Beranda / Urban / TAKHTA BAYANGAN / Bab 29: Perjalanan Menuju Kegelapan

Share

Bab 29: Perjalanan Menuju Kegelapan

Penulis: Zayba Almira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-10 18:46:56

Tim Dante memulai perjalanan menuju koordinat baru yang diberikan oleh Reinhardt. Lokasi itu berada di pegunungan terpencil yang terisolasi dari dunia luar, sebuah tempat yang tersembunyi dari peradaban modern. Perjalanan ini bukan hanya tentang jarak; ini adalah langkah ke dalam misteri yang mungkin menghancurkan segalanya.

Di helikopter yang membawa mereka menuju pegunungan, suasana tegang terasa seperti udara yang berat. Elena duduk di sebelah Dante, memperhatikan wajahnya yang tampak lebih murung dari biasanya.

"Kau terlihat tidak seperti biasanya," kata Elena pelan, memecah keheningan.

Dante menghela napas, menatap keluar jendela helikopter ke arah awan gelap yang menggantung di langit. "Aku merasa seperti boneka dalam permainan yang jauh lebih besar dari yang bisa kupahami. Chipset ini... setiap kali aku menggunakannya, aku kehilangan sedikit dari diriku sendiri."

"Kau bukan boneka, Dante," balas Elena dengan suara tegas. "Kau adalah seseorang yang telah mengambil kepu
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 30: Kebangkitan Sang Penjaga

    Suara mendesing dari kapsul yang terbuka menggema di ruangan besar itu. Cahaya biru menyilaukan menyembur keluar, membuat Dante dan timnya refleks mempersiapkan senjata mereka. Sosok di dalam kapsul perlahan bergerak, kulitnya berkilauan seperti logam halus, dan matanya menyala seperti bara api. “Siapa itu?” tanya Elena dengan nada tegang. Sosok itu melangkah keluar, tubuhnya tinggi dan kokoh, lebih mirip mesin daripada manusia. Chipset di tubuh Dante berdenyut semakin kuat, seolah memberi sinyal bahaya. “Dante,” gumam Lorenzo. “Aku rasa kita baru saja membangunkan sesuatu yang seharusnya tidak tersentuh.” Sosok itu berbicara, suaranya berat dan dalam, seperti gema dari masa lalu. “Siapa yang berani menginjakkan kaki di fasilitas ini? Tempat ini adalah perbatasan antara kekuatan dan kehancuran. Aku adalah Penjaga.” “Kami datang untuk menghentikan apa yang terjadi di sini,” jawab Dante, mencoba menenangkan suasana. “Chipset yang ditanamkan ke tubuhku berasal dari teknologi

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 31: Jejak Penghianatan

    Lorong-lorong fasilitas terasa makin sempit, seakan dinding-dindingnya menutup rapat, menghimpit setiap langkah mereka. Napas Dante memburu. Bukan karena kelelahan, tetapi karena tatapan Clara yang menusuk seperti belati. Tangannya yang menggenggam senjata bergetar, penuh keraguan. "Cepat putuskan, Clara," suara Lorenzo pecah, penuh ketegangan. Matanya tajam, mengawasi setiap gerakan kecil wanita itu. “Apakah kau akan menghianati kami? Atau akhirnya memilih berdiri di pihak yang benar?” Clara tidak menjawab. Tatapannya terarah pada Dante, wajahnya penuh pergolakan. --- "Clara," suara Dante tenang, namun berat oleh emosi. “Aku tahu kau tidak ingin ini terjadi. Aku tahu kau terpaksa memilih jalan ini. Tapi kita semua di sini—aku, Elena, Lorenzo—kita adalah keluargamu juga.” Kata-katanya menggantung di udara, menabrak tembok dingin keheningan. Clara menarik napas panjang, seakan mencoba menyingkirkan kebingungan di dadanya. “Aku tidak punya pilihan,” gumamnya, hampir tidak terdeng

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 32: Kebangkitan dari Bayang-Bayang

    Langit malam dipenuhi bintang yang tampak memudar seiring udara dingin menyelimuti pegunungan terpencil itu. Dante bersandar pada batu besar, tubuhnya terasa kosong tanpa kehadiran chipset yang selama ini memberinya keunggulan dalam segala hal. Meski fisiknya lelah, matanya masih menyala dengan tekad. Elena duduk di dekatnya, membalut luka di lengannya. "Kau tidak harus melakukannya sendiri, Dante," katanya, nada suaranya tegas namun penuh kelembutan. "Aku tahu," jawab Dante, suaranya hampir seperti bisikan. "Tapi aku tidak akan meminta orang lain mengorbankan sesuatu yang begitu penting. Ini adalah tanggung jawabku." Clara, yang selama ini tampak enggan mendekat, akhirnya mengambil langkah maju. Ia berlutut di samping Dante, wajahnya penuh rasa bersalah dan kekhawatiran. "Aku tidak mengerti bagaimana kau bisa begitu yakin... mengorbankan segalanya demi orang lain." Dante menatapnya dengan pandangan tenang. "Kadang, kita harus kehilangan sesuatu untuk menyelamatkan hal yang lebih

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 33: Jejak Pengkhianatan lanjutan

    Matahari mulai naik, menyinari sisa pertempuran malam sebelumnya. Dante berdiri di atas tebing kecil, memandangi lembah di bawahnya. Udara pagi yang dingin seolah berusaha menenangkan pikirannya yang terus bergolak. Namun, bayangan pengkhianatan Lorenzo masih menghantui. Clara berdiri di belakangnya, ragu-ragu sebelum akhirnya memecah keheningan. "Kau terlihat seperti menanggung beban dunia, Dante." Dante menoleh, senyum samar di wajahnya. "Mungkin memang begitu rasanya. Aku kehilangan terlalu banyak, Clara. Tapi aku tak bisa berhenti sekarang." "Dia mengkhianatimu. Lorenzo mengkhianati kita semua," Clara berkata, nada suaranya tajam namun penuh emosi. "Bagaimana kau bisa begitu tenang?" Dante menunduk, membiarkan angin membawa sebagian dari rasa berat di dadanya. "Ketenangan itu bukan pilihan. Jika aku menyerah pada kemarahan, aku akan kehilangan diriku." Clara menghela napas. "Kau terlalu baik untuk dunia ini, Dante. Tapi kebaikanmu akan menjadi kelemahan jika kau tidak hati-h

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 34: Bayangan Pengkhianatan

    Udara malam terasa dingin menusuk, seolah memperingatkan Dante bahwa badai lebih besar tengah mendekat. Di ruang pertemuan markas, Dante duduk di ujung meja panjang, dikelilingi oleh tim yang kini wajahnya penuh keraguan. Cahaya dari lampu di atas kepala mereka berpendar samar, menciptakan bayangan gelap di dinding yang tampak seperti menghantui. Di tangannya, ia memegang catatan kecil yang ditemukan Elena—sebuah ancaman halus namun jelas, bahwa musuh mereka selangkah lebih maju. Suara bisik-bisik mengisi ruangan, membuat kepala Dante berdenyut. “Cukup!” suara Dante menggema, membungkam kegaduhan. “Kita tidak akan ke mana-mana jika terus saling meragukan.” Namun, tatapan ragu-ragu dari Marco, salah satu anak buah terpercaya Lorenzo, menusuk Dante. “Bagaimana kami bisa tidak ragu, Dante? Lorenzo telah tiada, dan sekarang ini? Catatan ini hanya membuktikan ada seseorang di antara kita yang berkhianat.” Dante menarik napas dalam-dalam, menekan rasa frustrasinya. Ia tahu apa yang Mar

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 35: Persimpangan Takdir

    Langit masih kelabu ketika Dante berdiri di balkon markas, angin malam menyapu wajahnya. Tatapan matanya kosong, seolah terjebak dalam lautan pikirannya sendiri. Di bawah sana, timnya bekerja tanpa henti, mempersiapkan markas untuk segala kemungkinan. Tetapi, di dalam dirinya, ada perang yang jauh lebih besar sedang berlangsung. Suara pintu yang terbuka perlahan membuyarkan lamunannya. Elena muncul, membawa secangkir teh hangat yang mengepul. Ia mendekat tanpa suara, lalu menyerahkan cangkir itu ke tangan Dante. “Kau butuh ini,” katanya singkat. Dante hanya mengangguk, mengambil cangkir itu, tetapi tidak segera meminumnya. “Berapa lama lagi menurutmu sebelum Leonhardt bergerak?” Elena menatapnya lekat, mencoba membaca ekspresi di wajahnya. “Bisa hitungan jam, atau hari. Tidak ada yang pasti, terutama setelah Andre tertangkap. Mereka pasti tahu kita sudah mempersiapkan diri.” Dante mendesah panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke kota di kejauhan. Lampu-lampu yang berkelip di m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 36: Bayangan di Balik Tirai

    Ruang utama markas Leonhardt terasa dingin dan hening, meski dindingnya terlapis ornamen mahal yang memancarkan kemewahan. Lampu gantung kristal di langit-langit berkilauan, tetapi sinarnya tak mampu mengusir kegelapan yang seakan menyelimuti setiap sudut ruangan. Dante berdiri tegap, tetapi di dalam dirinya, badai berkecamuk. Di hadapannya, Leonhardt masih duduk santai di kursi megahnya. Mata pria itu menatap tajam, penuh keyakinan, seolah tahu bahwa setiap langkah Dante telah diperhitungkan sebelumnya. “Kau benar-benar mengejutkanku, Dante,” kata Leonhardt sambil menyilangkan kaki. “Aku kira kau akan menyerah di tengah jalan, tapi ternyata kau lebih keras kepala dari yang kubayangkan.” Dante mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, mencoba menahan gejolak emosinya. “Aku tidak datang untuk mendengar omongan kosongmu, Leonhardt. Aku datang untuk mengakhiri semua ini.” Leonhardt tersenyum tipis, seperti seorang guru yang sedang mengamati muridnya yang ceroboh. “Mengakhiri? Kau

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 37: Bayang Pengkhianat

    Lorong gelap itu terasa seperti menyempit di sekitar Dante, setiap langkahnya membisikkan ancaman baru. Bau mesiu yang menggantung di udara bercampur dengan aroma besi dari darah yang telah lama mengering di lantai. Namun, pikiran Dante bukan tentang bau itu, melainkan tentang kata-kata Leonhardt. "Aku tahu semua tentang kalian." Kata-kata itu terus terngiang di telinganya, menekan dada Dante seperti beban tak terlihat. Saat langkah kakinya membawa dia lebih dalam ke labirin markas, Dante menggenggam senjatanya erat-erat, meskipun ia tahu bahwa peluru bukan satu-satunya alat yang akan ia perlukan untuk bertahan. “Elena, Marco, tetap di belakangku,” ucap Dante tanpa menoleh. Suaranya tenang, tapi penuh otoritas. Marco merespons dengan nada cemas, “Dante, kita tidak bisa terus seperti ini. Kita perlu strategi yang lebih baik. Leonhardt jelas sudah mempermainkan kita.” “Strategi itu tidak akan berguna jika kita tidak keluar dari sini hidup-hidup,” balas Dante cepat, mengamati setia

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15

Bab terbaru

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 44: Jalan Di Antara Reruntuhan

    Debu menggantung tebal di udara, membuat setiap napas terasa berat dan menyakitkan. Dante duduk bersandar di salah satu pilar yang masih berdiri, tangannya mencengkeram sisi perutnya yang terluka. Darah mengalir perlahan, menciptakan pola gelap pada kemejanya. Di sampingnya, Elena sibuk mencoba mengatur alat komunikasi darurat yang tampaknya rusak."Berhasil?" tanya Dante pelan, suaranya hampir tak terdengar di tengah deru napasnya.Elena menggigit bibirnya, frustrasi. "Tidak. Semua saluran mati. Entah mereka memutuskan jaringan atau alat ini memang tidak berguna."Dia melemparkan alat itu ke tanah dengan kemarahan yang tertahan, lalu menoleh ke arah Dante. Wajahnya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam. "Kau... bagaimana lukamu?"Dante tersenyum kecil, meskipun rasa sakit menjalari seluruh tubuhnya. "Tidak separah yang kelihatannya. Aku hanya butuh waktu sebentar.""Tidak, Dante. Kita tidak punya waktu." Elena memeriksa lukanya dengan cermat, meskipun ia tahu mereka kekurangan perl

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 43: Perang Bayangan

    Lorong gedung tua itu dipenuhi dengan bayangan dan debu. Denting peluru yang melayang di udara menjadi latar suara yang menusuk hati. Dante merapatkan tubuhnya ke dinding beton, napasnya terengah, sementara pikirannya terus bekerja mencari jalan keluar. “Elena,” bisiknya, mencoba tetap tenang meski dadanya terasa sesak. “Kita tidak punya banyak waktu.” Elena, yang bersembunyi di sudut ruangan, mengangguk dengan wajah tegang. Tatapannya tak pernah lepas dari lorong gelap di depannya, di mana bayangan musuh terus berkeliaran. “Apa rencananya sekarang, Dante?” tanya Elena, suaranya rendah tapi penuh urgensi. Dante memejamkan mata sejenak, mencoba meredam amarah yang mendidih di dalam dirinya. “Kita harus menuju ruang kontrol dan mematikan sistem mereka. Itu satu-satunya cara untuk membalikkan keadaan.” Dengan isyarat tangan, Dante meminta Elena bergerak terlebih dahulu melalui pintu samping. Ia sendiri tetap di tempat, menciptakan pengalih perhatian dengan melemparkan granat asap k

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 42: Langkah Dalam Kegelapan

    Pagi di gudang aman terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada hiruk-pikuk langkah kaki atau percakapan ringan yang biasa terdengar. Semua orang tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dante berdiri di depan jendela kecil yang menghadap ke halaman belakang, tatapannya kosong seperti orang yang memikul dunia di pundaknya.“Dante,” suara Elena memecah keheningan.Dante berbalik, menemukan Elena berdiri di ambang pintu. Rambutnya diikat sederhana, tetapi ada kekuatan dalam cara ia menatapnya, seolah-olah mencoba menembus lapisan dinding emosional yang ia bangun.“Kita harus bicara,” kata Elena tegas.Dante mengangguk, meski dalam hatinya ia tahu pembicaraan ini tidak akan mudah.Elena menutup pintu di belakangnya, memastikan mereka memiliki privasi. Ia mendekat, duduk di kursi kayu yang sudah tua dan tampak hampir roboh.“Aku tahu kau mencoba melindungi kami,” kata Elena, suaranya rendah tapi tegas. “Tapi kau tidak bisa terus seperti ini, Dante. Kami membutuhkanmu sepenuhnya—tidak hanya

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 41: Kabut di Balik Bayangan

    Hujan masih menderas di luar gudang, menciptakan irama monoton yang hampir menenangkan. Namun, di dalam ruangan itu, ketenangan tidak pernah benar-benar hadir. Dante duduk di meja, wajahnya tertutup bayangan lampu redup. Di depannya, layar besar menampilkan serangkaian data yang terus bergerak, hasil pencarian Zayba tentang Phantom.“Dante, aku menemukan beberapa informasi penting,” suara Zayba memecah keheningan.Dante mengangkat kepala, menatap layar. “Apa yang kau temukan?”“Phantom adalah nama sandi dari individu bernama Ezra Viscari. Dia adalah mantan informan keluarga Lamonte sebelum terjadi insiden yang mengubah segalanya. Sekarang, dia memimpin jaringan kriminal bawah tanah yang lebih kompleks dari apa yang kita duga sebelumnya.”Dante menghela napas panjang, mencoba menenangkan gejolak emosinya. Ezra bukan hanya sekadar nama dari masa lalu. Dia adalah seseorang yang dulu ia percayai, seseorang yang ia anggap sebagai bagian dari keluarganya.“Kenapa sekarang?” Dante bergumam p

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 40: Bayangan Masa Lalu

    Hujan telah reda, meninggalkan jejak embun di dedaunan dan aspal basah yang memantulkan kelamnya malam. Di sudut kota yang tersembunyi, sebuah gudang tua berdiri bisu, menyembunyikan berbagai rahasia yang terlalu gelap untuk disentuh cahaya. Dante berdiri di tengah ruangan yang remang, memandangi papan tulis penuh catatan, peta, dan potret-potret yang telah ia susun selama beberapa bulan terakhir. Wajah-wajah itu tampak familiar. Musuh yang telah ia lawan, teman yang telah ia kehilangan, dan orang-orang yang telah ia kecewakan. Jemarinya bergerak lambat menyentuh foto Marco, Elena, dan dirinya sendiri, yang terpajang di sudut papan itu. “Kapan ini akan berakhir?” gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Zayba, asisten virtualnya, menjawab dengan nada datar namun penuh perhatian. “Hanya ketika kau memutuskan untuk berhenti, Dante. Tetapi kau tahu, jalan ini sudah terlalu jauh untuk dihentikan sekarang.” Dante mendengus, setengah menyalahkan, setengah setuju. “

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 39: Perang di Tengah Bayangan

    Suara hujan yang jatuh di atas genting logam menciptakan ritme melankolis di kawasan industri yang terlantar. Dante berdiri di bawah naungan bayangan sebuah kontainer besar, matanya menyusuri gelapnya malam dengan penuh kehati-hatian. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, telapak tangan terasa dingin tetapi tetap kokoh, seperti kegigihan yang telah melekat dalam dirinya. “Zayba,” panggil Dante, suaranya pelan namun tegas. “Analisa situasi.” Suara Zayba terdengar di telinganya, tenang seperti biasa. “Ada lima penjaga di gerbang utama. Mereka dilengkapi persenjataan berat, dan satu truk suplai sudah tiba. Jika mereka berhasil membawa truk itu pergi, misi kita akan gagal.” Dante menutup matanya sejenak, menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dari tekanan yang terus menggelayuti pikirannya. Ini bukan hanya soal memenangkan pertempuran, tetapi soal membuktikan bahwa ia mampu menghadapi setiap tantangan, apapun risikonya. Di kejauhan, Marco dan Elena menunggu di posisi masing-m

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 38: Perang Pikiran

    Suara jerat listrik masih terngiang di telinga Dante. Tubuhnya terbaring lemah di lantai dingin, napasnya tersengal-sengal. Rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh membuat setiap ototnya menjerit dalam kesakitan, seolah memaksanya menyerah pada takdir kelam yang dihadapi. Di atasnya, Leonhardt berdiri dengan percaya diri. Tatapannya tajam, seolah menatap mangsa yang tak berdaya. Bibirnya menyunggingkan senyum yang dipenuhi ejekan. “Kau benar-benar keras kepala, Dante,” Leonhardt membuka percakapan, suaranya dingin. “Aku sudah memberimu banyak kesempatan untuk mundur. Tapi lihatlah dirimu sekarang. Hancur, lemah, tak berdaya.” Dante menggeram dalam hati. Ia ingin menjawab, tetapi jerat listrik itu terlalu kuat, membuatnya sulit bergerak, apalagi berbicara. Leonhardt berjalan mengelilinginya dengan santai, seperti seorang raja yang baru saja memenangkan perang. “Kau pikir kau bisa mengalahkan aku? Kau pikir semua omong kosong tentang harapan dan keadilan bisa menghancurkan k

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 37: Bayang Pengkhianat

    Lorong gelap itu terasa seperti menyempit di sekitar Dante, setiap langkahnya membisikkan ancaman baru. Bau mesiu yang menggantung di udara bercampur dengan aroma besi dari darah yang telah lama mengering di lantai. Namun, pikiran Dante bukan tentang bau itu, melainkan tentang kata-kata Leonhardt. "Aku tahu semua tentang kalian." Kata-kata itu terus terngiang di telinganya, menekan dada Dante seperti beban tak terlihat. Saat langkah kakinya membawa dia lebih dalam ke labirin markas, Dante menggenggam senjatanya erat-erat, meskipun ia tahu bahwa peluru bukan satu-satunya alat yang akan ia perlukan untuk bertahan. “Elena, Marco, tetap di belakangku,” ucap Dante tanpa menoleh. Suaranya tenang, tapi penuh otoritas. Marco merespons dengan nada cemas, “Dante, kita tidak bisa terus seperti ini. Kita perlu strategi yang lebih baik. Leonhardt jelas sudah mempermainkan kita.” “Strategi itu tidak akan berguna jika kita tidak keluar dari sini hidup-hidup,” balas Dante cepat, mengamati setia

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 36: Bayangan di Balik Tirai

    Ruang utama markas Leonhardt terasa dingin dan hening, meski dindingnya terlapis ornamen mahal yang memancarkan kemewahan. Lampu gantung kristal di langit-langit berkilauan, tetapi sinarnya tak mampu mengusir kegelapan yang seakan menyelimuti setiap sudut ruangan. Dante berdiri tegap, tetapi di dalam dirinya, badai berkecamuk. Di hadapannya, Leonhardt masih duduk santai di kursi megahnya. Mata pria itu menatap tajam, penuh keyakinan, seolah tahu bahwa setiap langkah Dante telah diperhitungkan sebelumnya. “Kau benar-benar mengejutkanku, Dante,” kata Leonhardt sambil menyilangkan kaki. “Aku kira kau akan menyerah di tengah jalan, tapi ternyata kau lebih keras kepala dari yang kubayangkan.” Dante mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, mencoba menahan gejolak emosinya. “Aku tidak datang untuk mendengar omongan kosongmu, Leonhardt. Aku datang untuk mengakhiri semua ini.” Leonhardt tersenyum tipis, seperti seorang guru yang sedang mengamati muridnya yang ceroboh. “Mengakhiri? Kau

DMCA.com Protection Status