Home / Urban / TAKHTA BAYANGAN / Bab 10: Lingkaran Api

Share

Bab 10: Lingkaran Api

Author: Zayba Almira
last update Last Updated: 2024-11-28 17:46:32

Malam itu, Dante duduk sendirian di ruang belakang markas mereka. Pikirannya penuh dengan kemarahan yang belum menemukan tempat untuk dilampiaskan. Wajah Victor Vasquez terus membayangi pikirannya, terutama senyum dingin pria itu yang penuh keyakinan akan kemenangannya. Dante tahu bahwa ancaman Victor tidak main-main.

Ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Elena masuk tanpa menunggu jawaban.

"Dante," katanya dengan nada lembut, "kau belum makan sejak tadi siang. Kau tidak bisa terus seperti ini."

"Aku tidak lapar," jawab Dante singkat, tetapi Elena tidak mundur. Ia mendekati Dante dan duduk di kursi di depannya.

"Apa yang sebenarnya ada di kepalamu?" tanya Elena, mencoba memahami kegelisahan Dante.

Dante menghela napas panjang. "Victor bukan hanya ancaman baru, Elena. Dia lebih dari itu. Dia seseorang yang tahu bagaimana mengendalikan permainan ini. Dan dia sudah tahu kelemahan kita sebelum kita sempat mengenalnya."

Elena memiringkan kepalanya, mencoba membaca emosi Dante yang terkubur dalam. "Kau takut dia akan melakukan sesuatu pada kita?"

"Aku takut dia akan memecah kita," jawab Dante. "Lihat apa yang dia lakukan hanya dengan beberapa pesan. Lorenzo dipertanyakan. Kau mulai meragukan segalanya. Dan aku..."

"Kau apa?" desak Elena.

"Aku tidak yakin bisa melindungi kita semua," jawab Dante akhirnya. Pengakuan itu terdengar seperti beban yang akhirnya terlepas, tetapi luka di hatinya justru semakin terasa.

Elena mengulurkan tangan, menyentuh tangan Dante di atas meja. "Kau bukan sendiri dalam hal ini. Kita semua di sini untuk berjuang bersamamu. Jangan biarkan Victor membuatmu merasa sendirian."

---

Pagi berikutnya, Lorenzo kembali ke markas dengan ekspresi gelisah. "Aku punya kabar buruk," katanya, melemparkan sebuah amplop ke atas meja.

Dante dan Elena segera memperhatikannya. Amplop itu berisi foto-foto Elena yang diambil secara diam-diam—saat dia berjalan pulang, saat dia berada di kafe, bahkan saat dia sedang berbicara dengan Dante di markas.

"Ini dari Victor," kata Lorenzo dengan nada rendah. "Dia ingin kita tahu bahwa dia selalu mengawasi."

Elena mengambil salah satu foto itu, tangannya gemetar. "Dia mengawasi kita sepanjang waktu?"

"Bukan hanya itu," tambah Lorenzo. "Ada pesan di dalam amplop. Dia mengancam akan mengekspos kita semua ke pihak berwenang jika kita tidak mundur."

Dante membaca pesan itu dengan rahang mengeras. 'Berhenti sekarang, atau rahasia kalian akan menjadi berita utama besok pagi.'

"Dia ingin kita takut," kata Dante akhirnya. "Dan dia menggunakan Elena untuk menekan kita."

Elena mendongak, matanya penuh kemarahan. "Dia pikir dia bisa membuat kita tunduk dengan ancaman murahan ini?"

"Itu bukan ancaman murahan," kata Lorenzo dengan nada serius. "Kalau dia benar-benar melakukannya, semua rencana kita hancur. Tidak hanya kita, tetapi semua orang yang bekerja dengan kita juga akan terkena dampaknya."

"Kita tidak bisa membiarkan dia mendikte kita," jawab Dante tegas. "Tapi kita juga tidak bisa mengabaikan ancamannya. Kita harus bergerak cepat."

---

Dante mengumpulkan semua orang malam itu. Tim kecil mereka berkumpul di ruang utama, wajah-wajah mereka tegang tetapi penuh tekad.

"Kita akan menyerang Victor," kata Dante tanpa basa-basi.

"Kau yakin itu langkah yang tepat?" tanya Lorenzo. "Dia punya kekuatan lebih besar dari yang kita tahu. Kalau kita tidak hati-hati, kita bisa kehilangan segalanya."

"Itulah kenapa kita akan membuat rencana yang tidak dia duga," jawab Dante. "Victor merasa dia sudah mengendalikan kita, tetapi dia tidak tahu apa yang kita miliki."

Elena menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa rencanamu, Dante?"

"Kita akan menciptakan kekacauan di bawah hidungnya," kata Dante. "Dia punya jaringan besar, dan kita akan menghancurkannya satu per satu. Tapi kita harus melakukannya dengan hati-hati. Kalau kita membuat langkah yang salah, dia akan membalas dengan kekuatan penuh."

---

Keesokan harinya, Dante dan timnya memulai operasi mereka. Target pertama mereka adalah salah satu gudang yang digunakan Victor untuk menyimpan barang-barang ilegalnya.

Elena dan Lorenzo memimpin tim kecil untuk menyusup ke dalam gudang itu. Di sana, mereka menemukan lebih dari yang mereka harapkan: selain senjata, ada dokumen-dokumen penting yang menunjukkan hubungan Victor dengan pejabat korup di kota.

"Ini bukti yang kita butuhkan," bisik Elena sambil mengambil foto dokumen itu. "Kalau kita bisa mengekspos ini, Victor akan kehilangan sebagian besar pengaruhnya."

Namun, misi mereka tidak berjalan mulus. Salah satu penjaga di gudang itu menyadari kehadiran mereka, dan pertempuran sengit pun terjadi.

---

Sementara Elena dan Lorenzo berusaha keluar dari gudang, Dante berada di markas memantau jalannya misi melalui komunikasi radio. Saat suara tembakan terdengar, hatinya berdegup kencang.

"Lorenzo! Elena! Apa yang terjadi?" teriak Dante melalui radio.

"Kami ketahuan," jawab Elena di sela-sela suara tembakan. "Tapi kami sudah mendapatkan dokumennya. Kami hanya perlu waktu untuk keluar."

"Jangan ambil risiko yang tidak perlu!" perintah Dante, tetapi ia tahu bahwa Elena tidak akan menyerah begitu saja.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, Elena dan Lorenzo akhirnya berhasil keluar dengan membawa dokumen-dokumen itu. Namun, Lorenzo terluka di lengan, dan wajah Elena menunjukkan tanda-tanda kelelahan yang luar biasa.

---

Kembali ke markas, Dante membantu Lorenzo membersihkan lukanya sementara Elena duduk di sofa dengan napas yang masih tersengal.

"Kita berhasil," kata Elena dengan suara lemah. "Tapi ini baru permulaan."

Dante menatap dokumen-dokumen yang mereka bawa. Di sana terdapat nama-nama pejabat, lokasi-lokasi lain yang digunakan Victor, dan transaksi-transaksi gelap yang ia lakukan.

"Kita bisa menggunakan ini untuk menyerangnya," kata Dante dengan nada tegas. "Tapi kita harus berhati-hati. Victor tidak akan tinggal diam setelah ini."

Lorenzo mengangguk, meskipun wajahnya masih menunjukkan rasa sakit. "Kita harus bergerak cepat sebelum dia menyadari apa yang telah kita lakukan."

Dante tahu bahwa pertarungan mereka melawan Victor baru saja dimulai. Tetapi ia juga tahu bahwa dengan dokumen ini, mereka akhirnya memiliki senjata untuk melawan balik.

Related chapters

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 11: Jejak Sang Penguasa Kuno

    Dante berdiri di puncak gedung tua yang dulunya adalah markas rahasia milik keluarganya. Angin malam berhembus kencang, membawa aroma hujan yang tertahan di langit. Chipset di tubuhnya terus-menerus berdenyut, hampir seolah-olah mencoba memberi tahu sesuatu yang lebih besar daripada sekadar informasi duniawi. Selama ini, chipset itu hanya dianggap sebagai teknologi mutakhir yang diciptakan ayahnya untuk membantunya bertahan hidup di dunia penuh intrik dan bahaya. Namun, beberapa hari terakhir, ada sesuatu yang berbeda. Data yang diaksesnya bukan hanya data biasa. Ada informasi kuno, nama-nama yang bahkan tidak pernah disebutkan dalam sejarah manusia modern, mulai muncul di pikirannya—nama-nama seperti "Orion Sang Penjaga" dan "Erebus Sang Penghukum." Dante merasa tubuhnya memanas setiap kali ia mencoba memahami data ini. Namun, semakin dia berusaha mencari tahu, semakin chipset itu terasa seperti bukan hanya teknologi. Ada kekuatan di dalamnya, kekuatan yang melampaui logika. ---

    Last Updated : 2024-11-29
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 12: Beban Takdir

    Dante berdiri di tengah kekacauan yang baru saja terjadi, tubuhnya bergetar, bukan karena kelelahan, tetapi karena energi yang mengalir deras melalui dirinya. Tangannya mengepal erat, mencoba menahan dorongan kekuatan yang nyaris tidak terkendali. Cahaya keemasan yang tadi menyala di matanya perlahan memudar, namun jejak keberadaan kekuatan itu masih terasa di udara. Elena mendekat perlahan, hati-hati seperti seseorang yang mendekati binatang buas yang terluka. “Dante, kau harus bicara padaku. Apa yang baru saja terjadi?” suaranya bergetar, antara khawatir dan takut. Dante menggelengkan kepalanya, mencoba mencari jawaban di pikirannya sendiri. "Aku tidak tahu, Elena," katanya dengan suara serak. “Ada sesuatu yang bangkit di dalam diriku. Chipset ini… bukan sekadar alat. Ini adalah pintu menuju sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang mungkin seharusnya tidak pernah dibuka.” Lorenzo, yang selama ini selalu tampil tenang, berdiri beberapa langkah di belakang mereka. Wajahnya tegang, m

    Last Updated : 2024-11-29
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 13: Jekak Takdir yang Terkuak

    Hening malam di markas kecil mereka terasa seperti angin yang mempersiapkan badai besar. Dante berdiri di balkon, memandangi kota yang terang oleh lampu jalan, tetapi gelap oleh kebusukan yang merajalela. Di bawahnya, Elena dan Lorenzo sedang berbicara serius di ruang tengah, namun suaranya hampir tak terdengar oleh Dante. Chipset dalam tubuhnya kini bekerja dengan tingkat yang berbeda—bukan hanya menganalisis, tetapi juga memberikan Dante kemampuan untuk merasakan energi orang-orang di sekitarnya. Dante menyadari sesuatu yang ia belum pernah rasakan sebelumnya: jiwanya bergetar, dan bukan hanya karena kekuatan yang baru ditemukan. Melainkan karena pertanyaan besar yang menghantuinya. Apakah aku siap menerima semua ini? Apakah aku mampu mengendalikan kekuatan ini tanpa kehilangan diriku sendiri? ---- Elena menyadari tatapan Dante dari atas. Ia mendongak, lalu memutuskan untuk mendekati pemuda itu. Langkahnya pelan, tetapi ada ketegasan dalam gerakannya. Lorenzo mencoba menahan Ele

    Last Updated : 2024-11-30
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 14: Luka yang Terungkap

    Angin malam di pinggiran kota membawa aroma besi dan debu, bercampur dengan rasa kekalahan yang berat. Dante duduk di sudut ruangan markas mereka yang kumuh, tubuhnya bersandar pada dinding dingin. Luka di lengannya mengeluarkan darah, tetapi rasa sakit fisik itu tidak sebanding dengan rasa hancur yang bergelut di dadanya. Elena berdiri tak jauh darinya, menggigit bibir dengan keras untuk menahan luapan emosinya. Tangannya bergetar saat ia mempersiapkan perban dan alat medis sederhana. Lorenzo mondar-mandir di ruangan, kepalan tangannya berkeringat. "Kau hampir mati di sana," suara Elena memecah keheningan, penuh dengan kemarahan yang tertahan. "Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Dante? Kau tidak tak terkalahkan." Dante mendongak perlahan, menatap Elena dengan mata kosong. "Aku tahu. Tapi kalau aku tidak melawan mereka, kita semua akan mati." "Itu bukan alasan!" Elena membanting gulungan perban ke meja, air matanya mulai mengalir. "Aku muak melihatmu bertindak seperti ini. Kau tid

    Last Updated : 2024-11-30
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 15: Bayangan di Balik Kebenaran

    Malam itu terasa lebih kelam dari biasanya, seolah-olah langit pun tahu ada rahasia besar yang akan terungkap. Kendaraan mereka melaju kencang menuju pinggiran kota, di mana fasilitas penelitian yang disebut dalam data Victor berada. Lorenzo mengemudi dengan fokus, sementara Elena duduk di kursi penumpang, menatap jalanan dengan gelisah. Di kursi belakang, Dante duduk diam, mencoba mengendalikan pikirannya. Namun, suara di kepalanya semakin sering muncul. Bukan hanya bisikan samar, melainkan gema yang menyerupai tawa kecil—sinis dan penuh teka-teki. "Kau ingin jawaban, Dante? Kau pikir itu akan membuat segalanya lebih mudah? Kau bahkan belum siap untuk menghadapi dirimu sendiri." “Dante,” suara Elena memecah keheningan. “Apa kau baik-baik saja?” Dante tersentak keluar dari lamunannya. Ia menatap Elena melalui kaca spion, mencoba memaksakan senyum. “Aku baik-baik saja.” “Kau tidak terlihat baik,” balas Elena, nadanya tegas namun penuh kekhawatiran. Lorenzo melirik mereka

    Last Updated : 2024-12-01
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 16: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Dante memandang Adrian dengan tatapan tajam, matanya penuh dengan kebencian dan rasa ingin tahu yang bercampur menjadi satu. Ruangan yang tadinya penuh dengan suara mesin dan layar hologram terasa hening seperti kuburan. Elena tetap berdiri di samping Dante, telapak tangannya yang dingin menggenggam erat lengan sahabatnya. “Kau bilang aku adalah kunci,” kata Dante perlahan, suaranya terdengar berat. “Jelaskan. Apa maksudmu? Jangan buang waktuku dengan teka-teki.” Adrian melipat tangannya, langkahnya santai tetapi penuh perhitungan. “Kau menginginkan kebenaran? Baik. Tapi izinkan aku bertanya satu hal terlebih dahulu.” “Tidak ada waktu untuk bermain-main,” bentak Dante, suaranya naik satu oktaf. Adrian tetap tenang, seolah tidak terganggu oleh ledakan emosi itu. “Dante, apa kau pernah bertanya-tanya mengapa kau memiliki kemampuan luar biasa ini? Mengapa chipset itu—yang dirancang untuk para prajurit elit—dapat berfungsi sempurna dalam tubuhmu, bahkan meningkatkan potensinya?”

    Last Updated : 2024-12-01
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 17: Pilihan yang Menghantui

    Dante berdiri di depan perangkat besar yang berdenyut perlahan, jantungnya seakan berdegup lebih cepat dari biasanya. Setiap detik yang berlalu terasa berat, seperti sesuatu yang menunggu untuk meledak. Ada beban yang mengganjal di dadanya, dan setiap pilihan yang ia pikirkan seolah semakin membuatnya terperangkap dalam lingkaran setan yang tak berujung.“Dante…” suara Elena terdengar lirih, menggema di ruang hampa. Ia berdiri tidak jauh darinya, menggenggam tangannya dengan erat. Namun, meskipun Elena ada di sampingnya, rasa kesepian yang dalam tak bisa dihindari. Semua yang terjadi—semua kebohongan, ingatan yang hilang, kekuatan yang tak terbayangkan—membuatnya merasa lebih jauh dari orang-orang yang menyayanginya.“Jika aku memilih untuk mengakses ingatan ini,” Dante berbicara perlahan, seolah memikirkan setiap kata yang keluar dari mulutnya, “artinya aku memilih untuk mengetahui siapa aku sebenarnya. Tapi pada saat yang sama, aku juga akan membuka pintu yang tidak bisa ditutup kem

    Last Updated : 2024-12-02
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 18: Jejak yang Tertinggal

    Dante menatap langit malam yang gelap, dihiasi oleh kilatan-kilatan bintang yang jauh di atas sana. Di luar, suara kendaraan dan kota yang tak pernah tidur terdengar samar-samar. Ia berdiri di balkon ruang bawah tanah yang kini menjadi markas sementara mereka, merasakan dingin angin yang menyapu wajahnya. Ada ketenangan di luar, tetapi hatinya masih dipenuhi gejolak yang tak bisa dijelaskan.Dante memikirkan pilihan yang telah ia buat. Meskipun ia menutup file holografis yang berisi data masa lalunya, ingatan itu tidak bisa sepenuhnya hilang. Gambaran dirinya yang terikat di meja operasi, penuh dengan rasa sakit, tetap menghantuinya. Tapi kali ini, ada perasaan yang lebih kuat: keinginan untuk bangkit dan mengendalikan takdirnya sendiri.Di dalam dirinya, chipset yang ditanamkan memberi dorongan untuk berpikir lebih cepat, menganalisis situasi dengan akurat. Namun, meski ia bisa mengakses informasi dengan mudah, kenyataannya jauh lebih rumit. Tidak ada algoritma atau perhitungan yang

    Last Updated : 2024-12-02

Latest chapter

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 106

    Malam itu, langit dihiasi ribuan bintang yang berkelap-kelip, seakan menjadi saksi dari perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Dante berdiri di tepi tebing, menatap ke kejauhan. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di belakangnya, Elena dan Ayra berdiri dengan ekspresi berbeda—Ayra dengan tatapan lembut, sementara Elena menatap Dante dengan ragu. "Apa yang kita cari selama ini akhirnya ada di depan mata," ucap Ayra, suaranya nyaris seperti bisikan. Dia melirik Elena sebelum kembali menatap Dante. "Semua ini hanya tentang pilihan." Dante menarik napas panjang, dadanya terasa berat. Pilihan. Satu kata sederhana yang membawa beban tak terhingga. Semua kenangan, perjuangan, dan kehilangan selama perjalanan ini berputar di pikirannya. "Ini bukan hanya soal pilihan," jawab Dante akhirnya Dante berbalik, wajahnya diselimuti kerut keseriusan. Mata Elena dan Ayra saling bertemu, seperti ada yang mereka coba ungkapkan, namun belum sepenuhnya bis

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 100

    Mentari pagi memancarkan sinar hangatnya, menyusup di antara tirai jendela rumah Dante dan Ayra. Udara terasa segar, membawa harapan baru. Di meja makan, Ayra sudah sibuk menata sarapan. Aroma kopi bercampur dengan harum roti panggang memenuhi ruangan.Dante muncul dari lorong, mengenakan kaus santai dan celana pendek. Ia menghampiri Ayra, melingkarkan tangannya di pinggangnya dengan lembut. "Pagi, cantik," bisiknya dengan suara berat yang masih terasa hangat dari tidur.Ayra tersenyum, mengaduk teh di cangkirnya. "Pagi juga. Tidurmu nyenyak?""Nyenyak. Tapi aku lebih suka begini, bangun pagi dan melihatmu." Dante mencium pipi Ayra sekilas sebelum duduk di kursi meja makan.Ayra menggeleng, tawa kecilnya melayang di udara. "Kau tahu cara membuat hari seseorang jadi lebih cerah, ya?"Dante hanya tersenyum lebar, lalu mulai menyantap sarapannya. "Apa rencanamu hari ini?"Ayra duduk di depannya, menyesap teh hangat. "Aku ingin

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 99

    Langit malam menghamparkan taburan bintang yang membisikkan ketenangan. Dante berdiri di beranda rumahnya, memandang jauh ke cakrawala. Pikirannya melayang pada pertemuan terakhir antara Ayra dan Elena. Sebuah akhir yang damai, tetapi baginya, itu juga menjadi awal baru."Masih belum bisa tidur?" Ayra muncul dari balik pintu, membawakan secangkir teh hangat. Ia mengenakan sweater rajut yang longgar, rambutnya dibiarkan tergerai.Dante tersenyum kecil, menerima cangkir itu. "Aku hanya berpikir... tentang semua yang telah terjadi."Ayra berdiri di sampingnya, ikut memandang langit malam. "Kadang sulit dipercaya, bukan? Bahwa kita masih di sini, bersama, setelah semua yang kita lalui."Dante menatap Ayra, matanya mengandung kehangatan. "Aku selalu percaya kita bisa melewati semuanya, Ayra. Karena aku tahu... kau adalah rumahku."Ayra tertegun mendengar kata-kata itu. Ia menatap Dante, merasa hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan yang hang

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 98

    Angin pagi meniupkan kesejukan yang lembut saat Dante memarkir mobilnya di depan rumah Ayra. Langit masih pucat, pertanda matahari baru saja bangkit dari tidurnya. Dante keluar, membuka pintu untuk Ayra, yang tampak sedikit lelah tetapi tetap bersemangat. "Aku masih merasa seperti mimpi," Ayra berkata sambil melangkah keluar. Matanya menatap Dante dengan sorot bingung dan kagum. "Mimpi seperti apa?" Dante bertanya, menutup pintu mobil di belakangnya. "Bahwa aku bisa merasa begini... merasa cukup hanya dengan satu orang." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti gumaman, tetapi Dante mendengarnya jelas. Dante mendekat, menyentuh lengan Ayra dengan lembut. "Aku ingin kau tahu, aku juga merasa begitu. Dan aku akan memastikan kau selalu merasa cukup denganku." Ayra tersenyum kecil. "Aku percaya padamu." Langkah mereka menuju teras terasa seperti simbol dari awal yang baru. Tidak ada lagi beba

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 97

    Angin malam menyentuh wajah Dante saat ia berdiri di balkon kecil apartemennya. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat, tetapi pikirannya jauh dari kehangatan yang seharusnya dirasakannya. Cahaya lampu kota berkelap-kelip di bawah sana, membentuk pemandangan yang sepi meskipun penuh warna.Di belakangnya, suara langkah pelan mengisi keheningan. Ayra berdiri di ambang pintu balkon, mengenakan sweater oversize yang menggantung hingga lututnya. Matanya memancarkan keraguan, seakan langkah kecil itu memerlukan keberanian besar."Dante," suaranya hampir tenggelam dalam angin, tetapi Dante mendengarnya. Ia berbalik, pandangannya bertemu dengan mata cokelat Ayra yang dipenuhi pergolakan."Ada apa?" tanyanya lembut, menurunkan cangkir kopi ke meja kecil di sebelahnya.Ayra terdiam sesaat, menatap ke lantai sebelum mengangkat pandangannya kembali. "Aku... aku ingin kita bicara. Tentang semuanya."Dante menatapnya dengan penuh perhatian.

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 96

    Langit mendung menggantung, menyelimuti kota dengan suasana muram. Hujan yang turun sejak dini hari menciptakan genangan di sepanjang jalan, seperti memantulkan perasaan Dante yang masih diliputi kebimbangan.Dante duduk di ruang kerjanya, matanya menatap kosong layar komputer yang menyala di depannya. Deretan angka dan data yang biasa memberinya rasa aman kini hanya terlihat seperti simbol-simbol tak berarti. Suara hujan yang menghantam kaca jendela menjadi satu-satunya hal yang mengisi kesunyian ruangan.“Dante,” suara Ayra memecah lamunannya.Dia berdiri di ambang pintu, mengenakan sweater abu-abu yang kebesaran, rambutnya tergerai alami. Ada kekhawatiran dalam matanya yang cokelat pekat, seolah dia bisa melihat pergulatan yang bergejolak di dalam hati Dante.“Aku sudah memanggilmu tiga kali,” katanya, melangkah masuk.“Maaf.” Dante mengalihkan pandangan, menggosok pelipisnya dengan frustrasi. “Aku hanya—ada banyak hal di pikirank

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 95

    Langit mendung menggantung rendah, seolah meramalkan badai besar yang akan datang. Lembah di depan mereka memancarkan kesunyian yang mencekam, hanya diselingi suara angin yang berdesir melewati pepohonan. Dante berdiri di tepi jurang kecil, menatap pemandangan di depannya dengan mata tajam. Jauh di kejauhan, bangunan besar yang menjadi markas musuh tampak seperti bayangan kelabu di tengah kabut.Elena mendekat perlahan, membawa sebotol air untuk Dante. Ia tahu Dante sudah terlalu lama memandang ke arah itu tanpa beristirahat. “Kau harus menjaga energimu, Dante,” katanya lembut sambil menyerahkan botol itu.Dante menerimanya, tetapi ia tidak langsung meminumnya. “Markas itu… tampak lebih terjaga dari yang kuduga,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Elena memandang bangunan itu dengan mata yang tidak kalah serius. “Kita tahu ini tidak akan mudah. Tapi kita sudah sejauh ini. Tidak ada jalan kembali.”Dari kejauhan, Ayra duduk di atas sebata

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 94

    Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, menggigilkan tubuh Ayra yang masih lemah akibat perjalanan semalam. Ia berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu lemah di depan Dante dan Elena. Kedua orang itu kini tampak lebih tegas dalam gerakan mereka, seolah mereka sudah menetapkan tujuan yang jelas. Dante memimpin langkah, mengamati setiap sudut dengan saksama. Pepohonan lebat yang melingkupi mereka memberikan perlindungan sementara, tetapi tidak menghilangkan bahaya yang terus membayangi. “Berapa lama lagi kita akan sampai di tempat persembunyian itu?” Ayra bertanya dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kecemasan di balik kata-katanya. Dante menoleh sekilas, matanya tajam namun tetap teduh. “Tidak jauh lagi. Jika kita tetap bergerak tanpa berhenti, kita bisa sampai sebelum matahari terbenam.” Ayra mengangguk, meski tubuhnya sudah mulai kehilangan tenaga. Ia tidak ingin menjadi b

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 93

    Matahari perlahan merangkak naik, menyemburatkan cahaya lembut ke langit kelabu. Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, tetapi Dante tidak bergeming dari posisinya di puncak batu besar yang menghadap lembah. Tangannya menggenggam gagang belati kecil yang selalu ia bawa, seolah benda itu adalah jangkar terakhir dari kewarasan di tengah badai pikirannya. Di belakangnya, Ayra duduk dengan tangan terlipat di dada, punggungnya bersandar pada pohon besar. Ia tak berbicara sepatah kata pun sejak pertengkaran malam sebelumnya. Sinar matahari menyoroti wajahnya yang terlihat lelah tetapi tetap anggun, dengan mata yang memandang kosong ke depan. Sementara itu, Elena berdiri tak jauh dari keduanya, mengamati Dante dengan tatapan penuh tanya. Ia tahu, sejak pertemuan mereka pertama kali, ada luka yang selalu Dante sembunyikan di balik sikap tegasnya. Namun, luka itu kini tampak lebih jelas dari sebelumnya, seperti retakan kecil di kaca yang perlahan melebar.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status