Ruangan itu memancarkan atmosfer misterius. Cahaya biru dari perangkat-perangkat canggih menyelimuti tempat tersebut, memberikan rasa aneh antara ketenangan dan ketegangan. Dante, Elena, dan Lorenzo berdiri di tengah, napas mereka masih tersengal setelah perjuangan panjang di luar.Dante melangkah mendekati alat besar yang berada di tengah ruangan. Alat itu tampak seperti kapsul vertikal dengan panel-panel berkilauan, penuh dengan simbol-simbol yang bergerak, seakan hidup.“Apa ini sebenarnya?” bisik Lorenzo, nada suaranya bercampur rasa ingin tahu dan kewaspadaan.Elena menatap alat itu dengan ekspresi fokus, tangannya perlahan menyentuh salah satu panel. “Ini bukan hanya perangkat biasa. Ini... semacam terminal pusat. Mungkin ini yang mengontrol seluruh operasi mereka.”Dante mengangguk pelan, tapi pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan. Mengapa alat ini begitu dijaga ketat? Apa hubungannya dengan chipset di dalam tubuhnya? Dan yang lebih penting, bagaimana ini terkait dengan semua pe
Suara dentuman di luar ruangan terus menggema, seolah menjadi latar untuk konflik yang terjadi di dalam diri Dante. Setiap langkah yang ia ambil, setiap gerakan yang ia lakukan melawan musuh, hanya menambah berat beban yang kini menghuni hatinya.Chipset dalam tubuhnya memberinya kemampuan luar biasa, tetapi juga menyisakan perasaan asing. Ia merasa seperti alat—alat yang sempurna, tetapi dikendalikan oleh sesuatu di luar dirinya.Lorenzo berdiri di sampingnya, matanya penuh kewaspadaan. “Dante, kau terlihat terguncang. Apa yang terjadi?”Dante menggelengkan kepala, mencoba memfokuskan diri pada lawan yang terus berdatangan. “Tidak ada. Aku baik-baik saja.”Namun, dalam hatinya, ia tahu itu tidak sepenuhnya benar.---Di tengah pertempuran, pikiran Dante terasa kacau. Suara ayahnya di video tadi terus terngiang, seakan menantangnya untuk menerima takdirnya sebagai “ciptaan sempurna”.“Apakah aku hanya alat?” pikir Dante.Musuh berikutnya mendekat, dan chipset-nya langsung memproses in
Ruangan terasa hening seketika setelah Dante melontarkan kalimat terakhirnya. Waktu seolah melambat saat pria tua itu menatapnya, senyum dingin yang sama terpampang di wajahnya. Di belakang Dante, suara ledakan kecil dan tembakan terdengar samar, menandakan pertempuran Lorenzo dan Elena masih berlanjut di luar.Namun di sini, di tengah ruangan yang kini terasa seperti arena, hanya ada Dante dan pria yang mengaku sebagai pencipta chipsetnya.Pria itu melangkah maju, gerakannya perlahan namun penuh otoritas. "Dante, kau terlalu berharga untuk dihabisi begitu saja. Tidakkah kau menyadari potensimu? Aku memberimu kekuatan yang bahkan tidak kau pahami sepenuhnya. Chipset itu—karyaku—adalah puncak dari evolusi manusia. Kau adalah lambang kesempurnaan."Dante mengepalkan tinjunya, matanya berkilat penuh amarah. "Kau menyebut ini kesempurnaan? Kau mengambil hakku, kebebasanku. Aku tidak pernah meminta ini!"Pria itu tertawa kecil, nada suaranya penuh ejekan. "Kebebasan? Kebebasan hanyalah kon
Ruangan sunyi, seolah menahan napas untuk keputusan yang akan Dante ambil. Perangkat kecil di tangannya terasa lebih berat daripada yang seharusnya, seolah membawa seluruh beban dunia. Di depan, pria tua itu tersenyum samar, yakin bahwa Dante tidak akan bisa membuat keputusan itu.“Apakah kau yakin, Dante?” tanya pria itu, nadanya tenang tapi menusuk. “Chipset itu bukan sekadar alat, itu adalah kekuatanmu. Tanpanya, kau kembali menjadi... tidak berarti.”Lorenzo mendekat, menepuk pundak Dante. “Jangan dengarkan dia. Kau lebih dari sekadar teknologi di tubuhmu. Kau selalu menjadi pemimpin sejati, Dante, bahkan sebelum chipset itu ada.”Elena menambahkan, suaranya lembut tapi penuh keyakinan. “Kami semua ada di sini karena kami percaya pada dirimu, bukan pada chipsetmu.”Dante mengangkat pandangannya, tatapannya penuh emosi. Kata-kata mereka menghangatkannya, tetapi rasa ragu tetap melingkupi hatinya. Kehilangan chipset berarti kehilangan keunggulannya—kehilangannya yang membuatnya mamp
Malam itu, langit di atas kota terasa begitu kelam. Angin dingin membawa suara samar dari hiruk-pikuk di kejauhan. Setelah pertempuran besar di fasilitas, Dante, Elena, dan Lorenzo kembali ke tempat persembunyian sementara mereka.Namun, ketenangan yang mereka harapkan ternyata tak bertahan lama. Konflik baru muncul di depan mata—lebih besar, lebih berbahaya, dan menyimpan ancaman yang tak mereka duga.Di sebuah ruangan kecil, Dante duduk di sudut, membungkus luka di lengannya dengan perban seadanya. Tanpa chipset, tubuhnya terasa lebih rapuh. Setiap luka kini lebih terasa, dan setiap gerakan menjadi lebih lamban.Elena mendekatinya dengan tatapan khawatir. “Kau harus lebih berhati-hati. Tanpa chipset, kau tidak bisa sembarangan bertarung seperti tadi.”Dante menghela napas panjang. “Aku tahu, tapi aku tidak bisa hanya diam. Mereka akan terus datang, Elena. Kita harus siap.”Lorenzo, yang sedang memeriksa peralatan di meja sebelah, menyela. “Kau tahu siapa ‘mereka’, kan? Kita bukan ha
Malam itu, Dante duduk di sudut markas kecil mereka yang tersisa. Cahaya redup dari lampu gantung menerangi wajahnya yang dipenuhi keraguan. Elena duduk di depannya, tangannya gemetar saat dia meletakkan secangkir teh di meja. “Dante, kau tak bisa terus seperti ini,” katanya dengan nada yang lebih lembut daripada biasanya. “Semua orang menunggumu memutuskan langkah berikutnya.” “Aku tahu,” jawab Dante tanpa menatap Elena. Tatapannya terpaku pada chipset yang kini bisa dia aktifkan tanpa berpikir. Setiap kali dia menggunakan kekuatannya, dia merasakan sesuatu yang aneh, seolah teknologi itu menuntut lebih dari dirinya—lebih dari sekadar fisik, tetapi juga kemanusiaannya. Lorenzo memasuki ruangan, wajahnya kusut setelah berjam-jam menganalisis data yang berhasil mereka selamatkan. “Kabar buruk,” katanya sambil melemparkan tablet ke meja. Dante menatap layar. Peta holografis muncul, menampilkan lokasi terakhir chipset kuno yang hilang. Namun, bukan hanya itu. Data juga menunjukkan b
Suasana di ruang aman markas mereka begitu tegang. Chipset terakhir kini berada di tangan Dante, mengeluarkan cahaya samar yang seakan memancarkan kekuatan luar biasa. Dante duduk diam di sudut ruangan, menatap teknologi yang baru saja ia rebut dengan campuran rasa takut dan tanggung jawab yang berat. Elena memandangnya dari seberang ruangan, air matanya menggantung di sudut mata. “Dante, kau tidak perlu memikul ini sendirian.” Dante menggeleng pelan. “Ini bukan soal memilih, Elena. Aku sudah masuk terlalu dalam. Dunia ini tidak akan berhenti memburuku sampai aku membuat keputusan.” Lorenzo berjalan masuk dengan membawa hasil analisis terbaru. “Kita punya masalah besar. Pemerintah bayangan sudah mengetahui lokasi kita. Mereka bergerak dengan cepat. Kita punya kurang dari tiga jam.” Dante menggenggam chipset di tangannya, menatap Lorenzo dengan penuh tekad. “Kita harus membuat mereka tidak bisa menggunakan ini. Jika chipset terakhir jatuh ke tangan mereka, dunia akan berakhir dala
Ruangan markas Corvus Regia dipenuhi dengan cahaya biru yang menyilaukan. Energi dari chipset dalam tubuh Dante meluas, menciptakan gelombang kejut yang menghentikan semua orang, baik kawan maupun lawan. Aurelia mundur beberapa langkah, melindungi wajahnya dari kilauan yang menyakitkan. Di tengah ledakan energi itu, Dante berdiri kokoh, matanya bersinar dengan kekuatan yang hampir tidak bisa dia kendalikan. Suaranya berat, seolah menggema dari dalam dirinya sendiri. "Aku tidak akan membiarkan dunia ini dikendalikan oleh kalian. Jika aku harus menjadi ancaman untuk menghentikan ini, maka biarlah begitu." Energi yang dilepaskan oleh Dante mengganggu semua sistem elektronik di markas. Lampu padam, alat komunikasi mati, dan sistem keamanan runtuh. Pasukan Corvus Regia yang sebelumnya begitu percaya diri kini mundur dalam kebingungan. "Dante! Kau harus menghentikannya!" teriak Lorenzo dari kejauhan melalui alat komunikasi darurat. Namun, Dante tidak merespons. Fokusnya tertuju pada A
Debu menggantung tebal di udara, membuat setiap napas terasa berat dan menyakitkan. Dante duduk bersandar di salah satu pilar yang masih berdiri, tangannya mencengkeram sisi perutnya yang terluka. Darah mengalir perlahan, menciptakan pola gelap pada kemejanya. Di sampingnya, Elena sibuk mencoba mengatur alat komunikasi darurat yang tampaknya rusak."Berhasil?" tanya Dante pelan, suaranya hampir tak terdengar di tengah deru napasnya.Elena menggigit bibirnya, frustrasi. "Tidak. Semua saluran mati. Entah mereka memutuskan jaringan atau alat ini memang tidak berguna."Dia melemparkan alat itu ke tanah dengan kemarahan yang tertahan, lalu menoleh ke arah Dante. Wajahnya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam. "Kau... bagaimana lukamu?"Dante tersenyum kecil, meskipun rasa sakit menjalari seluruh tubuhnya. "Tidak separah yang kelihatannya. Aku hanya butuh waktu sebentar.""Tidak, Dante. Kita tidak punya waktu." Elena memeriksa lukanya dengan cermat, meskipun ia tahu mereka kekurangan perl
Lorong gedung tua itu dipenuhi dengan bayangan dan debu. Denting peluru yang melayang di udara menjadi latar suara yang menusuk hati. Dante merapatkan tubuhnya ke dinding beton, napasnya terengah, sementara pikirannya terus bekerja mencari jalan keluar. “Elena,” bisiknya, mencoba tetap tenang meski dadanya terasa sesak. “Kita tidak punya banyak waktu.” Elena, yang bersembunyi di sudut ruangan, mengangguk dengan wajah tegang. Tatapannya tak pernah lepas dari lorong gelap di depannya, di mana bayangan musuh terus berkeliaran. “Apa rencananya sekarang, Dante?” tanya Elena, suaranya rendah tapi penuh urgensi. Dante memejamkan mata sejenak, mencoba meredam amarah yang mendidih di dalam dirinya. “Kita harus menuju ruang kontrol dan mematikan sistem mereka. Itu satu-satunya cara untuk membalikkan keadaan.” Dengan isyarat tangan, Dante meminta Elena bergerak terlebih dahulu melalui pintu samping. Ia sendiri tetap di tempat, menciptakan pengalih perhatian dengan melemparkan granat asap k
Pagi di gudang aman terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada hiruk-pikuk langkah kaki atau percakapan ringan yang biasa terdengar. Semua orang tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dante berdiri di depan jendela kecil yang menghadap ke halaman belakang, tatapannya kosong seperti orang yang memikul dunia di pundaknya.“Dante,” suara Elena memecah keheningan.Dante berbalik, menemukan Elena berdiri di ambang pintu. Rambutnya diikat sederhana, tetapi ada kekuatan dalam cara ia menatapnya, seolah-olah mencoba menembus lapisan dinding emosional yang ia bangun.“Kita harus bicara,” kata Elena tegas.Dante mengangguk, meski dalam hatinya ia tahu pembicaraan ini tidak akan mudah.Elena menutup pintu di belakangnya, memastikan mereka memiliki privasi. Ia mendekat, duduk di kursi kayu yang sudah tua dan tampak hampir roboh.“Aku tahu kau mencoba melindungi kami,” kata Elena, suaranya rendah tapi tegas. “Tapi kau tidak bisa terus seperti ini, Dante. Kami membutuhkanmu sepenuhnya—tidak hanya
Hujan masih menderas di luar gudang, menciptakan irama monoton yang hampir menenangkan. Namun, di dalam ruangan itu, ketenangan tidak pernah benar-benar hadir. Dante duduk di meja, wajahnya tertutup bayangan lampu redup. Di depannya, layar besar menampilkan serangkaian data yang terus bergerak, hasil pencarian Zayba tentang Phantom.“Dante, aku menemukan beberapa informasi penting,” suara Zayba memecah keheningan.Dante mengangkat kepala, menatap layar. “Apa yang kau temukan?”“Phantom adalah nama sandi dari individu bernama Ezra Viscari. Dia adalah mantan informan keluarga Lamonte sebelum terjadi insiden yang mengubah segalanya. Sekarang, dia memimpin jaringan kriminal bawah tanah yang lebih kompleks dari apa yang kita duga sebelumnya.”Dante menghela napas panjang, mencoba menenangkan gejolak emosinya. Ezra bukan hanya sekadar nama dari masa lalu. Dia adalah seseorang yang dulu ia percayai, seseorang yang ia anggap sebagai bagian dari keluarganya.“Kenapa sekarang?” Dante bergumam p
Hujan telah reda, meninggalkan jejak embun di dedaunan dan aspal basah yang memantulkan kelamnya malam. Di sudut kota yang tersembunyi, sebuah gudang tua berdiri bisu, menyembunyikan berbagai rahasia yang terlalu gelap untuk disentuh cahaya. Dante berdiri di tengah ruangan yang remang, memandangi papan tulis penuh catatan, peta, dan potret-potret yang telah ia susun selama beberapa bulan terakhir. Wajah-wajah itu tampak familiar. Musuh yang telah ia lawan, teman yang telah ia kehilangan, dan orang-orang yang telah ia kecewakan. Jemarinya bergerak lambat menyentuh foto Marco, Elena, dan dirinya sendiri, yang terpajang di sudut papan itu. “Kapan ini akan berakhir?” gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Zayba, asisten virtualnya, menjawab dengan nada datar namun penuh perhatian. “Hanya ketika kau memutuskan untuk berhenti, Dante. Tetapi kau tahu, jalan ini sudah terlalu jauh untuk dihentikan sekarang.” Dante mendengus, setengah menyalahkan, setengah setuju. “
Suara hujan yang jatuh di atas genting logam menciptakan ritme melankolis di kawasan industri yang terlantar. Dante berdiri di bawah naungan bayangan sebuah kontainer besar, matanya menyusuri gelapnya malam dengan penuh kehati-hatian. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, telapak tangan terasa dingin tetapi tetap kokoh, seperti kegigihan yang telah melekat dalam dirinya. “Zayba,” panggil Dante, suaranya pelan namun tegas. “Analisa situasi.” Suara Zayba terdengar di telinganya, tenang seperti biasa. “Ada lima penjaga di gerbang utama. Mereka dilengkapi persenjataan berat, dan satu truk suplai sudah tiba. Jika mereka berhasil membawa truk itu pergi, misi kita akan gagal.” Dante menutup matanya sejenak, menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dari tekanan yang terus menggelayuti pikirannya. Ini bukan hanya soal memenangkan pertempuran, tetapi soal membuktikan bahwa ia mampu menghadapi setiap tantangan, apapun risikonya. Di kejauhan, Marco dan Elena menunggu di posisi masing-m
Suara jerat listrik masih terngiang di telinga Dante. Tubuhnya terbaring lemah di lantai dingin, napasnya tersengal-sengal. Rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh membuat setiap ototnya menjerit dalam kesakitan, seolah memaksanya menyerah pada takdir kelam yang dihadapi. Di atasnya, Leonhardt berdiri dengan percaya diri. Tatapannya tajam, seolah menatap mangsa yang tak berdaya. Bibirnya menyunggingkan senyum yang dipenuhi ejekan. “Kau benar-benar keras kepala, Dante,” Leonhardt membuka percakapan, suaranya dingin. “Aku sudah memberimu banyak kesempatan untuk mundur. Tapi lihatlah dirimu sekarang. Hancur, lemah, tak berdaya.” Dante menggeram dalam hati. Ia ingin menjawab, tetapi jerat listrik itu terlalu kuat, membuatnya sulit bergerak, apalagi berbicara. Leonhardt berjalan mengelilinginya dengan santai, seperti seorang raja yang baru saja memenangkan perang. “Kau pikir kau bisa mengalahkan aku? Kau pikir semua omong kosong tentang harapan dan keadilan bisa menghancurkan k
Lorong gelap itu terasa seperti menyempit di sekitar Dante, setiap langkahnya membisikkan ancaman baru. Bau mesiu yang menggantung di udara bercampur dengan aroma besi dari darah yang telah lama mengering di lantai. Namun, pikiran Dante bukan tentang bau itu, melainkan tentang kata-kata Leonhardt. "Aku tahu semua tentang kalian." Kata-kata itu terus terngiang di telinganya, menekan dada Dante seperti beban tak terlihat. Saat langkah kakinya membawa dia lebih dalam ke labirin markas, Dante menggenggam senjatanya erat-erat, meskipun ia tahu bahwa peluru bukan satu-satunya alat yang akan ia perlukan untuk bertahan. “Elena, Marco, tetap di belakangku,” ucap Dante tanpa menoleh. Suaranya tenang, tapi penuh otoritas. Marco merespons dengan nada cemas, “Dante, kita tidak bisa terus seperti ini. Kita perlu strategi yang lebih baik. Leonhardt jelas sudah mempermainkan kita.” “Strategi itu tidak akan berguna jika kita tidak keluar dari sini hidup-hidup,” balas Dante cepat, mengamati setia
Ruang utama markas Leonhardt terasa dingin dan hening, meski dindingnya terlapis ornamen mahal yang memancarkan kemewahan. Lampu gantung kristal di langit-langit berkilauan, tetapi sinarnya tak mampu mengusir kegelapan yang seakan menyelimuti setiap sudut ruangan. Dante berdiri tegap, tetapi di dalam dirinya, badai berkecamuk. Di hadapannya, Leonhardt masih duduk santai di kursi megahnya. Mata pria itu menatap tajam, penuh keyakinan, seolah tahu bahwa setiap langkah Dante telah diperhitungkan sebelumnya. “Kau benar-benar mengejutkanku, Dante,” kata Leonhardt sambil menyilangkan kaki. “Aku kira kau akan menyerah di tengah jalan, tapi ternyata kau lebih keras kepala dari yang kubayangkan.” Dante mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, mencoba menahan gejolak emosinya. “Aku tidak datang untuk mendengar omongan kosongmu, Leonhardt. Aku datang untuk mengakhiri semua ini.” Leonhardt tersenyum tipis, seperti seorang guru yang sedang mengamati muridnya yang ceroboh. “Mengakhiri? Kau