Malam menyelimuti kota dengan gelap yang hampir sempurna. Langit tanpa bintang dan jalanan lengang terasa seperti sebuah pertanda buruk. Di sebuah gudang tua di pinggiran kota, suara-suara samar terdengar—bisikan penuh ketegangan dan langkah-langkah kaki yang berhati-hati. Di dalam, Dante berdiri memandangi papan penuh peta, dokumen, dan foto. Setiap potongan informasi terasa seperti teka-teki besar yang tidak sepenuhnya ia pahami. Elena berdiri di sampingnya, tangan terlipat dengan wajah tegang. "Ini semua hanya sebagian kecil," kata Elena sambil menunjuk ke salah satu peta. "The Codex mungkin saja disembunyikan di salah satu fasilitas ini. Tapi setiap lokasi adalah ancaman." Dante mengangguk pelan, tetapi pikirannya tidak sepenuhnya ada di situ. Sejak mengetahui bahwa dirinya adalah pewaris dari kekuatan besar—dan berbahaya—ia merasa seperti hidupnya telah diambil alih oleh sesuatu yang tidak pernah ia minta. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti melangkah ke jurang yang l
Pagi menyingsing dengan suasana muram. Dante berdiri di balkon sebuah rumah persembunyian yang terletak di pinggir kota, memandangi jalanan yang sepi. Matanya yang sembab menatap kosong, pikirannya kembali ke kejadian malam sebelumnya. Gudang itu hancur, Rafael lolos, dan Nina masih berada dalam ancaman. Elena datang menghampirinya, membawa secangkir kopi. "Kau tidak tidur sama sekali," katanya, meletakkan cangkir itu di meja kecil. "Aku tidak bisa," jawab Dante singkat. "Kepalaku dipenuhi oleh semua kemungkinan buruk. Rafael terus bermain-main denganku, dan aku selalu kalah." "Kita belum kalah," kata Elena dengan tegas, mencoba mengembalikan semangat Dante. "Kita masih di sini, dan kita masih punya kesempatan untuk membalikkannya." "Tapi dengan harga apa?" Dante menoleh padanya. "Berapa banyak lagi orang yang harus terjebak dalam permainan ini? Aku sudah kehilangan terlalu banyak, Elena." Elena mendekat, menatapnya dengan serius. "Justru karena itu kau tidak boleh menyerah. Kau
Malam di rumah persembunyian itu lebih sunyi dari biasanya, tetapi suasana tegang terasa jelas di udara. Dante duduk di ruang tamu, memeriksa dokumen yang mereka curi dari apartemen Rafael. Nama-nama di dalamnya bukan hanya sekutu Rafael, tetapi juga mencakup beberapa orang yang selama ini dianggap netral atau bahkan teman. "Aku tidak percaya mereka semua ada dalam daftar ini," gumam Dante, suaranya rendah tetapi penuh amarah. Elena yang duduk di sofa seberang mengamati wajah Dante yang tegang. "Kita tidak bisa hanya mengandalkan asumsi. Beberapa dari mereka mungkin dipaksa, atau bahkan dijebak oleh Rafael." "Tapi kita tidak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa mereka telah berkhianat," potong Dante. Matanya menatap salah satu nama dengan intensitas yang membuat Elena merasa tidak nyaman. "Siapa di daftar itu yang membuatmu gelisah?" tanya Elena, mendekat. Dante menggelengkan kepala, tetapi Elena menangkap kilatan emosi di matanya. "Dante, kalau ini soal seseorang yang kau kenal,
Malam di persembunyian terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena cuaca, tetapi karena ketegangan yang menggantung di udara. Dante duduk di sudut ruangan, menatap peta kota di depannya. Tangannya mengepal di atas meja, sementara pikirannya terus berputar mencari jawaban atas serangan mendadak tadi malam. Lorenzo berdiri di dekat jendela, wajahnya penuh kebingungan dan luka batinnya jelas terlihat. Di sisi lain, Elena mondar-mandir dengan raut wajah frustrasi, menggosok dahinya berulang kali. Semua orang terjebak dalam pikiran mereka sendiri, tetapi kebisuan itu akhirnya pecah oleh suara Elena. "Kita tidak bisa terus begini," katanya dengan nada tinggi, berhenti di tengah ruangan. "Ada yang harus dijelaskan. Kalau bukan oleh musuh di luar, maka oleh seseorang di antara kita." Dante mengangkat wajahnya perlahan, tatapannya dingin tetapi sarat emosi yang sulit ditebak. "Apa maksudmu, Elena?" Elena menatapnya balik tanpa rasa takut. "Aku tidak bisa mengabaikan ini, Dante. Lorenz
Malam itu, Dante duduk sendirian di ruang belakang markas mereka. Pikirannya penuh dengan kemarahan yang belum menemukan tempat untuk dilampiaskan. Wajah Victor Vasquez terus membayangi pikirannya, terutama senyum dingin pria itu yang penuh keyakinan akan kemenangannya. Dante tahu bahwa ancaman Victor tidak main-main. Ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Elena masuk tanpa menunggu jawaban. "Dante," katanya dengan nada lembut, "kau belum makan sejak tadi siang. Kau tidak bisa terus seperti ini." "Aku tidak lapar," jawab Dante singkat, tetapi Elena tidak mundur. Ia mendekati Dante dan duduk di kursi di depannya. "Apa yang sebenarnya ada di kepalamu?" tanya Elena, mencoba memahami kegelisahan Dante. Dante menghela napas panjang. "Victor bukan hanya ancaman baru, Elena. Dia lebih dari itu. Dia seseorang yang tahu bagaimana mengendalikan permainan ini. Dan dia sudah tahu kelemahan kita sebelum kita sempat mengenalnya." Elena memiringkan kepalanya, mencoba membaca emosi D
Dante berdiri di puncak gedung tua yang dulunya adalah markas rahasia milik keluarganya. Angin malam berhembus kencang, membawa aroma hujan yang tertahan di langit. Chipset di tubuhnya terus-menerus berdenyut, hampir seolah-olah mencoba memberi tahu sesuatu yang lebih besar daripada sekadar informasi duniawi. Selama ini, chipset itu hanya dianggap sebagai teknologi mutakhir yang diciptakan ayahnya untuk membantunya bertahan hidup di dunia penuh intrik dan bahaya. Namun, beberapa hari terakhir, ada sesuatu yang berbeda. Data yang diaksesnya bukan hanya data biasa. Ada informasi kuno, nama-nama yang bahkan tidak pernah disebutkan dalam sejarah manusia modern, mulai muncul di pikirannya—nama-nama seperti "Orion Sang Penjaga" dan "Erebus Sang Penghukum." Dante merasa tubuhnya memanas setiap kali ia mencoba memahami data ini. Namun, semakin dia berusaha mencari tahu, semakin chipset itu terasa seperti bukan hanya teknologi. Ada kekuatan di dalamnya, kekuatan yang melampaui logika. ---
Dante berdiri di tengah kekacauan yang baru saja terjadi, tubuhnya bergetar, bukan karena kelelahan, tetapi karena energi yang mengalir deras melalui dirinya. Tangannya mengepal erat, mencoba menahan dorongan kekuatan yang nyaris tidak terkendali. Cahaya keemasan yang tadi menyala di matanya perlahan memudar, namun jejak keberadaan kekuatan itu masih terasa di udara. Elena mendekat perlahan, hati-hati seperti seseorang yang mendekati binatang buas yang terluka. “Dante, kau harus bicara padaku. Apa yang baru saja terjadi?” suaranya bergetar, antara khawatir dan takut. Dante menggelengkan kepalanya, mencoba mencari jawaban di pikirannya sendiri. "Aku tidak tahu, Elena," katanya dengan suara serak. “Ada sesuatu yang bangkit di dalam diriku. Chipset ini… bukan sekadar alat. Ini adalah pintu menuju sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang mungkin seharusnya tidak pernah dibuka.” Lorenzo, yang selama ini selalu tampil tenang, berdiri beberapa langkah di belakang mereka. Wajahnya tegang, m
Hening malam di markas kecil mereka terasa seperti angin yang mempersiapkan badai besar. Dante berdiri di balkon, memandangi kota yang terang oleh lampu jalan, tetapi gelap oleh kebusukan yang merajalela. Di bawahnya, Elena dan Lorenzo sedang berbicara serius di ruang tengah, namun suaranya hampir tak terdengar oleh Dante. Chipset dalam tubuhnya kini bekerja dengan tingkat yang berbeda—bukan hanya menganalisis, tetapi juga memberikan Dante kemampuan untuk merasakan energi orang-orang di sekitarnya. Dante menyadari sesuatu yang ia belum pernah rasakan sebelumnya: jiwanya bergetar, dan bukan hanya karena kekuatan yang baru ditemukan. Melainkan karena pertanyaan besar yang menghantuinya. Apakah aku siap menerima semua ini? Apakah aku mampu mengendalikan kekuatan ini tanpa kehilangan diriku sendiri? ---- Elena menyadari tatapan Dante dari atas. Ia mendongak, lalu memutuskan untuk mendekati pemuda itu. Langkahnya pelan, tetapi ada ketegasan dalam gerakannya. Lorenzo mencoba menahan Ele
Pagi di gudang aman terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada hiruk-pikuk langkah kaki atau percakapan ringan yang biasa terdengar. Semua orang tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dante berdiri di depan jendela kecil yang menghadap ke halaman belakang, tatapannya kosong seperti orang yang memikul dunia di pundaknya.“Dante,” suara Elena memecah keheningan.Dante berbalik, menemukan Elena berdiri di ambang pintu. Rambutnya diikat sederhana, tetapi ada kekuatan dalam cara ia menatapnya, seolah-olah mencoba menembus lapisan dinding emosional yang ia bangun.“Kita harus bicara,” kata Elena tegas.Dante mengangguk, meski dalam hatinya ia tahu pembicaraan ini tidak akan mudah.Elena menutup pintu di belakangnya, memastikan mereka memiliki privasi. Ia mendekat, duduk di kursi kayu yang sudah tua dan tampak hampir roboh.“Aku tahu kau mencoba melindungi kami,” kata Elena, suaranya rendah tapi tegas. “Tapi kau tidak bisa terus seperti ini, Dante. Kami membutuhkanmu sepenuhnya—tidak hanya
Hujan masih menderas di luar gudang, menciptakan irama monoton yang hampir menenangkan. Namun, di dalam ruangan itu, ketenangan tidak pernah benar-benar hadir. Dante duduk di meja, wajahnya tertutup bayangan lampu redup. Di depannya, layar besar menampilkan serangkaian data yang terus bergerak, hasil pencarian Zayba tentang Phantom.“Dante, aku menemukan beberapa informasi penting,” suara Zayba memecah keheningan.Dante mengangkat kepala, menatap layar. “Apa yang kau temukan?”“Phantom adalah nama sandi dari individu bernama Ezra Viscari. Dia adalah mantan informan keluarga Lamonte sebelum terjadi insiden yang mengubah segalanya. Sekarang, dia memimpin jaringan kriminal bawah tanah yang lebih kompleks dari apa yang kita duga sebelumnya.”Dante menghela napas panjang, mencoba menenangkan gejolak emosinya. Ezra bukan hanya sekadar nama dari masa lalu. Dia adalah seseorang yang dulu ia percayai, seseorang yang ia anggap sebagai bagian dari keluarganya.“Kenapa sekarang?” Dante bergumam p
Hujan telah reda, meninggalkan jejak embun di dedaunan dan aspal basah yang memantulkan kelamnya malam. Di sudut kota yang tersembunyi, sebuah gudang tua berdiri bisu, menyembunyikan berbagai rahasia yang terlalu gelap untuk disentuh cahaya. Dante berdiri di tengah ruangan yang remang, memandangi papan tulis penuh catatan, peta, dan potret-potret yang telah ia susun selama beberapa bulan terakhir. Wajah-wajah itu tampak familiar. Musuh yang telah ia lawan, teman yang telah ia kehilangan, dan orang-orang yang telah ia kecewakan. Jemarinya bergerak lambat menyentuh foto Marco, Elena, dan dirinya sendiri, yang terpajang di sudut papan itu. “Kapan ini akan berakhir?” gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Zayba, asisten virtualnya, menjawab dengan nada datar namun penuh perhatian. “Hanya ketika kau memutuskan untuk berhenti, Dante. Tetapi kau tahu, jalan ini sudah terlalu jauh untuk dihentikan sekarang.” Dante mendengus, setengah menyalahkan, setengah setuju. “
Suara hujan yang jatuh di atas genting logam menciptakan ritme melankolis di kawasan industri yang terlantar. Dante berdiri di bawah naungan bayangan sebuah kontainer besar, matanya menyusuri gelapnya malam dengan penuh kehati-hatian. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, telapak tangan terasa dingin tetapi tetap kokoh, seperti kegigihan yang telah melekat dalam dirinya. “Zayba,” panggil Dante, suaranya pelan namun tegas. “Analisa situasi.” Suara Zayba terdengar di telinganya, tenang seperti biasa. “Ada lima penjaga di gerbang utama. Mereka dilengkapi persenjataan berat, dan satu truk suplai sudah tiba. Jika mereka berhasil membawa truk itu pergi, misi kita akan gagal.” Dante menutup matanya sejenak, menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dari tekanan yang terus menggelayuti pikirannya. Ini bukan hanya soal memenangkan pertempuran, tetapi soal membuktikan bahwa ia mampu menghadapi setiap tantangan, apapun risikonya. Di kejauhan, Marco dan Elena menunggu di posisi masing-m
Suara jerat listrik masih terngiang di telinga Dante. Tubuhnya terbaring lemah di lantai dingin, napasnya tersengal-sengal. Rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh membuat setiap ototnya menjerit dalam kesakitan, seolah memaksanya menyerah pada takdir kelam yang dihadapi. Di atasnya, Leonhardt berdiri dengan percaya diri. Tatapannya tajam, seolah menatap mangsa yang tak berdaya. Bibirnya menyunggingkan senyum yang dipenuhi ejekan. “Kau benar-benar keras kepala, Dante,” Leonhardt membuka percakapan, suaranya dingin. “Aku sudah memberimu banyak kesempatan untuk mundur. Tapi lihatlah dirimu sekarang. Hancur, lemah, tak berdaya.” Dante menggeram dalam hati. Ia ingin menjawab, tetapi jerat listrik itu terlalu kuat, membuatnya sulit bergerak, apalagi berbicara. Leonhardt berjalan mengelilinginya dengan santai, seperti seorang raja yang baru saja memenangkan perang. “Kau pikir kau bisa mengalahkan aku? Kau pikir semua omong kosong tentang harapan dan keadilan bisa menghancurkan k
Lorong gelap itu terasa seperti menyempit di sekitar Dante, setiap langkahnya membisikkan ancaman baru. Bau mesiu yang menggantung di udara bercampur dengan aroma besi dari darah yang telah lama mengering di lantai. Namun, pikiran Dante bukan tentang bau itu, melainkan tentang kata-kata Leonhardt. "Aku tahu semua tentang kalian." Kata-kata itu terus terngiang di telinganya, menekan dada Dante seperti beban tak terlihat. Saat langkah kakinya membawa dia lebih dalam ke labirin markas, Dante menggenggam senjatanya erat-erat, meskipun ia tahu bahwa peluru bukan satu-satunya alat yang akan ia perlukan untuk bertahan. “Elena, Marco, tetap di belakangku,” ucap Dante tanpa menoleh. Suaranya tenang, tapi penuh otoritas. Marco merespons dengan nada cemas, “Dante, kita tidak bisa terus seperti ini. Kita perlu strategi yang lebih baik. Leonhardt jelas sudah mempermainkan kita.” “Strategi itu tidak akan berguna jika kita tidak keluar dari sini hidup-hidup,” balas Dante cepat, mengamati setia
Ruang utama markas Leonhardt terasa dingin dan hening, meski dindingnya terlapis ornamen mahal yang memancarkan kemewahan. Lampu gantung kristal di langit-langit berkilauan, tetapi sinarnya tak mampu mengusir kegelapan yang seakan menyelimuti setiap sudut ruangan. Dante berdiri tegap, tetapi di dalam dirinya, badai berkecamuk. Di hadapannya, Leonhardt masih duduk santai di kursi megahnya. Mata pria itu menatap tajam, penuh keyakinan, seolah tahu bahwa setiap langkah Dante telah diperhitungkan sebelumnya. “Kau benar-benar mengejutkanku, Dante,” kata Leonhardt sambil menyilangkan kaki. “Aku kira kau akan menyerah di tengah jalan, tapi ternyata kau lebih keras kepala dari yang kubayangkan.” Dante mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, mencoba menahan gejolak emosinya. “Aku tidak datang untuk mendengar omongan kosongmu, Leonhardt. Aku datang untuk mengakhiri semua ini.” Leonhardt tersenyum tipis, seperti seorang guru yang sedang mengamati muridnya yang ceroboh. “Mengakhiri? Kau
Langit masih kelabu ketika Dante berdiri di balkon markas, angin malam menyapu wajahnya. Tatapan matanya kosong, seolah terjebak dalam lautan pikirannya sendiri. Di bawah sana, timnya bekerja tanpa henti, mempersiapkan markas untuk segala kemungkinan. Tetapi, di dalam dirinya, ada perang yang jauh lebih besar sedang berlangsung. Suara pintu yang terbuka perlahan membuyarkan lamunannya. Elena muncul, membawa secangkir teh hangat yang mengepul. Ia mendekat tanpa suara, lalu menyerahkan cangkir itu ke tangan Dante. “Kau butuh ini,” katanya singkat. Dante hanya mengangguk, mengambil cangkir itu, tetapi tidak segera meminumnya. “Berapa lama lagi menurutmu sebelum Leonhardt bergerak?” Elena menatapnya lekat, mencoba membaca ekspresi di wajahnya. “Bisa hitungan jam, atau hari. Tidak ada yang pasti, terutama setelah Andre tertangkap. Mereka pasti tahu kita sudah mempersiapkan diri.” Dante mendesah panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke kota di kejauhan. Lampu-lampu yang berkelip di m
Udara malam terasa dingin menusuk, seolah memperingatkan Dante bahwa badai lebih besar tengah mendekat. Di ruang pertemuan markas, Dante duduk di ujung meja panjang, dikelilingi oleh tim yang kini wajahnya penuh keraguan. Cahaya dari lampu di atas kepala mereka berpendar samar, menciptakan bayangan gelap di dinding yang tampak seperti menghantui. Di tangannya, ia memegang catatan kecil yang ditemukan Elena—sebuah ancaman halus namun jelas, bahwa musuh mereka selangkah lebih maju. Suara bisik-bisik mengisi ruangan, membuat kepala Dante berdenyut. “Cukup!” suara Dante menggema, membungkam kegaduhan. “Kita tidak akan ke mana-mana jika terus saling meragukan.” Namun, tatapan ragu-ragu dari Marco, salah satu anak buah terpercaya Lorenzo, menusuk Dante. “Bagaimana kami bisa tidak ragu, Dante? Lorenzo telah tiada, dan sekarang ini? Catatan ini hanya membuktikan ada seseorang di antara kita yang berkhianat.” Dante menarik napas dalam-dalam, menekan rasa frustrasinya. Ia tahu apa yang Mar