Beranda / Urban / TAKHTA BAYANGAN / Bab 5: Hati yang Terpecah

Share

Bab 5: Hati yang Terpecah

Penulis: Zayba Almira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-22 16:07:58

Dante dan Elena berlari menyusuri lorong-lorong sempit, merasakan jejak langkah kaki yang semakin dekat di belakang mereka. Keheningan malam itu terasa menyesakkan. Angin berhembus kencang, menyisir wajah mereka dengan dingin, namun hatinya jauh lebih dingin lagi. Setiap detik yang berlalu membawa mereka lebih dekat ke ancaman yang semakin jelas. Hanya ada satu tujuan dalam benak Dante: bertahan hidup. Tetapi saat ia menatap Elena di sampingnya, ia merasa ada lebih dari sekadar ancaman yang membayangi mereka. Ada kebenaran yang ingin ia pecahkan, sebuah rasa penasaran yang semakin menggerogoti hatinya.

Setelah beberapa belokan tajam, mereka tiba di sebuah pintu yang tersembunyi di balik tumpukan barang-barang lama. Elena membuka pintu itu dengan cepat, menggenggam tangan Dante dengan erat. "Masuk," katanya tegas.

Dante ragu sejenak, menatap ruang gelap di dalamnya. Mereka tak punya banyak pilihan. Elena sudah melangkah lebih dulu, dan Dante segera mengikuti, menutup pintu dengan lembut namun cepat.

Dalam kegelapan, hanya ada suara napas mereka yang terdengar. Elena menyalakan lampu dengan cepat, dan mereka menemukan diri mereka di sebuah ruang penyimpanan kecil yang penuh dengan tumpukan barang-barang bekas.

Dante berdiri diam sejenak, mencoba menenangkan dirinya. "Kenapa kita harus lari terus-menerus? Apa yang sebenarnya terjadi, Elena?"

Elena menatapnya, ada kecemasan yang samar di matanya meski ia berusaha tetap tenang. "Kita dikejar, Dante. Kita dikejar oleh orang-orang yang tak akan ragu untuk membunuh kita jika kita lengah. Tapi kau benar—kita harus tahu lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi."

Dante merasakan beban yang sangat berat di hatinya. "Kau bilang ada sesuatu yang ditinggalkan oleh ayahku untukku. Tapi aku... aku bahkan tak tahu siapa dia sebenarnya. Aku tidak tahu siapa diriku. Semua ini... semuanya terlalu cepat. Aku tidak siap."

Ada jeda panjang sebelum Elena akhirnya menjawab, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. "Kau tak pernah benar-benar diberi kesempatan untuk tahu, Dante. Ayahmu menyembunyikan banyak hal darimu—terlalu banyak hal. Mungkin itu cara dia untuk melindungimu dari dunia ini, tapi sekarang... sekarang dunia ini datang menjemputmu."

Dante menunduk, perasaan kecewa dan kebingungannya semakin mendalam. Ia ingat masa kecilnya—kenangan tentang ayahnya yang selalu sibuk, tetapi selalu ada saat ia membutuhkan sesuatu. Namun, di balik kenangan itu, ada kekosongan yang besar—sebuah lubang yang tidak bisa ia isi dengan apa pun.

"Apa yang harus kulakukan sekarang, Elena?" tanyanya dengan suara hampir putus asa. "Aku merasa aku terjebak di antara kegelapan dan kebohongan. Ayahku, Lucius, Rafael... semuanya saling terhubung, dan aku seperti pion yang hanya dipermainkan."

Elena mendekat, mengingatkan Dante dengan tatapan yang tegas. "Tidak ada yang bisa memutuskan takdirmu kecuali kau sendiri, Dante. Mereka mungkin menginginkanmu mati, tapi kau masih hidup. Kau masih bisa mengubah semuanya. Jika ada yang harus dihancurkan, itu adalah permainan mereka—bukan dirimu."

Kata-kata itu menembus dinding kebingungannya, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan keraguan. Dante tahu Elena benar—ia masih hidup. Tapi di dunia yang begitu penuh dengan kebohongan dan pengkhianatan ini, apakah ada tempat untuknya? Apa yang bisa ia percayai?

---

Tak lama setelah mereka bersembunyi di ruang kecil itu, suara mobil yang mendekat terdengar semakin jelas. Elena memegang bahu Dante dengan erat, membisikinya dengan suara penuh ketegangan, "Mereka sudah dekat. Kita harus bergerak."

Dante menatap Elena, matanya penuh dengan kebingungan. "Mereka? Siapa lagi yang akan datang?"

Elena menatapnya dengan penuh keseriusan. "Orang-orang dari Sangkar Besi. Mereka tidak akan berhenti mencari kita."

Dante merasakan hatinya berdebar semakin kencang. Sangkar Besi—organisasi yang dikenal dengan ketegasan dan kekejamannya. Mereka adalah orang-orang yang tak akan segan-segan menghancurkan siapa saja yang menghalangi jalan mereka. Dan sekarang, Dante tahu mereka berada di urutan paling atas dalam daftar target.

"Kenapa mereka begitu mengejar kita?" tanya Dante, mencoba memahami semua ini.

"Karena kau, Dante," jawab Elena, suaranya teredam oleh ketegangan. "Karena kau adalah satu-satunya orang yang bisa mengungkap keberadaan The Codex. Mereka tahu bahwa jika kau berhasil menemukan dokumen itu, dunia mereka akan hancur."

Dante merasa seluruh tubuhnya menggigil mendengar kata-kata itu. "Lalu apa yang harus kulakukan? Aku tidak tahu apa yang harus dicari."

Elena menarik napas dalam-dalam. "Kau harus percayakan ini pada dirimu sendiri. Ayahmu meninggalkan petunjuk, dan meskipun kau tidak tahu apa-apa, kau bisa menemukannya. Kau sudah tahu lebih banyak daripada yang kau kira."

Dante menatapnya, merasa sesuatu yang terpendam dalam dirinya mulai muncul. Insting. Sesuatu yang selalu ia abaikan sebelumnya, tetapi kini terasa semakin jelas. Ia harus mempercayai dirinya sendiri. Ia harus berani menghadapi ketakutan dan kebingungannya.

"Tapi apa yang terjadi jika aku gagal, Elena?" tanya Dante dengan suara penuh keresahan. "Jika aku gagal, orang-orang yang aku sayangi akan terjebak dalam permainan ini."

"Jika kau gagal, mereka akan menang," jawab Elena dengan tegas. "Tapi jika kau berhasil, maka semuanya akan berubah. Kau bisa menghentikan mereka."

Dante menutup matanya sejenak, merasakan beratnya keputusan ini. Dunia yang dulu ia anggap jauh dan asing kini telah menghampirinya. Dunia yang penuh dengan bahaya dan pengkhianatan. Dunia yang seolah-olah telah menunggu kedatangannya sejak lama.

---

Keesokan harinya, setelah beristirahat sejenak, mereka melanjutkan perjalanan mereka. Elena sudah mempersiapkan kendaraan yang akan membawa mereka ke tempat yang lebih aman, meskipun Dante tahu bahwa ke mana pun mereka pergi, bahaya tidak akan pernah berhenti mengintai.

Saat mereka memasuki mobil, suasana terasa tegang. Tak ada percakapan lebih lanjut—hanya suara mesin mobil yang memecah keheningan. Dante melihat Elena di sampingnya, menyadari betapa kerasnya wanita ini berjuang untuk mempertahankan kehidupannya, dan untuk memastikan ia tetap hidup.

"Elena," kata Dante setelah beberapa saat. "Aku berjanji, aku akan menemukan The Codex. Aku akan menghentikan Lucius dan orang-orang yang menginginkan kehancuran kita."

Elena menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya, ia melihat sedikit kelembutan di matanya. "Aku tahu kau bisa, Dante. Aku tahu kau lebih kuat dari yang kau kira."

Namun, di dalam hati Dante, perasaan yang lebih dalam mulai terbangun—rasa takut akan kehilangan, rasa bersalah karena ia tak pernah bisa memberi lebih banyak kepada orang-orang yang ia cintai. Tetapi kini, tak ada waktu lagi untuk mundur. Waktu mereka semakin sedikit, dan hanya ada satu jalan: maju.

Di depan mereka, jalanan terbentang dengan misteri dan bahaya, namun Dante tahu bahwa tak ada jalan lain yang bisa diambil. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar hidup, meskipun seluruh dunia di sekitarnya tampak mengancam.

Bab terkait

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 6: Percikan di Tengah Kegelapan

    Malam menyelimuti kota dengan gelap yang hampir sempurna. Langit tanpa bintang dan jalanan lengang terasa seperti sebuah pertanda buruk. Di sebuah gudang tua di pinggiran kota, suara-suara samar terdengar—bisikan penuh ketegangan dan langkah-langkah kaki yang berhati-hati. Di dalam, Dante berdiri memandangi papan penuh peta, dokumen, dan foto. Setiap potongan informasi terasa seperti teka-teki besar yang tidak sepenuhnya ia pahami. Elena berdiri di sampingnya, tangan terlipat dengan wajah tegang. "Ini semua hanya sebagian kecil," kata Elena sambil menunjuk ke salah satu peta. "The Codex mungkin saja disembunyikan di salah satu fasilitas ini. Tapi setiap lokasi adalah ancaman." Dante mengangguk pelan, tetapi pikirannya tidak sepenuhnya ada di situ. Sejak mengetahui bahwa dirinya adalah pewaris dari kekuatan besar—dan berbahaya—ia merasa seperti hidupnya telah diambil alih oleh sesuatu yang tidak pernah ia minta. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti melangkah ke jurang yang l

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 7: Bayangan yang Lebih Gelap

    Pagi menyingsing dengan suasana muram. Dante berdiri di balkon sebuah rumah persembunyian yang terletak di pinggir kota, memandangi jalanan yang sepi. Matanya yang sembab menatap kosong, pikirannya kembali ke kejadian malam sebelumnya. Gudang itu hancur, Rafael lolos, dan Nina masih berada dalam ancaman. Elena datang menghampirinya, membawa secangkir kopi. "Kau tidak tidur sama sekali," katanya, meletakkan cangkir itu di meja kecil. "Aku tidak bisa," jawab Dante singkat. "Kepalaku dipenuhi oleh semua kemungkinan buruk. Rafael terus bermain-main denganku, dan aku selalu kalah." "Kita belum kalah," kata Elena dengan tegas, mencoba mengembalikan semangat Dante. "Kita masih di sini, dan kita masih punya kesempatan untuk membalikkannya." "Tapi dengan harga apa?" Dante menoleh padanya. "Berapa banyak lagi orang yang harus terjebak dalam permainan ini? Aku sudah kehilangan terlalu banyak, Elena." Elena mendekat, menatapnya dengan serius. "Justru karena itu kau tidak boleh menyerah. Kau

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 8: Penghianatan yang Tak Terduga

    Malam di rumah persembunyian itu lebih sunyi dari biasanya, tetapi suasana tegang terasa jelas di udara. Dante duduk di ruang tamu, memeriksa dokumen yang mereka curi dari apartemen Rafael. Nama-nama di dalamnya bukan hanya sekutu Rafael, tetapi juga mencakup beberapa orang yang selama ini dianggap netral atau bahkan teman. "Aku tidak percaya mereka semua ada dalam daftar ini," gumam Dante, suaranya rendah tetapi penuh amarah. Elena yang duduk di sofa seberang mengamati wajah Dante yang tegang. "Kita tidak bisa hanya mengandalkan asumsi. Beberapa dari mereka mungkin dipaksa, atau bahkan dijebak oleh Rafael." "Tapi kita tidak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa mereka telah berkhianat," potong Dante. Matanya menatap salah satu nama dengan intensitas yang membuat Elena merasa tidak nyaman. "Siapa di daftar itu yang membuatmu gelisah?" tanya Elena, mendekat. Dante menggelengkan kepala, tetapi Elena menangkap kilatan emosi di matanya. "Dante, kalau ini soal seseorang yang kau kenal,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-26
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 9: Retakan di Antara Kita

    Malam di persembunyian terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena cuaca, tetapi karena ketegangan yang menggantung di udara. Dante duduk di sudut ruangan, menatap peta kota di depannya. Tangannya mengepal di atas meja, sementara pikirannya terus berputar mencari jawaban atas serangan mendadak tadi malam. Lorenzo berdiri di dekat jendela, wajahnya penuh kebingungan dan luka batinnya jelas terlihat. Di sisi lain, Elena mondar-mandir dengan raut wajah frustrasi, menggosok dahinya berulang kali. Semua orang terjebak dalam pikiran mereka sendiri, tetapi kebisuan itu akhirnya pecah oleh suara Elena. "Kita tidak bisa terus begini," katanya dengan nada tinggi, berhenti di tengah ruangan. "Ada yang harus dijelaskan. Kalau bukan oleh musuh di luar, maka oleh seseorang di antara kita." Dante mengangkat wajahnya perlahan, tatapannya dingin tetapi sarat emosi yang sulit ditebak. "Apa maksudmu, Elena?" Elena menatapnya balik tanpa rasa takut. "Aku tidak bisa mengabaikan ini, Dante. Lorenz

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 10: Lingkaran Api

    Malam itu, Dante duduk sendirian di ruang belakang markas mereka. Pikirannya penuh dengan kemarahan yang belum menemukan tempat untuk dilampiaskan. Wajah Victor Vasquez terus membayangi pikirannya, terutama senyum dingin pria itu yang penuh keyakinan akan kemenangannya. Dante tahu bahwa ancaman Victor tidak main-main. Ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Elena masuk tanpa menunggu jawaban. "Dante," katanya dengan nada lembut, "kau belum makan sejak tadi siang. Kau tidak bisa terus seperti ini." "Aku tidak lapar," jawab Dante singkat, tetapi Elena tidak mundur. Ia mendekati Dante dan duduk di kursi di depannya. "Apa yang sebenarnya ada di kepalamu?" tanya Elena, mencoba memahami kegelisahan Dante. Dante menghela napas panjang. "Victor bukan hanya ancaman baru, Elena. Dia lebih dari itu. Dia seseorang yang tahu bagaimana mengendalikan permainan ini. Dan dia sudah tahu kelemahan kita sebelum kita sempat mengenalnya." Elena memiringkan kepalanya, mencoba membaca emosi D

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 11: Jejak Sang Penguasa Kuno

    Dante berdiri di puncak gedung tua yang dulunya adalah markas rahasia milik keluarganya. Angin malam berhembus kencang, membawa aroma hujan yang tertahan di langit. Chipset di tubuhnya terus-menerus berdenyut, hampir seolah-olah mencoba memberi tahu sesuatu yang lebih besar daripada sekadar informasi duniawi. Selama ini, chipset itu hanya dianggap sebagai teknologi mutakhir yang diciptakan ayahnya untuk membantunya bertahan hidup di dunia penuh intrik dan bahaya. Namun, beberapa hari terakhir, ada sesuatu yang berbeda. Data yang diaksesnya bukan hanya data biasa. Ada informasi kuno, nama-nama yang bahkan tidak pernah disebutkan dalam sejarah manusia modern, mulai muncul di pikirannya—nama-nama seperti "Orion Sang Penjaga" dan "Erebus Sang Penghukum." Dante merasa tubuhnya memanas setiap kali ia mencoba memahami data ini. Namun, semakin dia berusaha mencari tahu, semakin chipset itu terasa seperti bukan hanya teknologi. Ada kekuatan di dalamnya, kekuatan yang melampaui logika. ---

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 12: Beban Takdir

    Dante berdiri di tengah kekacauan yang baru saja terjadi, tubuhnya bergetar, bukan karena kelelahan, tetapi karena energi yang mengalir deras melalui dirinya. Tangannya mengepal erat, mencoba menahan dorongan kekuatan yang nyaris tidak terkendali. Cahaya keemasan yang tadi menyala di matanya perlahan memudar, namun jejak keberadaan kekuatan itu masih terasa di udara. Elena mendekat perlahan, hati-hati seperti seseorang yang mendekati binatang buas yang terluka. “Dante, kau harus bicara padaku. Apa yang baru saja terjadi?” suaranya bergetar, antara khawatir dan takut. Dante menggelengkan kepalanya, mencoba mencari jawaban di pikirannya sendiri. "Aku tidak tahu, Elena," katanya dengan suara serak. “Ada sesuatu yang bangkit di dalam diriku. Chipset ini… bukan sekadar alat. Ini adalah pintu menuju sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang mungkin seharusnya tidak pernah dibuka.” Lorenzo, yang selama ini selalu tampil tenang, berdiri beberapa langkah di belakang mereka. Wajahnya tegang, m

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 13: Jekak Takdir yang Terkuak

    Hening malam di markas kecil mereka terasa seperti angin yang mempersiapkan badai besar. Dante berdiri di balkon, memandangi kota yang terang oleh lampu jalan, tetapi gelap oleh kebusukan yang merajalela. Di bawahnya, Elena dan Lorenzo sedang berbicara serius di ruang tengah, namun suaranya hampir tak terdengar oleh Dante. Chipset dalam tubuhnya kini bekerja dengan tingkat yang berbeda—bukan hanya menganalisis, tetapi juga memberikan Dante kemampuan untuk merasakan energi orang-orang di sekitarnya. Dante menyadari sesuatu yang ia belum pernah rasakan sebelumnya: jiwanya bergetar, dan bukan hanya karena kekuatan yang baru ditemukan. Melainkan karena pertanyaan besar yang menghantuinya. Apakah aku siap menerima semua ini? Apakah aku mampu mengendalikan kekuatan ini tanpa kehilangan diriku sendiri? ---- Elena menyadari tatapan Dante dari atas. Ia mendongak, lalu memutuskan untuk mendekati pemuda itu. Langkahnya pelan, tetapi ada ketegasan dalam gerakannya. Lorenzo mencoba menahan Ele

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30

Bab terbaru

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 106

    Malam itu, langit dihiasi ribuan bintang yang berkelap-kelip, seakan menjadi saksi dari perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Dante berdiri di tepi tebing, menatap ke kejauhan. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di belakangnya, Elena dan Ayra berdiri dengan ekspresi berbeda—Ayra dengan tatapan lembut, sementara Elena menatap Dante dengan ragu. "Apa yang kita cari selama ini akhirnya ada di depan mata," ucap Ayra, suaranya nyaris seperti bisikan. Dia melirik Elena sebelum kembali menatap Dante. "Semua ini hanya tentang pilihan." Dante menarik napas panjang, dadanya terasa berat. Pilihan. Satu kata sederhana yang membawa beban tak terhingga. Semua kenangan, perjuangan, dan kehilangan selama perjalanan ini berputar di pikirannya. "Ini bukan hanya soal pilihan," jawab Dante akhirnya Dante berbalik, wajahnya diselimuti kerut keseriusan. Mata Elena dan Ayra saling bertemu, seperti ada yang mereka coba ungkapkan, namun belum sepenuhnya bis

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 100

    Mentari pagi memancarkan sinar hangatnya, menyusup di antara tirai jendela rumah Dante dan Ayra. Udara terasa segar, membawa harapan baru. Di meja makan, Ayra sudah sibuk menata sarapan. Aroma kopi bercampur dengan harum roti panggang memenuhi ruangan.Dante muncul dari lorong, mengenakan kaus santai dan celana pendek. Ia menghampiri Ayra, melingkarkan tangannya di pinggangnya dengan lembut. "Pagi, cantik," bisiknya dengan suara berat yang masih terasa hangat dari tidur.Ayra tersenyum, mengaduk teh di cangkirnya. "Pagi juga. Tidurmu nyenyak?""Nyenyak. Tapi aku lebih suka begini, bangun pagi dan melihatmu." Dante mencium pipi Ayra sekilas sebelum duduk di kursi meja makan.Ayra menggeleng, tawa kecilnya melayang di udara. "Kau tahu cara membuat hari seseorang jadi lebih cerah, ya?"Dante hanya tersenyum lebar, lalu mulai menyantap sarapannya. "Apa rencanamu hari ini?"Ayra duduk di depannya, menyesap teh hangat. "Aku ingin

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 99

    Langit malam menghamparkan taburan bintang yang membisikkan ketenangan. Dante berdiri di beranda rumahnya, memandang jauh ke cakrawala. Pikirannya melayang pada pertemuan terakhir antara Ayra dan Elena. Sebuah akhir yang damai, tetapi baginya, itu juga menjadi awal baru."Masih belum bisa tidur?" Ayra muncul dari balik pintu, membawakan secangkir teh hangat. Ia mengenakan sweater rajut yang longgar, rambutnya dibiarkan tergerai.Dante tersenyum kecil, menerima cangkir itu. "Aku hanya berpikir... tentang semua yang telah terjadi."Ayra berdiri di sampingnya, ikut memandang langit malam. "Kadang sulit dipercaya, bukan? Bahwa kita masih di sini, bersama, setelah semua yang kita lalui."Dante menatap Ayra, matanya mengandung kehangatan. "Aku selalu percaya kita bisa melewati semuanya, Ayra. Karena aku tahu... kau adalah rumahku."Ayra tertegun mendengar kata-kata itu. Ia menatap Dante, merasa hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan yang hang

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 98

    Angin pagi meniupkan kesejukan yang lembut saat Dante memarkir mobilnya di depan rumah Ayra. Langit masih pucat, pertanda matahari baru saja bangkit dari tidurnya. Dante keluar, membuka pintu untuk Ayra, yang tampak sedikit lelah tetapi tetap bersemangat. "Aku masih merasa seperti mimpi," Ayra berkata sambil melangkah keluar. Matanya menatap Dante dengan sorot bingung dan kagum. "Mimpi seperti apa?" Dante bertanya, menutup pintu mobil di belakangnya. "Bahwa aku bisa merasa begini... merasa cukup hanya dengan satu orang." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti gumaman, tetapi Dante mendengarnya jelas. Dante mendekat, menyentuh lengan Ayra dengan lembut. "Aku ingin kau tahu, aku juga merasa begitu. Dan aku akan memastikan kau selalu merasa cukup denganku." Ayra tersenyum kecil. "Aku percaya padamu." Langkah mereka menuju teras terasa seperti simbol dari awal yang baru. Tidak ada lagi beba

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 97

    Angin malam menyentuh wajah Dante saat ia berdiri di balkon kecil apartemennya. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat, tetapi pikirannya jauh dari kehangatan yang seharusnya dirasakannya. Cahaya lampu kota berkelap-kelip di bawah sana, membentuk pemandangan yang sepi meskipun penuh warna.Di belakangnya, suara langkah pelan mengisi keheningan. Ayra berdiri di ambang pintu balkon, mengenakan sweater oversize yang menggantung hingga lututnya. Matanya memancarkan keraguan, seakan langkah kecil itu memerlukan keberanian besar."Dante," suaranya hampir tenggelam dalam angin, tetapi Dante mendengarnya. Ia berbalik, pandangannya bertemu dengan mata cokelat Ayra yang dipenuhi pergolakan."Ada apa?" tanyanya lembut, menurunkan cangkir kopi ke meja kecil di sebelahnya.Ayra terdiam sesaat, menatap ke lantai sebelum mengangkat pandangannya kembali. "Aku... aku ingin kita bicara. Tentang semuanya."Dante menatapnya dengan penuh perhatian.

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 96

    Langit mendung menggantung, menyelimuti kota dengan suasana muram. Hujan yang turun sejak dini hari menciptakan genangan di sepanjang jalan, seperti memantulkan perasaan Dante yang masih diliputi kebimbangan.Dante duduk di ruang kerjanya, matanya menatap kosong layar komputer yang menyala di depannya. Deretan angka dan data yang biasa memberinya rasa aman kini hanya terlihat seperti simbol-simbol tak berarti. Suara hujan yang menghantam kaca jendela menjadi satu-satunya hal yang mengisi kesunyian ruangan.“Dante,” suara Ayra memecah lamunannya.Dia berdiri di ambang pintu, mengenakan sweater abu-abu yang kebesaran, rambutnya tergerai alami. Ada kekhawatiran dalam matanya yang cokelat pekat, seolah dia bisa melihat pergulatan yang bergejolak di dalam hati Dante.“Aku sudah memanggilmu tiga kali,” katanya, melangkah masuk.“Maaf.” Dante mengalihkan pandangan, menggosok pelipisnya dengan frustrasi. “Aku hanya—ada banyak hal di pikirank

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 95

    Langit mendung menggantung rendah, seolah meramalkan badai besar yang akan datang. Lembah di depan mereka memancarkan kesunyian yang mencekam, hanya diselingi suara angin yang berdesir melewati pepohonan. Dante berdiri di tepi jurang kecil, menatap pemandangan di depannya dengan mata tajam. Jauh di kejauhan, bangunan besar yang menjadi markas musuh tampak seperti bayangan kelabu di tengah kabut.Elena mendekat perlahan, membawa sebotol air untuk Dante. Ia tahu Dante sudah terlalu lama memandang ke arah itu tanpa beristirahat. “Kau harus menjaga energimu, Dante,” katanya lembut sambil menyerahkan botol itu.Dante menerimanya, tetapi ia tidak langsung meminumnya. “Markas itu… tampak lebih terjaga dari yang kuduga,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Elena memandang bangunan itu dengan mata yang tidak kalah serius. “Kita tahu ini tidak akan mudah. Tapi kita sudah sejauh ini. Tidak ada jalan kembali.”Dari kejauhan, Ayra duduk di atas sebata

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 94

    Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, menggigilkan tubuh Ayra yang masih lemah akibat perjalanan semalam. Ia berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu lemah di depan Dante dan Elena. Kedua orang itu kini tampak lebih tegas dalam gerakan mereka, seolah mereka sudah menetapkan tujuan yang jelas. Dante memimpin langkah, mengamati setiap sudut dengan saksama. Pepohonan lebat yang melingkupi mereka memberikan perlindungan sementara, tetapi tidak menghilangkan bahaya yang terus membayangi. “Berapa lama lagi kita akan sampai di tempat persembunyian itu?” Ayra bertanya dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kecemasan di balik kata-katanya. Dante menoleh sekilas, matanya tajam namun tetap teduh. “Tidak jauh lagi. Jika kita tetap bergerak tanpa berhenti, kita bisa sampai sebelum matahari terbenam.” Ayra mengangguk, meski tubuhnya sudah mulai kehilangan tenaga. Ia tidak ingin menjadi b

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 93

    Matahari perlahan merangkak naik, menyemburatkan cahaya lembut ke langit kelabu. Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, tetapi Dante tidak bergeming dari posisinya di puncak batu besar yang menghadap lembah. Tangannya menggenggam gagang belati kecil yang selalu ia bawa, seolah benda itu adalah jangkar terakhir dari kewarasan di tengah badai pikirannya. Di belakangnya, Ayra duduk dengan tangan terlipat di dada, punggungnya bersandar pada pohon besar. Ia tak berbicara sepatah kata pun sejak pertengkaran malam sebelumnya. Sinar matahari menyoroti wajahnya yang terlihat lelah tetapi tetap anggun, dengan mata yang memandang kosong ke depan. Sementara itu, Elena berdiri tak jauh dari keduanya, mengamati Dante dengan tatapan penuh tanya. Ia tahu, sejak pertemuan mereka pertama kali, ada luka yang selalu Dante sembunyikan di balik sikap tegasnya. Namun, luka itu kini tampak lebih jelas dari sebelumnya, seperti retakan kecil di kaca yang perlahan melebar.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status