Home / Urban / TAKHTA BAYANGAN / Bab 23: Keputusan yang Mengubah Segalnya

Share

Bab 23: Keputusan yang Mengubah Segalnya

Author: Zayba Almira
last update Last Updated: 2024-12-05 12:43:09

Ruangan sunyi, seolah menahan napas untuk keputusan yang akan Dante ambil. Perangkat kecil di tangannya terasa lebih berat daripada yang seharusnya, seolah membawa seluruh beban dunia. Di depan, pria tua itu tersenyum samar, yakin bahwa Dante tidak akan bisa membuat keputusan itu.

“Apakah kau yakin, Dante?” tanya pria itu, nadanya tenang tapi menusuk. “Chipset itu bukan sekadar alat, itu adalah kekuatanmu. Tanpanya, kau kembali menjadi... tidak berarti.”

Lorenzo mendekat, menepuk pundak Dante. “Jangan dengarkan dia. Kau lebih dari sekadar teknologi di tubuhmu. Kau selalu menjadi pemimpin sejati, Dante, bahkan sebelum chipset itu ada.”

Elena menambahkan, suaranya lembut tapi penuh keyakinan. “Kami semua ada di sini karena kami percaya pada dirimu, bukan pada chipsetmu.”

Dante mengangkat pandangannya, tatapannya penuh emosi. Kata-kata mereka menghangatkannya, tetapi rasa ragu tetap melingkupi hatinya. Kehilangan chipset berarti kehilangan keunggulannya—kehilangannya yang membuatnya mamp
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 24: Bayang-Bayang Baru

    Malam itu, langit di atas kota terasa begitu kelam. Angin dingin membawa suara samar dari hiruk-pikuk di kejauhan. Setelah pertempuran besar di fasilitas, Dante, Elena, dan Lorenzo kembali ke tempat persembunyian sementara mereka.Namun, ketenangan yang mereka harapkan ternyata tak bertahan lama. Konflik baru muncul di depan mata—lebih besar, lebih berbahaya, dan menyimpan ancaman yang tak mereka duga.Di sebuah ruangan kecil, Dante duduk di sudut, membungkus luka di lengannya dengan perban seadanya. Tanpa chipset, tubuhnya terasa lebih rapuh. Setiap luka kini lebih terasa, dan setiap gerakan menjadi lebih lamban.Elena mendekatinya dengan tatapan khawatir. “Kau harus lebih berhati-hati. Tanpa chipset, kau tidak bisa sembarangan bertarung seperti tadi.”Dante menghela napas panjang. “Aku tahu, tapi aku tidak bisa hanya diam. Mereka akan terus datang, Elena. Kita harus siap.”Lorenzo, yang sedang memeriksa peralatan di meja sebelah, menyela. “Kau tahu siapa ‘mereka’, kan? Kita bukan ha

    Last Updated : 2024-12-05
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 25: Jejak Terakhir

    Malam itu, Dante duduk di sudut markas kecil mereka yang tersisa. Cahaya redup dari lampu gantung menerangi wajahnya yang dipenuhi keraguan. Elena duduk di depannya, tangannya gemetar saat dia meletakkan secangkir teh di meja. “Dante, kau tak bisa terus seperti ini,” katanya dengan nada yang lebih lembut daripada biasanya. “Semua orang menunggumu memutuskan langkah berikutnya.” “Aku tahu,” jawab Dante tanpa menatap Elena. Tatapannya terpaku pada chipset yang kini bisa dia aktifkan tanpa berpikir. Setiap kali dia menggunakan kekuatannya, dia merasakan sesuatu yang aneh, seolah teknologi itu menuntut lebih dari dirinya—lebih dari sekadar fisik, tetapi juga kemanusiaannya. Lorenzo memasuki ruangan, wajahnya kusut setelah berjam-jam menganalisis data yang berhasil mereka selamatkan. “Kabar buruk,” katanya sambil melemparkan tablet ke meja. Dante menatap layar. Peta holografis muncul, menampilkan lokasi terakhir chipset kuno yang hilang. Namun, bukan hanya itu. Data juga menunjukkan b

    Last Updated : 2024-12-06
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 26: Antara Kuasa dan Nurani

    Suasana di ruang aman markas mereka begitu tegang. Chipset terakhir kini berada di tangan Dante, mengeluarkan cahaya samar yang seakan memancarkan kekuatan luar biasa. Dante duduk diam di sudut ruangan, menatap teknologi yang baru saja ia rebut dengan campuran rasa takut dan tanggung jawab yang berat. Elena memandangnya dari seberang ruangan, air matanya menggantung di sudut mata. “Dante, kau tidak perlu memikul ini sendirian.” Dante menggeleng pelan. “Ini bukan soal memilih, Elena. Aku sudah masuk terlalu dalam. Dunia ini tidak akan berhenti memburuku sampai aku membuat keputusan.” Lorenzo berjalan masuk dengan membawa hasil analisis terbaru. “Kita punya masalah besar. Pemerintah bayangan sudah mengetahui lokasi kita. Mereka bergerak dengan cepat. Kita punya kurang dari tiga jam.” Dante menggenggam chipset di tangannya, menatap Lorenzo dengan penuh tekad. “Kita harus membuat mereka tidak bisa menggunakan ini. Jika chipset terakhir jatuh ke tangan mereka, dunia akan berakhir dala

    Last Updated : 2024-12-07
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 27: Pengorbanan di Ambang Kehancuran

    Ruangan markas Corvus Regia dipenuhi dengan cahaya biru yang menyilaukan. Energi dari chipset dalam tubuh Dante meluas, menciptakan gelombang kejut yang menghentikan semua orang, baik kawan maupun lawan. Aurelia mundur beberapa langkah, melindungi wajahnya dari kilauan yang menyakitkan. Di tengah ledakan energi itu, Dante berdiri kokoh, matanya bersinar dengan kekuatan yang hampir tidak bisa dia kendalikan. Suaranya berat, seolah menggema dari dalam dirinya sendiri. "Aku tidak akan membiarkan dunia ini dikendalikan oleh kalian. Jika aku harus menjadi ancaman untuk menghentikan ini, maka biarlah begitu." Energi yang dilepaskan oleh Dante mengganggu semua sistem elektronik di markas. Lampu padam, alat komunikasi mati, dan sistem keamanan runtuh. Pasukan Corvus Regia yang sebelumnya begitu percaya diri kini mundur dalam kebingungan. "Dante! Kau harus menghentikannya!" teriak Lorenzo dari kejauhan melalui alat komunikasi darurat. Namun, Dante tidak merespons. Fokusnya tertuju pada A

    Last Updated : 2024-12-08
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 28: Bayang Kegelapan

    Dua minggu setelah pertempuran besar di markas Corvus Regia, ketenangan sementara yang dirasakan Dante, Elena, dan Lorenzo mulai terguncang. Dalam keheningan malam, sebuah pesan anonim masuk ke server rahasia mereka. Pesan itu mengandung koordinat lokasi dan sebuah kalimat yang membakar rasa penasaran: "Sumber chipset yang sebenarnya. Jika kau mencari kebenaran, datanglah sendirian." Dante duduk di ruang kerjanya, memandangi layar monitor dengan ekspresi muram. Cahaya biru samar dari chipsetnya kembali menyala, meski ia telah berusaha mematikannya sejak insiden terakhir. Suara-suara dari dalam chipset mulai terdengar lagi—tidak jelas, seperti bisikan, tapi cukup untuk mengganggu pikirannya. "Apa yang mereka inginkan dariku?" gumamnya, menggenggam kepala. Elena masuk, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Dante, kau baik-baik saja?" Dia menggeleng pelan. "Chipset ini... semakin sulit untuk kukendalikan. Kadang aku merasa bukan lagi diriku sendiri." Elena mendekatinya, memegang tan

    Last Updated : 2024-12-09
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 29: Perjalanan Menuju Kegelapan

    Tim Dante memulai perjalanan menuju koordinat baru yang diberikan oleh Reinhardt. Lokasi itu berada di pegunungan terpencil yang terisolasi dari dunia luar, sebuah tempat yang tersembunyi dari peradaban modern. Perjalanan ini bukan hanya tentang jarak; ini adalah langkah ke dalam misteri yang mungkin menghancurkan segalanya. Di helikopter yang membawa mereka menuju pegunungan, suasana tegang terasa seperti udara yang berat. Elena duduk di sebelah Dante, memperhatikan wajahnya yang tampak lebih murung dari biasanya. "Kau terlihat tidak seperti biasanya," kata Elena pelan, memecah keheningan. Dante menghela napas, menatap keluar jendela helikopter ke arah awan gelap yang menggantung di langit. "Aku merasa seperti boneka dalam permainan yang jauh lebih besar dari yang bisa kupahami. Chipset ini... setiap kali aku menggunakannya, aku kehilangan sedikit dari diriku sendiri." "Kau bukan boneka, Dante," balas Elena dengan suara tegas. "Kau adalah seseorang yang telah mengambil kepu

    Last Updated : 2024-12-10
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 30: Kebangkitan Sang Penjaga

    Suara mendesing dari kapsul yang terbuka menggema di ruangan besar itu. Cahaya biru menyilaukan menyembur keluar, membuat Dante dan timnya refleks mempersiapkan senjata mereka. Sosok di dalam kapsul perlahan bergerak, kulitnya berkilauan seperti logam halus, dan matanya menyala seperti bara api. “Siapa itu?” tanya Elena dengan nada tegang. Sosok itu melangkah keluar, tubuhnya tinggi dan kokoh, lebih mirip mesin daripada manusia. Chipset di tubuh Dante berdenyut semakin kuat, seolah memberi sinyal bahaya. “Dante,” gumam Lorenzo. “Aku rasa kita baru saja membangunkan sesuatu yang seharusnya tidak tersentuh.” Sosok itu berbicara, suaranya berat dan dalam, seperti gema dari masa lalu. “Siapa yang berani menginjakkan kaki di fasilitas ini? Tempat ini adalah perbatasan antara kekuatan dan kehancuran. Aku adalah Penjaga.” “Kami datang untuk menghentikan apa yang terjadi di sini,” jawab Dante, mencoba menenangkan suasana. “Chipset yang ditanamkan ke tubuhku berasal dari teknologi

    Last Updated : 2024-12-11
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 31: Jejak Penghianatan

    Lorong-lorong fasilitas terasa makin sempit, seakan dinding-dindingnya menutup rapat, menghimpit setiap langkah mereka. Napas Dante memburu. Bukan karena kelelahan, tetapi karena tatapan Clara yang menusuk seperti belati. Tangannya yang menggenggam senjata bergetar, penuh keraguan. "Cepat putuskan, Clara," suara Lorenzo pecah, penuh ketegangan. Matanya tajam, mengawasi setiap gerakan kecil wanita itu. “Apakah kau akan menghianati kami? Atau akhirnya memilih berdiri di pihak yang benar?” Clara tidak menjawab. Tatapannya terarah pada Dante, wajahnya penuh pergolakan. --- "Clara," suara Dante tenang, namun berat oleh emosi. “Aku tahu kau tidak ingin ini terjadi. Aku tahu kau terpaksa memilih jalan ini. Tapi kita semua di sini—aku, Elena, Lorenzo—kita adalah keluargamu juga.” Kata-katanya menggantung di udara, menabrak tembok dingin keheningan. Clara menarik napas panjang, seakan mencoba menyingkirkan kebingungan di dadanya. “Aku tidak punya pilihan,” gumamnya, hampir tidak terdeng

    Last Updated : 2024-12-12

Latest chapter

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 123

    Malam yang dingin terasa menusuk tulang. Langkah Dante yang berat menyusuri jalan setapak di tengah hutan hanya ditemani oleh suara angin yang menggerakkan dedaunan. Setelah percakapan yang penuh emosi antara dirinya, Ayra, dan Elena, hatinya terasa seperti medan perang. Keputusannya untuk tetap berdiri di tengah-tengah mereka telah menyisakan perih yang tak bisa ia hilangkan begitu saja.Dante berhenti di sebuah pohon tua yang menjulang tinggi. Ia bersandar di batangnya yang kasar, menatap langit malam yang dihiasi ribuan bintang. Sebuah napas berat meluncur dari bibirnya, seolah-olah ia mencoba melepaskan beban yang menghimpit dadanya.“Dante…” suara itu, lembut namun tegas, terdengar dari belakangnya.Dante menoleh. Elena berdiri di sana, membawa lentera kecil yang sinarnya berkilau redup. Wajahnya terlihat tenang, namun sorot matanya memancarkan kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.“Kau seharusnya istirahat, Elena,” kata Dante, mencoba

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 122

    Senja mulai mengintip di ujung cakrawala, mewarnai langit dengan semburat oranye yang lembut. Di tengah reruntuhan kota tua, Dante berdiri dengan tubuh tegap, matanya memandang ke arah Elena dan Ayra yang berada tak jauh darinya. Ada ketegangan yang begitu nyata di udara, namun sekaligus kehangatan yang tak bisa disangkal.Ayra memalingkan wajah, membiarkan angin memainkan rambut hitam legamnya. “Kita sudah sampai sejauh ini, tapi aku masih merasa ada yang kurang,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada orang lain.Dante menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang hangat. “Apa yang kurang, Ayra?” tanyanya pelan, suaranya terdengar seperti bisikan yang meresap ke dalam kesunyian.“Elena tahu,” jawab Ayra, suaranya serak. Ia menoleh ke arah Elena yang berdiri beberapa langkah di sebelahnya, wajahnya diliputi keraguan. “Kau tahu, kan? Apa yang sebenarnya masih kita cari?”Elena terdiam, wajahnya yang biasanya dingin tampak goyah. Ia meng

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 121

    Cahaya pagi yang hangat menyusup melalui celah tirai jendela apartemen kecil yang kini mereka sebut rumah. Ayra membuka matanya perlahan, membiarkan sinar lembut itu menyentuh wajahnya. Suara burung berkicau di luar menjadi pengantar yang damai—sesuatu yang belum pernah ia rasakan dalam waktu yang lama.Ia menoleh, mendapati Dante masih terlelap di sebelahnya, napasnya tenang dan ritmis. Wajahnya terlihat begitu damai, jauh dari ekspresi serius dan tegang yang sering ia kenakan selama misi-misi mereka. Ada sesuatu yang menyentuh di sana, menyadari bahwa setelah semua yang mereka lewati, mereka akhirnya bisa menikmati momen sederhana seperti ini.Ayra perlahan bangkit dari tempat tidur, berusaha tidak membangunkan Dante. Ia melangkah ke dapur kecil mereka, menyalakan mesin kopi yang berderit pelan. Aroma kopi mulai memenuhi ruangan, membangkitkan rasa nyaman yang membuatnya tersenyum.Saat ia menuang kopi ke dalam cangkir, suara langkah berat terdengar

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 120

    Langit malam dipenuhi bintang-bintang yang berkilauan, namun Dante hanya bisa menatap kosong ke arah api unggun kecil yang mereka buat. Wajahnya diterangi cahaya oranye yang hangat, tetapi pikirannya jauh melayang, menelusuri semua yang telah terjadi. Di sekelilingnya, timnya mulai melepas ketegangan setelah misi yang sukses. Phoenix sedang tertawa kecil bersama Leandro, membahas bagaimana dia berhasil mengunggah data itu meskipun dalam situasi berbahaya. Elena duduk tidak jauh dari mereka, memeriksa senjatanya dengan ekspresi serius, tetapi sesekali tersenyum kecil mendengar lelucon Leandro. Ayra duduk sedikit terpisah dari mereka, memeluk lututnya sambil menatap ke arah langit. Ada sesuatu yang melintas di wajahnya—perasaan lega bercampur kelelahan, tetapi juga ketidakpastian yang mengganggu. Dante menggeser duduknya, mendekati Ayra. "Kau baik-baik saja?" tanyanya pelan. Ayra menoleh, tersenyum tipis. "Hanya me

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 119

    Suara derik lantai kayu menyambut langkah perlahan Dante saat ia berjalan melewati ruangan kecil tempat mereka berlindung. Udara malam di dalam rumah itu terasa lebih dingin dibandingkan luar. Dante memandang timnya yang sedang duduk melingkar di ruang tengah, wajah mereka dipenuhi kelelahan, tetapi mata mereka menyiratkan tekad yang tak goyah.Ayra sibuk mengamati peta kota yang tersebar di atas meja kecil. Sesekali, dia menuliskan sesuatu di buku catatannya, wajahnya dipenuhi konsentrasi. Phoenix sedang memeriksa perangkat enkripsi, memastikan semua data mereka tetap aman. Sementara Elena dan Leandro berbincang pelan di sudut ruangan, berdiskusi tentang potensi ancaman yang mungkin muncul saat mereka bergerak.“Sudah hampir selesai?” tanya Dante sambil berdiri di belakang Ayra.Ayra menoleh, senyumnya tipis. “Hampir. Aku sedang memastikan rute ini tidak terlalu mencolok. Kita tidak punya banyak opsi, tapi kalau kita bisa menghindari pos pemeriksaan,

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 118

    Suara angin pagi menyelinap melalui celah-celah gudang tua yang menjadi tempat persembunyian Dante dan timnya. Kabut yang melayang di luar menambah kesan misterius pada suasana di dalam, seakan mengingatkan mereka bahwa waktu terus berjalan dan ancaman semakin mendekat. Dante berdiri di tengah ruangan, tangannya terlipat di dada, matanya menatap peta digital di meja kayu yang sudah penuh coretan rencana. Sementara itu, Ayra dan Phoenix masih tenggelam dalam analisis data, mencoba mengurai simpul misteri yang menjadi inti dari misi mereka. “Phoenix, apakah semua data sudah terkumpul?” tanya Dante, suaranya terdengar tegas namun terkendali. Phoenix mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. “Ya. Aku sudah menyusun semua dokumen digital ini. Tinggal satu langkah lagi untuk mengirimnya ke media, tapi kita harus memutuskan jalur yang paling aman. Musuh pasti sudah mengawasi jaringan kita.” “Elena,” Dante me

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 117

    Dini hari menyelimuti kota dengan kabut tipis yang seolah menyembunyikan rahasia-rahasia kelam di balik setiap sudutnya. Sebuah van abu-abu meluncur pelan di jalan yang sepi, membawa Dante dan timnya menjauh dari apartemen yang kini bukan lagi tempat yang aman. Di dalam van, suasana penuh ketegangan. Mata mereka terus berjaga, dan percakapan berlangsung dengan bisikan-bisikan tegang. “Bagaimana situasi di depan?” tanya Dante yang duduk di kursi penumpang depan, memegang peta digital di tangannya. Leandro, yang mengemudikan van, melirik ke kaca spion. “Sejauh ini aman. Tapi kita tidak bisa terlalu lama di jalan ini. Kamera pengawas bisa saja melacak plat mobil kita.” Ayra, yang duduk di kursi tengah, mengetik cepat di laptopnya. Wajahnya diterangi cahaya redup layar. “Aku sedang mencoba menonaktifkan sistem pengawasan di area ini. Tapi ini tidak akan bertahan lama. Kita harus segera menemukan tempat aman untuk menyusun langkah selanj

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 116

    Malam menjelang dengan keheningan yang terasa berat, seakan alam pun ikut bersiap menghadapi badai yang akan datang. Di apartemen kecil yang kini menjadi markas mereka, tim Dante bekerja tanpa henti. Peta, dokumen, dan laptop berserakan di meja. Mereka sudah terlalu jauh untuk mundur.Ayra duduk di sudut ruangan, matanya memandang layar laptop yang menampilkan kode-kode enkripsi. Wajahnya terlihat serius, tapi jari-jarinya bergerak dengan cekatan di atas keyboard. Phoenix telah mengirimkan data penting yang harus mereka deskripsikan, data yang menjadi kunci untuk mengungkap skandal besar yang telah mereka kejar selama ini.“Dante,” panggil Ayra, suaranya rendah namun penuh urgensi. “Aku berhasil mengakses salah satu file mereka. Ini... ini jauh lebih besar dari yang kita kira.”Dante yang sedang memeriksa peta di meja langsung mendekat, menyandarkan tangannya di kursi Ayra dan membaca layar di depannya. Matanya menyipit, ekspresinya berubah dari terke

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 115

    Dingin pagi menyelimuti pusat kota yang mulai lengang setelah peristiwa semalam. Kabut tipis menyelimuti jalan-jalan, menyembunyikan sisa jejak kerumunan yang penuh semangat, kini berubah menjadi kota yang terasa asing dan kosong. Dante berdiri di tepi balkon apartemen yang mereka gunakan sebagai tempat berlindung sementara, matanya memandang jauh ke cakrawala.Angin dingin menyapu wajahnya, tetapi tidak mampu meredam kobaran tekad yang terus menyala di dalam dirinya. Di baliknya, Ayra keluar perlahan, mengenakan sweater tebal. Langkahnya nyaris tak terdengar saat ia mendekat, membawa secangkir teh hangat."Kau belum tidur sejak semalam," ujar Ayra, menyerahkan cangkir itu kepada Dante. Suaranya lembut, tetapi ada nada khawatir yang tidak bisa disembunyikan.Dante menerima cangkir itu tanpa menoleh. "Aku tidak bisa tidur. Banyak hal yang harus kupikirkan."Ayra menyandarkan dirinya di pagar balkon, menatap Dante dengan mata yang penuh perhati

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status