencoba melangkah pergi, tetapi Dante langsung menariknya kembali. "Kau tidak ke mana-mana."

Lorenzo menghela napas panjang. "Dante, aku mencoba mendapatkan informasi darinya. Aku membayar dia untuk memberitahu kita rencana Rafael berikutnya."

"Dan aku seharusnya mempercayai itu?" tanya Dante dengan nada sinis.

"Kalau aku berkhianat, kau pikir aku akan melakukannya di tempat seperti ini? Aku tahu kau selalu mengawasi. Apa aku terlihat seperti orang yang cukup bodoh untuk membuat pengkhianatan di depan matamu?"

Dante terdiam sejenak, tetapi hatinya masih penuh keraguan. "Namamu ada di dokumen Rafael, Lorenzo. Itu cukup untuk membuatku tidak percaya."

"Aku tahu," jawab Lorenzo dengan suara yang lebih rendah. "Aku sudah melihat dokumen itu. Dan aku tidak tahu kenapa namaku ada di sana. Tapi aku bersumpah, Dante, aku tidak berkhianat. Rafael mungkin mencoba memecah kita, dan sepertinya dia berhasil."

Dante menatapnya tajam, mencoba mencari kebenaran di matanya. Namun, sebelum ia sempat berkata lebih jauh, suara tembakan terdengar dari luar.

---

Semua orang di dalam bar langsung bereaksi. Elena yang menunggu di luar berlari masuk dengan senjata terangkat. "Kita dalam masalah besar!" teriaknya.

Dante dan Lorenzo segera mengambil posisi perlindungan, sementara pria Rafael yang sebelumnya mereka interogasi melarikan diri di tengah kekacauan. Dante tidak punya waktu untuk mengejarnya.

Serangan itu dilakukan oleh kelompok bersenjata yang tidak dikenal. Mereka menembak tanpa pandang bulu, membuat bar itu menjadi medan perang dadakan.

"Siapa mereka?" teriak Elena sambil membalas tembakan.

"Bukan orang Rafael," jawab Lorenzo sambil melirik mereka. "Mereka tidak menggunakan simbolnya."

Dante mengamati dengan cepat dan menyadari hal yang sama. Penyerang ini bukan bagian dari kelompok Rafael. Tetapi siapa mereka, dan kenapa mereka menyerang?

Pertempuran berlangsung sengit, tetapi akhirnya Dante, Elena, dan Lorenzo berhasil melarikan diri melalui pintu belakang.

---

Di tempat persembunyian, ketegangan semakin memuncak. Lorenzo duduk di sofa dengan luka kecil di lengan, sementara Elena membersihkan senjatanya.

"Dante," kata Lorenzo pelan. "Aku tahu kau tidak percaya padaku, tapi aku tidak akan pernah mengkhianatimu. Aku sudah melihat apa yang dilakukan Rafael. Aku ingin dia hancur sama seperti kau."

Dante hanya mengangguk, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Di dalam hatinya, konflik masih berkecamuk.

Namun, pikirannya terganggu oleh hal lain. Penyerang yang mereka temui malam itu bukan bagian dari Rafael. Itu berarti ada pemain baru yang terlibat, seseorang yang mungkin sama berbahayanya dengan Rafael.

"Siapa mereka?" tanya Elena, seolah membaca pikirannya.

"Aku tidak tahu," jawab Dante. "Tapi kita harus mencari tahu sebelum semuanya semakin rumit."

Dalam diam, Dante merasakan beratnya tanggung jawab yang ia pikul. Musuh di depannya terus bertambah, dan kepercayaan di antara sekutunya semakin rapuh. Ia tahu bahwa perang ini baru saja memasuki babak baru—babak yang lebih berbahaya dan penuh pengkhianatan.

Bab terkait

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 9: Retakan di Antara Kita

    Malam di persembunyian terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena cuaca, tetapi karena ketegangan yang menggantung di udara. Dante duduk di sudut ruangan, menatap peta kota di depannya. Tangannya mengepal di atas meja, sementara pikirannya terus berputar mencari jawaban atas serangan mendadak tadi malam. Lorenzo berdiri di dekat jendela, wajahnya penuh kebingungan dan luka batinnya jelas terlihat. Di sisi lain, Elena mondar-mandir dengan raut wajah frustrasi, menggosok dahinya berulang kali. Semua orang terjebak dalam pikiran mereka sendiri, tetapi kebisuan itu akhirnya pecah oleh suara Elena. "Kita tidak bisa terus begini," katanya dengan nada tinggi, berhenti di tengah ruangan. "Ada yang harus dijelaskan. Kalau bukan oleh musuh di luar, maka oleh seseorang di antara kita." Dante mengangkat wajahnya perlahan, tatapannya dingin tetapi sarat emosi yang sulit ditebak. "Apa maksudmu, Elena?" Elena menatapnya balik tanpa rasa takut. "Aku tidak bisa mengabaikan ini, Dante. Lorenz

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 10: Lingkaran Api

    Malam itu, Dante duduk sendirian di ruang belakang markas mereka. Pikirannya penuh dengan kemarahan yang belum menemukan tempat untuk dilampiaskan. Wajah Victor Vasquez terus membayangi pikirannya, terutama senyum dingin pria itu yang penuh keyakinan akan kemenangannya. Dante tahu bahwa ancaman Victor tidak main-main. Ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Elena masuk tanpa menunggu jawaban. "Dante," katanya dengan nada lembut, "kau belum makan sejak tadi siang. Kau tidak bisa terus seperti ini." "Aku tidak lapar," jawab Dante singkat, tetapi Elena tidak mundur. Ia mendekati Dante dan duduk di kursi di depannya. "Apa yang sebenarnya ada di kepalamu?" tanya Elena, mencoba memahami kegelisahan Dante. Dante menghela napas panjang. "Victor bukan hanya ancaman baru, Elena. Dia lebih dari itu. Dia seseorang yang tahu bagaimana mengendalikan permainan ini. Dan dia sudah tahu kelemahan kita sebelum kita sempat mengenalnya." Elena memiringkan kepalanya, mencoba membaca emosi D

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 11: Jejak Sang Penguasa Kuno

    Dante berdiri di puncak gedung tua yang dulunya adalah markas rahasia milik keluarganya. Angin malam berhembus kencang, membawa aroma hujan yang tertahan di langit. Chipset di tubuhnya terus-menerus berdenyut, hampir seolah-olah mencoba memberi tahu sesuatu yang lebih besar daripada sekadar informasi duniawi. Selama ini, chipset itu hanya dianggap sebagai teknologi mutakhir yang diciptakan ayahnya untuk membantunya bertahan hidup di dunia penuh intrik dan bahaya. Namun, beberapa hari terakhir, ada sesuatu yang berbeda. Data yang diaksesnya bukan hanya data biasa. Ada informasi kuno, nama-nama yang bahkan tidak pernah disebutkan dalam sejarah manusia modern, mulai muncul di pikirannya—nama-nama seperti "Orion Sang Penjaga" dan "Erebus Sang Penghukum." Dante merasa tubuhnya memanas setiap kali ia mencoba memahami data ini. Namun, semakin dia berusaha mencari tahu, semakin chipset itu terasa seperti bukan hanya teknologi. Ada kekuatan di dalamnya, kekuatan yang melampaui logika. ---

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 12: Beban Takdir

    Dante berdiri di tengah kekacauan yang baru saja terjadi, tubuhnya bergetar, bukan karena kelelahan, tetapi karena energi yang mengalir deras melalui dirinya. Tangannya mengepal erat, mencoba menahan dorongan kekuatan yang nyaris tidak terkendali. Cahaya keemasan yang tadi menyala di matanya perlahan memudar, namun jejak keberadaan kekuatan itu masih terasa di udara. Elena mendekat perlahan, hati-hati seperti seseorang yang mendekati binatang buas yang terluka. “Dante, kau harus bicara padaku. Apa yang baru saja terjadi?” suaranya bergetar, antara khawatir dan takut. Dante menggelengkan kepalanya, mencoba mencari jawaban di pikirannya sendiri. "Aku tidak tahu, Elena," katanya dengan suara serak. “Ada sesuatu yang bangkit di dalam diriku. Chipset ini… bukan sekadar alat. Ini adalah pintu menuju sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang mungkin seharusnya tidak pernah dibuka.” Lorenzo, yang selama ini selalu tampil tenang, berdiri beberapa langkah di belakang mereka. Wajahnya tegang, m

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 13: Jekak Takdir yang Terkuak

    Hening malam di markas kecil mereka terasa seperti angin yang mempersiapkan badai besar. Dante berdiri di balkon, memandangi kota yang terang oleh lampu jalan, tetapi gelap oleh kebusukan yang merajalela. Di bawahnya, Elena dan Lorenzo sedang berbicara serius di ruang tengah, namun suaranya hampir tak terdengar oleh Dante. Chipset dalam tubuhnya kini bekerja dengan tingkat yang berbeda—bukan hanya menganalisis, tetapi juga memberikan Dante kemampuan untuk merasakan energi orang-orang di sekitarnya. Dante menyadari sesuatu yang ia belum pernah rasakan sebelumnya: jiwanya bergetar, dan bukan hanya karena kekuatan yang baru ditemukan. Melainkan karena pertanyaan besar yang menghantuinya. Apakah aku siap menerima semua ini? Apakah aku mampu mengendalikan kekuatan ini tanpa kehilangan diriku sendiri? ---- Elena menyadari tatapan Dante dari atas. Ia mendongak, lalu memutuskan untuk mendekati pemuda itu. Langkahnya pelan, tetapi ada ketegasan dalam gerakannya. Lorenzo mencoba menahan Ele

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 14: Luka yang Terungkap

    Angin malam di pinggiran kota membawa aroma besi dan debu, bercampur dengan rasa kekalahan yang berat. Dante duduk di sudut ruangan markas mereka yang kumuh, tubuhnya bersandar pada dinding dingin. Luka di lengannya mengeluarkan darah, tetapi rasa sakit fisik itu tidak sebanding dengan rasa hancur yang bergelut di dadanya. Elena berdiri tak jauh darinya, menggigit bibir dengan keras untuk menahan luapan emosinya. Tangannya bergetar saat ia mempersiapkan perban dan alat medis sederhana. Lorenzo mondar-mandir di ruangan, kepalan tangannya berkeringat. "Kau hampir mati di sana," suara Elena memecah keheningan, penuh dengan kemarahan yang tertahan. "Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Dante? Kau tidak tak terkalahkan." Dante mendongak perlahan, menatap Elena dengan mata kosong. "Aku tahu. Tapi kalau aku tidak melawan mereka, kita semua akan mati." "Itu bukan alasan!" Elena membanting gulungan perban ke meja, air matanya mulai mengalir. "Aku muak melihatmu bertindak seperti ini. Kau tid

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 15: Bayangan di Balik Kebenaran

    Malam itu terasa lebih kelam dari biasanya, seolah-olah langit pun tahu ada rahasia besar yang akan terungkap. Kendaraan mereka melaju kencang menuju pinggiran kota, di mana fasilitas penelitian yang disebut dalam data Victor berada. Lorenzo mengemudi dengan fokus, sementara Elena duduk di kursi penumpang, menatap jalanan dengan gelisah. Di kursi belakang, Dante duduk diam, mencoba mengendalikan pikirannya. Namun, suara di kepalanya semakin sering muncul. Bukan hanya bisikan samar, melainkan gema yang menyerupai tawa kecil—sinis dan penuh teka-teki. "Kau ingin jawaban, Dante? Kau pikir itu akan membuat segalanya lebih mudah? Kau bahkan belum siap untuk menghadapi dirimu sendiri." “Dante,” suara Elena memecah keheningan. “Apa kau baik-baik saja?” Dante tersentak keluar dari lamunannya. Ia menatap Elena melalui kaca spion, mencoba memaksakan senyum. “Aku baik-baik saja.” “Kau tidak terlihat baik,” balas Elena, nadanya tegas namun penuh kekhawatiran. Lorenzo melirik mereka

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 16: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Dante memandang Adrian dengan tatapan tajam, matanya penuh dengan kebencian dan rasa ingin tahu yang bercampur menjadi satu. Ruangan yang tadinya penuh dengan suara mesin dan layar hologram terasa hening seperti kuburan. Elena tetap berdiri di samping Dante, telapak tangannya yang dingin menggenggam erat lengan sahabatnya. “Kau bilang aku adalah kunci,” kata Dante perlahan, suaranya terdengar berat. “Jelaskan. Apa maksudmu? Jangan buang waktuku dengan teka-teki.” Adrian melipat tangannya, langkahnya santai tetapi penuh perhitungan. “Kau menginginkan kebenaran? Baik. Tapi izinkan aku bertanya satu hal terlebih dahulu.” “Tidak ada waktu untuk bermain-main,” bentak Dante, suaranya naik satu oktaf. Adrian tetap tenang, seolah tidak terganggu oleh ledakan emosi itu. “Dante, apa kau pernah bertanya-tanya mengapa kau memiliki kemampuan luar biasa ini? Mengapa chipset itu—yang dirancang untuk para prajurit elit—dapat berfungsi sempurna dalam tubuhmu, bahkan meningkatkan potensinya?”

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01

Bab terbaru

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 106

    Malam itu, langit dihiasi ribuan bintang yang berkelap-kelip, seakan menjadi saksi dari perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Dante berdiri di tepi tebing, menatap ke kejauhan. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di belakangnya, Elena dan Ayra berdiri dengan ekspresi berbeda—Ayra dengan tatapan lembut, sementara Elena menatap Dante dengan ragu. "Apa yang kita cari selama ini akhirnya ada di depan mata," ucap Ayra, suaranya nyaris seperti bisikan. Dia melirik Elena sebelum kembali menatap Dante. "Semua ini hanya tentang pilihan." Dante menarik napas panjang, dadanya terasa berat. Pilihan. Satu kata sederhana yang membawa beban tak terhingga. Semua kenangan, perjuangan, dan kehilangan selama perjalanan ini berputar di pikirannya. "Ini bukan hanya soal pilihan," jawab Dante akhirnya Dante berbalik, wajahnya diselimuti kerut keseriusan. Mata Elena dan Ayra saling bertemu, seperti ada yang mereka coba ungkapkan, namun belum sepenuhnya bis

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 100

    Mentari pagi memancarkan sinar hangatnya, menyusup di antara tirai jendela rumah Dante dan Ayra. Udara terasa segar, membawa harapan baru. Di meja makan, Ayra sudah sibuk menata sarapan. Aroma kopi bercampur dengan harum roti panggang memenuhi ruangan.Dante muncul dari lorong, mengenakan kaus santai dan celana pendek. Ia menghampiri Ayra, melingkarkan tangannya di pinggangnya dengan lembut. "Pagi, cantik," bisiknya dengan suara berat yang masih terasa hangat dari tidur.Ayra tersenyum, mengaduk teh di cangkirnya. "Pagi juga. Tidurmu nyenyak?""Nyenyak. Tapi aku lebih suka begini, bangun pagi dan melihatmu." Dante mencium pipi Ayra sekilas sebelum duduk di kursi meja makan.Ayra menggeleng, tawa kecilnya melayang di udara. "Kau tahu cara membuat hari seseorang jadi lebih cerah, ya?"Dante hanya tersenyum lebar, lalu mulai menyantap sarapannya. "Apa rencanamu hari ini?"Ayra duduk di depannya, menyesap teh hangat. "Aku ingin

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 99

    Langit malam menghamparkan taburan bintang yang membisikkan ketenangan. Dante berdiri di beranda rumahnya, memandang jauh ke cakrawala. Pikirannya melayang pada pertemuan terakhir antara Ayra dan Elena. Sebuah akhir yang damai, tetapi baginya, itu juga menjadi awal baru."Masih belum bisa tidur?" Ayra muncul dari balik pintu, membawakan secangkir teh hangat. Ia mengenakan sweater rajut yang longgar, rambutnya dibiarkan tergerai.Dante tersenyum kecil, menerima cangkir itu. "Aku hanya berpikir... tentang semua yang telah terjadi."Ayra berdiri di sampingnya, ikut memandang langit malam. "Kadang sulit dipercaya, bukan? Bahwa kita masih di sini, bersama, setelah semua yang kita lalui."Dante menatap Ayra, matanya mengandung kehangatan. "Aku selalu percaya kita bisa melewati semuanya, Ayra. Karena aku tahu... kau adalah rumahku."Ayra tertegun mendengar kata-kata itu. Ia menatap Dante, merasa hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan yang hang

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 98

    Angin pagi meniupkan kesejukan yang lembut saat Dante memarkir mobilnya di depan rumah Ayra. Langit masih pucat, pertanda matahari baru saja bangkit dari tidurnya. Dante keluar, membuka pintu untuk Ayra, yang tampak sedikit lelah tetapi tetap bersemangat. "Aku masih merasa seperti mimpi," Ayra berkata sambil melangkah keluar. Matanya menatap Dante dengan sorot bingung dan kagum. "Mimpi seperti apa?" Dante bertanya, menutup pintu mobil di belakangnya. "Bahwa aku bisa merasa begini... merasa cukup hanya dengan satu orang." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti gumaman, tetapi Dante mendengarnya jelas. Dante mendekat, menyentuh lengan Ayra dengan lembut. "Aku ingin kau tahu, aku juga merasa begitu. Dan aku akan memastikan kau selalu merasa cukup denganku." Ayra tersenyum kecil. "Aku percaya padamu." Langkah mereka menuju teras terasa seperti simbol dari awal yang baru. Tidak ada lagi beba

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 97

    Angin malam menyentuh wajah Dante saat ia berdiri di balkon kecil apartemennya. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat, tetapi pikirannya jauh dari kehangatan yang seharusnya dirasakannya. Cahaya lampu kota berkelap-kelip di bawah sana, membentuk pemandangan yang sepi meskipun penuh warna.Di belakangnya, suara langkah pelan mengisi keheningan. Ayra berdiri di ambang pintu balkon, mengenakan sweater oversize yang menggantung hingga lututnya. Matanya memancarkan keraguan, seakan langkah kecil itu memerlukan keberanian besar."Dante," suaranya hampir tenggelam dalam angin, tetapi Dante mendengarnya. Ia berbalik, pandangannya bertemu dengan mata cokelat Ayra yang dipenuhi pergolakan."Ada apa?" tanyanya lembut, menurunkan cangkir kopi ke meja kecil di sebelahnya.Ayra terdiam sesaat, menatap ke lantai sebelum mengangkat pandangannya kembali. "Aku... aku ingin kita bicara. Tentang semuanya."Dante menatapnya dengan penuh perhatian.

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 96

    Langit mendung menggantung, menyelimuti kota dengan suasana muram. Hujan yang turun sejak dini hari menciptakan genangan di sepanjang jalan, seperti memantulkan perasaan Dante yang masih diliputi kebimbangan.Dante duduk di ruang kerjanya, matanya menatap kosong layar komputer yang menyala di depannya. Deretan angka dan data yang biasa memberinya rasa aman kini hanya terlihat seperti simbol-simbol tak berarti. Suara hujan yang menghantam kaca jendela menjadi satu-satunya hal yang mengisi kesunyian ruangan.“Dante,” suara Ayra memecah lamunannya.Dia berdiri di ambang pintu, mengenakan sweater abu-abu yang kebesaran, rambutnya tergerai alami. Ada kekhawatiran dalam matanya yang cokelat pekat, seolah dia bisa melihat pergulatan yang bergejolak di dalam hati Dante.“Aku sudah memanggilmu tiga kali,” katanya, melangkah masuk.“Maaf.” Dante mengalihkan pandangan, menggosok pelipisnya dengan frustrasi. “Aku hanya—ada banyak hal di pikirank

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 95

    Langit mendung menggantung rendah, seolah meramalkan badai besar yang akan datang. Lembah di depan mereka memancarkan kesunyian yang mencekam, hanya diselingi suara angin yang berdesir melewati pepohonan. Dante berdiri di tepi jurang kecil, menatap pemandangan di depannya dengan mata tajam. Jauh di kejauhan, bangunan besar yang menjadi markas musuh tampak seperti bayangan kelabu di tengah kabut.Elena mendekat perlahan, membawa sebotol air untuk Dante. Ia tahu Dante sudah terlalu lama memandang ke arah itu tanpa beristirahat. “Kau harus menjaga energimu, Dante,” katanya lembut sambil menyerahkan botol itu.Dante menerimanya, tetapi ia tidak langsung meminumnya. “Markas itu… tampak lebih terjaga dari yang kuduga,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Elena memandang bangunan itu dengan mata yang tidak kalah serius. “Kita tahu ini tidak akan mudah. Tapi kita sudah sejauh ini. Tidak ada jalan kembali.”Dari kejauhan, Ayra duduk di atas sebata

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 94

    Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, menggigilkan tubuh Ayra yang masih lemah akibat perjalanan semalam. Ia berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu lemah di depan Dante dan Elena. Kedua orang itu kini tampak lebih tegas dalam gerakan mereka, seolah mereka sudah menetapkan tujuan yang jelas. Dante memimpin langkah, mengamati setiap sudut dengan saksama. Pepohonan lebat yang melingkupi mereka memberikan perlindungan sementara, tetapi tidak menghilangkan bahaya yang terus membayangi. “Berapa lama lagi kita akan sampai di tempat persembunyian itu?” Ayra bertanya dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kecemasan di balik kata-katanya. Dante menoleh sekilas, matanya tajam namun tetap teduh. “Tidak jauh lagi. Jika kita tetap bergerak tanpa berhenti, kita bisa sampai sebelum matahari terbenam.” Ayra mengangguk, meski tubuhnya sudah mulai kehilangan tenaga. Ia tidak ingin menjadi b

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 93

    Matahari perlahan merangkak naik, menyemburatkan cahaya lembut ke langit kelabu. Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, tetapi Dante tidak bergeming dari posisinya di puncak batu besar yang menghadap lembah. Tangannya menggenggam gagang belati kecil yang selalu ia bawa, seolah benda itu adalah jangkar terakhir dari kewarasan di tengah badai pikirannya. Di belakangnya, Ayra duduk dengan tangan terlipat di dada, punggungnya bersandar pada pohon besar. Ia tak berbicara sepatah kata pun sejak pertengkaran malam sebelumnya. Sinar matahari menyoroti wajahnya yang terlihat lelah tetapi tetap anggun, dengan mata yang memandang kosong ke depan. Sementara itu, Elena berdiri tak jauh dari keduanya, mengamati Dante dengan tatapan penuh tanya. Ia tahu, sejak pertemuan mereka pertama kali, ada luka yang selalu Dante sembunyikan di balik sikap tegasnya. Namun, luka itu kini tampak lebih jelas dari sebelumnya, seperti retakan kecil di kaca yang perlahan melebar.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status