Dante berdiri di depan perangkat besar yang berdenyut perlahan, jantungnya seakan berdegup lebih cepat dari biasanya. Setiap detik yang berlalu terasa berat, seperti sesuatu yang menunggu untuk meledak. Ada beban yang mengganjal di dadanya, dan setiap pilihan yang ia pikirkan seolah semakin membuatnya terperangkap dalam lingkaran setan yang tak berujung.“Dante…” suara Elena terdengar lirih, menggema di ruang hampa. Ia berdiri tidak jauh darinya, menggenggam tangannya dengan erat. Namun, meskipun Elena ada di sampingnya, rasa kesepian yang dalam tak bisa dihindari. Semua yang terjadi—semua kebohongan, ingatan yang hilang, kekuatan yang tak terbayangkan—membuatnya merasa lebih jauh dari orang-orang yang menyayanginya.“Jika aku memilih untuk mengakses ingatan ini,” Dante berbicara perlahan, seolah memikirkan setiap kata yang keluar dari mulutnya, “artinya aku memilih untuk mengetahui siapa aku sebenarnya. Tapi pada saat yang sama, aku juga akan membuka pintu yang tidak bisa ditutup kem
Dante menatap langit malam yang gelap, dihiasi oleh kilatan-kilatan bintang yang jauh di atas sana. Di luar, suara kendaraan dan kota yang tak pernah tidur terdengar samar-samar. Ia berdiri di balkon ruang bawah tanah yang kini menjadi markas sementara mereka, merasakan dingin angin yang menyapu wajahnya. Ada ketenangan di luar, tetapi hatinya masih dipenuhi gejolak yang tak bisa dijelaskan.Dante memikirkan pilihan yang telah ia buat. Meskipun ia menutup file holografis yang berisi data masa lalunya, ingatan itu tidak bisa sepenuhnya hilang. Gambaran dirinya yang terikat di meja operasi, penuh dengan rasa sakit, tetap menghantuinya. Tapi kali ini, ada perasaan yang lebih kuat: keinginan untuk bangkit dan mengendalikan takdirnya sendiri.Di dalam dirinya, chipset yang ditanamkan memberi dorongan untuk berpikir lebih cepat, menganalisis situasi dengan akurat. Namun, meski ia bisa mengakses informasi dengan mudah, kenyataannya jauh lebih rumit. Tidak ada algoritma atau perhitungan yang
Langkah Dante bergema di lorong bawah tanah yang gelap, diterangi cahaya redup dari lampu neon yang berkedip. Bersama Elena dan Lorenzo, ia mendekati sebuah pintu besar berbahan logam hitam, kokoh dan misterius. Aura dingin menyeruak dari pintu itu, memberikan kesan bahwa sesuatu yang besar menanti di baliknya. “Elena, bisakah kau buka pintu ini?” tanya Lorenzo dengan nada mendesak, tangannya siap berjaga-jaga. Elena mengangguk, menghubungkan perangkat kecil ke panel di samping pintu. Jarinya menari cepat di atas keyboard holografis. Wajahnya menunjukkan konsentrasi penuh, sorot matanya fokus menembus enkripsi rumit yang melindungi sistem pintu tersebut. “Berapa lama lagi, Elena?” Dante bertanya sambil memutar tubuh untuk mengamati lorong di belakang mereka. Suara mendesing dari kejauhan membuatnya waspada. “Sistem ini rumit. Aku butuh setidaknya sepuluh menit,” jawab Elena cepat. Dante menggenggam kuat pegangannya, matanya menyapu lorong yang semakin gelap. Ia tahu mereka
Ruangan itu memancarkan atmosfer misterius. Cahaya biru dari perangkat-perangkat canggih menyelimuti tempat tersebut, memberikan rasa aneh antara ketenangan dan ketegangan. Dante, Elena, dan Lorenzo berdiri di tengah, napas mereka masih tersengal setelah perjuangan panjang di luar.Dante melangkah mendekati alat besar yang berada di tengah ruangan. Alat itu tampak seperti kapsul vertikal dengan panel-panel berkilauan, penuh dengan simbol-simbol yang bergerak, seakan hidup.“Apa ini sebenarnya?” bisik Lorenzo, nada suaranya bercampur rasa ingin tahu dan kewaspadaan.Elena menatap alat itu dengan ekspresi fokus, tangannya perlahan menyentuh salah satu panel. “Ini bukan hanya perangkat biasa. Ini... semacam terminal pusat. Mungkin ini yang mengontrol seluruh operasi mereka.”Dante mengangguk pelan, tapi pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan. Mengapa alat ini begitu dijaga ketat? Apa hubungannya dengan chipset di dalam tubuhnya? Dan yang lebih penting, bagaimana ini terkait dengan semua pe
Suara dentuman di luar ruangan terus menggema, seolah menjadi latar untuk konflik yang terjadi di dalam diri Dante. Setiap langkah yang ia ambil, setiap gerakan yang ia lakukan melawan musuh, hanya menambah berat beban yang kini menghuni hatinya.Chipset dalam tubuhnya memberinya kemampuan luar biasa, tetapi juga menyisakan perasaan asing. Ia merasa seperti alat—alat yang sempurna, tetapi dikendalikan oleh sesuatu di luar dirinya.Lorenzo berdiri di sampingnya, matanya penuh kewaspadaan. “Dante, kau terlihat terguncang. Apa yang terjadi?”Dante menggelengkan kepala, mencoba memfokuskan diri pada lawan yang terus berdatangan. “Tidak ada. Aku baik-baik saja.”Namun, dalam hatinya, ia tahu itu tidak sepenuhnya benar.---Di tengah pertempuran, pikiran Dante terasa kacau. Suara ayahnya di video tadi terus terngiang, seakan menantangnya untuk menerima takdirnya sebagai “ciptaan sempurna”.“Apakah aku hanya alat?” pikir Dante.Musuh berikutnya mendekat, dan chipset-nya langsung memproses in
Ruangan terasa hening seketika setelah Dante melontarkan kalimat terakhirnya. Waktu seolah melambat saat pria tua itu menatapnya, senyum dingin yang sama terpampang di wajahnya. Di belakang Dante, suara ledakan kecil dan tembakan terdengar samar, menandakan pertempuran Lorenzo dan Elena masih berlanjut di luar.Namun di sini, di tengah ruangan yang kini terasa seperti arena, hanya ada Dante dan pria yang mengaku sebagai pencipta chipsetnya.Pria itu melangkah maju, gerakannya perlahan namun penuh otoritas. "Dante, kau terlalu berharga untuk dihabisi begitu saja. Tidakkah kau menyadari potensimu? Aku memberimu kekuatan yang bahkan tidak kau pahami sepenuhnya. Chipset itu—karyaku—adalah puncak dari evolusi manusia. Kau adalah lambang kesempurnaan."Dante mengepalkan tinjunya, matanya berkilat penuh amarah. "Kau menyebut ini kesempurnaan? Kau mengambil hakku, kebebasanku. Aku tidak pernah meminta ini!"Pria itu tertawa kecil, nada suaranya penuh ejekan. "Kebebasan? Kebebasan hanyalah kon
Ruangan sunyi, seolah menahan napas untuk keputusan yang akan Dante ambil. Perangkat kecil di tangannya terasa lebih berat daripada yang seharusnya, seolah membawa seluruh beban dunia. Di depan, pria tua itu tersenyum samar, yakin bahwa Dante tidak akan bisa membuat keputusan itu.“Apakah kau yakin, Dante?” tanya pria itu, nadanya tenang tapi menusuk. “Chipset itu bukan sekadar alat, itu adalah kekuatanmu. Tanpanya, kau kembali menjadi... tidak berarti.”Lorenzo mendekat, menepuk pundak Dante. “Jangan dengarkan dia. Kau lebih dari sekadar teknologi di tubuhmu. Kau selalu menjadi pemimpin sejati, Dante, bahkan sebelum chipset itu ada.”Elena menambahkan, suaranya lembut tapi penuh keyakinan. “Kami semua ada di sini karena kami percaya pada dirimu, bukan pada chipsetmu.”Dante mengangkat pandangannya, tatapannya penuh emosi. Kata-kata mereka menghangatkannya, tetapi rasa ragu tetap melingkupi hatinya. Kehilangan chipset berarti kehilangan keunggulannya—kehilangannya yang membuatnya mamp
Malam itu, langit di atas kota terasa begitu kelam. Angin dingin membawa suara samar dari hiruk-pikuk di kejauhan. Setelah pertempuran besar di fasilitas, Dante, Elena, dan Lorenzo kembali ke tempat persembunyian sementara mereka.Namun, ketenangan yang mereka harapkan ternyata tak bertahan lama. Konflik baru muncul di depan mata—lebih besar, lebih berbahaya, dan menyimpan ancaman yang tak mereka duga.Di sebuah ruangan kecil, Dante duduk di sudut, membungkus luka di lengannya dengan perban seadanya. Tanpa chipset, tubuhnya terasa lebih rapuh. Setiap luka kini lebih terasa, dan setiap gerakan menjadi lebih lamban.Elena mendekatinya dengan tatapan khawatir. “Kau harus lebih berhati-hati. Tanpa chipset, kau tidak bisa sembarangan bertarung seperti tadi.”Dante menghela napas panjang. “Aku tahu, tapi aku tidak bisa hanya diam. Mereka akan terus datang, Elena. Kita harus siap.”Lorenzo, yang sedang memeriksa peralatan di meja sebelah, menyela. “Kau tahu siapa ‘mereka’, kan? Kita bukan ha
Malam yang dingin terasa menusuk tulang. Langkah Dante yang berat menyusuri jalan setapak di tengah hutan hanya ditemani oleh suara angin yang menggerakkan dedaunan. Setelah percakapan yang penuh emosi antara dirinya, Ayra, dan Elena, hatinya terasa seperti medan perang. Keputusannya untuk tetap berdiri di tengah-tengah mereka telah menyisakan perih yang tak bisa ia hilangkan begitu saja.Dante berhenti di sebuah pohon tua yang menjulang tinggi. Ia bersandar di batangnya yang kasar, menatap langit malam yang dihiasi ribuan bintang. Sebuah napas berat meluncur dari bibirnya, seolah-olah ia mencoba melepaskan beban yang menghimpit dadanya.“Dante…” suara itu, lembut namun tegas, terdengar dari belakangnya.Dante menoleh. Elena berdiri di sana, membawa lentera kecil yang sinarnya berkilau redup. Wajahnya terlihat tenang, namun sorot matanya memancarkan kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.“Kau seharusnya istirahat, Elena,” kata Dante, mencoba
Senja mulai mengintip di ujung cakrawala, mewarnai langit dengan semburat oranye yang lembut. Di tengah reruntuhan kota tua, Dante berdiri dengan tubuh tegap, matanya memandang ke arah Elena dan Ayra yang berada tak jauh darinya. Ada ketegangan yang begitu nyata di udara, namun sekaligus kehangatan yang tak bisa disangkal.Ayra memalingkan wajah, membiarkan angin memainkan rambut hitam legamnya. “Kita sudah sampai sejauh ini, tapi aku masih merasa ada yang kurang,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada orang lain.Dante menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang hangat. “Apa yang kurang, Ayra?” tanyanya pelan, suaranya terdengar seperti bisikan yang meresap ke dalam kesunyian.“Elena tahu,” jawab Ayra, suaranya serak. Ia menoleh ke arah Elena yang berdiri beberapa langkah di sebelahnya, wajahnya diliputi keraguan. “Kau tahu, kan? Apa yang sebenarnya masih kita cari?”Elena terdiam, wajahnya yang biasanya dingin tampak goyah. Ia meng
Cahaya pagi yang hangat menyusup melalui celah tirai jendela apartemen kecil yang kini mereka sebut rumah. Ayra membuka matanya perlahan, membiarkan sinar lembut itu menyentuh wajahnya. Suara burung berkicau di luar menjadi pengantar yang damai—sesuatu yang belum pernah ia rasakan dalam waktu yang lama.Ia menoleh, mendapati Dante masih terlelap di sebelahnya, napasnya tenang dan ritmis. Wajahnya terlihat begitu damai, jauh dari ekspresi serius dan tegang yang sering ia kenakan selama misi-misi mereka. Ada sesuatu yang menyentuh di sana, menyadari bahwa setelah semua yang mereka lewati, mereka akhirnya bisa menikmati momen sederhana seperti ini.Ayra perlahan bangkit dari tempat tidur, berusaha tidak membangunkan Dante. Ia melangkah ke dapur kecil mereka, menyalakan mesin kopi yang berderit pelan. Aroma kopi mulai memenuhi ruangan, membangkitkan rasa nyaman yang membuatnya tersenyum.Saat ia menuang kopi ke dalam cangkir, suara langkah berat terdengar
Langit malam dipenuhi bintang-bintang yang berkilauan, namun Dante hanya bisa menatap kosong ke arah api unggun kecil yang mereka buat. Wajahnya diterangi cahaya oranye yang hangat, tetapi pikirannya jauh melayang, menelusuri semua yang telah terjadi. Di sekelilingnya, timnya mulai melepas ketegangan setelah misi yang sukses. Phoenix sedang tertawa kecil bersama Leandro, membahas bagaimana dia berhasil mengunggah data itu meskipun dalam situasi berbahaya. Elena duduk tidak jauh dari mereka, memeriksa senjatanya dengan ekspresi serius, tetapi sesekali tersenyum kecil mendengar lelucon Leandro. Ayra duduk sedikit terpisah dari mereka, memeluk lututnya sambil menatap ke arah langit. Ada sesuatu yang melintas di wajahnya—perasaan lega bercampur kelelahan, tetapi juga ketidakpastian yang mengganggu. Dante menggeser duduknya, mendekati Ayra. "Kau baik-baik saja?" tanyanya pelan. Ayra menoleh, tersenyum tipis. "Hanya me
Suara derik lantai kayu menyambut langkah perlahan Dante saat ia berjalan melewati ruangan kecil tempat mereka berlindung. Udara malam di dalam rumah itu terasa lebih dingin dibandingkan luar. Dante memandang timnya yang sedang duduk melingkar di ruang tengah, wajah mereka dipenuhi kelelahan, tetapi mata mereka menyiratkan tekad yang tak goyah.Ayra sibuk mengamati peta kota yang tersebar di atas meja kecil. Sesekali, dia menuliskan sesuatu di buku catatannya, wajahnya dipenuhi konsentrasi. Phoenix sedang memeriksa perangkat enkripsi, memastikan semua data mereka tetap aman. Sementara Elena dan Leandro berbincang pelan di sudut ruangan, berdiskusi tentang potensi ancaman yang mungkin muncul saat mereka bergerak.“Sudah hampir selesai?” tanya Dante sambil berdiri di belakang Ayra.Ayra menoleh, senyumnya tipis. “Hampir. Aku sedang memastikan rute ini tidak terlalu mencolok. Kita tidak punya banyak opsi, tapi kalau kita bisa menghindari pos pemeriksaan,
Suara angin pagi menyelinap melalui celah-celah gudang tua yang menjadi tempat persembunyian Dante dan timnya. Kabut yang melayang di luar menambah kesan misterius pada suasana di dalam, seakan mengingatkan mereka bahwa waktu terus berjalan dan ancaman semakin mendekat. Dante berdiri di tengah ruangan, tangannya terlipat di dada, matanya menatap peta digital di meja kayu yang sudah penuh coretan rencana. Sementara itu, Ayra dan Phoenix masih tenggelam dalam analisis data, mencoba mengurai simpul misteri yang menjadi inti dari misi mereka. “Phoenix, apakah semua data sudah terkumpul?” tanya Dante, suaranya terdengar tegas namun terkendali. Phoenix mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. “Ya. Aku sudah menyusun semua dokumen digital ini. Tinggal satu langkah lagi untuk mengirimnya ke media, tapi kita harus memutuskan jalur yang paling aman. Musuh pasti sudah mengawasi jaringan kita.” “Elena,” Dante me
Dini hari menyelimuti kota dengan kabut tipis yang seolah menyembunyikan rahasia-rahasia kelam di balik setiap sudutnya. Sebuah van abu-abu meluncur pelan di jalan yang sepi, membawa Dante dan timnya menjauh dari apartemen yang kini bukan lagi tempat yang aman. Di dalam van, suasana penuh ketegangan. Mata mereka terus berjaga, dan percakapan berlangsung dengan bisikan-bisikan tegang. “Bagaimana situasi di depan?” tanya Dante yang duduk di kursi penumpang depan, memegang peta digital di tangannya. Leandro, yang mengemudikan van, melirik ke kaca spion. “Sejauh ini aman. Tapi kita tidak bisa terlalu lama di jalan ini. Kamera pengawas bisa saja melacak plat mobil kita.” Ayra, yang duduk di kursi tengah, mengetik cepat di laptopnya. Wajahnya diterangi cahaya redup layar. “Aku sedang mencoba menonaktifkan sistem pengawasan di area ini. Tapi ini tidak akan bertahan lama. Kita harus segera menemukan tempat aman untuk menyusun langkah selanj
Malam menjelang dengan keheningan yang terasa berat, seakan alam pun ikut bersiap menghadapi badai yang akan datang. Di apartemen kecil yang kini menjadi markas mereka, tim Dante bekerja tanpa henti. Peta, dokumen, dan laptop berserakan di meja. Mereka sudah terlalu jauh untuk mundur.Ayra duduk di sudut ruangan, matanya memandang layar laptop yang menampilkan kode-kode enkripsi. Wajahnya terlihat serius, tapi jari-jarinya bergerak dengan cekatan di atas keyboard. Phoenix telah mengirimkan data penting yang harus mereka deskripsikan, data yang menjadi kunci untuk mengungkap skandal besar yang telah mereka kejar selama ini.“Dante,” panggil Ayra, suaranya rendah namun penuh urgensi. “Aku berhasil mengakses salah satu file mereka. Ini... ini jauh lebih besar dari yang kita kira.”Dante yang sedang memeriksa peta di meja langsung mendekat, menyandarkan tangannya di kursi Ayra dan membaca layar di depannya. Matanya menyipit, ekspresinya berubah dari terke
Dingin pagi menyelimuti pusat kota yang mulai lengang setelah peristiwa semalam. Kabut tipis menyelimuti jalan-jalan, menyembunyikan sisa jejak kerumunan yang penuh semangat, kini berubah menjadi kota yang terasa asing dan kosong. Dante berdiri di tepi balkon apartemen yang mereka gunakan sebagai tempat berlindung sementara, matanya memandang jauh ke cakrawala.Angin dingin menyapu wajahnya, tetapi tidak mampu meredam kobaran tekad yang terus menyala di dalam dirinya. Di baliknya, Ayra keluar perlahan, mengenakan sweater tebal. Langkahnya nyaris tak terdengar saat ia mendekat, membawa secangkir teh hangat."Kau belum tidur sejak semalam," ujar Ayra, menyerahkan cangkir itu kepada Dante. Suaranya lembut, tetapi ada nada khawatir yang tidak bisa disembunyikan.Dante menerima cangkir itu tanpa menoleh. "Aku tidak bisa tidur. Banyak hal yang harus kupikirkan."Ayra menyandarkan dirinya di pagar balkon, menatap Dante dengan mata yang penuh perhati