Dante memandang Adrian dengan tatapan tajam, matanya penuh dengan kebencian dan rasa ingin tahu yang bercampur menjadi satu. Ruangan yang tadinya penuh dengan suara mesin dan layar hologram terasa hening seperti kuburan. Elena tetap berdiri di samping Dante, telapak tangannya yang dingin menggenggam erat lengan sahabatnya. “Kau bilang aku adalah kunci,” kata Dante perlahan, suaranya terdengar berat. “Jelaskan. Apa maksudmu? Jangan buang waktuku dengan teka-teki.” Adrian melipat tangannya, langkahnya santai tetapi penuh perhitungan. “Kau menginginkan kebenaran? Baik. Tapi izinkan aku bertanya satu hal terlebih dahulu.” “Tidak ada waktu untuk bermain-main,” bentak Dante, suaranya naik satu oktaf. Adrian tetap tenang, seolah tidak terganggu oleh ledakan emosi itu. “Dante, apa kau pernah bertanya-tanya mengapa kau memiliki kemampuan luar biasa ini? Mengapa chipset itu—yang dirancang untuk para prajurit elit—dapat berfungsi sempurna dalam tubuhmu, bahkan meningkatkan potensinya?”
Dante berdiri di depan perangkat besar yang berdenyut perlahan, jantungnya seakan berdegup lebih cepat dari biasanya. Setiap detik yang berlalu terasa berat, seperti sesuatu yang menunggu untuk meledak. Ada beban yang mengganjal di dadanya, dan setiap pilihan yang ia pikirkan seolah semakin membuatnya terperangkap dalam lingkaran setan yang tak berujung.“Dante…” suara Elena terdengar lirih, menggema di ruang hampa. Ia berdiri tidak jauh darinya, menggenggam tangannya dengan erat. Namun, meskipun Elena ada di sampingnya, rasa kesepian yang dalam tak bisa dihindari. Semua yang terjadi—semua kebohongan, ingatan yang hilang, kekuatan yang tak terbayangkan—membuatnya merasa lebih jauh dari orang-orang yang menyayanginya.“Jika aku memilih untuk mengakses ingatan ini,” Dante berbicara perlahan, seolah memikirkan setiap kata yang keluar dari mulutnya, “artinya aku memilih untuk mengetahui siapa aku sebenarnya. Tapi pada saat yang sama, aku juga akan membuka pintu yang tidak bisa ditutup kem
Dante menatap langit malam yang gelap, dihiasi oleh kilatan-kilatan bintang yang jauh di atas sana. Di luar, suara kendaraan dan kota yang tak pernah tidur terdengar samar-samar. Ia berdiri di balkon ruang bawah tanah yang kini menjadi markas sementara mereka, merasakan dingin angin yang menyapu wajahnya. Ada ketenangan di luar, tetapi hatinya masih dipenuhi gejolak yang tak bisa dijelaskan.Dante memikirkan pilihan yang telah ia buat. Meskipun ia menutup file holografis yang berisi data masa lalunya, ingatan itu tidak bisa sepenuhnya hilang. Gambaran dirinya yang terikat di meja operasi, penuh dengan rasa sakit, tetap menghantuinya. Tapi kali ini, ada perasaan yang lebih kuat: keinginan untuk bangkit dan mengendalikan takdirnya sendiri.Di dalam dirinya, chipset yang ditanamkan memberi dorongan untuk berpikir lebih cepat, menganalisis situasi dengan akurat. Namun, meski ia bisa mengakses informasi dengan mudah, kenyataannya jauh lebih rumit. Tidak ada algoritma atau perhitungan yang
Langkah Dante bergema di lorong bawah tanah yang gelap, diterangi cahaya redup dari lampu neon yang berkedip. Bersama Elena dan Lorenzo, ia mendekati sebuah pintu besar berbahan logam hitam, kokoh dan misterius. Aura dingin menyeruak dari pintu itu, memberikan kesan bahwa sesuatu yang besar menanti di baliknya. “Elena, bisakah kau buka pintu ini?” tanya Lorenzo dengan nada mendesak, tangannya siap berjaga-jaga. Elena mengangguk, menghubungkan perangkat kecil ke panel di samping pintu. Jarinya menari cepat di atas keyboard holografis. Wajahnya menunjukkan konsentrasi penuh, sorot matanya fokus menembus enkripsi rumit yang melindungi sistem pintu tersebut. “Berapa lama lagi, Elena?” Dante bertanya sambil memutar tubuh untuk mengamati lorong di belakang mereka. Suara mendesing dari kejauhan membuatnya waspada. “Sistem ini rumit. Aku butuh setidaknya sepuluh menit,” jawab Elena cepat. Dante menggenggam kuat pegangannya, matanya menyapu lorong yang semakin gelap. Ia tahu mereka
Ruangan itu memancarkan atmosfer misterius. Cahaya biru dari perangkat-perangkat canggih menyelimuti tempat tersebut, memberikan rasa aneh antara ketenangan dan ketegangan. Dante, Elena, dan Lorenzo berdiri di tengah, napas mereka masih tersengal setelah perjuangan panjang di luar.Dante melangkah mendekati alat besar yang berada di tengah ruangan. Alat itu tampak seperti kapsul vertikal dengan panel-panel berkilauan, penuh dengan simbol-simbol yang bergerak, seakan hidup.“Apa ini sebenarnya?” bisik Lorenzo, nada suaranya bercampur rasa ingin tahu dan kewaspadaan.Elena menatap alat itu dengan ekspresi fokus, tangannya perlahan menyentuh salah satu panel. “Ini bukan hanya perangkat biasa. Ini... semacam terminal pusat. Mungkin ini yang mengontrol seluruh operasi mereka.”Dante mengangguk pelan, tapi pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan. Mengapa alat ini begitu dijaga ketat? Apa hubungannya dengan chipset di dalam tubuhnya? Dan yang lebih penting, bagaimana ini terkait dengan semua pe
Suara dentuman di luar ruangan terus menggema, seolah menjadi latar untuk konflik yang terjadi di dalam diri Dante. Setiap langkah yang ia ambil, setiap gerakan yang ia lakukan melawan musuh, hanya menambah berat beban yang kini menghuni hatinya.Chipset dalam tubuhnya memberinya kemampuan luar biasa, tetapi juga menyisakan perasaan asing. Ia merasa seperti alat—alat yang sempurna, tetapi dikendalikan oleh sesuatu di luar dirinya.Lorenzo berdiri di sampingnya, matanya penuh kewaspadaan. “Dante, kau terlihat terguncang. Apa yang terjadi?”Dante menggelengkan kepala, mencoba memfokuskan diri pada lawan yang terus berdatangan. “Tidak ada. Aku baik-baik saja.”Namun, dalam hatinya, ia tahu itu tidak sepenuhnya benar.---Di tengah pertempuran, pikiran Dante terasa kacau. Suara ayahnya di video tadi terus terngiang, seakan menantangnya untuk menerima takdirnya sebagai “ciptaan sempurna”.“Apakah aku hanya alat?” pikir Dante.Musuh berikutnya mendekat, dan chipset-nya langsung memproses in
Ruangan terasa hening seketika setelah Dante melontarkan kalimat terakhirnya. Waktu seolah melambat saat pria tua itu menatapnya, senyum dingin yang sama terpampang di wajahnya. Di belakang Dante, suara ledakan kecil dan tembakan terdengar samar, menandakan pertempuran Lorenzo dan Elena masih berlanjut di luar.Namun di sini, di tengah ruangan yang kini terasa seperti arena, hanya ada Dante dan pria yang mengaku sebagai pencipta chipsetnya.Pria itu melangkah maju, gerakannya perlahan namun penuh otoritas. "Dante, kau terlalu berharga untuk dihabisi begitu saja. Tidakkah kau menyadari potensimu? Aku memberimu kekuatan yang bahkan tidak kau pahami sepenuhnya. Chipset itu—karyaku—adalah puncak dari evolusi manusia. Kau adalah lambang kesempurnaan."Dante mengepalkan tinjunya, matanya berkilat penuh amarah. "Kau menyebut ini kesempurnaan? Kau mengambil hakku, kebebasanku. Aku tidak pernah meminta ini!"Pria itu tertawa kecil, nada suaranya penuh ejekan. "Kebebasan? Kebebasan hanyalah kon
Ruangan sunyi, seolah menahan napas untuk keputusan yang akan Dante ambil. Perangkat kecil di tangannya terasa lebih berat daripada yang seharusnya, seolah membawa seluruh beban dunia. Di depan, pria tua itu tersenyum samar, yakin bahwa Dante tidak akan bisa membuat keputusan itu.“Apakah kau yakin, Dante?” tanya pria itu, nadanya tenang tapi menusuk. “Chipset itu bukan sekadar alat, itu adalah kekuatanmu. Tanpanya, kau kembali menjadi... tidak berarti.”Lorenzo mendekat, menepuk pundak Dante. “Jangan dengarkan dia. Kau lebih dari sekadar teknologi di tubuhmu. Kau selalu menjadi pemimpin sejati, Dante, bahkan sebelum chipset itu ada.”Elena menambahkan, suaranya lembut tapi penuh keyakinan. “Kami semua ada di sini karena kami percaya pada dirimu, bukan pada chipsetmu.”Dante mengangkat pandangannya, tatapannya penuh emosi. Kata-kata mereka menghangatkannya, tetapi rasa ragu tetap melingkupi hatinya. Kehilangan chipset berarti kehilangan keunggulannya—kehilangannya yang membuatnya mamp
Malam itu, langit dihiasi ribuan bintang yang berkelap-kelip, seakan menjadi saksi dari perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Dante berdiri di tepi tebing, menatap ke kejauhan. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di belakangnya, Elena dan Ayra berdiri dengan ekspresi berbeda—Ayra dengan tatapan lembut, sementara Elena menatap Dante dengan ragu. "Apa yang kita cari selama ini akhirnya ada di depan mata," ucap Ayra, suaranya nyaris seperti bisikan. Dia melirik Elena sebelum kembali menatap Dante. "Semua ini hanya tentang pilihan." Dante menarik napas panjang, dadanya terasa berat. Pilihan. Satu kata sederhana yang membawa beban tak terhingga. Semua kenangan, perjuangan, dan kehilangan selama perjalanan ini berputar di pikirannya. "Ini bukan hanya soal pilihan," jawab Dante akhirnya Dante berbalik, wajahnya diselimuti kerut keseriusan. Mata Elena dan Ayra saling bertemu, seperti ada yang mereka coba ungkapkan, namun belum sepenuhnya bis
Mentari pagi memancarkan sinar hangatnya, menyusup di antara tirai jendela rumah Dante dan Ayra. Udara terasa segar, membawa harapan baru. Di meja makan, Ayra sudah sibuk menata sarapan. Aroma kopi bercampur dengan harum roti panggang memenuhi ruangan.Dante muncul dari lorong, mengenakan kaus santai dan celana pendek. Ia menghampiri Ayra, melingkarkan tangannya di pinggangnya dengan lembut. "Pagi, cantik," bisiknya dengan suara berat yang masih terasa hangat dari tidur.Ayra tersenyum, mengaduk teh di cangkirnya. "Pagi juga. Tidurmu nyenyak?""Nyenyak. Tapi aku lebih suka begini, bangun pagi dan melihatmu." Dante mencium pipi Ayra sekilas sebelum duduk di kursi meja makan.Ayra menggeleng, tawa kecilnya melayang di udara. "Kau tahu cara membuat hari seseorang jadi lebih cerah, ya?"Dante hanya tersenyum lebar, lalu mulai menyantap sarapannya. "Apa rencanamu hari ini?"Ayra duduk di depannya, menyesap teh hangat. "Aku ingin
Langit malam menghamparkan taburan bintang yang membisikkan ketenangan. Dante berdiri di beranda rumahnya, memandang jauh ke cakrawala. Pikirannya melayang pada pertemuan terakhir antara Ayra dan Elena. Sebuah akhir yang damai, tetapi baginya, itu juga menjadi awal baru."Masih belum bisa tidur?" Ayra muncul dari balik pintu, membawakan secangkir teh hangat. Ia mengenakan sweater rajut yang longgar, rambutnya dibiarkan tergerai.Dante tersenyum kecil, menerima cangkir itu. "Aku hanya berpikir... tentang semua yang telah terjadi."Ayra berdiri di sampingnya, ikut memandang langit malam. "Kadang sulit dipercaya, bukan? Bahwa kita masih di sini, bersama, setelah semua yang kita lalui."Dante menatap Ayra, matanya mengandung kehangatan. "Aku selalu percaya kita bisa melewati semuanya, Ayra. Karena aku tahu... kau adalah rumahku."Ayra tertegun mendengar kata-kata itu. Ia menatap Dante, merasa hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan yang hang
Angin pagi meniupkan kesejukan yang lembut saat Dante memarkir mobilnya di depan rumah Ayra. Langit masih pucat, pertanda matahari baru saja bangkit dari tidurnya. Dante keluar, membuka pintu untuk Ayra, yang tampak sedikit lelah tetapi tetap bersemangat. "Aku masih merasa seperti mimpi," Ayra berkata sambil melangkah keluar. Matanya menatap Dante dengan sorot bingung dan kagum. "Mimpi seperti apa?" Dante bertanya, menutup pintu mobil di belakangnya. "Bahwa aku bisa merasa begini... merasa cukup hanya dengan satu orang." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti gumaman, tetapi Dante mendengarnya jelas. Dante mendekat, menyentuh lengan Ayra dengan lembut. "Aku ingin kau tahu, aku juga merasa begitu. Dan aku akan memastikan kau selalu merasa cukup denganku." Ayra tersenyum kecil. "Aku percaya padamu." Langkah mereka menuju teras terasa seperti simbol dari awal yang baru. Tidak ada lagi beba
Angin malam menyentuh wajah Dante saat ia berdiri di balkon kecil apartemennya. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat, tetapi pikirannya jauh dari kehangatan yang seharusnya dirasakannya. Cahaya lampu kota berkelap-kelip di bawah sana, membentuk pemandangan yang sepi meskipun penuh warna.Di belakangnya, suara langkah pelan mengisi keheningan. Ayra berdiri di ambang pintu balkon, mengenakan sweater oversize yang menggantung hingga lututnya. Matanya memancarkan keraguan, seakan langkah kecil itu memerlukan keberanian besar."Dante," suaranya hampir tenggelam dalam angin, tetapi Dante mendengarnya. Ia berbalik, pandangannya bertemu dengan mata cokelat Ayra yang dipenuhi pergolakan."Ada apa?" tanyanya lembut, menurunkan cangkir kopi ke meja kecil di sebelahnya.Ayra terdiam sesaat, menatap ke lantai sebelum mengangkat pandangannya kembali. "Aku... aku ingin kita bicara. Tentang semuanya."Dante menatapnya dengan penuh perhatian.
Langit mendung menggantung, menyelimuti kota dengan suasana muram. Hujan yang turun sejak dini hari menciptakan genangan di sepanjang jalan, seperti memantulkan perasaan Dante yang masih diliputi kebimbangan.Dante duduk di ruang kerjanya, matanya menatap kosong layar komputer yang menyala di depannya. Deretan angka dan data yang biasa memberinya rasa aman kini hanya terlihat seperti simbol-simbol tak berarti. Suara hujan yang menghantam kaca jendela menjadi satu-satunya hal yang mengisi kesunyian ruangan.“Dante,” suara Ayra memecah lamunannya.Dia berdiri di ambang pintu, mengenakan sweater abu-abu yang kebesaran, rambutnya tergerai alami. Ada kekhawatiran dalam matanya yang cokelat pekat, seolah dia bisa melihat pergulatan yang bergejolak di dalam hati Dante.“Aku sudah memanggilmu tiga kali,” katanya, melangkah masuk.“Maaf.” Dante mengalihkan pandangan, menggosok pelipisnya dengan frustrasi. “Aku hanya—ada banyak hal di pikirank
Langit mendung menggantung rendah, seolah meramalkan badai besar yang akan datang. Lembah di depan mereka memancarkan kesunyian yang mencekam, hanya diselingi suara angin yang berdesir melewati pepohonan. Dante berdiri di tepi jurang kecil, menatap pemandangan di depannya dengan mata tajam. Jauh di kejauhan, bangunan besar yang menjadi markas musuh tampak seperti bayangan kelabu di tengah kabut.Elena mendekat perlahan, membawa sebotol air untuk Dante. Ia tahu Dante sudah terlalu lama memandang ke arah itu tanpa beristirahat. “Kau harus menjaga energimu, Dante,” katanya lembut sambil menyerahkan botol itu.Dante menerimanya, tetapi ia tidak langsung meminumnya. “Markas itu… tampak lebih terjaga dari yang kuduga,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Elena memandang bangunan itu dengan mata yang tidak kalah serius. “Kita tahu ini tidak akan mudah. Tapi kita sudah sejauh ini. Tidak ada jalan kembali.”Dari kejauhan, Ayra duduk di atas sebata
Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, menggigilkan tubuh Ayra yang masih lemah akibat perjalanan semalam. Ia berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu lemah di depan Dante dan Elena. Kedua orang itu kini tampak lebih tegas dalam gerakan mereka, seolah mereka sudah menetapkan tujuan yang jelas. Dante memimpin langkah, mengamati setiap sudut dengan saksama. Pepohonan lebat yang melingkupi mereka memberikan perlindungan sementara, tetapi tidak menghilangkan bahaya yang terus membayangi. “Berapa lama lagi kita akan sampai di tempat persembunyian itu?” Ayra bertanya dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kecemasan di balik kata-katanya. Dante menoleh sekilas, matanya tajam namun tetap teduh. “Tidak jauh lagi. Jika kita tetap bergerak tanpa berhenti, kita bisa sampai sebelum matahari terbenam.” Ayra mengangguk, meski tubuhnya sudah mulai kehilangan tenaga. Ia tidak ingin menjadi b
Matahari perlahan merangkak naik, menyemburatkan cahaya lembut ke langit kelabu. Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, tetapi Dante tidak bergeming dari posisinya di puncak batu besar yang menghadap lembah. Tangannya menggenggam gagang belati kecil yang selalu ia bawa, seolah benda itu adalah jangkar terakhir dari kewarasan di tengah badai pikirannya. Di belakangnya, Ayra duduk dengan tangan terlipat di dada, punggungnya bersandar pada pohon besar. Ia tak berbicara sepatah kata pun sejak pertengkaran malam sebelumnya. Sinar matahari menyoroti wajahnya yang terlihat lelah tetapi tetap anggun, dengan mata yang memandang kosong ke depan. Sementara itu, Elena berdiri tak jauh dari keduanya, mengamati Dante dengan tatapan penuh tanya. Ia tahu, sejak pertemuan mereka pertama kali, ada luka yang selalu Dante sembunyikan di balik sikap tegasnya. Namun, luka itu kini tampak lebih jelas dari sebelumnya, seperti retakan kecil di kaca yang perlahan melebar.